Anda di halaman 1dari 22

BAB I

DIARE
1. Penertian Diare
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan konsistensi tinja (menjadi
cair) disertai peningkatan frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/ hari) disertai
perubahan, dengan atau tanpa darah dan atau lendir. Diare dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu diare akut dan diare kronik ( Suraatmaja, 2007 ). Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF tahun 2012, di seluruh dunia terdapat kurang
lebih dua miliar kasus penyakit diare setiap tahunnya. 1,9 juta penderitanya adalah anak –
anak yang berusia kurang dari 5 tahun, jika tidak ditangani bisa berujung pada kematian,
utamanya di negara berkembang. Jumlah ini 18% dari semua kematian anak di bawah
usia lima tahun dan berarti bahwa lebih dari 5000 anak-anak mati setiap hari sebagai
akibat dari penyakit diare (WGO, 2012).
2. Definisi Diare
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan buang air besar lebih dari
tiga kali sehari dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai
mencair yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah (WHO,
2017). Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih
sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes, 2011).
3. Patofisiologi Diare
Sejumlah besar virus, bakteri/organisme protosoa dapat menyebabkan
gastroenteritis. Pada diare bayi yang paling sering patogen adalah virus dan entero
patogenik, Ecoli. Pada orang dewasa terdapat perbedaan yang berkaitan dengan umur,
apakah infeksi di daerah tropik dan faktor presipitasi seperti pengorbanan antibiotik
yang terdahulu atau imun. Enterokolitis menyebabkan kram dan diare. Sedangkan
gastro entero kolitis menimbulkan mual, muntah dan kram. Dua cara utama dimana
organisme patogen menyebabkan diare : Invasi bakteri pada mukosa kolon
menyebabkan peradangan ulserasi.
4. Etiologi Diare
Diare disebabkan oleh sejumlah organisme bakteri, virus dan parasit, yang
sebagian besar disebarkan oleh air yang tercemar feses. Infeksi lebih sering terjadi
ketika sanitasi yang buruk dan kebersihan air yang aman untuk minum, memasak dan
membersihkan kurang memadai. Rotavirus dan Escherichia coli adalah dua agen
etiologi paling umum dari penyebab diare sedang hingga berat di negaranegara

1
berpenghasilan rendah. Patogen lainnya seperti spesies cryptosporidium dan shigella
mungkin juga penyebab dari infeksi diare. Pola etiologi spesifik lokasi juga perlu
dipertimbangkan. Penyebab diare selanjutnya yaitu kekurangan gizi. Anakanak yang
meninggal akibat diare sering menderita kekurangan gizi yang membuat mereka lebih
rentan terhadap diare. Diare adalah penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak
di bawah lima tahun dan penyakit diare ini menyebabkan malnutrisi mereka menjadi
lebih buruk (WHO, 2017). Air yang terkontaminasi dengan kotoran manusia,
misalnya, dari limbah, tangki septik dan kakus, menjadi perhatian khusus. Kotoran
hewan juga mengandung mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare. Diare juga
dapat menular dari orang ke orang, keadaan ini diperburuk oleh personal hygiene yang
buruk. Makanan adalah penyebab utama diare ketika dimasak atau disimpan dalam
kondisi tidak higienis. Penyimpanan dan penanganan air yang tidak aman juga
merupakan faktor risiko yang penting. Ikan dan makanan laut dari air yang tercemar
juga dapat berkontribusi terhadap penyakit diare (WHO, 2017).
5. Manifestasi Klinik
Menurut staf pengajar IKA FKUI (2000: 285), manifestasi klinik diare
adalah sebagai berikut:
1. Anak cengeng dan gelisah
2. Suhu tubuh meningkat
3. Tinja cair, warna kehijau-hijauan, disertai lendir atau darah
4. Anus dan daerah sekitarnya lecet
5. Muntah
6. Berat badan menurun
7. Dehidrasi
1.

2
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/32265/3/BAB%20I.pdf
http://eprints.ums.ac.id/16731/2/BAB_I.pdf
https://www.kalbemed.com/diseases/32#:~:text=Patofisiologi,usus%20berlebihan%20sehingga
%20timbul%20diare).

