Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM I

PENYAKIT DISPEPSIA

HARI DAN TANGGAL PRAKTIKUM: KAMIS, 14 OKTOBER 2021

KELOMPOK: 2/A4A

OLEH:

1. I GEDE DEDIK ANTARA (19021008)


2. I GEDE JAYA PRATAMA (19021009)
3. I GEDE SUDI SUARJAYA (19021010)
4. I GUSTI AGUNG AYU NINGRAT GIWANGKARA (19021011)
5. I KADEK RIKO PRAYESTA (19021012)
6. I KETUT ADI PUTRA SENTANA (19021013)
7. I KOMANG AGUS TRI ASTAWAN (19021014)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2021
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………. i

I. TUJUAN PRAKTIKUM ............................................................................................. 1

II. DASAR TEORI ........................................................................................................ 1

2.1 Definisi Dispepsia .................................................................................................. 1

2.2 Epidemiologi Dispepsia ......................................................................................... 2

2.3 Etiologi dan Patofisiologi Dispepsia ..................................................................... 2

2.4 Klasifikasi Dispepsia ............................................................................................. 4

2.5 Clinical Assesment of Dyspepsia and Diagnose Dyspepsia .................................. 5

2.6 Penatalaksanaan Terapi Dispepsia....................................................................... 7

III. KASUS .................................................................................................................... 11

IV. PEMBAHASAN ..................................................................................................... 11

V. KESIMPULAN ....................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

i
PRAKTIKUM I

PENYAKIT DISPEPSIA

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dispepsia.
2. Mengetahui klasifikasi dispepsia.
3. Mengatahui patofisiologi dispepsia.
4. Mengetahui tatalaksana dispepsia (Farmakologi & Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait dispepsia secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse
berarti Pencernaan, jika digabungkan yang berarti "Pencernaan yang sulit atau
jelek" dan mengacu pada perasaan subjektif rasa sakit atau ketidaknyamanan
terletak terutama di perut bagian atas. Dispepsia merupakan salah satu
gangguan pencernaan yang paling banyak diderita. Meskipun gejala kompleks
dan durasinya mungkin bervariasi, kebanyakan pasien mengeluhkan gejala
dispepsia akut (gangguan pencernaan) yang disebabkan oleh konsumsi
makanan atau alcohol, mengkonsumsi obat-obatan seperti anti inflamasi non
steroid (NSAID), antibiotik seperti eritromisin dan tetrasiklin, suplemen zat besi
dan kalium, digoksin, teofilin, dan bifosfonat dan merokok atau gaya hidup
yang penuh tekanan (stress) (Kimble, 2013).
Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman, seperti makan pedas,
asam, minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi dapat meningkatkan resiko
munculnya gejala dispepsia. Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat
membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan (Susanti, 2011).
Dispepsia menurut North of England dyspepsia Guideline Development
Group (2004) menyimpulkan suatu definisi yang luas dan sesuai dengan yang
diadopsi dari Working Party dan British Society of Gastroenterology (BSG)
bahwa dispepsia merupakan gejala-gejala yang terjadi di saluran cerna bagian
atas, termasuk yang penyebabnya fungsional (belum diketahui dengan jelas

1
penyebabnya) maupun organik (biasanya ada kelainan pada saluran cerna) pada
perut bagian atas (Arif, 2000).
Dispepsia adalah gejala tidak nyaman atau nyeri, rasa terbakar, gastric
reflux, mual atau muntah pada perut bagian atas dalam jangka waktu 4 minggu
atau lebih (National Institute for Health and Care Excellence, 2014). Dispepsia
merupakan kumpulan atau gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau
sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (Arif,
2000).

2.2 Epidemiologi Dispepsia


Prevalensi dispepsia bervariasi antara populasi yang berbeda. Dalam
penelitian yang menggunakan "nyeri perut bagian atas" sebagai definisi,
prevalensi dispepsia yang tidak diselidiki (Uninvestigated Dyspepsia)
bervariasi antara 7%-34,2%. Dengan definisi ini, prevalensi Uninvestigated
Dyspepsia terendah 7%-8% terlihat di Singapura, Asia Tenggara, tingkat sedikit
lebih tinggi terlihat di antara Skandinavia (14,5% dan 18,4%), tingkat
prevalensi 23-25,8% terlihat di AS dengan populasi di India (30,4%) dan
Selandia Baru (34,2%) memiliki tingkat tertinggi (Shanjiv, 2006). Menurut data
Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia menempati peringkat ke-10 untuk
kategori penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan
jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%.

