Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an al-Karim adalah sebuah kitab yang tidak datang kepadanya


kebatilan dari awal sampai akhirnya, yang diturunkan oleh Allah swt. Kitab yang
mendapat keistimewaan, yaitu yang mampu mencetak ulama besar yang tahu dan
mengerti tentang penafsiran nas-nas al-Qur’an dan ulama yang mengamalkan
hukum-hukum yang tersirat di dalamnya.

Al-Qur’an adalah tolok ukur wawasan pengetahuan keislaman, sejak dahulu


pada zaman Rasulullah saw sampai pada masa yang akan datang.

Al-Qur’an merupakan wahyu ilahi yang wajib dipahami kandungannya oleh


umat Islam agar supaya mampu mengaplikasikan ajaran yang terkandung di
dalamnya dengan baik dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah swt.
Salah satu cara memahami kandungan al-Qur’an adalah dengan mempelajari
tafsirnya.

Salah satu upaya pengembangan keilmuan yang saat ini tampaknya sedang
berjalan di seluruh perguruan tinggi Islam adalah penekanan pada penguasaan
metodologi untuk setiap keilmuan yang dikembangkan. Sebab disadari bahwa
hanya dengan penguasaan metodologilah suatu ilmu dapat berdaya guna bagi
pengembangan masyarakat dan peradaban.

Karya ilmiah yang diajukan oleh mahasiswa, dalam Tafsir Al-Qur’an masih
banyak menemui kesulitan dari sudut metodologi. Hal itu disebabkan karena
disamping metodologi itu sendiri masih terus berkembang dan bahkan ada yang
masih melewati diskursus yang berkepanjangan di kalangan para ahli, juga karena
masih minimnya buku metodologi yang dengan mudah dapat dipahami dan
diterapkan.

1
B. Rumusan Masalah

Olehnya itu, dengan didasari oleh latar belakang di atas, dalam makalah ini
penulis mencoba untuk memberikan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian metodologi penelitian tafsir?

2. Bagaimana Perkembangan Metodologi Penelitian Tafsir?

3. Bagaimana Posisi Metodologi Tafsir Dalam Ilmu Tafsir ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metodologi Penelitian Tafsir

1. Pengertian Metodolog

Metode berasal dari kata “Metode” artinya cara yang tepat untuk
melakukan sesuatu; dan “Logos” artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi
metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran
secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.1

Metodologi dalam pembuatan penelitian adalah menggambarkan


tentang tata cara pengumpulan data yang diperlukan guna menguji hipotesa atau
menjawab permasalahan yang ada. Dalam kegiatan ilmiah, metodologi
merupakan hal yang penting untuk menentukan secara teoritis teknik
operasional yang dipakai sebagai pegangan dalam mengambil langkah-langkah,
sehingga dapat diketahui tentang:2

a. Tata cara pengambilan sampel

b. Lokasi yang dijadikan obyek penelitian

c. Jumlah responden

d. Waktu yang diperlukan

e. Instrumen pengumpul data

f. Pengolahan dan analisis data yang diperlukan

g. Biaya (kalau ada)

Penelitian pada dasarnya merupakan “suatu upaya pencarian” dan bukan


sekedar mengamati secara teliti terhadap sesuatu obyek. Penelitian berasal dari
bahasa Inggris yaitu research yang berasal dari kata re (kembali) dan to search
(mencari). Dengan demikian secara logawiyah berarti “mencari kembali”.3
1
Cholid Narbuko dan Abu achmadi, Metodologi Penelitian, (Cet. III; Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 1

2
P.JokoSubagyo,MetodePenelitian(DalamteoridanPraktek),(Cet.II;Jakarta:RinekaCipta,1997),h.16

3
BambangSunggono,MetodologiPenelitianHukum,Jakarta;RajaGrapindoPersada:2006,h.27

3
Penelitian menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi dalam bukunya
Metodologi Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.4

Istilah penelitian (research) telah banyak didefenisikan oleh para ahli


dalam bidang metodologi research. Para ahli yang dimaksud antara lain sebagai
berikut:5

Hill Way dalam bukunya Introduction to research mendefenisikan


penelitian sebagai “a method of study by which, of all acertainable problem,
we reach a solution to the problem. (Suatu metode studi yang bersifat hati-hati
dan mendalam dari segi bentuk fakta yang dapat dipercaya atas masalah
tertentu guna membuat pemecahan masalah tersebut).

Sejalan dengan itu dikemukakan pula oleh Sutrisno Hadi bahwa


research dapat didefenisikan sebagai usaha menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha, yang dilakukan dengan
menggunakan metode-metode ilmiah. Penelitian adalah terjemahan dari bahasa
Inggris: research yang berarti usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang
dilakukan dengn suatu metode tertentu dan dengn cara hati-hati, sistematis serta
sempurna terhdap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk
menyelesaikan dan menjawab problemnya.6

Winarno Surachman mendefinisikan penelitian atau penyelidikan


sebagai kegiatan ilmiah mengumpulkan pengetahuan baru dari sumber-sumber
primer, dengan tekanan tujuan pada penemuan prinsip-prinsip umum, serta
mengadakan ramalan generalisasi di luar sampel yang diselidiki.

