Anda di halaman 1dari 9

HIPOFUNGSI DAN HIPOPLASIA

PPDH Gelombang II 2022/2023

Dibimbing Oleh:

Dr.drh. Ligaya Ita Tumbeleka, SpMP, MSc.

Anggota:

Imam Ali Alzaini Bychaqi B9404212114


Devi Lusiana B9404212118
Mattew Chesed Papilaya B9404212111
Lee Hui Chyi B9404212819

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
PENDAHULUAN
Sterility yaitu kasus kemajiran yang tidak bisa diobati dan infertility yaitu
kasus kemajiran yang bisa diobati dan masih mempunyai harapan sembuh (Herry
2015). Infertilitas adalah menurunnya derajat kesuburan pada ternak, yang merupakan
kegagalan reproduksi yang bersifat sementara, tetapi jika tidak cepat ditanggulangi
dapat bersifat permanen atau steril. Masalah infertilitas ini lebih sering dijumpai pada
sapi perah daripada sapi potong. Walaupun kasusnya bersifat sementara, biasanya
menyebabkan kerugian yang sangat besar karena faktor waktu dan rendahnya
produksi susu. Sistematik pemeriksaan fisik produksi sapi betina dalam menentukan
fertilitas dan sterilitas, yaitu dengan melakukan pemeriksaan khusus alat reproduksi
seperti inspeksi dan palpasi, pengambilan sampel, disamping riwayat kasus,
pemeriksaan klinis khusus meliputi pemeriksaan per-rektal dan per-vaginal.
Perternakan sapi perah di Indonesia menghadapi masalah besar yaitu
menurunnya produktivitas. Faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah gangguan
reproduksi, dan mengakibatkan rendahnya effsiensi reproduksi dan produktifitas.
Kerugian ekonomi akibat gangguan reproduksi secara umum sebagai akibat
meningkatnya pengeluaran biaya pengobatan dan operasional pemeliharaan karena
jarak antar kelahiran yang lebih panjang. Kesehatan hewan memiliki peran penting
dalam dukungan keberhasilan peningkatan populasi kaitannya dengan penanganan
gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi didefinisikan sebagai kondisi dimana
fungsi reproduksi hewan jantan atau betina terganggu. Dampak adanya gangguan
reproduksi pada sapi betina dapat dilihat dari tingginya service per conception (S/C),
panjangnya calving interval (CI), dan rendahnya angka kelahiran yang berakibat pada
penurunan pendapatan peternak (Novita 2020).
Hasil uji petik laporan iSIKHNAS 2020 mengenai gangguan reproduksi
menunjukkan informasi bahwa ada 1570 kasus gangguan reproduksi di pulau Jawa
pada tahun 2020. Diagnosa kasus yang terbanyak adalah hipofungsi ovari dengan
jumlah 343 kasus (21.8%). Diagnosa kasus lain yang sering terjadi adalah
endometritis dengan 251 kasus (16.0%), silent heat dengan 218 kasus (13.9%),
retensio secundinarum dengan 208 kasus (13.2%), distokia dengan 188 kasus
(12.0%), dan lain-lainnya. Kasus-kasus yang terjadi pada sapi ternak di lapangan
umumnya karena faktor cacat lahir, hormonal, malnutrisi dan perawatan pra atau
postpartum yang tidak benar. Walau bagaimanapun, masih tidak ada diagnosa yang
menyatakan bahwa kegiatan pelayanan IB menjadi penyebab langsung terjadinya
gangguan reproduksi. Pengobatan atau perawatan ternak sapi betina yang mengalami
gangguan reproduksi umumnya menggunakan terapi hormonal, perbaikan kualitas
pakan, dan peningkatan kebersihan kandang.
Hipofungsi ovarium menjadi kasus gangguan reproduksi yang memiliki angka
kejadian paling tinggi di Jawa Tengah, dengan kerugian peternak karena panjangnya
calving interval dan biaya pengobatan yang tinggi (Aldi et al. 2020). Hipofungsi
ovarium merupakan salah satu penyakit yang banyak timbul pada sapi perah dengan
berbagai jenis gejala klinis, seperti anestrus, ovarium kurang aktif apabila dilakukan
palpasi rektal, ukuran ovarium normal namun tidak ada penonjolan folikel atau
korpus luteum (Deden 2000).
Diagnosis banding hipofungsi ovarium adalah hipoplasia ovary. Hipoplasia
ovari dapat menyebabkan hewan mengalami pertambahan berat badan, infertil sejak
muda, vulva dan alat kelamin kecil karena faktor genetic. Jika hypoplasia ovari tidak
dapat diobati dan terus berlaku dalam jangka waktu yang lama, ovarium akan menjadi
mengecil disebut atropi. Diagnosis penyakit ini dapat dilakukan melalui palpasi rektal
dan ultra sonografi (Herry 2015).