2.3 Etiologi dan Patofisiologi Dispepsia


Secara umum, dispepsia dibedakan menjadi dispepsia akut dan kronis.
a. Dispepsia akut yaitu kondisi dimana gejala muncul dalam periode waktu
yang cepat. Patofisiologi dispepsia akut jarang terjadi, dan sering kali
berkaitan dengan makanan, alkohol, obat-obatan, merokok dan stress.
Terdapat beberapa faktor penyebab dispepsia akut diantaranya faktor
makanan, obat-obatan dan gaya hidup yang buruk (Djojoningrat D. 2009).
1.) Faktor Makanan
Ada berbagai macam jenis makanan yang dapat menyebabkan
dispepsia, antara lain: makanan pedas, kopi, coklat, makanan berlemak,
tomat. kopi, coklat dan alkohol dapat menyebabkan relaksasi pada sfingter
esophagus bagian bawah sehingga dapat menimbulkan dispepsia,

2
sedangkan makanan berlemak menyebabkan waktu pengosongan lambung
tertunda (Djojoningrat D. 2009).
2.) Faktor Obat-obatan
Obat-obatan juga dapat menyebabkan timbulnya dispepsia. Obat-
obatan yang dapat menimbulkan dispepsia diantaranya: antagonis kalsium,
nitrat, teofilin, bisfosfonat, NSAID (Nonsteroidal inflamatory drugs),
kortikosteroid, antibiotik contohnya erithromisin (Djojoningrat D. 2009).
a) NSAID
NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu
topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi
karena NSAID bersifat asam dan lipofili, sehingga mempermudah
trapingion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan.
Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi
akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna
(Djojoningrat D. 2009).
b) CCB, Nitrat, Teofilin menyebabkan dispepsia karena menurunkan
tekanan LOS, sehingga terjadi reflux (Djojoningrat D. 2009).
c) Kortikosteroid, meyebabkan terjadi pendarahan atau perforasi GI
belum sepenuhnya terjadi, sehingga dapat merusak perbaikan
jaringan, dan menunda penyembuhan luka (Djojoningrat D. 2009).
d) Antibiotik (eritromicin) dapat menyebabkan dispepsia karena
intoleransi saluran cerna akibat perangsangan langsung terhadap
motilitas usus (Djojoningrat D. 2009).
3.) Faktor Gaya Hidup Yang Buruk
Dispepsia juga dapat disebabkan oleh gaya hidup yang buruk (lifestyle)
dan faktor psikologis (stress). Gaya hidup yang buruk dapat menyebabkan
timbulnya dispepsia contohnya: obesitas, merokok (relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah) makan terlalu banyak, posisi tidur tanpa alas
kepala (refluks asam lambung) (Djojoningrat D. 2009).
b. Dispepsia kronis didefinisikan sebagai gejala kambuhan yang termasuk
nyeri epigastrik, abdominal boating, sendawa, mual, muntah dan rasa
penuh pada abdomen (merasa kenyang lebih awal saat makan).
Patofisiologi dispepsia kronis berkaitan dengan penyebab lain contohnya
GERD (Gastroesophageal reflux disease), PUD (Peptic Ulcer Disease)
3
dengan atau tanpa esofagitis, keganasan (kanker pada lambung), dan
dispesia idiopatik (tidak diketahui penyebabnya dan pada hasil endoskopi
tidak ditemukan kerusakan mukosa). Terdapat faktor lain yang mempunyai
peranan penting dalam timbulnya dispepsia, antara lain: infeksi
Helicobacter pylori (H. pylori), dismotilitas saluran cerna dan sekresi asam
lambung. Penderita dispepsia yang terinfeksi H. pylori terjadi peningkatan
kadar GRP (Gastrin Releasing Peptide). Infeksi H. pylori dapat
menimbulkan terjadinya gastritis kronis secara bervariasi, yang ditandai
dengan adanya infiltrasi neutrofil dalam mukosa lambung dan produksi
mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi tersebut dapat
mempengaruhi sekresi asam lambung, dan mempengaruhi motilitas
lambung (Djojoningrat D. 2009).

2.4 Klasifikasi Dispepsia


Dispepsia dapat dibedakan berdasarkan waktu terjadinya, dan perlu
tidaknya dilakukan tindakan endoskopi.
a. Bersadarkan waktu terjadinya dispepsia dapat di golongkan menjadi 2 yaitu
dispepsia akut dan dispepsia kronis. Dispepsia akut terjadi dalam waktu yang
singkat dan cepat yaitu kurang dari 4 minggu. Sedangkan dispepsia kronis terjadi
dalam jangka waktu yang panjang yaitu lebih dari 4 minggu (Tim Dosen,2021).
b. Klasifikasi dispepsia berdasarkan perlu tidaknya dilakukan tindakan endoskopi
dapat dibedakan menjadi 2 yaitu uninvestigated dyspepsia dan investigated
dyspepsia (Tim Dosen,2021).
1.) Uninvestigated dyspepsia
Uninvestigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien
mengalami gejala nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdominal atas, heartburn,
refluks asam lambung, dengan atau tanpa bloating, mual atau muntah, namun
bukan merupakan tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs) sehingga
tidak memerlukan pemeriksaan endoskopi (Tim Dosen,2021).
2.) Investigated dyspepsia
Investigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien mengalami
tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs) sehingga memerlukan
pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui penyebab terjadinya dispepsia.
Dinvestigated dyspepsia dapat dibagi menjadi 2 yakni dispepsia organik,

