Anda di halaman 1dari 29

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

BEDAH
RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
NOMOR : 557.3/PER/RSISA/V/2019

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................. 1


Daftar Isi ....................................................................................................................... 2
Penyusun ...................................................................................................................... 3
Kata Pengantar.............................................................................................................. 4
Peraturan Direktur Nomor : 557.3/PER/RSISA/V/2019 tentang Panduan
Praktek Klinis (PPK) KSM Bedah .................................................................................... 5
Pendahuluan ................................................................................................................ 8
Panduan Praktik Klinis Appendicitis Akut ..................................................................... 9
Panduan Praktik Klinis Hemoroid.................................................................................. 14
Panduan Praktik Klinis Cedera Kepala........................................................................... 17
Panduan Praktik Klinis Fraktur ...................................................................................... 19
Panduan Praktik Klinis Batu Traktur Urinarius .............................................................. 20
Panduan Praktik Klinis Cholelithyasis............................................................................ 23
Panduan Praktik Klinis Tetanus ………………………………………………………………………………….24
Disclaimer ..................................................................................................................... 30
Penutup ........................................................................................................................ 31

2
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 557.3/PER/RSISA/V/2019
tentang
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BEDAH
DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

bismillahirrahmanirrahim

DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

MENIMBANG : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah


Sakit Islam Sultan Agung perlu disusun Panduan Praktik Klinis bagi dokter
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
b. bahwa dalam Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit Islam
Sultan Agung bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter dalam
memberikan pelayanan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan
c. bahwa buku panduan praktik klinis tersebut digunakan sebagai bahan
acuan kegiatan pelayanan medis
d. bahwa untuk kepentingan tersebut diatas perlu ditetapkan dalam surat
keputusan

MENGINGAT : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang


Rumah Sakit;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang
Praktik Kedokteran;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Jabatan Fungsional Umum Di Lingkungan Kementerian
Kesehatan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 /Menkes/PER/IV/2011
tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010
tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menker/SK II/2008 tentang

3
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis
(Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit;
9. Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 445/01/BPMD/07/2014 tentang Perpanjangan Izin Operasional
Rumah Sakit Islam Sultan Agung;
10. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor :
107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit
Berdasarkan Prinsip Syariah;
11. Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor
: 008.55.09/DSN-MUI/VIII/2017 tentang Penetapan Layanan dan
Manajemen Rumah Sakit Islam Sultan Agung telah memenuhi prinsip
syariah;
12. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM, M.Kes
sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Masa Bakti 2018
– 2022.
13. Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
70/SK/YBW-SA/VI/2018 tentang Pengesahan Struktur Oragnisasi RSI
Sultan Agung
14. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama RSI Sultan
Agung Masa Bhakti 2018 – 2022;

MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :

KESATU : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Nomor : 2690/
PER/RSI-SA/III/2017 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Bedah Rumah Sakit

4
5
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 557.3/PER/RSI-SA/V/2019
TANGGAL : 15 Mei 2019

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan; lingkup pelayanan adalah
segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Substansi pelayanan medis adalah pratik ilmu pengetahuan dan
teknologi medis yang telah ditapis secara sosio – ekonomi –budaya yang mengacu pada aspek
pemerataan, mutu dan efsiensi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
akan pelayanan medis.
Untuk menyelenggarakan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien dan
berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas,
prafasilitas, peralatan, dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai
Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan
disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan
Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter Bedah, serta
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter Bedah.
Panduan praktik klinis (Clinical practice guidelines) merupakan panduan yang berupa
rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter Bedah dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Panduan ini berbasis bukti (berdasarkan penelitian saat ini) dan tidak menyediakan
langkah-pendekatan untuk perawatan dan pengobatan, namun memberikan informasi tentang
pelayanan yang paling efektif. Dokter atau dokter Bedah menggunakan panduan ini sesuai
dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana pelayanan yang
tepat kepada pasien
B. Dasar Hukum
1. Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 44 ayat ( 1 ) ,
pasal 50 dan 51
2. Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang – undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan No 147 / MENKES / PER / 2010 tentang Perizinan RS
5. PERMENKES No 1438 / MENKES / PER / IX / 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
C. Tujuan
1. Meningkatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Mamberikan tata laksana dengan biaya yang memadai

6
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
APENDISITIS AKUT

1. Pengertian
Apendisitis akut adalah radang appendix vermiformis, merupakan gawat darurat rongga
abdomen yang paling sering didapati. Angkanya di Indonesia belum ada, namun lebih dari 40.000
kasus didapati tiap tahunnya di Inggris Raya dan 25.000 di Amerika Serikat. Lebih banyak
mengenai penderita laki dibanding wanita (1.4 : 1) dan tersering didapati pada usia 10 – 20 tahun,
meskipun anak dan orang tua juga dapat dikenainya. Masalah pada apendisitis akut adalah
keterlambatan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan terapi dan tingginya angka
morbiditas dan mortalitas. Sebaliknya angka apendektomi negatif juga masih banyak didapati,
antara lain disebabkan tidak semua penderita memperlihatkan gejala klinik yang khas.
2. Patofisiologi
Appendix vermiformis terletak pada pertemuan 3 taenia coli, berupa saluran buntu yang
panjang rata-ratanya 8 – 10 sentimeter. Letak appendix 64.3% retrocaecal, pelvic 32%, subcaecal
2.3%, preileal 1% dan postileal 0.4%. Letak appendix yang bervariasi ini menyebabkan variasi
gejala dan pemeriksaan fisik.
Sumbatan pada lumen apendiks yang diikuti oleh proliferasi dan invasi bakteri dalam
lumennya seperti yang dibuktikan dalam percobaan dan pemeriksaan histopatologi masih diyakini
merupakan penyebab terjadinya apendisitis. Sumbatan lumen bisa diakibatkan oleh faecalith,
fecal stasis, hiperplasia kelenjar limfoid atau benda asing lain (cacing) dan tumor. Apendisitis yang
disebabkan sumbatan lumen akan mengakibatkan komplikasi perforasi, sedang apendisitis tanpa
sumbatan nyata jarang yang berakibat perforasi.
Perjalanan apendisitis klasik dibedakan menjadi 5 tahapan :
1. Sumbatan pada lumen yang diikuti dengan distensi
2. Stimulasi saraf aferen T8 – T10 yang menyebabkan nyeri visceral sekitar umbilikus yang
berlangsung sekitar 4 – 6 jam
3. Tekanan lumen meningkat, obstruksi aliran vena dinding apendiks sehingga terjadi kongesti
vena dan iskemia
4. Iskemia menyebabkan inflamasi, invasi bakteri pada dinding apendiks
5. Inflamasi menembus dinding apendiks menyebabkan inflamasi peritoneum dengan nyeri
somatik pada perut kanan bawah
Bila proses ini tidak diobati atau dilakukan operasi, apendiks akan mengalami nekrosis
dan perforasi. Waktu yang diperlukan untuk 5 tahap diatas sangat bervariasi, rata-rata 46 jam
untuk apendiks menjadi gangren dan 72 jam untuk terjadi perforasi. Penelitian lain menemukan
bila diagnosis apendisitis terlambat ditegakkan 48 setelah onset, 80%-nya akan mengalami
perforasi.
Selain apendisitis akut klasik, apendisitis akut juga dapat merupakan rekurensi apendisitis
kronis dari apendisitis akut yang terjadi sebelumnya. Gejala klinisnya dapat bervariasi.