3
BAB II

KONSTIPASI
1. Pengertian Konstipasi
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan adanya
tinja yang keras sehingga buang air besar menjadi jarang, sulit dan nyeri. Hal ini
disebabkan karena ada tinja yang padat dan keras saat keluar dari anus yang dapat
menyebabkan perubahan akibat fisura ani. Konstipasi terjadi apabila frekuensi
BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai konsistensi feses yang keras,
kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun akibat
terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami perasaan tidak puas pada
saat buang air besar. Frekuensi defekasi yang kurang dari normal belum tentu
dapat dikatakan menderita konstipasi apabila ukuran ataupun konsistensi feses
tersebut masih normal.
2. Patofisiologi
Proses defekasi yang tidak lancer menyebabkan feses menumpuk hingga
menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan feses mengeras yang
kemudian dapat berakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di
rectum dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang
mengakibatkan kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses keluar
sehingga menyebabkan retensi feses yang semakin banyak. Peningkatan volume
feses pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga
retensi feses makin mudah terjadi. (Van Den Berg dkk, 2007).
3. Etiologi Konstipasi
Etiologi konstipasi fungsional diperankan oleh beberapa faktor. Faktor gaya hidup
adalah faktor yang paling berperan pada kasus konstipasi fungsional yaitu kurang
konsumsi serat, kurang cairan, dan kebiasaan tidak langsung buang air besar saat
adanya keinginan untuk buang air. Olahraga fisik regular juga ditemukan dapat
menurunkan risiko konstipasi. Selain itu, ada studi yang melaporkan bahwa waktu
transit kolon pada pasien konstipasi fungsional lebih lama dibandingkan kontrol.
Gangguan waktu transit ini diduga diakibatkan adanya disfungsi otonom, perubahan
morfologi pada pleksus submukosa dan pleksus mienterikus, serta penurunan kadar
neurotransmitter NO dan 5-HT. Konstipasi kronik dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu waktu transit kolon, inersia kolon, obstruksi jalan keluar feses, dan disfungsi
dasar panggul.

4
4. Manifestasi Klinis Konstipasi
Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borbogirimus (gemuruh usus),
rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak
dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap, mengejan saat defekasi, serta
eliminasi volume feses sedikit, keras dan kering. (Smeltzer dan Bare. 2008)

5
DAFTAR PUSTAKA

http://scholar.unand.ac.id/28567/2/BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf

https://www.alomedika.com/penyakit/gastroentero-hepatologi/konstipasi/
etiologi#:~:text=Konstipasi%20kronik%20dipengaruhi%20oleh%20beberapa,feses%2C%20dan
%20disfungsi%20dasar%20panggul.

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127216-TESIS0512%20Tam%20N08p-Pengaruh%20terapi-
Literatur.pdf

6
BAB III
HIPERTENSI
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri,
2017). Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis
penyakit yang mematikan di dunia dan faktor risiko paling utama terjadinya
hipertensi yaitu faktor usia sehingga tidak heran penyakit hipertensi sering
dijumpai pada usia senja/ usia lanjut (Fauzi, 2014), sedangkan menurut Setiati
(2015), hipertensi merupakan tanda klinis ketidakseimbangan hemodinamik
suatu sistem kardiovaskular, di mana penyebab terjadinya disebabkan oleh
beberapa faktor/ multi factor sehingga tidak bisa terdiagnosis dengan hanya
satu faktor tunggal (Setiati, 2015)
2. Patofisiologi Hipertensi
Patofisiologi hipertensi sangat kompleks. Walaupun belum diketahui
secara pasti, pada hipertensi essensial, faktor genetik, lingkungan serta gaya
hidup dapat mempengaruhi fungsi dan struktur sistem kardiovaskular, ginjal,
dan neurohormonal hingga menimbulkan peningkatan tekanan darah kronik.
Perubahan sistem kardiovaskular, neurohormonal dan ginjal sangat berperan.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat memicu peningkatan kerja jantung
yang berakibat peningkatan curah jantung. Kelainan pada pembuluh darah
berperan terhadap total resistensi perifer.
3. Etiologi Hipertensi
Hipertensi terganggu pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup
dan total peripheral resistance (TPR). Kecepatan denyut jantung yang
meningkat dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada
nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik
sering disertai keadaan hipertiroidisme. Akan tetapi peningkatan denyut
jantung biasanya dikaitkan dengan penurunan volume sekuncup sehingga tidak
menimbulkan hipertensi (Majid, 2015).