4
dimana pada pemeriksaan endoskopi di temukan kerusakan mukosa, dan
dispepsia fungsional, dimana pada pemeriksaan endoskopi tidak titemukan
kerusakan mukosa (Tim Dosen,2021).
Investigated dyspepsia ada empat penyebab utama diantaranya (1) PUD
(peptic ulcer disease) merupakan kondisi dimana terjadi kerusakan atau
perforasi pada jaringan mukosa lambung atau usus halus akibat dari asam
lambung. (2) GERD (gastroesophageal reflux disease) suatu kondisi dimana
terjadi refluks asam lambung yang melewati sfingter esofagus sehingga bagian
bawah esofagus terpapar asam lambung dan pepsin dalam waktu yang lama. (3)
NUD (non-ulcer dyspepsia) suatu kondisi dimana pasien mengalami gejala
dispepsia selama beberapa minggu dan tidak di temukan abnormalitas struktur
organ maupun biokimia. (4) Keganasan (malignancy) (Tim Dosen,2021).

2.5 Clinical Assesment of Dyspepsia and Diagnose Dyspepsia

Gambar 1. Penilaian Klinis dan Diagnosis Dispepsia

Gejala-gejala dispepsia yang meliputi nyeri atau rasa tidak nyaman pada
abdomen bagian atas, seperti heartburn, refluks asam, mual dan muntah, terasa
penuh, cepat kenyang, tak suka makan, dan pengeluaran gas yang berlebihan
(bersendawa). Walaupun gejala-gejala tersebut tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab dari dispepsia, akan tetapi gejala klinis tersebut harus

5
ditindak lanjuti dengan memperhatikan ada atau tidaknya alarm signs meliputi
pendarahan saluran cerna yang kronis (hematemesis, melena, anemia defisiensi
besi), penurunan berat badan >10%, kesulitan menelan yang progresif, muntah
yang menetap, abdominal swelling atau jika pasien berusia ≥55 tahun dengan
gejala dispepsia tanpa sebab yang jelas dan menetap. Selain itu dilakukan
review tentang riwayat mengkonsumsi obat-obatan yang mungkin menjadi
penyebab dari dispepsia, misalnya kalsium antagonis, nitrat, teofilin,
bifosfoalnat, steroid, dan NSAID (Tim Dosen,2021).

Bila pada clinic asessment tidak ditemukan alarm signs dan pasien
berusia <55 tahun, maka pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan. Pada
kondisi ini pasien dikategorikan mengalami uninvestigated dyspepsia.
Endoskopi dilakukan hanya bila muncul tanda alarm signs dan memiliki usia
≥55 tahun dengan gejala dispepsia tanpa sebab yang jelas dan menetap.
Pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan pada semua pasien dengan
beberapa alasan yaitu biaya yang mahal dan adanya rasa tidak nyaman pada
pasien (Tim Dosen,2021).

Pasien yang akan diendoskopi harus bebas dari Proton Pump Inhibitor
(PPI) ataupun H2 Receptor Antagonist (H2RA) selama 2 minggu sebelum
dilakukan endoskopi agar hasil endoskopi akurat dan tidak terjadi false negatif
dalam memperlihatkan gambaran kondisi lambung yang sebenarnya. Karena
dikhawatirkan setelah diberi PPI atau H2RA maka erosi atau ulkus yang ada
menjadi hilang (Tim Dosen.2021).
c. Beberapa metode untuk melakukan pemeriksaan H.pylori antara lain Uji
serologi, faecal (stool) antigen testing, labelled C-urea breath tests. Uji serologi
merupakan tes yang paling murah dari ketiga tes tersebut, tetapi akurasinya
kurang dengan sensitivitas dan spesifikasi sebesar 80-90%. Faecal (stool)
antigen testing lebih akurat dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki
sensitivitas dan spesifikasi 90-100%. Labelled C-urea breath tests juga lebih
akurat dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki sensitivitas dan
spesifikasi >95%. Jika dilihat dari nilai sensitivitasnya dan spesifikasinya maka
Labelled C-Urea Breath Test memiliki nilai rentang yang paling dekat yaitu
100% sehingga dapat disimpulkan uji ini yang paling akurat dibandingkan uji
lainya (Tim Dosen,2021).