7
3. Anamnesis
Anamnesis yang mencurigakan adanya apendisitis adalah rasa nyeri perut berupa :
1. nyeri berpindah dari periumbilikal / mid-epigastric ke perut kanan bawah
2. nyeri perut kanan bawah
3. nyeri sewaktu muntah. Mual dan muntah meskipun merupakan gejala apendisitis, umum
didapati pada banyak kelainan traktus gastrointestinal lainnya, sehingga tidak dapat
menambah akurasi diagnosis apendisitis.

4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang prediktif apendisitis terutama adalah nyeri tekan perut kanan bawah dan
rigidity pada titik Mc Burney. Kurang prediktif adalah tanda rangsangan peritoneum lain seperti
nyeri lepas, psoas sign dan suhu lebih dari 38.3 derajat Celcius. Yang tidak bermakna banyak
adalah nyeri pada colok dubur dan Rovsing sign. Meski spesifisitas iliopsoas sign 79 – 95%, namun
sensitivitasnya rendah (13 – 42%) dan hanya 4% dari dokter melakukannya dengan benar.
Demikian juga obturator sign, memiliki sensitivitas hanya 8% meski spesifitasnya 94%.
5. Diagnosis
Berdasarkan penggabungan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, ketepatan
diagnosis apendisitis akut sebesar 78 – 92% pada laki-laki dan 58 – 92% pada wanita. Ketepatan
lebih meningkat dengan pemeriksaan penunjang.
Skoring diagnosis pada apendisitis akut
Skoring apendisitis yang banyak dipergunakan adalah skor Alvarado atau MANTRELS
(1986), terdiri dari 3 gejala (nyeri berpindah, anoreksia dan mual/muntah), 3 pemeriksaan fisik
(nyeri tekan, nyeri lepas dan demam) serta 2 pemeriksaan laboratorium (lekositosis dan “left
shift”). Diagnosis apendisitis sangat mungkin bila skor diatas 7. Skoring lain dengan
menggabungkan kadar CRP, hasilnya tidak terlalu berbeda banyak.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding apendisitis sangat banyak, baik kelainan traktus digestivus, urogenital,
ginekologis maupun kelainan non-bedah. Salah satu contoh diagnosis banding yang diusulkan
untuk dipikirkan adalah sbb :

8
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium apendisitis sama dengan pemeriksaan laboratorium
kelainan abdomen lainnya, minimal berupa darah rutin, tes fungsi hepar, urinalisis dan tes
kehamilan pada wanita usia subur. Tambahan pemeriksaan sesuai dengan indikasi seperti
gula darah dan faal ginjal. Hitung lekosit dan adanya “shift to the left” merupakan
pemeriksaan yang bermakna. Demikian pula kadar C-reaktif protein bila digabungkan dengan
pemeriksaan lainnya. Kadar CRP yang lebih dari 5 menunjukkan kemungkinan apendisitis bila
digabungkan dengan pemeriksaan lainnya.
Urinalisis merupakan pemeriksaan penting karena nyeri abdomen juga sering disebabkan
kelainan traktus urogenital. Urinalisis abnormal didapati pada 48% kasus apendisitis,
dikarenakan letak apendiks yang dekat ureter, karenanya interpretasi urinalisis harus hati-
hati.
2. Foto polos abdomen. Untuk mendukung diagnosis apendisitis, foto polos abdomen tidak
spesifik, sangat tidak sensitif dan tidak banyak manfaatnya. Berguna untuk melihat apakah
ada obstruksi atau perforasi
3. Kontras Barium. Banyak yang berpendapat kontras barium / apendikogram tidak banyak
manfaatnya untuk penegakan diagnosis apendisitis. Selain tidak nyaman untuk penderita,
sensitifitas dan spesifitasnya rendah. Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung meski dapat
dilakukan, bukan merupakan pemeriksaan penunjang pilihan
9
4. Ultrasonografi. Graded compression pada waktu pemeriksaan USG dapat meningkatkan
sensitivitas. Diagnosis apendisitis ditegakkan bila apendiks visualize , non kompresibel dengan
diameter > 7 mm. Non visualize apendiks tidak selalu serta merta dianggap bukan apendisitis,
oleh beberapa ahli radiologi dianggap sebagai non-diagnostik saja. Kelemahan lain
pemeriksaan USG apendiks selain operator dependent, adalah sulit pada orang gemuk dan
apendiks letak retrocaecal.
Keunggulan pemeriksaan USG terbukti dapat menurunkan angka negatif apendektomi
dari 20% ke angka 3% saja, aman pada wanita hamil dan anak-anak
5. CT-Scan. Sensitivitas CT-scan apendisitis 90 – 100%, spesifisitas 91 – 99%, PPV 92 – 98% dan
NPV 95 – 100%. Apendisitis pada CT-scan adalah bila : 1. Pelebaran lumen apendiks (> 6 mm
disertai gambaran inflamasi, atau > 8mm tanpa inflamasi) 2. Penebalan dinding apendiks >
2mm 3. Adanya apendikolith (>30%) 4. Inflamasi periapendiks. Bila didapati apendiks non
visualize atau tidak ada tanda inflamasi, maka diagnosis apendisitis dapat dikesampingkan.
Kelemahan CT-scan adalah mahal dan bahaya radiasi. Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
dilakukan pada kasus yang meragukan dengan pemeriksaan penunjang lain
6. Laparaskopi. Laparaskopi selain untuk terapi dapat pula dilakukan untuk diagnostik bila
pemeriksaan penunjang lain tidak konklusif dan keluhan penderita tidak berkurang. Tidak
pernah dilakukan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung.