David H. Penny mengemukakan bahwa bahwa penelitian adalah


pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang
pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.

4
CholidNarbukodanAbuAchmadi,Op.Cit

5
Moh. Pabundu Tika, Metode Penelitian Geografi, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 1

6
Sutrisno Hadi, Metodologi research, (Jilid I; Yayasan penerbit Fakultas Psycologi; Universitas Gajah
Mada; yogyakarta, 1969), h. 2

4
J. Suprapto mengatakan penelitian adalah penyelidikan dari suatu
bidaang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau
prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati serta sistematis.7

Mohammad Ali Mengemukakan penelitian adalah suatu cara untuk


memahami sesuatu dengan melalui penyelidikan atau melalui usaha untuk
mencari bukti-bukti sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara
hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya.

Dari batasan-batasan di atas, diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud


dengan metodologi penelitian adalah : Suatu cabang ilmu pengetahuan yang
membicarakan/mempersoalkan mengenai cara-cara melaksanakan penelitian
(yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan,
menganalisis sampai menyusun laporannya) untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan atau masalah guna
mencari pemecahan terhadap masalah tersebut berdasarkan fakta-fakta atau
gejala-gejala secara ilmiah.

Dengan demikian dalam penelitian terdapat lima unsur yang perlu


diperhatikan, yaitu:8

a. Unsur ilmiah, adalah penggunaan ilmu pengetahuan dan langkah-langkah


penelitian sebagai metode berpikir. Langkah-langkah penelitian yang
dimaksud adalah mulai dari pernyataan masalah, penyusunan hipotesis,
pengumpulan data sampai dengan penarikan kesimpulan dan melaporkan
hasilnya.

b. Unsur penemuan, berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi


kekosongan atau kekurangan.

c. Unsur pengembangan, berarti memperluas dan menganalisis lebih dalam apa


yang sudah ada. Dalam hal ini seseorang sudah pernah meneliti sesuatu
objek tertentu, tetapi hasilnya belum memuaskan sehingga hasil penelitian
tersebut masih perlu dikembangkan.

d. Unsur Pengujian kebenaran, diartikan sebagai mengetes hal-hal yang masih


diragukan kebenarannya.
7
Ibid,h.1-2

8
Moh. Pabundu, Op. Cit, h. 1-2

5
e. Unsur pemecahan masalah, dimaksudkan untuk membuat pemecahan
apabila dalam penelitian dijumpai beberapa masalah.

Penelitian dapat dirumuskan sebagai penerapan pendekatan ilmiah pada


pengkajian suatu masalah. Ini adalah cara untuk memperoleh informasi yang
berguna dan dapat dipertanggungjawabkan. Tujuannya ialah untuk menemukan
jawaban terhadap persoalan yang berrti melalui penerapan prosedur-prosedur
ilmiah. Suatu penyelidikan harus melibatkan pendektan ilmiah agar dapat
digolongkan sebagai penelitian. Secara universal penelitian merupakan suatu
usaha sistematis dan obyektif untuk mencari pengetahuan yang dapat
dipercaya.9

2. Pengertian Tafsir

Ulama Ushul dan ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna tafsir,
hal itu disebabkan karena perbedaan pendekatan yang mereka gunakan.
Defenisi yang digunakan oleh ulama Ushul juga beragam. Al-Zarkasyi
memandang tafsir sebagai “ilmu alat”, sedangkan al-Zarqaniy melihat tafsir
sebagai pengetahuan-pengetahuan tentang petunjuk-petunjuk al-Qur’an.

Tafsir secara harfiyah berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk
masdar dari kata ‫ فسر‬yang berarti menjelaskan, membuka dan menampakkan
makna yang ma’qul. Oleh karena itu pengertian tafsir dibedakan atas dua
macam:

a. Tafsir sebagai mashdar berarti menguraikan dan menjelaskn apa-apa yang


dikandung al-Qur’an berupa makna-makna, rahasia-rahasia dan hukum-
hukum.

b. Tafsir sebagai maf’ul berarti ilmu yang membahas koleksi sistematis dari
natijah penelitian terhadap al-Qur’an dari segi dilalahnya yang dikehendaki
Allah sesuai dengan kadar kemampun manusia.

Pengertian tafsir yang dimaksud dalam uraian ini adalah pengertian


pertama, tegasnya tafsir dalam arti metode, bukan tafsir al-Qur’an.

9
Arief Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 32

6
Jadi Metodologi Penelitian Tafsir adalah ilmu mengenai jalan (cara) yang
dilewati melalui kegiatan ilmiah untuk memahami, membahas, menjelaskan serta
merefleksikan kandungan al-Qur’an secara apresiatif dengan menggunakan
pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan berdasarkan kerangka konseptual
tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang refresentatif.

Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang


terkandung dalam kitab al-Qur’an. Hasil dari upaya keras dengan menggunakan
alat dimaksud terwujud sebagai tafsir. Konsekwensinya, kwalitas setiap karya
tafsir sangat tergantung kepada metodologi yang digunakan dalam melahirkan
karya tafsir.10

B. Perkembangan Metodologi Tafsir

1. Sejarah Perkembangan Tafsir

Al-Qur'an turun membawa hukum-hukum dan syariat secara berangsur-


angsur menurut konteks peristiwa dan kejadian selama kurun waktu dua puluh
tahun lebih. Namun hukum-hukum dan syariat ini ada yang tidak dapat
dilaksanakan sebelum arti, maksud dan inti persoalannya dimengerti dan
difahami.

Pada saat al-Qur'an diturunkan, Rasullullah Saw. menjelaskan kepada


para sahabat tentang arti dan kandungan ayat yang samar artinya. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan wafatnya Rosul Saw. Jika pada masa Rasulullah
Saw. para sahabat bisa langsung menanyakan kepadanya, tetapi setelah beliau
wafat mau tidak mau mereka harus melakukan ijtihad, padahal masih banyak
ayat al-Qur'an yang belum diketahui tafsirannya.

Di samping itu, para sahabat juga ada yang menanyakan tentang sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur'an kepada para tokoh
ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam. Dari sini lahirlah benih-benih
israiliyat. Di samping itu, para sahabat juga mempunyai murid-murid dari
kalangan tabi'in, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in,
seperti Sa'id bin Zubair, Ka'ab Al-Ahbar, Zaid bin Aslam, Hasan Al-Bashri dan
lain-lain.

10
M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Cet.I; Yogyakarta: teras, 2005), h. 38

7
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasulullah Saw.,
penafsiran para sahabat, serta penafsiran tabi'in, disebut tafsir bil ma'tsur. Masa
ini disebut dengan periode pertama dalam perkembangan tafsir. Berlakunya
periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi‟in, sekitar tahun 150 H,
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.Pada periode ini,
hadis-hadis telah beredar dengan sangat pesat, dan juga mulai bermunculan
hadist-hadist palsu dan lemah di kalangan masyarakat.

Sementara itu, perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah


persoalan yang belum pernah terjadi pada masa nabi, sahabat dan tabi'in.Pada
mulanya usaha penafsiran al-Qur'an berdasar ijtihad masih sangat terbatas dan
terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu
kosakata. Namun sejalan dengan berkembangnya laju masayarakat,
berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam
penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula
oleh al-Qur'an yang keadaannya dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-
Naba' Al-Azhim: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak
mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.11

Muhammad Arkonoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis


bahwa: al-Qur'an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak
terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan
penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu
terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal.” 12

Corak-corak penafsiran yang terkenal antara lain. Pertama, Corak Bahasa


Arab, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam,
serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan
dan kedalaman arti kandungan al-Qur'an di bidang ini. Kedua, corak filsafat dan
teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara
pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang
dengan atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan
11
M.QuraishShihab,Membumikan Al-Qur'an(Bandung:PenerbitMizan,2002), h. 72.

12
Ibid.

8
lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang
tercermin dalam penafsiran mereka. Ketiga, corak penafsiran ilmiah, akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-
Qur'aan sejalan dengan berkembangnya ilmu. Keempat, corak fiqih atau
hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqh, dan terbentuknya madzhab-madzhab
fiqih. Kelima,Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecendrungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai
kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Keenam, bermula pada masa
Muhammad Abduh, corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian mulai
tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-
penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan
mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti.

Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir al-Qur'an berlangsung melalui


berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai bentuknya
yang kita saksikan sekarang ini berupa tulisan berjilid-jilid banyaknya, baik
yang tercetak maupun yang masih berupa tulisan tangan. Pertumbuhan tafsir al-
Qur'an dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman hidupnya Rasulullah Saw., orang
pertama yang menguraikan Kitabullah al-Qur'an dan menjelaskan kepada
umatnya wahyu yang diturunkan Allah Swt. ke dalam hatinya. Pada masa itu
hanyalah Rasul yang bisa menjelaskan dengan rinci pengertian dari ayat-ayat
al-Qur'an, adapun para sahabat hanya bisa merujuk kepadanya dan mereka tidak
berani menafsirkan karena beliau masih di sisi mereka.

i. Tafsir pada masa Sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in

Setelah Rasulullah Saw. kembali ke haribaan Allah Swt., maka para


sahabat yang telah mendalami al-Qur'an dan telah mendapatkan petunjuk dari
Rasul, mereka mau tidak mau terpanggil untuk mengambil bagian dalam
menjelaskan dan menerangkan tentang apa yang mereka ketahui dan pahami
dari al-Qur'an tersebut. Ahli tafsir di kalangan sahabat nabi banyak jumlahnya,
tapi yang paling terkenal ada 10 orang yaitu 4 orang khulafaurrosyidin; Abu