6
2.6 Penatalaksanaan Terapi Dispepsia
Tujuan umum penatalaksanaan dispepsia yaitu untuk mengontrol gejala
dispepsia secara efektif, sedangkan tujuan khususnya disesuaikan dengan
penyebab dyspepsia. Tujuan khusus tersebut akan dibahas pada masing-masing
penatalaksanaan dispepsia sesuai penyebabnya (Tim Dosen,2021).

Gambar 2. Penatalaksanaan Gejala Dispepsia


Strategi yang di rekomendasikan untuk mengatasi dispepsia pada orang
dewasa disajikan pada Gambar diatas. Individu dengan dispepsia akut
(Gangguan pencernaan) dapat diobati secara efektif dengan terapi mandiri
menggunakan antasida atau obat antisekresi OTC. Manajemen awal pasien
berusia 55 tahun atau lebih muda dispepsia kronis “uninvestigated” dan tidak
ada tanda bahaya pada prevalensi H. pylori dan apakah pasiennya H.pylori–
positif atau H.pylori-negatif. Terapi empiris dengan PPI selama 4 minggu
dianggap sebagai pengobatan lini pertama dan efektif untuk pasien dengan
prevalensi rendah H.pylori dan pada pasien dengan pravalensi H.pylori –

7
negative. PPI harus dihentikan setelah 1 bulan jika gejala pasien merespons
pengobatan. Jika gejalanya terulang, maka terapi PPI jangka panjang mungkin
dipertimbangkan, tetapi kebutuhan akan PPI harus dievaluasi setiap 6 hingga 12
bulan. Endoskopi dianjurkan untuk pasien yang gagal menanggapi awal 4
hingga 8 minggu terapi PPI empiris dan gejala yang ada terus berulang setelah
menghentikan PPI. Prokinetik tidak direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk yang dispepsia uninvestigated di Amerika Serikat. Pasien yang
H.pylori-positif harus menerima rejimen pemberantasan berbasis PPI.
Dianjurkan untuk melakukan endoskopi dini dengan biopsi untuk H.Pylori
untuk pasien yang lebih tua dari 55 tahun dengan dispepsia kronis
uninvestigated dan mereka yang memiliki alarm sign (Kimble, 2013).
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi
patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah
dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi)
dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi (Simadibrata et al, 2014).
1. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien
dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung
(PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan atau H2-
Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya
rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan
riwayat pengobatan pasien sebelumnya (Simadibrata et al 2014).
2. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi
empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan
endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani
sebagai dispepsia fungsional (Simadibrata et al, 2014).
3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap
gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa
8
terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien
dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%
penemuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT (Simadibrata et al,
2014).
a. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan Uninvestigated Dyspepsia diantaranya
1. Mengontrol secara efektif gejala dispepsia
2. Mengidentifikasi dan mengobati H.pylori,
3. Mencegah kekambuhan dan komplikasi (Tim Dosen,2021).
Farmakologi Obat
1. Antasida
Golongan obat ini bekerja dengan cara menetralkan asam
lambung secara lokal. Obat antasida yang dijual di pasaran
biasanya merupakan kombinasi dari Mg(OH)2 dan Al(OH)3. Mg
(OH) mempunyai efek laxative sedangkan Al(OH) mempunyai
efek konstipasi sehingga dikombinasikan (Lullman H. et al,
2000).
2. Pompa Proton Inhibitor (PPI)
Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan ini meliputi
omeprazole, lanzoprazol, esomeprazole dll. Mekanisme
kerjanya adalah memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase yang
akan memecah K+/H+ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam
dari kanalikuli sel pariental kedalam lumen lambung (Tarigan,
2001).
3. H2RA (H2 Receptors Antagonist)
H2RA atau antagonis reseptor H2 memiliki mekanisme
kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2 sel pariental
sehingga sel pariental tidak terangsang mengeluarkan asam
lambung (Tarigan, 2001). Obat-obatan yang termasuk dalam
golongan ini meliputi ranitidine, cimetidine, famotidine dll.
4. Analog Prostaglandin
Mekanisme kerjanya mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan
9
aliran darah mukosa. Contoh obat yang termasuk dalam
golongan ini adalah misoprostol, namun obat ini dikontra
indikasikan untuk kehamilan karena dapat menyebabkan aborsi
akibat peningkatan kontraktilitas uterus (Tarigan, 2001).
b. Terapi Non Farmakologi
1) Perubahan life style, termasuk menurunkan berat badan, makan
makanan sehat dan berhenti merokok (Tim Dosen,2021).
a) Penelitian mengenai life style untuk mengurangi gejala
dispepsia sedikit dan tidak meyakinkan (Tim Dosen.2021).
b) Studi epidemiologi menunjukan hubungan antara obesitas dan
GORD, tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dispepsia
dan faktor-faktor lain seperti merokok, alkohol, kopi, dan
makanan. Merokok, alkohol, kopi, coklat memiliki efek
relaksasi pada sfingter esofagus bawah. Obesitas dapat
mengacaukan sfingter esophagus bawah dengan mekanisme
menekan diafragma. Merokok meningkatkan pengeluaran
asam lambung dan menunda pengosongan asam lambung.
Alkohol secara langsung menyebabkan luka pada mukosa
lambung dan menyebabkan NUD. Makanan berlemak dapat
menunda pengosongan lambung dan juga mempengaruhi
GORD. Walaupun demikian perubahan life style dapat
memberikan efek pada beberapa pasien dan secara umum
bermanfaat sehingga menyebabkan perubahan life style
merupakan faktor yang penting (Tim Dosen,2021).
2) Terapi fisiologi
a) Terapi fisiologi meliputi psikoterapi dan terapi perilaku, dapat
mengurangi gejala dispepsia pada beberapa pasien (Tim
Dosen.2021).
b) Pasien dengan NUD pada 3 percobaan kecil diberikan
intervensi, intervensi pada percobaan pertama berupa 6 sesi
relaksasi dan sesi analisis situasi dalam waktu 90 menit selama
12 minggu. Percobaan kedua berupa 10 sesi terapi individual
kongnitif dalam waktu 45 menit selama 4 bulan dan percobaan
ketiga menggunakan sesi terapi psikodinamik selama 3 jam,
10
diikuti oleh 6 sesi dalam waktu 50 menit. Secara psikologi
menunjukan penurunan gejala dispepsia dalam waktu 3 bulan
dan berlangsung lama hingga 1 tahun (Tim Dosen,2021).