7
Peningkatan volume sekucup yang berlangsung lama mengakibatkan
peningkatan volume plasma yang berkepanjangan akibat penanganan garam
dan air oleh ginjal atau renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah
ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan
volume plasma dapat terjadinya peningkatan volume diastolik akhir, sehingga
terjadi peningkatan sekucup dan tekanan darah, peningkatan preload biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik (Majid, 2015).

4. Manifestasi Klinis Hipertensi


Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan dijumpai terjadinya penyempitan
pembuluh darah, perubahan retina, terdapat kumpulan cairan, dan edema pupil.
Gejala yang sering muncul pada penderita tekanan darah tinggi merupakan
kerusakan pada vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ
yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Pembuluh patologis
pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada
malam hari), dan azetoma (peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan
kreatinin). ). Keterlibatan pembuluh darah di otak bisa terjadi ( stroke atau
serangan iskemik transien (misalnya alserasi penglihatan dan penuturan
(speech), pusing, lemas, jatuh mendadak, hemiplegia transien atau permanen)
(Smeltzer, dkk, 2010). Smeltzer, dkk, (2010) menyatakan gejala klinis
teknanan darah tinggi disebabkan :
a. Perubahan retina terjadinya perdarhan, eksudat, arteriol yang mengalami
penyempitan, dan bintik kapas-wol (infark kecil), dan paoilledema dapat dilihat
pada hipertensi berat.
b. Perubahan patologis dapat terjadi pada ginjal (nokturia dan peningkatan kadar
Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin).
c. Gejala hipertensi menunjukkan kerusakan vaskuler yang berhubungan dengan
sistem organ yang difasilitasi oleh pembuluh yang terlibat

8
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unimus.ac.id/1689/4/13%20BAB%20II.pdf

https://www.halodoc.com/kesehatan/hipertensi

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/
8632749571344b5ee00a442860cce27b.pdf

9
BAB IV
GOUT/ASAM URAT

1. Pengertian Gout
Gout adalah sejenis sakit sendi atau arthritis yang ditandai dengan
pembengkakan pada sendi akibat kadar asam urat berlebih dalam tubuh. Meski
penyakit ini dapat menyerang sendi mana saja, umumnya Gout menyerang
jempol kaki. Kondisi ini sering menyebabkan pembengkakan besar dan
menimbulkan rasa sakit yang menyiksa, dan terkadang bahkan tidak
tertahankan, serta dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-
minggu. Untungnya, kondisi ini dapat dikendalikan dengan mudah melalui
pengobatan.
2. Patofisiologi Gout
Pada keadaan normal asam urat yang terbentuk selanjutnya akan dipecah oleh
enzim urikase menjadi substans yang larut pada urin sehingga mudah
diekskresikan. Tidak adanya enzim urikase ini dapat menimbulkan peningkatan
kadar asam urat. Sekitar 90% peningkatan kadar asam urat ditimbulkan akibat
ketidakmampuan untuk mengekskresikan asam urat pada urin akibat defek
genetik pada transporter anion ginjal yang mengakibatkan reabsorbsi asam urat
yang berlebihan. Hal ini juga bisa disebabkan oleh penggunaan beberapa obat
seperti aspirin, diuretik dan alkohol, serta fungsi ginjal yang menurun.
3. Etiologi Gout
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat
lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang
artritis gout. Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak
terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis gout
menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi
artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai
puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008). Wanita mengalami
peningkatan resiko artritis gout setelah menopause, kemudian resiko mulai