9
Bakar Ash-Shiddiq, 'Umar bin Khattab, 'Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Tholib, kemudian disusul oleh sahabat yang lain 'Abdullah bin Mas'ud, Ibnu
„Abbas, „Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy'ari dan
'Abdullah bin Zubair.13 Di luar 10 orang tersebut di atas, terdapat nama-nama
lain di kalangan para sahabat nabi yang turut ambil bagian dalam penafsiran
al-Qur'an. Mereka itu adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, 'Abdullah bin
'Umar, Jabir bin 'Abdullah, dan Ummul Mu'minin 'Aisyah ra. Tapi tafsir yang
diriwayatkan dari mereka hanya sedikit saja jika dibanding dengan tafsir yang
berasal dari 10 orang tersebut.

Selanjutnya penafsiran-penafsiran dari para sahabat Nabi diterima


secara baik oleh para ulama dari tabi'in di berbagai daerah Islam. Akhirnya
muncullah ahli-ahli tafsir di Mekah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyah
berkata: “Yang paling banyak mengetahui soal tafsir ialah orang-orang
Mekah, karena mereka itu sahabat-sahabat Ibnu 'Abbas, Sa'id bin Jubair,
Thawus, Mujahid ibn Jabr, Atha' ibn Abi Rahah dan Ikrimah maula Ibnu
Abbas. Demikian juga mereka yang berada di Kufah (Iraq), yaitu sahabat-
sahabat Abdullah bin Mas'ud . Yang di Madinah, seperti Zaid bin Aslam yang
menurunkan ilmunya kepada anaknyansendiri, „Abdurrahman bin Zaid, dan
kepada muridnya, yaitu Malik bin Anas”. 15 Kaum Tabi't-tabi'in (generasi
ketiga kaum muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima dari kaum
Tabi‟in. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur'an
yang dikemukakan oleh para ulama terdahulu (kaum salaf dan Tabi'in),
kemudian mereka tuangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang dilakukan
oleh Sufyan bin 'Uyainah, Waki' bin al-Jarrah, Syu'bah bin al-Hajjaj, Yazid
bin Harun, Abd bin Hamid dll. Mereka merupakan pembuka jalan bagi Ibnu
Jarir at-Thabari yang metodenya diikuti oleh hampir semua ahli tafsir. Pada
zaman berikutnya para ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri
yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an.

ii. Tafsir dalam abad kedua hijrah (masa pembukuan tafsir)

Sudah jelas bahwa zaman nabi, zaman sahabat dan zaman tabi'in, tafsir-
tafsir itu dipindahkan dari seseorang kepada seseorang atau diriwayatkan
sebagaimana umumnya hadits yang lain dari mulut ke mulut dan belum
dibukukan. Pada permulaan abad hijrah, yaitu ketika sudah banyak pemeluk
agama Islam yang bukan dari bangsa Arab dan ketika bahasa Arab
13
SubhiAs-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur'an(Jakarta:PenerbitPustakaFirdaus,1999), h.383.

10
dipengaruhi bahasa ajam, barulah para ulama merasa perlu untuk
membukukan tafsir agar dapat diketahui maknanya oleh mereka yang tidak
mempunyai saliqah bahasa Arab lagi.

Pada permulaan zaman Abbasiyah, barulah ulama-ulama


mengumpulkan hadits-hadits tafsir yang diterima dari sahabat dan tabi'in.
Mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut sesuatu ayat, kemudian
menyebut nukilan-nukilan mengenai tafsir ayat itu dari sahabat dan tabi'in.
Selain itu, tafsir juga belum mempunyai bentuk yang tertentu dan belum tertib
mushhaf. Hadis-hadis tafsir diriwayatkan secara berserak-serak untuk tafsir
bagi ayat-ayat yang terpisah-pisah dan masih bercampur dengan hadits-hadits
lain yakni hadits-hadits mu'amalah, hadits munakahah dan sebagainya.
Demikian keadaan tafsir pada tingkat pertama.

Adapun tafsir-tafsir yang terkenal zaman itu adalah :Tafsir As-Suddy


(127 H), Tafsir Ibn Jurraij (150 H), Tafsir Muqatil (150 H), Tafsir Muhammad
ibn Ishaq, Tafsir Ibnu Uyainah, Tafsir Waki' ibn Al-Jarrah. Semua tafsir-tafsir
ini telah hilang dibawa arus masa, tidak ada yang sampai kepada kita. Selain
itu kebanyakan isi kandungannya telah ditampung oleh tafsir Ibnu Jarir ath-
Thabary (310 H).

iii. Tafsir abad ketiga Hijriah

Pada zaman ini muncul para ulama-ulama tafsir riwayat di antaranya:


Al-Waqidy, Abd ar-Razaq, Abd ibn Humaid, Yazid ibn Harun, Ibn Jarir at-
Thabary, Ishaq ibn Rahawaih, Rauh ibn Ubadah, Sa'id ibn Manshur, Abu
Bakar ibn Abi Syaibah, Baqy ibn Makhlad. Adapun ulama-ulama tafsir
dirayah adalah sebagai berikut : Al-Allaf (226 H), Al-Jahidh, dan An-Nadham
(231 H).