7. Penatalaksanaan
Karena morbiditas dan mortalitas komplikasi tinggi, maka usus buntu yang meradang harus
dilakukan pembedahan sebelum terjadinya perforasi atau abses. Sebelum tindakan operasi,
penanganan pendahuluan adalah mempuasakan pasien, memberikan infus dan antibiotika.
Pemberian anti nyeri sebelum diagnosis ditegakkan merupakan kontroversi, namun bila penderita
kesakitan pemberian antinyeri dianjurkan. Waktu operasi dianjurkan kurang dari 24 jam setelah
gejala pertama muncul, agar tidak terjadi perforasi.

Operasi apendisitis akut dilakukan dengan insisi “grid iron” / muscle splitting pada Mc Burney dan
umumnya dapat diselesaikan. Pada keadaan tertentu, misalnya perlengketan dan apendiks
retrosaekal kadang diperlukan perluasan sayatan. Bila sudah perforasi dan jelas terjadi peritonitis
generalisata, operasi dilakukan dengan laparotomi / celiotomi pada garis median atau
paramedian kanan.
Operasi laparaskopi merupakan pilihan lain dan banyak memberikan keuntungan, seperti waktu
tinggal rumah sakit lebih singkat, penyembuhan luka lebih baik dan lebih mudah dilakukan pada
penderita gemuk. Kerugiannya mahal.
8. Edukasi
Apendisitis akut tidak berhubungan dengan konsumsi buah-buahan berbiji, sehingga
penderita tidak usah takut memakan buah-buahan sesudah operasi apendektomi. Tindakan
operasi diperlukan untuk mencegah bahaya perforasi yang bisa mengakibatkan peritonitis difusa
9. Komplikasi
Komplikasi radang apendiks adalah perforasi yang menyebabkan peritonitis,
pembentukan abses, pembentukan massa periapendikuler dan menjadi apendisitis kronis.
Komplikasi pasca operasi adalah infeksi luka operasi, fistula apendiks dan adhesi.

10
10. Prognosis
Baik

11. Kepustakaan
1. Sjamsuhidajat R, de Jong Wim ed 2: Buku Ajar Ilmu Bedah : 640 - 646
2. Williams S Norman, Bulstrode CJK, O’Connel PR : Bailey & Love’s Short Practice of Surgery 25 th
ed: 1204 – 1218

11
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
HEMOROID
1. Pengertian
Hemoroid adalah pelebaran plexus vena anus, biasanya plexus vena hemoroidalis
internus yang mengakibatkan perubahan pada bantalan anus / anal cushion. Pelebaran plexus
vena banyak sekali didapati namun sebagian besar asimptomatis; karenanya hemoroid di artikan
sebagai pelebaran plexus dan anal cushion yang menimbulkan keluhan pada penderita. Hemoroid
eksterna jarang dijumpai, biasanya merupakan kelanjutan dari hemoroid interna (hemoroid
interna-eksterna)

2. Anamnesis
1. Perdarahan per anum. Perdarahan peranum merupakan keluhan utama dan muncul sejak
awal. Darah keluar bersamaan atau sesudah buang air besar, mula-mula sedikit kemudian
makin banyak dan sering. Sesudah buang air besar, darah keluar menetes.
2. Prolaps. Berikutnya penderita mengeluh keluar benjolan bersamaan dengan buang air besar
dan dapat masuk kembali spontan. Bila dibiarkan lama-lama benjolan yang keluar tidak dapat
masuk sendiri dan harus dimasukkan dengan jari. Benjolan kemudian keluar bahkan tanpa
menyertai buang air besar, misalnya sewaktu kegiatan fisik bahkan kegiatan fisik yang ringan
sekalipun. Dan benjolan hemoroid yang keluar pada akhirnya tidak bisa dimasukkan lagi /
prolaps
3. Discharge. Discharge berupa mukus menyertai prolaps hemoroid dan sangat mengganggu
karena menyebabkan daerah anus selalu basah
4. Nyeri. Hemoroid yang tanpa komplikasi tidak menimbulkan nyeri, hanya perasaan tidak
nyaman saja. Adanya yeri menunjukkan komplikasi seperti infeksi atau thrombus

3. Patofisiologi
Adanya tekanan pada daerah anus menyebabkan terdorongnya anal cushion ke arah
caudal dan menyebabkan berkurangnya elastisitas anal cushion, pelebaran vena dan
menyebabkan anal cushion tidak dapat kembali pada waktu defekasi. Perubahan anal cushion-nya
sendiri disebabkan oleh diet dan konsistensi feses, proses penuaan dan hipertonia daerah anus.

4.Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi. Pada hemoroid stadium 1 atau 2 pemeriksaan pada anus tidak ditemukan kelainan,
karena pelebaran venanya berada didalam anus. Pada hemoroid stadium lanjut terlihat
benjolan pada jam 3, 7, 11 atau adanya lipatan kulit dan skin tag. Bila penderita diminta
mengejan, benjolan baru terlihat keluar pada stadium 2 dan 3.
2. Pemeriksaan Colok Dubur. Pemeriksaan colok dubur pada hemoroid interna tidak akan
menemukan benjolan apapun, karena vena yang melebar akan kolaps. Kecuali bila telah
terjadi thrombus, akan teraba benjolan thrombus.
3. Proktoskopi. Dengan pemeriksaan proktoskopi, akan terlihat pelebaran vena di anus di lumen
alat protoskopi / anuskopi. Pemeriksaan ini diperlukan pada hemoroid derajat 1 atau 2.
4. Sigmoidoskopi. Sigmoidoskopi diperlukan bila ada kecurigaan kelainan lain diatas anus,
misalnya tumor / polip pada rektum yang menyebabkan perdarahan dan gejalanya mirip
hemoroid

12
5.Diagnosis
Diagnosis hemoroid mudah dilakukan dengan anmnesis dan pemeriksaan fisik daerah
anus dan pemeriksaan colok dubur pada stadium 3 dan 4, namun sulit bila masih dalam stadium
awal.
1. Hemoroid derajat 1 : keluhan perdarahan waktu defekasi, hanya bisa didiagnosis dengan
anuskopi
2. Hemoroid derajat 2 : prolaps waktu defekasi, namun masih bisa masuk spontan
3. Hemoroidderajat3 : prolaps waktu defekasi dan tidak dapat masuk spontan, harus
dimasukkan dengan jari penderita
4. Hemoroid derajat 4 : prolaps dan tidak dapat dimasukkan

6.Diagnosis Banding
1. Keganasan pada kolon dan rektum
2. Tuberkulosis kolon dan rektum
3. Prolaps rekti

7.Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis hemoroid.