10
meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level estrogen karena estrogen
memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada wanita
muda (Roddy dan Doherty, 2010).
Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan wanita. Hal
ini kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam
urat serum (penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan
fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang dapat
meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009). Penggunaan obat
diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk perkembangan artritis
gout. . Obat diuretik dapat menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat
dalam ginjal, sehingga menyebabkan hiperurisemia.
Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk kardioprotektif, juga
meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia
juga terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid, etambutol, dan niasin
(Weaver, 2008).
4. Manifestasi Klinis Gout
Gambaran klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik, artritis gout
akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus. Nilai normal asam urat
serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl, dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl.
Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/ dl pada seseorang dengan artritis
gout (Carter, 2006). Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat asimptomatik,
kondisi ini dapat terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan
asam urat pada jaringan yang sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia
berkolerasi dengan terjadinya serangan artritis gout pada tahap kedua.
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi
terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak,
terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan
merasa lelah (Tehupeiory, 2006).

11
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin,
kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan
dan peningkatan asam urat.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/
4182/4546/10856#:~:text=Etiologi%20dari%20artritis%20gout%20meliputi,resiko
%20mereka%20terserang%20artritis%20gout.
https://www.halodoc.com/kesehatan/artritis-gout

13
BAB V
OSTEOPOROSIS

1. Pengertian Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit yang menyebabkan penipisan dan pelemahan
tulang. Kondisi ini dianggap sangat berbahaya karena efek yang
dihasilkannya terhadap pergerakan dan gaya hidup pasien. Osteoporosis dan
pendahulunya, osteopenia (kepadatan tulang yang rendah), dapat
menghentikan tingkat kegiatan seseorang dan menurunkan kualitas
hidupnya. Selain itu, para penderita keropos tulang (osteoporosis) juga
beresiko terkena patah tulang yang sangat menyakitkan. Mereka akan
dengan mudah mengalami cedera tulang meskipun hanya mendapat
benturan yang ringan.
2. Patofisiologi Osteoporosis
Patofisiologi osteoporosis berkaitan dengan perubahan kepadatan dan
kekuatan tulang akibat ketidakseimbangan pembentukan dan resorpsi
tulang. Kepadatan dan kekuatan tulang ini ditentukan oleh aktivitas
osteoblas untuk membentuk tulang dan aktivitas osteoklas untuk resorpsi
tulang. Ketidakseimbangan proses berupa peningkatan resorpsi hingga
melebihi pembentukan tulang dalam jangka panjang akan menyebabkan
terjadinya osteoporosis. Puncak massa tulang biasanya tercapai pada sekitar
usia 30 tahun. Setelah itu perlahan massa tulang menurun menjadi semakin
berporos, tulang trabekula menipis. Puncak massa tulang yang inadekuat,
mengakibatkan densitas massa tulang rendah. Berbagai faktor risiko seperti
penuaan, hipogonadisme maupun kondisi menopause, laju turnover tulang
yang tinggi akan meningkatkan kehilangan massa tulang sehingga
menurunkan kualitas tulang. Penurunan massa dan kualitas tulang akan
meningkatkan kerapuhan tulang. Tulang menjadi rentan fraktur.
3. Etiologi Osteoporosis
Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam osteoporosis
primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terjadi akibat

14
kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor usia secara alami.
Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian:
a. Tipe I (Post Menopausal)
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Ditandai
oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’fracture, dan
berkurangnya gigi geligi. Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular
pada tempat tersebut, dimana jaringan trabekular lebih responsif
terhadap defisiensi estrogen.
b. Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur
panggul dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang
kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut.
4. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Beberapa gejala dan tanda-tanda yang perlu diwaspadai sebagai
manifestasi klinis osteoporosis antara lain :
a. Tubuh terasa makin pendek,
b. Kifosis dorsal bertambah,
c. Nyeri tulang
d. Gangguan otot
e. Kaku dan lemah
Seperti didapat pada penderita osteomalasia atau hipotiroidisme, patah
tulang akibat trauma ringan, atau secara kebetulan ditemukan gambaran
radiologik yang khas. Nyeri punggung bawah adalah salah satu keluhan
penderita, biasanya timbul mendadak. Hal ini disebabkan fraktur kompresi
korpus vertebra. Yang sering kali terjadi pada vertebra torakal XII dan
lumbal I.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=5684
https://www.alodokter.com/osteoporosis/penyebab
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/
OWY5NjUyOTMxZjYwMGUyMWE3YTgxYWMxMzgzNjMwOWQ3NDQxOWEwYQ==.
pdf