Yang terkenal dan yang tersebar dari tafsir abad ketiga yang sampai ke
tangan umat Islam sekarang ini dan berkembang luas yang menjadi pegangan
pokok bagi seluruh ahli tafsir ialah Tafsir Jami' al-Bayan susunan Ibn Jarir at-
Thabary.Menurut keterangan Ibn Hazm, tafsir Baqy ibn Makhlad adalah suatu
tafsir yang besar dan terkenal di Andalus serta merupakan sebuah tafsir yang
tidak ada bandingannya. Sayang tafsir ini tidak dapat berkembang luas dalam
masyarakat seperti tafsir Ibn Jarir.

iv. Tafsir dalam abad keempat Hijriah

11
Di antara ulama-ulama tafsir abad keempat ini, terdapat ulama-ulama
tafsir yang bersungguh-sungguh dalam menafsirkan al-Quran dengan dasar
dirayah yakni menafsirkan al-Qur'an dengan bil ma'qul, dan juga ada yang
masih mendasarkan tafsirnya pada riwayat. Adapun perkembangan tafsir
dirayat ini, didasarkan atas perkembangan ilmu nahwu, lughoh, balaghah, dan
kalam. Sedang mufassir yang mula-mula menyusun tafsir dirayat ini adalah
golongan Al-Jahidh, An-Nadham, Abu Muslim Muhammad ibn Bahar Al-
Ashfahany (322 H) tafsirnya bernama Jami'at at-Takwil, Abu Bakar al-
Asham, Al-Juba'iy, dan Ubaidillah ibn Muhammad ibn Jarwu.

Sedangkan di sisi lain, perkembangan tafsir riwayat masih diteruskan


oleh beberapa mufassir di antaranya : Abu Laits as-Samarqandy, Al-Baghawy,
dan Ibn Katsir ad-Dimasqy. Dan di antara tafsir yang lahir saat itu adalah
Tafsir Tastary oleh Abu Muhammad Shal at-Tastary (383 H).

v. Tafsir dalam abad kelima dan keenam Hijriah

Dalam abad ini lahir Tafsir al-Wajiz fi Tafsir al-Qur'an al-Aziz yang
disusun oleh Abu Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy (468 H), at-Tibyan fi
Tafsir al-Qur'ansusunan Abu Ja'far Muhammmad ibn al-Hasan ath-Thusy dari
golongan Syi'ah (459 H), Ma‟alim at-Tanzil susunan Abu Muhammad al-
Husain bin Mas'ud al-Farra'al-Baghawy (516 H), dan Ahkam al-Qur‟an
susunan Abu Bakar ibn Al-Araby (542 H).

Di antara kitab-kitab tafsir yang besar pada abad ini, walaupun penuh
dengan cerita-cerita dongeng ialah tafsir Abu Ishaq Ahmad ats-Tsa'aliby (427
H). Beliau mengarang kitab tafsirnya yang diintisarikan dari kitab-kitab tafsir
Mutaqaddimin serta riwayat-riwayat yang dipandang shahih saja, tafsirnya
bernama Al-Muhar al-Wajiz. Tafsir ini menjadi pedoman dan pengangan
penduduk Marokko danAndalusia. Dan Ibn Jauzy (597 H) menyusun tafsirnya
yang bernama Zad al-Masir dan Funun al-Ifnan.

vi. Tafsir dalam abad ketujuh

Di antara kitab-kitab tafsir yang lahir dalam abad ketujuh dan kedelapan
yang sampai sekarang masih terkenal ialah Tafsir Mafatih al-Ghaib (At-Tafsir
al-Kabir), yang disusun oleh Fakhruddin ar-Razy yang terkenal dengan nama
al-Fakhr ar-Razy (605 H). Selain itu juga lahir pula tafsir Anwar at-Tanzil
susunan Al-Baidhawy (685 H), tafsir ini menerangkan i'rab, qira'at dan

12
balaghah yang dikandung oleh lafadz dan ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian lahir
pula tafsir al-Qayyim susunan Ibn Qayyim, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-
Qur'an yang disusun oleh Abu Abdullah al-Qurthuby (671 H), Tafsir Ibnu
Araby (638 H) tafsir ini termasuk golongan tafsir isyary, Al-Inshaf fi al-Jami'
baina al-Kasyfi wa al-Kasyaf susunan Ibnu Al-Atsir (606 H), dan Madarik at-
Tanzil wa Haqa'iq at-Takwil susunan Abu Barakat Abdullah ibn Muhammad
dan Nasafy (813 H).