8.Penanganan
Prioritas penanganan adalah konfirmasi diagnosis hemoroid dan menyingkirkan penyakit
lain yang gejalanya buang air besar disertai darah, terutama karsinoma kolon. Hemoroid derajat 1
dan 2 penanganannya secara medikamentosa, diit tinggi serat, diit mengurangi berat badan dan
mengurangi kebiasaan mengejan pada defekasi.
Terapi operatif dilakukan pada derajat 3 dan 4, berupa :
1. Banding dengan Barron’s bander
2. Operasi terbuka Milligan-Morgan
3. Stapled hemorhoidectomy (Longo)
Komplikasi operasi dapat berupa :
1. Nyeri
2. Perdarahan reaksioner
3. Retensi urin
4. Perdarahan sekunder
5. Striktur ani
6. Inkontinens

9.Edukasi
Pada hemoroid stadium 1 dan 2, diit tinggi serat dan kebiasaan defekasi dapat
mengurangi dan menyembuhkan. Bila penderita gemuk sehingga tekanan abdomen tinggi,
dianjurkan juga mengurangi berat badan. Setelah operasi pada derajat 3 dan 4, untuk mencegah
kekambuhan juga dianjurkan diit tinggi serat

13
10. Prognosis
Prognosis untuk kesembuhan baik, penderita dapat sembuh sempurna dengan terapi
konservatif maupun operatif

11. Kepustakaan
1. Brunicardi FC et al : Schwartz’s Principles of Surgery, 9th ed
2. Samsjuhidayat, de Jong : Buku Ajar Bedah edisi 3
3. Williams N, Bulstrode CJK, O’Connel P : Bailey & Love’s Short Practice of Surgery 25th ed

14
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
CEDERA KEPALA

1. Pengertian
Cedera pada kepala dapat menyebabkan cedera pada otak, sehingga sebenarnya yang
merupakan masalah adalah cedera pada otak, Traumatic Brain Injury / TBI. Merupakan trauma
yang sering terjadi pada golongan umur muda akibat kecelakaan lalulintas dengan mortalitas dan
morbiditas tinggi.
2. Patofisiologi
Otak dilindungi oleh tulang tengkorak yang kuat, dan cairan serebrospinal sebagai
peredam. Tekanan dalam rongga tengkorak berada dalam keadaan seimbang (5 – 15 mmHg /6-18
cmH2O). Adanya penambahan volume pada rongga tengkorak secara mendadak mengakibatkan
tekanan intra kranial meningkat. Kompensasi dilakukan dengan mengurangi cairan serebrospinal
dan darah vena yang akan mengakibatkan bertambahnya edema serebri (Hukum Monro – Kellie).
Tekanan intrakranial yang tinggi akhirnya menyebabkan gangguan fungsi otak dan terjadi herniasi
otak
3. Anamnesis
Adanya trauma / cedera pada kepala yang biasanya merupakan trauma multipel.
4. Pemeriksaan Fisik
Karena merupakan bagian dari cedera multipel dan biasanya akibat kecelakaan lalulintas,
dilakukan survey primer ABCD dan resusitasi secara simultan untuk menstabilkan fisiologi
penderita. Diperiksa jalan napas apakah paten atau tidak sambil dipasang cervical collar. Bila ada
gangguan jalan napas segera dibebaskan dengan basic airway manuver, bila perlu dipasang jalan
napas definitif. Breathing diperiksa dan dilakukan resusitasi. Bila ada trauma penyerta yang
menyebabkan shock hemoragik segera hentikan perdarahan dan infus RL. Pemeriksaan disability
untuk memeriksa Glasgow Coma Scale, pupil dan nerologis.
Selain pemeriksaan GCS dan pupil, perlu diperiksa apakah ada fraktur tulang tengkorak
atau tidak. Fraktur cranium bisa terjadi pada atap tengkorak dan dasar tengkorak / basis cranii.

5. Diagnosis
Setelah ABC stabil, dilakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale untuk menentukan berat
ringannya cedera kepala. Glasgow Coma Scale / GCS terdiri dari 3 komponen yaitu E (eye
opening), M (best motor response) dan V (verbal respons).
1. Cedera Kepala Ringan / CKR : GCS 14 – 15
2. Cedera Kepala Sedang / CKS : GCS 9 – 13
3. Cedera Kepala Berat / CKB : GCS < atau 8
Fraktur cranium ditandai dengan deformitas pada atap tengkorak. Perlu didiagnosis apakah ada
fraktur tulang temporal yang dapat mengakibatkan perdarahan epidural. Fraktur basis cranii
ditandai dengan perdarahan hidung / telinga, Battle’s sign, raccoon’s eyes atau keluarnya cairan
cerebrospinal.
6. Diagnosis Banding
Tidak ada
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Brain CT-scan tanpa kontras bila terdapat penurunan GCS atau ada indikasi lain (sakit
kepala hebat, mual dan muntah).

15
8. Penanganan
1. Karena merupakan bagian dari trauma multipel, penanganan dimulai dengan ABC
2. Untuk CKR dilakukan observasi di UGD selama paling kurang 2 jam. Bila keadaan membaik,
penderita bisa dipulangkan dengan nasehat untuk segera kembali ke rumah sakit bila ada
keluhan seperti sakit kepala dan kesadaran yang menurun
3. Pada penderita dengan CKS dilakukan CT-scan untuk melihat apakah ada kontusio /
perdarahan, dan tekanan intrakranial yang meningkat. Selanjutnya penderita dirawat di
ruangan untuk diobservasi selama paling kurang 24 jam. Pada observasi di ruangan dilihat
apakah ada perbaikan / perburukan dan apakah ada indikasi untuk dilakukan intervensi bedah
seperti adanya EDH atau subdural hematom dengan tekanan intrakranial yang tinggi
4. Pada penderita CKB, selalu dipasang jalan napas definitif dan dirawat di ruang intensif untuk
mendapatkan bantuan napas dengan mesin pernapasan.