III. KASUS
Nn. W, 26 tahun, pergi ke dokter umum kembali dengan mengeluhkan rasa nyeri di
ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan yang belum
hilang. Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 1,5 bulan terakhir.
Sebelumnya pasien mendapatkan obat ranitidine tablet dan antasida sirup. Akhirnya
Nn. W mendapatkan rujukan untuk melakukan endoskopi di RS. Hasil dari
endoskopi adalah dispepsia. Pasien kembali ke dokter dengan membawa hasilnya
dan mendapatkan obat berupa sulcrafat sirup, omeprazole tablet, domperidone
tablet, dan antasida sirup. Temukan DRP pada kasus ini?

IV. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada praktikum kali ini terkait
gejala dispepsia. Tujuan dari praktikum ini antara lain mengetahui definisi
dispepsia, mengetahui klasifikasi dispepsia, mengetahui patofisiologi dispepsia,
mengetahui tatalaksana dispepsia baik terapi farmakologi maupun non farmakologi
dan dapat menyelesaikan kasus terkait dispepsia secara mandiri dengan metode
SOAP. Pada praktikum penyakit dispepsia ini kelompok kami membahas kasus 2
yaitu

Kasus

Nn. W, 26 tahun, pergi ke dokter umum kembali dengan mengeluhkan rasa nyeri di
ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan yang belum
hilang. Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 1,5 bulan terakhir.
Sebelumnya pasien mendapatkan obat ranitidine tablet dan antasida sirup. Akhirnya
Nn. W mendapatkan rujukan untuk melakukan endoskopi di RS. Hasil dari
endoskopi adalah dispepsia. Pasien kembali ke dokter dengan membawa hasilnya
dan mendapatkan obat berupa sulcrafat sirup, omeprazole tablet, domperidone
tablet, dan antasida sirup. Temukan DRP pada kasus ini?

11
 SUBJEKTIF
Nn. W mengeluhkan rasa nyeri di ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual,
penurunan nafsu makan yang belum hilang.
 OBJEKTIF
Hasil dari endoskopi adalah dispepsia.
 FIR
Pada kasus ini, FIR (Further Information Required) yang ditanyakan kepada
pasien antara lain:

FIR Jawaban Tujuan

Bagaimanakah lifestyle Pasien tidak perokok, tidak Untuk mengetahui


pasien? minum alkohol, pola penyebab dispepsia yang
makan teratur dan dialami oleh pasien.
mengkonsumsi makanan
sehat

Apakah pasien memiliki Tidak ada Untuk memberikan


riwayat alergi obat? terapi yang tepat kepada
pasien.

Apakah pasien Tidak Untuk mengetahui


mengkonsumsi obat NSAID? penyebab dispepsia yang
dialamai pasien,
kemungkinan bisa
disebabkan oleh NSAID.

Apakah pasien sering Sering Untuk mengetahui gejala


bersendawa? yang timbul pada pasien.