vii. Tafsir dalam abad kedelapan

Di antara kitab-kitab tafsir yang lahir dalam abad kedelapan ialah :


Tafsir Lubab at-Takwil fi Ma'an at-Tanzil yang disusun oleh Ali ibn
Muhammad al-Baghdady yang terkenal dengan nama al-Ghazin (725 H), al-
Bahr al-Muhith karangan Ibnu Hayyan al-Andalusy (754 H), An-Nahr al-
Madd karangan Ibnu Hayyah (754 H), Ad-Dur al-Laqith min al-Bahr al-
Muhith karangan Tajuddin Ahmad ibn Abd al-Qadir (749 H), Tafsir Ibnu
Katsir (772 H), Irsyad al-Aql as-Salim ila Mazay al-Qur'an al-Karim susunan
Abu Su'ud ibn Muhammad al-Imady, dan Tafsir Syamsuddin al-Ashfahany
(749 H).

viii. Tafsir-tafsir dalam abad kesembilan dan kesepuluh

Di antara kitab-kitab tafsir yang lahir dalam abad kesembilan dan


kesepuluh ialah : Tanwir al-Miqas min Tafsir Ibnu Abbas susunan Thahir
Muhammad ibn Ya'qub al-Fairuzzabady (817 H), Al-Jalalain susunan
Jalaluddin al-Mahally dan ditamatkan oleh Jalaluddin as-Suyuthy (911 H),
Tarjuman al-Qur'an susunan As-Sayuthy (911), Ad-Durr al-Mantsur,
Mukhtashar Tarjuman al-Qur'an karangan As-Sayuthy, dan Al-Iklil fi
Istinbath at-Tanzil susunan as-Sayuthy.Tafsir Al-Jalalain telah dihasyiyahkan
oleh Sulaiman ibn Umar as-Safi'y yang terkenal dengan nama Al-Jamal (1204
H). Dan oleh Ahmad ibn Muhammad Ash-Shawy al-Maliky (1241 H),
kitabnya terkenal dengan nama Tafsir as-Shawy, yang diambil dari al-Futuhat,
al-Baidhawy, Abu Su'ud dan al-Kasyaf.

ix. Tafsir dalam abad-abad kesebelas, kedua belas dan ketiga belas

Di antara kitab-kitab tafsir yang lahir dalam abad-abad ini ialah Fath al-
Qadirsusunan As-Syaukany (1250 H), Ruh al-Ma'ani susunan Al-Alusy (1270
H), Fath al-Bayan susunan Shiddiq Hasan Khan (1307 H), Ruhul al-Bayan

13
susunan Isma'il Haqqy, At-Tafsir al-Munir (Marah Labid), susunan
Muhammad Nawawy al-Jawy, Tafsir Thahir al-Jaza'iry (1338 H).

x. Tafsir dalam abad keempat belas hijriah

Di antara kitab-kitab tafsir yang telah lahir dalam bagian pertama dari
abad keempat belas ini ialah: Mahasin at-Takwil, susunan Jamaluddin al-
Qasimy (1322 H), Al-Manar (Tafsir Muhammad Abduh) susunan Muhammad
Rasyid Ridha, Al-Jawahir susunan Thanthawy Jauhary, At-Futuhat ar-
Rabbaniyah susunan Muhammad Abd al-Aziz al-Hakim. Kemudian lahir
tafsir-tafsir yang lain; Tafsir al-Maraghi susunan Ahmad Musthafa al-
Maraghi, tafsir al-Wadhih susunan Mahmud Hijazy, Tafsir al-Hadits susunan
Ahmad Izzah Darwazah, Al-Qur'an al-Majid susunan Ahmad Izzah Darwazah,
Tafsir fi Dhilal al-Qur'an susunan Sayyid Qutub. Sedang di Indonesia sendiri
lahir tafsir lain di antaranya Tafsir al-Qur'an al-Karim susunan Abd al-Hallim
Hasan dan Zain al-Arifin Abbas, Tafsir al-Qur'an al-Karim susunan Mahmud
Yunus dan Kasim Bakry, Tafsir al-Furqansusunan Ahmad Hasan, Tafsir al-
Qur'an susunan H. Zainuddin Hamidy dan Fakhruddin Hs dan Tafsir an-Nur
karya Teungku Muhammad Hasbi Asy-Shiddiqiy.14

2. Perkembangan metode tafsir

Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau
metode, yaitu: [1] metode ijmali (global), [2] metode tahlili (analitis), [3]
metode muqarin (perbandingan), dan [4] metode maudhu’I (tematik).

Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat.
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak
memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar
menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa
metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul
dalam kajian tafsir Qur’an.