9. Edukasi
Edukasi dilakukan pada keluarga yang merawat penderita dengan CKR di rumah.
Penderita dibangunkan tiap 2 jam pada 24 jam pertama untuk mengetahui apakah ada tanda
perburukan kesadaran atau tidak. Penderita harus ada yang menemani di rumah. Perasaan sakit
kepala, mual dan muntah mungkin dapat menetap beberapa minggu / bulan. Penderita jangan
bekerja berat
Pada penderita dengan CKS, perawatan diperlukan untuk mencegah terjadinya cedera
sekunder yaitu edema otak.
Sedang pada CKB dilakukan edukasi bahwa prognosis untuk hidup tidak baik, dan bila
sembuh kemungkinan ada gejala sisa seperti ingatan yang berkurang atau cacat fisik.

10. Prognosis
1. CKR biasanya baik
2. CKS kurang baik
3. CKB buruk

11. KEPUSTAKAAN
1. Student Manual ATLS edisi 9 th 2012 - ACS

16
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
FRAKTUR
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
biasanya disebabkan oleh trauma. Fraktur patologis terjadi pada geriatri dan penderita kelainan
tulang seperti tumor. Fraktur tulang saja jarang mengancam nyawa, kecuali menyebabkan
gangguan fisiologis seperti terjadinya gangguan jalan napas pada fraktur mandibulla, hemotoraks
dan shock hemoragik akibat fraktur pelvis. Fraktur tulang selalu disertai dengan kerusakan
jaringan lunak.
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana tulang tidak berhubungan dengan dunia luar, sedang
fraktur terbuka bila fragmen tulang berhubungan dengan dunia luar. Fraktur terbuka derajat 1
bila luka kecil, kurang dari 2 sentimeter dan biasanya disebabkan fragmen tulang yang keluar
menembus kulit. Fraktur terbuka derajat 2 bila luka lebar lebih dari 2 sentimeter, kerusakan
jaringan lunak banyak dan biasanya disebabkan trauma tumpul. Fraktur terbuka derajat 3 bila
kerusakan jaringan lunaknya luas.
2. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya diketahui adanya trauma yang cukup signifikan yang
mengakibatkan fraktur. Penderita mengeluh nyeri pada tempat fraktur, bengkok atau hanya
bengkak / deformitas, nyeri bila digerakkan atau samasekali tidak dapat digerakkan. Bila terdapat
gangguan neurovaskuler distal fraktur maka penderita juga mengeluh kesemutan atau gangguan
sensibilitas / motorik dan mencari komplikasi sindroma kompartemen.
3. Pemeriksaan Fisik
Biasanya dengan pemeriksaan fisik saja dapat mendiagnosis patah tulang. Inspeksi terlihat
tempat fraktur bengkak, bengkok, luka, dan pada fraktur terbuka bisa terlihat fragmen tulang
menonjol. Pada palpasi didapati nyeri pada tempat fraktur dan teraba krepitasi. Harus diperiksa
denyut arteri distal fraktur untuk mengetahui adanya gangguan vaskuler. Bila perlu penderita
diminta menggerakkan tulang yang patah, meski harus diingat bahwa ekstremitas yang dapat
digerakkan bukan berarti tidak fraktur.
4. Diagnosis
Diagnosis patah tulang sebagian besar dapat dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi dan menggerakkan ekstremitas / tulang yang patah. Hanya
sebagian kecil yang perlu pemeriksaan penunjang untuk menentukan ada tidaknya fraktur
5. Diagnosis Banding
-
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang rontgen foto selain untuk konfirmasi, sebenarnya dimaksudkan
untuk merencanakan penatalaksanaan fraktur yang optimal. Syarat foto pada ekstremitas adalah
memperlihatkan 2 sendi di sebelah proksimal dan distal fraktur, 2 pandangan AP dan lateral, dan
bila perlu 2 ekstremitas (kanan dan kiri) untuk perbandingan. Dengan foto rontgen diketahui garis
fraktur, dislokasi antar fragmen, terjadi kontraksi atau distraksi pada fragmen tulangnya.

7. Penanganan
Penanganan fraktur pertama ditujukan pada trauma yang mengancam nyawa penderita /
life threatening yaitu jalan napas, ventilasi, perfusi atau ABC. Setelah ABC stabil, baru diperiksa
frakturnya dan kemungkinan limb threatening. Yang perlu diperhatikan pada fraktur adalah

17
jangan dilupakan menangani jaringan lunaknya. Pada fraktur tertutup, periksa vaskuler distal, bila
ada gangguan lakukan realignment. Pada luka terbuka lakukan wound toilet dengan saksama,
perdarahan dihentikan dengan perban tekan. Setelah itu pasang bidai meliputi sendi proksimal
dan distal. Guna bidai adalah untuk mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut, mengurangi
nyeri, mengurangi perdarahan dan mencegah emboli lemak. Setelah memasang bidai periksa
kembali denyut nadi distal fraktur. Bila didapati sindroma kompartemen, lakukan fasciotomi.
Penanganan definitif pada fraktur dapat berupa :
1. Proteksi saja, misalnya pada fraktur inkomplit
2. Imobilisasi, pada fraktur dengan posisi baik atau fraktur inkomplit
3. Reposisi tertutup dan imobilisasi
4. Reposisi dan / atau traksi
5. Reposisi terbuka dan fiksasi interna
6. Reposisi terbuka dan fiksasi eksterna

7.Komplikasi
Komplikasi segera pada patah tulang adalah adanya gangguan fisiologis yang mengancam
nyawa seperti gangguan jalan napas, ventilasi dan perfusi shock. Juga gangguan lokal seperti
gangguan neurovaskuler. Gangguan neurovaskuler yang perlu diantisipasi adalah sindroma
kompartemen yang ditandai dengan six P’s : pain, pallor, paresthesia, diminish pulses, paralysis
dan pressure. Emboli lemak pada fraktur tulang panjang meski jarang, fatal. Pada penderita
geriatri karena baring lama sering didapati gangguan paru dan dekubitus. Sedang komplikasi pada
penyembuhan fraktur bisa terjadi malunion atau salah sambung, delayed union atau
penyembuhan yang lama dan non union atau tidak sembuh sama sekali. Delayed union biasanya
disebabkan oleh infeksi atau kurang gizi, sedang non union disebabkan adanya interposisi otot
atau pada penderita geriatri dengan fraktur columna femoris yang tidak ditangani dengan baik
8.Prognosis
Prognosis untuk hidup umumnya baik, sedang prognosis untuk fungsi tergantung dari
frakturnya sendiri, umur penderita, penanganan, ada tidaknya komplikasi infeksi.