Apakah pada hasil endoskopi Terjadi radang atau flak Untuk menentukan
pasien terjadi kerusakan kemerahan pada lambung penatalaksanaan terapi.
lambung? pasien

Apakah pasien sudah Sudah, hasil positif Untuk menentukan


melakukan tes H.Pylori? penatalaksanaan terapi.

Apakah pasien masih Masih Untuk mengetahui ada

12
mengalami nyeri setelah tidaknya interaksi obat.
diberikan empat obat
tersebut?

Berapa dosis yang diberikan Sulcrafat 3×1 sendok Untuk mengetahui


dari empat obat tersebut? makan ketepatan terapi pada
Omeprazole 1×1 kapsul pasien sudah tepat atau
Domeperidone 3×1 tablet belum.

Antasida 1×1 sendok


makan

Apakah pasien memiliki Tidak ada Untuk memberikan


penyakit lain selain terapi yang tepat pada
dispepsia? pasien.

Apakah pasien masih Masih, tapi tidak ada Untuk memberikan


mengalami penurunan nafsu penurunan berat badan terapi yang tepat pada
makan? pasien.

 ASSESMENT

DRP

C1. Pemilihan obat

C1.6 Terlalu banyak obat yang diresepkan untuk satu indaksi

I3. Pada pasien

I3.5 Pemberhentian obat

M 1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal

M.3.2 Ada obat tidak diperlukan.

P1. Efektivitas pengobatan

P1.1 Pemilihan obat tidak tepat

P1.2 Efek terapi tidak optimal

13
P1.3 Salah menerima terapi pengobatan

1) Pasien terdiagnosa mengalami Investigated dyspepsia karena gejala


yang dialami pasien merupakan tanda-tanda atau gejala yang berbahaya
(Alarm Sign) sehingga memerlukan pemeriksaan endoskopi untuk
mengetahui penyebab terjadinya dispepsia dan pasien Nn. W telah
melakukan pemeriksaan endoskopis.
2) Pasien terdiagnosa dispepsia kronis karena muncul dalam periode waktu
yang lama (> 4 minggu).
3) Dalam kasus ini, dengan keluhan pasien seperti nyeri ulu hati bagian
bawah dan atas, mual, penurunan nafsu makan yang belum hilang serta
hasil pemeriksaan endoskopi tidak terdapat kerusakan pada mukosa
lambung tetapi terdapat peradangan dan hasil H.Pylori test positive
sehingga dapat ditegakkan bahwa pasien mengalami Investigated
dyspepsia dengan kategori non ulcer Dispepsia dengan eradikasi H.
Pylori.
 PLAN
A. Terapi Farmakologi
1) Karena pasien Nn. W termasuk Investigated dyspepsia dan dyspepsia
kronis, maka diberikan obat golongan PPI (Pompa Proton Inhibitor)
yaitu Omeprazole 1 x sehari 10 mg. Obat diberikan low dose karena
berdasarkan penatalaksanaan terapi untuk pasien yang digolongkan
Investigated dyspepsia diberikan low dose untuk dosis awal pengobatan
(Pinto,2017).
2) Menurut Proton Pump Inhibitors for Functional Dyspepsia, 2008.
Golongan obat PPI (Pompa Proton Inhibitor) dinyatakan lebih efektif
dari pada Golongan Antasida maupun Golongan H2RA. Hal ini dapat
dilihat dari mekanisme PPI yaitu menghambat produksi asam lambung,
sehingga lebih efektif apabila dibandingkan dengan Golongan Antasida
yang hanya menetralkan asam lambung. Maka dari itu penggunaan obat
H2RA (Ranitidin) dan Antasida tidak diperlukan atau distop
(Pinto,2017).