Metode ini, kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam kitabnya al-


Jalalain, dan al-Mirghami di dalam kitabnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti
oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’sur, kemudian tafsir ini
berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian

14
Ibid, h. 384.

14
berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam
bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya.15

Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang


mengilhami lahirnya tafsir maudhu’I, atau disebut juga dengan metode
maudhu’i (metode tematik). Lahir pula metode muqarin (metode
perbandingan), hal ini ditandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang
menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-
Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi (w.240 H) dan al-Burhan fi Taujih Mutasyabah
al-Qur’an oleh Taj al-Qurra’ al-Karmani (w.505 H), dan terakhir lahirlah
metode tematik (maudhu’i). Meskipun pola penafsiran semacam ini (tematik)
telah lama dikenal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, namun menurut M.Quraish
Shihab, istilah metode maudhu’I yang dikenal sekarang ini, pertama kali
dicetuskan oleh Ustadz al-Jil (Maha Guru Generasi Mufasir), yaitu Prof. Dr.
Ahmad al-Kuumy.

Lahirnya metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan


perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi
dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui
secara baik latar belakang turunnya ayat al-nuzul), serta mengalami secara
langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian
mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan
akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan
uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global
(ijmal). Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika
mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an
seperti lafal ‫ ظلم‬dalam ayat 82 surah al-An’am:
ٰۤ ُ ْ ُ
َ‫ك لَهُ ُم ااْل َ ْمنُ َوهُ ْم ُّم ْهتَ ُدوْ ن‬
َ ‫ول ِٕى‬ ‫اَلَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َولَ ْم يَ ْلبِس ُْٓوا اِ ْي َمانَهُ ْم بِظل ٍم ا‬

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka


dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman
dan mendapat petunjuk.

Ayat ini cukup mengganggu pikiran ummat pada saat itu, karena
mengandung makna bahwa mereka yang mencampuradukan iman dengan
15
Hujair A.H sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin), jurnalAl-MawaridEdisiXVIIITahun2008, h. 268.

15
aniaya tidak akan memperoleh keamanan dan petunjuk. Ini berarti, seakan-akan
percuma mereka beriman karena tak akan bebas dari azab, sebab mereka
percaya bahwa tak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan aniaya.
Tetapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi saw menafsirkan di dalam
ayat itu dengan mengutif ayat 13 surah Luqman, sebagai berikut:

‫ي اَل تُ ْش ِر ْك بِاهّٰلل ِ ۗاِ َّن ال ِّشرْ كَ لَظُ ْل ٌم َع ِظ ْي ٌم‬ َ َ‫َواِ ْذ ق‬


َّ َ‫ال لُ ْقمٰ نُ اِل ْبنِ ٖه َوهُ َو يَ ِعظُهٗ ٰيبُن‬

(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia


menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah!
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang
besar.”16

kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan ummat


Islam saat itu terpenuhi olah penaafsiran yang singkat (global), karena mereka
tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam.17

Maka tidak dapat dimungkiri bahwa memang pada abad pertama


berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an,
bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global
(ijmali) terasa lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak
diterapkan.Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada
periode awal, seperti: al-Suyuthi dan al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang
monumental yaitu al-Jalalain, al-Mirghani di dalam kitab Taj al-Tafsir, dan
lain-lain.

Tetapi pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan


lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam,
membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam. Maka,
konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan
kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam.

Kondisi ini, merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis


(tahlili) sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti tafsir al-
Thabrani dan lain-lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala
itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap
16
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.quran.kemenag

17
HujairA.Hsanaky,MetodeTafsir(PerkembanganMetodeTafsirMengikutiWarnaatauCorakMufassirin, h.269

16
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Ummat merasa terayomi oleh penjelasan-
penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat al-
Qur’an. Maka pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga
diiukuti oleh ulama-ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang
dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y
dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi,
adabi ijtima’i dan lain-lain.

Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai


corak tersebut, ummat Islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh
berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir.
Selain itu, ummat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang
kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda.

Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk


melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan
oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan
demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqarin) seperti yang
diterapkan oleh al-Iskaf di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al-
Ta’wil, dan oleh al-Karmani di dalam kitabnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah
al-Qur’an”, dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi


permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan
tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat .Untuk
itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan
metode baru, yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).18

C. Posisi Metodologi Tafsir dalam Ilmu tafsir

Posisi dan Urgensi Metodologi Tafsir dalam ilmu Tafsir Nashruddin Baidan
mengatakan bahwa metodologi tafsirAl Qur’an merupakan salah satu substansi
yang tidak terpisahkan dari ilmu tafsir (skema terlampir). Dapat disimpulan bahwa
metodologi tafsir sebagai media atau jalan yang harus ditempuh jika ingin
mencapai tujuan suatu penafsiran (corak penafsiran). Artinya bentuk penafsiran
apapun (ma’tsur atau ra’i), tidak akan dapat mencapai salah satu corak penafsiran ,
tanpa menggunakan suatu metode tafsir, maka dituntut agar menguasai ilmu
18
Opcit, h.270

