A. Teori-teori Klasik
Menurut studi Hoselitz mengenai industrialisasi di Jerman
menunjukkan bahwa pada tahap awal pembangunan sektor manufaktur di
negara tersebut didominasi oleh pengrajin-pengrajin dan banyak dari mereka
akhirnya berkembang menjadi usaha-usaha besar, sedangkan yang lainnya
gugur atau kegiatannya mengalami stagnasi. Namun demikian, Hoselitz tidak
menganalisis secara eksplisit sifat alami dari keterkaitan antara industrialisasi
dan perubahan struktural di dalam sektor manufaktur. Dia lebih menekankan
pada karakteristik dari biaya produksi yang rendah, yang iada simpulkan
sebagai kunci keberhasilan dari UMKM. Rendahnya biaya produksi
disebabkan terutama oleh pemakaian anggota-anggota keluarga pekerja-pekerja
tidak dibayar.
Setelah karya Hoselitz ini dipublikasikan secara luas, banyak peneliti
UMKM lainnya di dunia seperti Parker dan Anderson yang juga
mengembangkan tipologi fase pertumbuhan yang berbasis pada pengalaman
dari negara-negara maju untuk menjelaskan perubahan struktur skala usaha di
sektor industri menurut wilayah dan waktu di negara-negara berkembang.
Menurut pendekatan ini, di dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan
atau bisa disebut evolusi dari kegiatan-kegiatan manufaktur apabila
diklasifikasikan menurut skala, berlangsung melewati tiga fase. Fase-fase
tersebut sebagai berikut:
1. Fase Awal
Pembangunan industri (ekonomi masih dicirikan sebagai ekonomi
agraris), usaha mikro (UMI), dan industri-industri rumah tangga atau
kegiatan-kegiatan pengrajin (tipe paling tradisional dari perusahaan-
perusahaan di industri pengolahan) paling dominan, baik dalam jumlah unit
usaha maupun dalam jumlah pekerja, dilihat dari persentasenya dari jumlah
tenaga kerja di sektor manufaktur.
Usaha mikro dalam tahap ini lebih terkonsentrasi di industri-industri
seperti pakaian jadi, pandai besi, alas kaki, kerajinan, bahan-bahan
bangunan sederhana dan makanan minuman. Di negara-negara berkembang,
kegiatan produksi di subsektor-subsektor tersebut relatif mudah dilakukan.
Khususnya di industri-industri pakaian jadi, makanan dan minuman, dan
kerajinan karena kebutuhan modal awal sangat sedikit dan
produsen/pengusaha tidak perlu memiliki pendidikan formal yang tinggi dan
tidak perlu ada tempat khusus untuk kegiatan produksi. Alasan tersebut
menunjukkan bahwa kegiatan produksi usaha mikro di kelompok-kelompok
industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh perempuan dan anak-anak
sebagai suatu kegiatan paruh waktu, dan dilakukan di dalam rumah pemilik
usaha/pengusaha. Pendapatan dari kegiatan-kegiatan usaha mikro tersebut
sangat penting baik sebagai sumber pendapatan utama atau satu-satunya
maupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga. Di banyak negara
termasuk Indonesia, kebanyakan usaha mikro adalah usaha sendiri tanpa
pekerja (di dalam literatur umum disebut self-employment atau unit usaha
satu orang di mana pemilik melakukan semua pekerjaan).
Fase ini juga terdapat banyak kegiatan usaha mikro yang erat
kaitannya dengan produksi di sektor pertanian baik dalam bentuk
keterkaitan produksi ke depan, yakni usaha mikro mensuplay berbagai input
ke pertanian maupun dalam bentuk keterkaitan produksi ke belakang, yakni
usaha mikro mengolah output dari pertanian misalnya industri-industri
makanan dan minuman. Selain itu, keterkaitan dalam kegiatan produksi
antara usaha mikro dan pertanian juga secara tidak langsung lewat
keterkaitan konsumsi, yakni usaha mikro menyediakan kebutuhan-
kebutuhan makanan dan non makanan bagi penduduk pedesaan yang pada
umumnya adalah rumah tangga-rumah tangga petani.
2. Fase Kedua
Terdapat di wilayah-wilayah yang ekonominya lebih berkembang
dengan pendapatan per kapita lebih tinggi, usaha kecil dan menengah
(UKM) mulai muncul dan tumbuh pesat, dan secara perlahan kedua
subkategori UMKM tersebut menggeser keberadaan usaha mikro (UMI) di
sejumlah kelompok industri.
Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan ekspansi UKM pada
fase kedua ini, di antaranya adalah kenaikan pendapatan masyarakat per
kapita yang mengubah pola konsumsi masyarakat dari sebelumnya pada saat
pendapatan mereka rendah membeli barang-barang berkualitas rendah
(inferior) pindah ke barang-barang berkualitas tinggi (ferior) dan di dalam
kelompok UMKM, usaha mikro (UMI) pada umumnya membuat barang-
barang inferior, sedangkan banyak usaha kecil (UK) dan terutama usaha
menengah (UM) memproduksi barang barang berkualitas lebih baik.
3. Fase Terakhir
Pembangunan pabrik-pabrik besar (UB) menjadi dominan,
menggantikan UKM (dan juga UMI yang masih ada) di sejumlah industri.