HIPOFUNGSI PADA OVARIUM


(Manggalatung A. B., 2017)
Anamnesa:
Tidak menunjukan ciri-ciri estrus, dipelihara didalam kendang dan tidak
dikeluarkan, diberikan pakan hijauan dan ampas tahu. Jumlah susu yang didapatkan
saat pemerahan adalah 10 liter.
Sinyalment:
 Nama hewan: sapi (tidak diberikan nama)
 Jenis hewan: sapi
 Breed: FH
 Warna rambut: putih hitam
 Jenis kelamin: betina
 Umur: 6 tahun
 Berat badan: 700kg
Status present:
 Suhu tubuh: 39,3℃
 Frekuensi napas: 24/menit
 Frekuensi denyut jantung: 112/menit
Gejala Klinis
 Tidak terdapat gejala klinis yang teramati. Namun tidak menunjukan ciri-ciri
estrus
Deferensial diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan gejala yang ditunjukan, penyakit yang diderita
merupakan penyakit yang berhubungan dengan organ reproduksi. Kondisi ini
dibuktikan dengan tidak adanya gejala klinis yang teramati sehingga penyakit-
penyakit seperti endometritis dan metritis berupa adanya discharge yang keluar
melalui vulva. Kondisi sapi yang kekurangan gizi tidak gambar dari berapa banyak
serat dan hijauan yang diberikan. Namun dapat terlihat jumlah susu yang dihasilkan
dinilai sedikit dimana hanya menghasilkan 10 liter. Jumlah susu yang dapat
diproduksi oleh sapi FH adalah 15-20 liter. Dapat disimpulkan bahwa sapi
kekurangan gizi untuk dapat memproduksi susu dan menjadi sumber energi dan
nutrisi bagi tubuh sapi. Kondisi sapi yang kurangan nutrisi dapat mengalami masalah
pada sistem hormonal yang dapat mengganggu kerja atau aktivitas ovarium.
Berdasarkan dugaan diatas, maka penyakit yang diderita oleh sapi dapat berupa
penyakit yang berhubungan ovarium yaitu dapat berapa hipofungsi ovarium atau
pyometra. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pendukung melalui palpasi rektal
untuk mengecek kondisi alat reproduksi betina dari vagina sampai ovarium.
Pemeriksaan
Pemeriksaan pendukung adalah melalui palpasi rektal. Pada proses palpasi,
organ reproduksi seperti vagina, cervix, corpus uteri dan cornua uteri dalam kondisi
normal. Pemeriksaan dilanjutkan menuju ovarium. Pemeriksaan dilakukan pada
ovarium kiri dan kanan. Pada kedua ovari memiliki ukuran yang normal dengan
permukaan yang halus dimana tidak adanya aktivitas folikuler maupun liteal sehingga
tidak terdapat folikel dan corpus luteum yang berkembang.

Gambar 1 Tampilan ovarium sapi yang mengalami hipofungsi

Diagnosis
Berdasarkan dukungan hasil pemeriksaan secara palpasi rektal, dapat
disimpulkan bahwa penyakit yang diderita oleh sapi tersebut adalah hipofungsi
ovarium. berdasarkan hasil pemeriksaan secara palpasi rektal juga menujukan tidak
adanya penyakit yang terjadi pada saluran reproduksi yang mempengaruhi aktivitas
ovarium yaitu pyometra karna saat proses palpasi kondisi saluran reproduksi normal.
Pragnosa
Penyakit hipofungsi ovarium bersifat reversible. Sehingga jika ditangani dapat
memulihkan kondisi ovarium menjadi normal dan proses reproduksi dapat berjalan
normal kembali.
Terapi
Terapi yang diberikan pada saat penanganan kasus ini adalah dengan
melakukan proses perbaikan nutrisi. Setelah dilakukan perbaikan nutrisi menunjukan
hasil yaitu nilai BCS sapi menjadi lebih baik, maka dapat dilakukan dengan
pengobatan melalui pemberian GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin,
leuprolide, dan buserelin untuk menginduksi estrus atau dapat memberikan.
Hormon2 tersebut berfungsi merangsang pelepasan gonadotropin FSH dan LH dari
hipofisa anterior sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel.
Pertumbuhan dan perkembangan folikel menghasilkan estrogen sehingga sapi
menunjukkan tanda - tanda birahi (Suartini et al. 2013). Gangguan reproduksi karena
hipofungsi ovarium dapat diobati dengan pemberian preparat hormonal FSH-LH like
dengan penyuntikan preparat kombinasi FSH–LH atau FSH–LH like seperti, PMSG
dan hCG (Hermadi, 2015).