17
metode (metodologi tafsir). Sedang berkaitan urgensi tafsir ada beberapa
pertanyaan, mengapa Al Qur’an perlu ditafsirkan? Apakah menafsirkan Al Qur’an
itu mubah, wajib atau sunnah? Atau apakah dalam menafsirkan Al Qur’an ada
syarat yang harus dipenuhi?.19

Thameem Ushama menjawab pertanyaan di atas, bahwa penafsiran Al


Qur’an dapat membantu manusia menangkap rahasia-rahasia Allah dan alam
semesta, yang tampak atau tersembunyi. Juga dapat membebaskan dari belenggu
perbudakan baik oleh manusia atau harta serta membimbing untuk menyembah
Allah.17 Hal ini dengan firman Allah yang artinya : Dan Kami turunkan dari Al
Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmah bagi orang-orang yang beriman
dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain
kerugian (QS. Al-Isra: 82). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa tafsir
sangat penting bagi kehidupan keberagaman umat Islam, karena ia berfungsi
efektif dalam kerangka memahami dan menggali khazanah dan kekayaan
kandungan Al Qur'an, bila ingin membuka kandungan-kandungan mutiara
berharga yang tertimbun dalam Al Qur'an maka tafsirlah kuncinya. 20

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah Suatu cabang ilmu


pengetahuan yang membicarakan/mempersoalkan mengenai cara-cara
melaksanakan penelitian yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari,mencatat,
merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya) untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan atau masalah guna
mencari pemecahan terhadap masalah tersebut berdasarkan fakta-fakta atau gejala-
gejala secara ilmiah.

19
Aziz, Metodologi Penelitian Corak dan Pendekatan Tafsir Al Qur'an, Jurnal komunikasi dan pendidikan
Islam, Vol. 6, Juni 2017, h.7

20
Aziz,Metodologi Penelitian Corak dan Pendekatan Tafsir Al Qur'an, h.8

18
Jadi Metodologi Penelitian Tafsir adalah ilmu mengenai jalan (cara) yang
dilewati melalui kegiatan ilmia huntuk memahami,membahas,menjelaskan serta
merefleksikan kandungan al-Qur’an secara apresiatif dengan menggunakan
pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan berdasarkan kerangka konseptual
tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang refresentatif. Metodologi
tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam
kitab al-Qur’an.

Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empatcara atau


metode,yaitu:[1]metode ijmali (global), [2]metode tahlili (analitis) ,[3]metode
muqarin (perbandingan),dan [4]metode maudhu’I (tematik).

Seiring perkembangan masa metode penafsiran kian berinovasi dimulai dari


masa Rasulullah, sahabat hingga pada masa sekarang yang bisa disebut dengan
masa Ulama muta'akhirin.

Metodologi tafsir sebagai media atau jalan yang harus ditempuh jika ingin
mencapai tujuan suatu penafsiran (corak penafsiran). Artinya bentuk penafsiran
apapun (ma’tsurataura’i),tidak akan dapat mencapai salah satu corak
penafsiran ,tanpa menggunakan suatu metode tafsir, maka dituntut agar menguasai
ilmu metode (metodologitafsir).

DAFTAR PUSTAKA

Cholid Narbuko dan Abu achmadi,2011. Metodologi Penelitian, Cet. III; Jakarta:
Sinar Grafika.

P.JokoSubagyo, 1997. Metode Penelitian Dalam teori dan Praktek. Cet.II; Jakarta:
Rineka Cipta.

Bambang Sunggono.2006. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta; Raja Grapindo


Persada.

Moh. Pabundu Tika,2005. Metode Penelitian Geografi, (Cet. I; Jakarta: Sinar


Grafika.

19
Sutrisno Hadi, 1969. Metodologi research, Jilid I; Yayasan penerbit Fakultas
Psycologi ; Universitas Gajah Mada; Yogyakarta.

Arief Furchan,.2007., Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Cet. III; Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

M. Al-Fatih Suryadilaga, 2005. dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet.I; Yogyakarta:


teras.

M.Quraish Shihab, 2002., Membumikan Al-Qur'an(Bandung:Penerbit Mizan.

SubhiAs-Shalih,1999. Membahas Ilmu-Ilmu Qur'an(Jakarta:Penerbit Pustaka


Firdaus,.

Hujair A.H sanaky,2008. Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti


Warna atau Corak Mufassirin), jurnalAl-Mawarid Edisi XVIII.

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.quran.kemenag

HujairA.Hsanaky,MetodeTafsir(PerkembanganMetodeTafsirMengikutiWarnaatauCo
rakMufassirin.

Aziz, Metodologi Penelitian Corak dan Pendekatan Tafsir Al Qur'an, Jurnal


komunikasi dan pendidikan Islam, Vol. 6, Juni 2017.

20

Anda mungkin juga menyukai