Menurut Anderson, fase ini sebagian adalah suatu produk dari fase kedua
sejak pertumbuhan output dan kesempatan kerja di UB dapat dibagi
menjadi:
a. Perkembangan skala usaha dari yang sebelumnya UKM menjadi UB.
b. Perluasan skala produksi dari UB. Namun demikian, ekspansi UB dalam
fase ini bisa juga disebabkan sebagian oleh munculnya UB baru (yang
perkembangannya sejak awal tidak melalui struktur skala) yang tidak
diperhitungkan secara eksplisit dalam analisisnya Anderson.
Fase terakhir ini menunjukkan bahwa pemakaian skala ekonomi
dalam produksi, manajemen, pemasaran dan distribusi (tergantung pada tipe
produk dan fleksibilitas dalam produksi); keunggulan teknologi; efisiensi
manajemen; koordinasi produktif; akses ke jasa-jasa infrastruktur
pendukung serta keuangan eksternal yang lebih baik; dan pendanaan
konkesi dengan insentif investasi, struktur tarif, dan subsidi pemerintah,
semuanya adalah penyebab-penyebab atau merupakan insentif utama bagi
perusahaan-perusahaan untuk berkembang menjadi lebih besar. Dalam
kenyataannya, faktor-faktor ini sering kali lebih tersedia atau
menguntungkan UB atau usaha modern daripada UMKM khususnya UMI
dan hal ini dapat menjelaskan kenapa kinerja UB lebih baik daripada
UMKM dalam fase industrialisasi yang lebih maju.
B. Teori-teori Modern
Perkembangan atau pertumbuhan sebuah perusahaan atau sekelompok
perusahaan (dalam kasus ini yakni UMKM) dapat dijelaskan dengan sejumlah
teori. Perbedaan di antara teori-teori yang ada tersebut yang dibahas di bawah
ini terletak pada perbedaan dalam sudut pandang atau asumsi-asumsi yang
digunakan sebagai fondasi bagi pengembangan teori-teori tersebut atau aspek-
aspek yang menjadi fokus pembahasannya. Teori utama yang dibahas yakni
sebagai berikut:
1. Teori Spesialisasi Fleksibel (pola produksi global yang mengalami
transformasi dari produksi masa ke produksi dalam volume kecil)
Beberapa peneliti berargumen bahwa produksi global sedang
mengalami suatu transformasi dari produksi masa ke produksi dalam
volume kecil. Spesialisasi fleksibel (SF) dikenal sebagai salah satu pola baru
yang menggantikan pola produksi masa.
Konsep SF berasosiasi erat dengan buku yang terkenal dari Piore
dan Sabel mengenai pembagian industri kedua yang mendiskusikan
munculnya kembali lokasi-lokasi pengrajin di sejumlah negara di Eropa
Barat yakni Italia, Austria, dan Jerman. Mempelajari perkembangan dari
lokasi-lokasi pengrajin tersebut telah ditegaskan bahwa UMKM di lokasi-
lokasi itu menjadi bentuk yang dominan dari organisasi industri. UMKM
tersebut dikenal sebagai perusahaan-perusahaan yang mengerjakan pekerja-
pekerja dengan keterampilan tinggi dan multi, menggunakan mesin-mesin
fleksibel yang mengandung teknologi-teknologi paling akhir dan membuat
dalam volume kecil sejumlah produk-produk khusus yang berbeda untuk
pasar global.
Teknologi-teknologi baru seperti komputer dan alat-alat monitor dan
kontrol mesin pabrik membuat skala ekonomi menjadi kurang penting, yang
selanjutnya membuat pabrik-pabrik lebih kecil menjadi lebih efisien dan
semua ini mempromosikan kelayakan relatif dari UMKM di dalam era
globalisasi. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan suatu industri
untuk memenuhi perubahan-perubahan pasar yang cepat (khususnya pasar
global) dengan tepat waktu, murah, dan efisien telah menciptakan suatu
peran baru bagi UMKM di kelompok negara-negara maju. Jadi, peran baru
UMKM di dalam ekonomi bisa digunakan sebagai suatu argumen untuk
menentang proposisi dari Anderson, di antara beberapa lainnya yang telah
dibahas sebelumnya yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang
ekonomi akan dikuasai oleh UB (dalam output maupun kesempatan kerja).
Ada empat bentuk organisasi yang umum dari spesialisasi fleksibel
(SF) yakni sebagai berikut:
a. Fleksibel dan spesialisasi
Perusahaan-perusahaan di dalam komunitas dapat menyesuaikan dengan
cepat teknik-teknik produksi mereka terhadap perubahan-perubahan
pasar, tetapi tetap berspesialisasi dalam memproduksi satu tipe barang,
misalnya pakaian jadi.
b. Masuk terbatas
Perusahaan-perusahaan di dalam komunitas membentuk bagian dari
suatu komunitas yang tertutup dan perusahaan-perusahaan di luar
komunitas tidak bisa atau sulit masuk.
c. Tingkat inovasi kompetitif yang tinggi
Ada tekanan terus-menerus terhadap perusahaan-perusahaan di dalam
komunitas untuk mempromosikan inovasi untuk bisa tetap lebih unggul
daripada pesaing-pesaing mereka.
d. Tingkat kerja sama yang tinggi
Ada persaingan terbatas antar sesama perusahaan di dalam komunitas
dalam hal gaji dan kondisi kerja yang merangsang kerja sama yang lebih
besar antar mereka.