Prediksi waktu penyembuhan kasus


Perbaikan nutrisi dilakukan sampai nilai BCS sapi dinilai normal atau baik.
Setelah nilai BCS menjadi normal, maka mengacu pada jurnal yang ditulis Novia A
Masruro et al., (2020), prediksi waktu penyembuhan kasus adalah 6-8 hari setelah
pemberian preparat kombinasi FSH-LH like yaitu PMSG dan hCG. Hal ini
dibuktikan dengan sapi-sapi yang diobati mengalami kebuntingan setelah dilakukan
IB kembali.

HIPOPLASIA OVARI: Bilateral total ovarian hypoplasia in a Holstein Friesian


heifer (Akkoyunlu et al. 2014)

Anamnesa
Sapi terlihat sehat, tidak menujukkan tanda-tanda estrus, masih dara,
dinekropsi, cornua uteri, vagina, dan vestibulum vagina normal, ada organ bilateral
mirip ovari dengan lipatan pada permukaannya tanpa folikel/corpus luteum pada
organ tersebut

Sinyalemenn
Nomor Hewan: -
Jenis Hewan : sapi
Ras/ breed : Friesian Holstein
Warna rambut : hitam putih
Jenis kelamin : betina
Umur : 22 bulan

Status present
Tidak ada data untuk status presen.

Gejala klinis
Tidak ditemukan gejala klinis, tetapi diketahui sapi tidak menunjukkan gejala
estrus hingga disembelih.

Pemeriksaan
Palpasi per-rektal sulit untuk dilakukan karena ukuran ovarium yang kecil.

Diferensial diagnosis
Freemartin, nodular adhesion dari ovarektomi, agenesis ovari (jarang) (Farin
dan Estill 1993), hipofungsi ovari.

Diagnosis
Berdasarkan penemuan patologi anatomi setelah dinekropsi, sapi tersebut
mendertia hipoplasia ovari.

Prognosa
Kasus ini memiliki prognosa infausta karena kondisi bawaan sejak lahir
sehingga tidak akan bisa disembuhkan.

Terapi
Tidak ada terapi yang dapat diberikan untuk mengubah kondisi ini karena
merupakan kondisi bawaan sejak lahir.

Perkiraan waktu penyembuhan kasus:


Kasus tidak akan sembih karena berupa kondisi bawaan sejak lahir.

Penjelasan kasus:
Sapi dara berusia 22 tahun tidak menujukkan gejala estrus dan tidak pernah
diinseminasi. Hasil nekropsi menujukkan sebagian organ di saluran reproduksi
normal, tetapi ditemukan organ bilateral yang mirip ovari. Dilakukan pemeriksaan
histologi pada organ yang ditemukan. Organ bilateral mirip ovari tersebut memiliki
ukuran yang kecil. Tidak ditemukan batas yang jelas antara korteks dan medulla pada
potongan longitudinal. Terlihat jaringan ikat tebal membentuk tunica albuginea
tersebar di bagian korteks. Terdapat jaringan ikat longgar dan jaringan pembuluh
darah yang tersebar pada medulla. Ditemukan beberapa folikel primordial dan primer
yang terdegenerasi tersebar di korteks. Beberapa lapisan sel granulosa teramati pada
potongan transversa folikel, namun oosit belum matang.

Gambar 1 (A) Organ mirip ovari dengan permukaan mengkerut. (B) Potongan
longitudinal organ mirip ovari, terlihat batas yang kurang jelas antara
korteks dengan medulla

Gambar 2 (A) jaringan ikat tebal membentuk tunica albuginea tersebar di bagian
korteks. Terdapat jaringan ikat longgar dan jaringan pembuluh darah
yang tersebar pada medulla. (B) Folikel primer terletak di korteks
dengan 2 lapisan sel granulosa, namun oosit belum matang

Hipoplasia ovari adalah keadaan cacat kongenital di mana indung telur tidak
berkembang. Ovari yang hipoplasia mengalami perkembangan yang tidak lengkap
sehingga ovari memiliki folikel primordial yang lebih sedikit. Hipoplasia ovari dapat
terjadi secara unilateral maupun bilateral. Selain itu, juga dapat berbentuk sebagian
(partial) dan penuh (complete). Sapi dengan hipoplasia bilateral akan menjadi sterile,
sedangkan sapi denga hoplasia unilateral akan menunjukkan estrus, bunting, dan
menghasilkan turunan tapi meneruskan sifat pada turunannya tersebut. Kasus pada
sapi dara akan lebih sulit untuk ditemukan dengan palpasi per-rektal karena ukuran
ovarium yang kecil. Ovari dapat terlihat memiliki strukstur yang tipis dan sempit
(Peter et al. 2009; Affandhy et al. 2007; Kumar et al. 2014). Kondisi ovari ini
dikategorikan sebagai kegagalan migrasi sel germinal primordial dari yolk salk
sampai gonad yang berkembang selama fase embrionik. Sehingga, gonad yang
berkembang tidak memiliki epitel germinal yang merupakan prekursor sistem
folikuler (Venhoranta et al. 2013).