9. Edukasi
Penyembuhan fraktur memerlukan waktu dan terjadi bertahap. Bila dipasang gips, agar
dijaga tidak kotor dan patah. Bila gips terlalu ketat dan terasa sakit serta kesemutan, penderita
segera kembali ke rumah sakit. Setelah tindakan operasi, dijaga agar tidak infeksi. Bila diperintah
dokter untuk tidak mempergunakan ekstremitas untuk sementara, misalnya tidak menapakkan
kaki atau harus memakai tongkat, harus dipatuhi agar penyembuhan dapat sempurna.
10. Kepustakaan
1. Applly’s System of Orthopedics
2. Robertb. Salter- Musculosceletal

18
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
BATU TRAKTUS URINARIUS
1. Pengertian
Penyakit batu saluran kemih adalah adanya batu di saluran kemih baik di ginjal, ureter,
buli-buli atau uretra. Merupakan kelainan nomer tiga terbanyak dari penyakit traktus urinarius
sesudah infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat jinak
2. Anamnesis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung letak batu, besar batu dan komplikasi
yang telah terjadi. Keluhan yang paling sering dikemukakan adalah nyeri pada pinggang. Nyeri
biasanya berupa nyeri kolik akibat aktivitas peristaltik yang meningkat dari otot polos kaliks dan
ureter dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Rasa nyeri dapat dirasakan
sampai ke skrotum dan paha. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena
terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Batu yang terletak di distal ureter dirasakan pasien
sebagai nyeri pada saat kencing. Keluhan hematuri disebabkan adanya trauma pada mukosa
saluran kemih oleh batu. Adanya demam menunjukkan adanya infeksi dan harus diperiksa apakah
ada urosepsis.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mungkin tidak didapati kelainan. Hidronefrosis dapat diperiksa dengan
terabanya ballotement ginjal, infeksi dapat diperiksa dengan nyeri ketok kostovertebra. Batu di
uretra dapat diperiksa dan teraba sebagai massa keras di uretra.
4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan sebagai batu traktus urinarius : batu ginjal, ureter, buli-buli atau
uretra
5. Diagnosis Banding
1. Infeksi traktus urinarius
2. Keganasan traktus urinarius

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya infeksi dan hematuri
2. Pemeriksaan darah rutin dan fungsi ekskresi ginjal : ureum kreatinin
3. Foto polos abdomen. Untuk melihat batu opak pada saluran kemih yaitu kalsium oksalat
dan kalsium fosfat.
4. Pielografi intravena untuk menilai anatomi dan fungsi ginjal. Bila tidak memungkinkan
dilakukan pielografi intravena, pielografi dilakukan secara retrograd
5. Ultrasonografi pada pasien yang tidak dapat dilakukan PIV atau sebagai penyaring
6. URS / ureteroskopi .

7. Penanganan
Batu saluran kemih harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya penyulit berupa obstruksi
dan infeksi. Pada batu kecil tanpa komplikasi dapat dilakukan terapi medikamentosa, sedang
batu yang tidak dapat keluar spontan dilakukan tindakan pembedahan.
1. Medikamentosa. Ditujukan pada batu kecil (diameter kurang dai 5 mm) yang diharapkan
dapat keluar spontan. Terapi medikamentosa berupa anti nyeri, diuretik dan minum
banyak

19
2. ESWL / Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada batu kecil di ginjal dan ureter
proksimal tanpa kelainan anatomis traktus urogenital
3. Endourologi : PNL, litotripsi
4. Bedah Laparoskopi
5. Bedah terbuka : nefrolitotomi, ureterolitotomi, vesikolitotomi dan uretrolitotomi

8. Edukasi
Edukasi ditujukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan, karena rata-rata kekambuhan
cukup tinggi yaitu 7% pertahun atau kurang lebih 50% dalam waktu 10 tahun. Umumnya
edukasi ditujukan :
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup sehingga produksi urin sebanyak 2 – 3 liter
perhari
2. Diit untuk mengurangi kadar kadar zat pembentuk batu seperti rendah oksalat, rendah
garam dan rendah purin
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Obat secara teratur

9. Komplikasi
1. Infeksi traktus urinarius sampai urosepsis
2. Gagal ginjal

10. Prognosis
Tergantung ada tidaknya penyulit obstruksi dan infeksi serta fungsi ginjal. Angka kekambuhan
cukup tinggi
11. Kepustakaan
1. Basuki B Purnomo : Dasar-dasar Urologi Edisi ketiga.
2. Smith’s General Urology ed. 18

20
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
CHOLELITHYASIS

1.Pengertian
Cholelithyasis adalah batu yang terdapat dalam kantung empedu.

2.Anamnesis
Nyeri yang bersifat kolik pada perut kanan atas, sering dijalarkan di bawah skapula kanan. Hal ini
disebabkan oleh penyumbatan yang intermiten pada duktus sistikus karena batu kantung
empedu. Dapat disertai mual, muntah, dan dyspepsia.

3.Patofisiologi
1. Gangguan keseimbangan komposisi cairan empedu
Kelarutan kolesterol dalam empedu karena garam empedu dan lesitin yang membentuk
agregat halus disebut Micelle. Adanya micelle ini memungkinkan kolesterol diangkut dalam
empedu melewati traktus biliaris ke intestinum. Kelarutan micelle mempunyai kapasitas
tertentu yang dilukiskan menurut segitiga Admiral
2. Gangguan pengosongan kantung empedu
Predisposisi karena infeksi, peningkatan absorbsi air, peningkatan absorbsi selektif terhadap
zat-zat dalam cairan empedu
3. Radang
Mukosa yang meradang memudahkan absorbsi garam empedu sehingga keseimbangan
terganggu. Peradangan terjadi pembentukan mukus, mukus meningkatkan viskositas dan
unsur seluler atau bakteri sebagai nidus untuk terbentuknya presipitat

4.Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan perut kanan atas, dapat teraba pembesaran kantung empedu , tanda Murphy’s sign +
bila telah terjadi infeksi atau cholecystitis

5.Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada keluhan pasien serta pemeriksaan fisik, yaitu nyeri yang bersifat kolik
pada perut kanan atas, sering dijalarkan di bawah skapula kanan, nyeri tekan perut kanan atas,
teraba pembesaran kantung empedu , tanda Murphy’s sign +

6.Pemeriksaan Penunjang
Lab: tidak spesifik, lekositosis bila ada infeksi
FPA: < 10% radioopaque
USG: sensitifitas sampai 98%, spesifitas 97,7%, mudah, aman, non invasif, tidak perlu persiapan,
murah, dapat dilakukan pada semua penderita
CT scan, MRCP, ERCP bila perlu

7.Penanganan
Pengelolaan cholelithyasis adalah dilakukan cholecystectomy, yaitu mengambil atau
mengangkat kantung empedu. Kantung empedu bila diangkat tidak ada masalah dengan badan.