14
3) Golongan Sucralfat tidak diperlukan dalam pengobatan karena kondisi
pasien tidak mengalami kerusakan pada mukosa lambung (Astuti,2017).
4) Penanganan nafsu makan menghilang tidak diperlukan penambahan
obat vitamin menambahkan nafsu makan karena itu merupakan suatu
gejala.
5) Diberikan Domperidone 10 mg, 3 x sehari, untuk meringankan rasa mual
dan muntah (Wijayanti,2014).
6) Menurut The Asia–Pacific Consensus Conference tahun 2009,
rekomendasi terapi lini pertama untuk eradikasi infeksi H.pylori adalah
PPI, yaitu Amoxicillin 1 g, dan Clarithromycin 500 mg dua kali sehari
(Prataman,2016).
B. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang diberikan kepada pasien adalah dengan
menghindari stress, dan istirahat yang cukup, karena pasien Nn. W ini
menjalani lifestyle yang normal seperti pasien tidak perokok, tidak minum
alkohol, pola makan teratur, dan mengkonsumsi makanan sehat.
 MONITORING
a. Efektifitas
Hilangnya rasa nyeri di ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual, dan
penurunan nafsu makan yang belum hilang.
b. Efek samping
- Omeprazole tablet: hiponatremia, vertigo, gangguan penglihatan.
- Domperidone tablet: nyeri kepala, kram perut, kehilangan nafsu
makan, mulut kering, sulit tidur.
- Amoxicillin tablet: mual, muntah, diare, ruam kulit.
- Clarithromycin tablet: diare, muntah, mual, gangguan pencernaan.
 PEMBAHASAN KASUS
Berdasarkan data subjektif pasien Nn. W usia 26 tahun, pasien
mengeluhkan rasa nyeri di ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual, dan
penurunan nafsu makan yang belum hilang. Pasien sudah mengalami gejala
tersebut selama 1,5 bulan terakhir. Pada kasus dispepsia pasien Nn. W, data
objektif berupa hasil dari endoskopi adalah dispepsia. Berdasarkan hal tersebut,
maka kondisi dispepsia pasien Nn. W tergolong Investigated dyspepsia, yang

15
merupakan suatu kondisi dimana pasien mengalami tanda-tanda kondisi yang
berbahaya (alarm signs) (National Institute for Clinical Excellence, 2004).
Berdasarkan kasus pasien Nn. W, dianalisa kesesuaian terapi yang
diberikan dengan kondisi medis pasien. Data-data subjektif berupa keluhan rasa
nyeri pada ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan
yang belum hilang dan ada data hasil pemeriksaan lebih lanjut berupa endoskopi
yaitu dyspepsia. Pada saat melakukan FIR dikatakan bahwa Nn.W melakukan
pemeriksaan tes H.Pylori dan hasilnya positif, maka kondisi pasien tersebut
digolongkan Investigated dyspepsia, yang pada kasus ini telah diterapi
sebelumnya mendapatkan obat Ranitidine tablet dan Antasida sirup. Setelah
melakukan endoskopi pasien mendapatkan obat berupa Sucralfat sirup,
Omeprazole tablet, Domperidone tablet, dan Antasida sirup.
No Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis terapi
digunakan (literature)
1. Ranitidine Mengobati tukak – Dihentikan
tablet lambung dan
duodenum akut
2. Antasida sirup Untuk mengurangi 1 × 1 sendok Dihentikan
nyeri lambung makan
3. Sucralfat sirup Mengobati tukak 3 × 1 sendok Dihentikan
lambung dan ulkus makan
duodenum
4. Omeprazole Mengobati Tukak 1 × 1 kapsul 10 mg 1 × 1
tablet lambung dan tukak
duodenum
5. Domperidone Untuk mual dan 3 × 1 tablet 10 mg 3 × 1
tablet muntah
6. Amoxicillin Untuk H.pylori – 1 gr 2 × 1
tablet
7. Clarithromycin Untuk H.pylori – 500 mg 2
tablet ×1
Berdasarkan tabel di atas, dianalisa bahwa terapi pada kondisi pasien
Nn. W belum rasional dan terjadi drug related problem (DRP). Pemberian terapi

16
Ranitidine tablet, Antasida sirup, dan Sucralfat sirup dihentikan. Terdapat DRP
M 1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal dan P 1.1 Pemilihan obat tidak
tepat (bukan untuk indikasi yang paling tepat) termasuk penggunaan obat yang
kontraindikasi. Maka planning yang diberikan adalah terapi obat Ranitidine
tablet, Antasida sirup, dan Sulcrafat sirup tidak dilanjutkan atau dihentikan.
Pada pemberian terapi Omeprazole tablet, Domperidone tablet, dan
Antasida sirup tetap dilanjutkan. Tidak terdapat DRP. Maka planning yang
diberikan adalah tetap melanjutkan terapi obat Omeprazole tablet dengan dosis
10 mg 1×1, Domperidone tablet dengan dosis 10 mg 3×1, dan penambahan
terapi antibiotic yaitu Amoxicillin 1 gr dan Clarithromycin 500 gr untuk
menyembukan H.Pylori dari pasien tersebut. Menurut The Asia–Pacific
Consensus Conference tahun 2009, rekomendasi terapi lini pertama untuk
eradikasi infeksi H. pylori adalah PPI, yaitu Amoxicillin 1 g, dan
Clarithromycin 500 mg dua kali sehari
Terapi non farmakologi yang diberikan kepada pasien adalah dengan
menghindari stress, dan istirahat yang cukup, karena pasien Nn. W ini mejalani
lifestyle yang normal seperti pasien tidak perokok, tidak minum alkohol, pola
makan teratur, dan mengkonsumsi makanan sehat.
Monitoring efektivitas pada kasus ini adalah hilangnya keluhan rasa
nyeri pada ulu hati bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan
yang belum hilang. Monitoring efek samping dari obat Omeprazole tablet ialah
hiponatremia, vertigo, gangguan penglihatan, obat Domperidone tablet ialah
nyeri kepala, kram perut, kehilangan nafsu makan, mulut kering, sulit tidur, obat
Amoxicillin tablet ialah mual, muntah, diare, ruam kulit. obat Clarithromycin
tablet ialah diare, muntah, mual, gangguan pencernaan.