Daftar Pustaka
Affandhy L, Pratiwi WC, Ratnawati D. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reprosuksi pada Sapi Potong. Pasuruan: Loka Penelitian Sapi
Potong Grati-Pasuruan
Akkoyunlu G, Tepekoy F, Bebiş A, Uysal F. 2014. Bilateral total ovarian hypoplasia
in a Holstein Friesian heifer. Acta Histochem. 116(8): 1519 – 1521.

Aldi S, Surya AP, Bambang S. 2020. Analisis Epidemiologi Kasus Hipofungsi


Ovarium pada Sapi Potong di Kabupaten Jepara. Jurnal Sain Veteriner. 39
(1): 28-35.
Cole LA. 2009. New discoveries on the biology and detection of human Chorionic
Gonadotropin. Reprod Biol Endocrinol. 7: 1-37.
Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus
Hipofungsi Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Farin PW, Estill CT. 1993. Infertility Due to Abnormalities of the Ovaries in Cattle.
Vet. Clin. North Am. Food Anim. Pract. 9(2): 291–308
González-Menció F, Manns J, and Murphy BD. 1978. FSH and LH activity of PMSG
from mares at different stages of gestation. Anim Reprod Sci 1: 137-44.
Hafez SE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Philadelphia (US): Lea
and Febiger.
Hafez ESE, Hafez B. 2000a. Anatomy of Male Reproduction. In: Reproduction in
Farm Animals. Hafez and Hafez (Ed) 7th ed. Lippincott William & Wilkins. A
Wolter Kluwer Company.
Herry AH. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju
Kemandirian Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan
Pangan Di Indonesia. Surabaya (ID):Universitas Airlangga.
Ismudiono, Srianto P, Anwar H, Madyawati SP, Samik A, Safitri E. 2010. Fisiologi
Reproduksi pada Ternak. Universitas Airlangga Press. Surabaya.
Kumar PR, Singh SK, Kharche SD, Govindaraju CS, Behera BK, Shukla SN, Kumar
H, Agarwal SK. 2014. Anestrus in cattle and buffalo: Indian perspective. Adv.
Anim. Vet. Sci. 2(3): 124 – 138.
Manggalatung AB. Penanganan Kasus Hipofungsi Ovarium pada Sapi Friesian
Holstein di Kabupaten Enrekang. 2017.Universitas Hasanuddin. Makasar
[Tugas Akhir]
Novia A Masruro et al., 2020. Penggunaan Kombinasi Gonadotropin untuk
Pengobatan Hipofugsi pada Sapi Perah. Journal of Animal Reproduction.
UNAIR: Vol 9 (1).
Novita SR. 2020. Gambaran S/C, Cr Dan Cvr Pada Sapi Potong Di Kecamatan Air
Joman Dan Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan Tahun 2017.
Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Peter AT, Levina H, Drost M, Bergfelt DR. 2009. Compilation of classical and
contemporary terminology used to describe morphological aspects of ovarian
dynamics in cattle. Theriogenology. 71(9): 1343 – 1357.
Purohit GN. 2014. Ovarian and oviductal pathologies in the buffalo: Occurrence,
diagnostic and therapeutic approaches. Asian Pac. J. of Reprod. 3(2): 156 - 68.
Suartini NK, Trilaksana IGHB,Pemanyun TGO. 2013. Kadar estrogen dan
munculnya estrus setelah pemberian Buserelin (Agonis GnRH) pada sapi Bali
yang mengalami anestrus postpartum akibat hipofungsi ovarium. Jurnal Ilmu
dan Kesehatan Hewan
Venhoranta H, Pausch H, Wysocki M, Szczerbal I, Hänninen R, Taponen J, Uimari P,
Flisikowski K, Lohi H, Fries R, Switonski M. 2013. Ectopic KIT copy number
variation underlies impaired migration of primordial germ cells associated with
gonadal hypoplasia in cattle (Bos taurus). PLoS One. 8(9): e75659.

Anda mungkin juga menyukai