21
Karena fungsinya hanya sebagai tempat penyimpanan cairan empedu sementara dan
memekatkan.
Ada 2 macam operasi yaitu operasi terbuka (laparotomy/open cholecystectomy) dan
operasi laparoscopy cholecystectomy. Operasi terbuka berarti membuka lebar perut kemudian
mengambil kantung empedu, sedang laparoscopy cholecystectomy adalah operasi pengangkatan
kantung empedu menggunaka tehnologi canggih dimana perut diisi gas karbondioksida, kemudian
ditusuk dengan trochar dan dimasuki alat-alat yang digunakan untuk operasi, dan operator
melihat arena operasi melalui monitor. Kadang terdapat penyulit yang akan menyulitkan operasi
laparoscopy cholecystectomy seperti organ yang tidak normal kedudukannya, perlengketan,
perdarahan saat operas, dan lain-lain, sehingga laparoscopy cholecystectomy tidak dapat
dilanjutkan dan harus dilakukan konversi terbuka. Hal ini bukan kegagalan laparoscopy tetapi
lebih untuk keamanan pasien.
Komplikasi operasi dapat berupa:
1.Terpotongnya organ yang seharusnya tidak dipotong, karena organ tidak normal kedudukannya
atau faktor perlengketan sehingga timbul kebocoran saluran empedu
2.Perdarahan
3.Menciderai organ sekitarnya

8. Edukasi
Sering orang khawatir dengan tidak memiliki kantung empedu, hal ini dapat dihilangkan dengan
edukasi bahwa kantung empedu hanya sebagai tempat penyimpanan sememtara dan
memekatkan cairan empedu sebelum disalurkan ke usus dua belas jari. Jika tidak punya kantung
empedu maka cairan empedu akan langsung mengalir dari hari melalui saluran empedu lalu ke
usus dua belas jari untuk mencerna lemak. Ada sedikit gangguan berupa diare yang yang sifatnya
sementara yang hanya diderita sebagian kecil pasien.

9. Prognosis
Prognosis untuk kesembuhan baik, penderita dapat sembuh sempurna

10. Kepustakaan
1. Haile T. Debas. Gasrointestinal Surgery. Pathophysiology and Management.
Springer:2004.p.198-238.
2. Hobart W. Harris. Biliary system. In: Jeffrey A. Norton, R. Randal Bollinger, Alfred E. Chang et
al Editors. Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. Springer; 2001.p.553-84.
3. R. Samsjuhidayat, Wim de Jong. Buku Ajar Bedah edisi Revisi. Saluran Empedu dan Hati.
EGC;1997.hal.767-

22
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
TETANUS

1. PENGERTIAN
Suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh clostridium
tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.

2. ANAMNESIS
a. Riwayat adanya luka ditentukan dengan masa inkubasi untuk menentukan prognosis.
Makin singkat periode onset < 48 jam dan < 7 hari menunjukan makin berat
penyakitnya.
b. Trias tetanus : rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom.
c. Riwayat terjadinya kejang, pasien dalam kondisi sadar, setelah kejang pasien tetap
sadar. Ditanyakan lama kejang dan frekuensi dalam sehari.
d. penderita apakah sudah mendapat imunisai tetanus atau belum.

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Ketegangan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul kesukaran
membuka mulut (trismus/lockjaw) karena spasme otot masseter disertai dengan
disfagia.
b. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (epistotonus, nuchal rigidity)
c. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas,
sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
d. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai ekstensi,
lengan kaku mengepal, kesadaran tetap baik.
e. Gejala otonom seperti hiperpireksia, hiperhidrosis, exhausting, aritmia,
peningkatan/penurunan tekanan darah yang fluktuatif.
f. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensio
urin, bahkan terjadi fraktur collumna vertebralis.

4. KRITERIA DIAGNOSTIK
Diagnosa tetanus dapat diketahui dari klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan
saat pemeriksaan.
a. Kejang tetanik, trismus, disfagia, risus sardonicus
b. Riwayat luka yang mendahului.
c. Uji spatula  menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan
ujung yang lembut dan steril. Hasil positif jika terjadi kontraksi rahang involunter
(menggigit spatula) dan hasil negative berupa reflex muntah.
d. Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal.
e. Kultur bakteri dari luka didapatkan C.tetani
f. Laborat lainnya : SGOT CPK meninggi disertai adanya myoglobinuria, Pemeriksaan
elektrolit serta analisis gas darah

23
Severitas tetanus berdasarkan Phillips
Faktor Skor
Masa Inkubasi
 < 48 Jam 5
 2 - 5 Hari 4
 5 -10 Hari 3
 10 - 14 hari 2
 > 14 hari 1
Lokasi Infeksi
 Organ Dalam dan Umbilikus 5
 Kepala, Leher, dan Badan 4
 Perifer Proksimal 3
 Perifer Distal 2
 Tidak diketahui 1
Status Proteksi
 Tidak ada 10
 Mungkin ada atau Imunisasi pada ibu bagi 8
pasien-pasien Neonatus
 Terlindungi > 10 tahun 4
 Terlindungi > 10 Tahun 2
 Proteksi Lengkap 0
Faktor-faktor Komplikasi
 Cedera atau penyakit yang mengancam 10
nyawa
 Cedera berat atau penyakit yang tidak 8
segera mengancam nyawa
 Cedera atau penyakit yang tidak 4
mengancam nyawa
 Cedera atau penyakit minor 2
 ASA gradel 0

Philips Score <9, Severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat.

5. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus

6. DIAGNOSIS BANDING
1. Penyakit infeksi
a. Meningoencepalitis : demam, trismus tidak ada, sensorium depresi.
b. Polio : trismus tidak ada, paralisis tipe flaccid.
c. Rabies
riwayat gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya spasme
oropharingeal.
d. Lesi oropharingeal

24
rigiditas dan spasme otot seluruh tubuh tidak ada.
e. Peritonitis
trismus atau spasme seluruh tidak ada.
2. Kelainan metabolic
a. Tetani
hanya spasme carpopedal dan laryngeal, hypocalcemia
b. Keracunan strychnine : relaksasi komplet diantara spasme
c. Reaksi phenothiazine : dystonia, respone dengan dipenhidramin.
3. Penyakit central nerve system
a. Status epileptikus : sensorium depresi
b. Hemoriage stroke or tumor : trismus tidak ada. Sensorium depresi.
4. Kelainan psikiatri
a. Hysteria
trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme
5. Kelainan musculoskeletal
a. Trauma
b. hanya local.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah.
b. Laborat lainnya : SGOT CPK meninggi disertai adanya myoglobinuria, Pemeriksaan
elektrolit serta analisis gas darah

8. TERAPI
Tiga sasaran penatalaksanaan tetanus
1. Membuang sumber tetanospamin
a. Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres denga H2O2
/ perhidrol.
b. Antibiotik
 Lini pertama metronidazole dengan dosis inisial bolus intravena
15 mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis rumatan 30 mg/kgBB setiap
6 jam selama 7-10 hari.
 Lini kedua penicillin procain 50.000-100.000 U/KgBB/hari selama
7-10 hari dosis yang direkomendasikan 100.000 U/KgBB/Hari
dengan bolus intravena selama 10 hari, bila hipersensitivitas
terhadap penicillin prokain dapat diberi tetracycline 50
mg/KgBB/hari (untuk anak > 8 tahun).

2. Menetralisir toksin yang tidak terikat


a. Human tetanus immunoglobulin (HTIG)
Diinjeksikan IM dengan dosis total 3000-10.000 unit dibagi 3 dosis yang
sama dan diinjeksikan ditiga tempat berbeda.
Sediaan HTIG 1 Ampul 250 IU

25
Kontra indikasi HTIG
 Riwayat hipersensitifitas terhadap immunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya.
 Pasien dengan trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lainnya tidak boleh diberikan suntikan secara intramuscular.
b. Anti tetanus serum ( ATS )
Digunakan bila tidak tersedia HTIG dengan dosis 100.000-200.000 unit
diberikan 50.000 unit intramuscular dan 50.000 unit intravena pada hari
pertama , kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-
masing pada hari ke 2 dan ke 3.
Sediaan ATS 1 Ampul 1500 unit

Selepas pasien dirawat, sebelum pulang dari rumah sakit pasien harus
diberikan imunisasi aktif dengan toksoid.

3. Perawatan suportif
a. Semua pasien curiga tetanus sebaiknya dirawat di ICU
b. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik pasien sebaiknya dirawat diruang tenang dan gelap.
c. Pasien diposisikan untuk mencegah aspirasi pneumonia
d. Pemberian cairan intravena sesuai dengan rumus rumatan.
e. Jaga patensi jalan nafas merupakan prioritas pertimbangan tindakan
intubasi, trakeostomi sebagai akses ventilator bila diperlukan.
f. Pemberian sedasi untuk rigiditas/spasme/kejang
Diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis untuk menghilangkan kejang/spasme akut. Dosis
rumatan diazepam 15-40 mg/kgBB/Hari dosis maksimal adalah
40mg/kgbb/hari.
Phenobarbital 120-200 mg/hari intravena
Chlorpromazine dapat diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis 50-
150 mg.
Magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme
dan disfungsi otonom dosis loading 5 gram (75mg/kgBB) iv bolus
pelan selama 30 menit dilanjutkan 1 sampai 3 gram/jam sampai
spasme terkontrol.
g. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam
jumlah yang cukup sehingga gula darah stabil.

9. KOMPETENSI
Dokter spesialis bedah , dokter spesialis saraf, dokter spesialis penyakit dalam, dokter
spesialis konsultan intensive care.

26
10. EDUKASI
1. Apabila terkena luka segera dibersihkan dan diperiksakan ke layanan kesehatan
segera.
2. Vaksinasi tetanus toksoid sesuai dengan usia.

11. PROGNOSIS
Prognosis dinilai berdasarkan Dakar Score
Factor prognosis Dakar Score
Score 1 Score 0
Periode inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Tempat masuk Umbilicus luka bakar, Selain dari yang telah
uterus, fraktur terbuka, luka disebut atau tidak
operasi, injeksi diketahui.
intramuskuler
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38,4 derajat Celcius < 38,4 derajat celcius
Takikardi Dewasa > 120 x/menit Dewasa < 120 x/menit
neonatus > 150x/menit Neonatus < 150x/menit
Interpretasi :
Skore 0-1 : severitas ringan dengan mortalitas 10%
Skore 2-3 : severitas sedang dengan mortalitas 10-20%
Skore 4 : severitas berat dengan mortalitas 20-40%
Skore 5-6 : severitas sangat berat dengan mortalitas > 50%

12. KEPUSTAKAAN
Laksmi ni komang, , penatalaksanaan tetanus, cermin dunia kedokteran-222 volume 41
jakarta, 2014
Rodrigo et al, pharmacological management of tetanus : an evidence-based review ,
critical care , 2014

27
DISCLAIMER
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BEDAH

Dokumen tertulis PPK Bedah serta perangkat implementasinya ini disertai dengan disclaimer
(wewanti/penyangkalan) untuk :
1. Menghindari kesalah-pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang
dimaknai harus melakukan sesuatu tanpa kecuali
2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai
orang yang dipercaya pasien

Adapun disclaimer tersebut :


1. Disclamer Utama yaitu :
a. PPK dibuat untuk average patient
b. PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
c. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi
d. PPK dianggap valid pada saat dicetak
e. Praktek Kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan
keluarga
2. Disclaimer tambahan, yang dapat disertakan pada disclaimer :
a. PPK dimaksudkan untuk tatalaksana pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap
tentang penyakit
b. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila merasa tidak menguasai atau
ragu dalam menegakkan diagnose dan memberikan terapi
c. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apapun yang terjadi akibat penyalah
gunaan PPK dalam tatalaksana pasien

28
PENUTUP

Dengan telah tersusunnya Panduan Praktik Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar
Prosedur Operasional bagi dokter spesialis Bedah yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
dan fasilitas pelayanan kesehatan di RSI Sultan Agung.

Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien ,
bermutu dan merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode
yang memadai. Semoga bermanfaat.

29

Anda mungkin juga menyukai