17
V. KESIMPULAN
Berdasarkan dari tujuan praktikum dispepsia dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom (kumpulan
gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati
(daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan
perut terasa penuh.
2. Uninvestigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien mengalami
gejala nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdominal atas, heartburn, refluks
asam lambung, dengan atau tanpa bloating, mual atau muntah namun bukan
merupakan tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs) sehingga tidak
memerlukan pemeriksaan endoskopi.
3. Investigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien mengalami
tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs) sehingga memerlukan
pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui penyebab terjadinya dispepsia.
Investigated dyspepsia dapat dibagi menjadi 2 yakni dispepsia organik (pada
pemeriksaan endoskopi ditemukan kerusakan mukosa) dan dispepsia fungsional
(pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan kerusakan mukosa).
4. Terapi farmakologi: Omeprazole dengan 10 mg 1 × 1, Domperidone dengan 10
mg 3 × 1 untuk menyembuhkan dyspepsia, dan Amoxicillin dengan dosis 1 gr
2 × 1, dan Clarithromycin dengan dosis 500 mg 2 × 1 untuk menyembuhkan
infeksi H.pylori.
5. Terapi non farmakologi: Dengan menghindari stress, dan istirahat yang cukup,
karena pasien Nn. W ini mejalani lifestyle yang normal seperti pasien tidak
perokok, tidak minum alkohol, pola makan teratur, dan mengkonsumsi
makanan sehat.
6. Berdasarkan hasil pembahasan terapi yang tepat pada kasus berikut ini adalah
terapi obat Omeprazole tablet dengan dosis 10 mg 1×1, Domperidone tablet
dengan dosis 10 mg 3×1, Amoxicillin tablet dengan dosis 1 gr 2 × 1 dan
Clarithromycin dengan dosis 500 mg 2 × 1.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius
FKUI.

Astuti, S. D., Lubis, N. D., & Kurniasari, F. 2017. Evaluasi Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Berdasarkan Kriteria STOPP Pada Pasien Geriatri Evaluation of Inaccuracy Based
on Drug Selection STOPP Criteria in Geriatric Patients. Jurnal Farmasi Indonesia. p:
182-190.

Djojoningrat D. 2009. Dispepsia fungsional. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI.

Kimble, Koda., et al. 2013. Applied Therpeutic the Clinical Use of Drugs Tenth Edition.
Lippincott Williams &Wilkins, Awolters Kluwer.

Lullmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger. 2000. Color Atlas of Pharmacology, 2 rd, ed,
2000, 266-280.

National Institute for Health and Care Excellence. 2014. Dyspepsia and gastro-oesophageal
reflux disesase: investigation and management of dyspepsia, symptoms suggestive of
gastro-oesophageal reflux disease, or both. National Institute for Health and Care
Excellence.

North of England Dyspepsia Guidelines Development Group. 2004. Dyspepsia: Managing


dyspepsia in adults in primary care. New Castle: Centre for Health Services Research.

Pinto‐Sanchez, M. I., Yuan, Y., Bercik, P., & Moayyedi, P. 2017. Proton pump inhibitors for
functional dyspepsia. Cochrane Database of Systematic Reviews, (3).

Pratama, H. 2016. Eradikasi Helicobacter pylori. Cermin Dunia Kedokteran, 43(8), 592-595.

Shanjiv and Kean, 2016. Epidemiology of functional dyspepsia: A global perspective. World
Journal Gastroenterology 12(17): 2661–2666.

Simadibrata et al. 2014. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dyspepsia dan Infeksi


Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.

Susanti, Andri. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa. Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Tarigan C.J., 2001. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia
Organik. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.

Tim Dosen. 2021. Modul Praktikum Farmakoterapi II. Dwnpasar: Universitas Bali
Internasional.

Wijayanti, A., & Nuraeni, N. 2014. Pola Peresepan Antiemetika Pada Penderita Dispepsia
Pasien Dewasa Dan Lansia Rawat Inap Di Pku Muhammadiyah Yogyakarta Periode
Januari-Juni Tahun 2012. Media Farmasi: Jurnal Ilmu Farmasi, 11(2), 197-207.

Anda mungkin juga menyukai