16
BAB VI

OSTEOARTHRITIS

1. Pengertian Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan suatu kelainan degerasi sendi yang terjadi pada cartilage (tulang
rawan) yang ditandai dengan timbulnya nyeri saat terjadi penekanan pada sendi yang
terkena. Faktor yang dapat mempemgaruhi terjadinya osteoarthritis yaitu genetika, usia
lanjut, jenis kelamn permpuan, dan obesitas.
2. Patofisiologi Osteoarthistis
Patofisiologi osteoarthritis (OA) paling sering disebabkan karena penuaan sendi secara
fisiologis, sehingga sering kali disebut dengan penyakit sendi degeneratif. Akan tetapi,
banyak faktor yang berperan dalam terjadi OA, seperti trauma, penggunaan
berlebihan/overuse, faktor genetik, obesitas, perubahan hormon, dan sebagainya. Faktor-
faktor tersebut memberikan beban pada sendi secara berkepanjangan, sehingga
menyebabkan terganggunya homeostasis dari sintesis-degradasi sendi dan perubahan
morfologi berupa kerusakan tulang rawan, pembentukan osteofit, sklerosis subkondral, dan
kista tulang subkondral.
3. Etiologi Osteoarthistis
Menurut (Michael, Schlüter-brust, & Eysel, 2010) etiologi dari osteoarthritis dibagi
menjadi 2 keloompok, yaitu Osteoarthritis primer dan Osteoarthritis sekunder.
Osteoarthritis primer merupakan osteoarthritis ideopatik atau osteoarthritis yang belum
diketahui penyebabnya. Sedangkan osteoarthritis sekunder penyebabnya yaitu pasca
trauma, genetik, mal posisi, pasca operasi, metabolik, gangguan endokrin, osteonekrosis
aseptik. Menurut (heidari, 2011) osteoarthritis memiliki etiologi multifaktoral, yang terjadi
karena karena interaksi antara faktor sistemik dan lokal. Usia, jenis kelamin perempuan,
berat badan, dan obesitas, cedera lutut, penggunaan sendi berulang, kepadatan tulang,
kelemahan otot, dan kelemahan sendi memainkan peran dalam pengembangan OA sendi.
4. Manifestasi Klinik Osteoarthistis

17
Nyeri pada osteoathritis biasanya meningkat ketika penderita melakukan aktifitas an
berkurang ketika beristirahat. Ostoarthritis yang lebih lanjut dapat menybabkan nyeri pada
saat beristirahat dan dimalam hari, sehingga dapat mempengaruhi kenyamanan dalam tidur
karena nyeri yang semakin meningkat. Gejala utama yang menunjukkan adanya diagnosis
osteoarthritis meliputi:
a. Nyeri pada persendian yan terkena
b. Menurangi fungsi dari sendi yang terkena
c. Kekakuan (durasinya pendek, sendi terasa kaku saat lama tidak digunakan,namun
kekakuannya hanya sebentar)
d. Ketidakstabilan sendi
e. Penderita biasanya mengeluhkan gerakan sendi yang berkurang, deformitas,
pembengkakan, krepitasi, banyak terjadi pada usia lanjut >40 tahun. Apabila nyerinya
terlalu lama maka nyeri tersebut berkaitan dengan tekanan psikologis (Hunter et al.,
2009).

18
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/63203/4/BAB%20II.pdf
https://health.kompas.com/read/2020/07/14/103100568/osteoarthritis--gejala-penyebab-
cara-mengobati-dan-cara-mencegah?page=all

19
BAB VII
RHEUMATOID ARTHRITIS

1. Definisi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya
tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. Penyakit ini sering
menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia
produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran
karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah
terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat.
2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Patofisiologi rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan dan hiperplasia
sinovial, produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan antibodi protein anti-citrullinated
[ACPA]), serta kerusakan tulang dan/atau tulang rawan serta tampilan sistemik yang dapat
menimbulkan gangguan kardiovaskular, paru, psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari
keadaan ini masih belum diketahui namun RA melibatkan interaksi yang kompleks antara
faktor genetik, faktor lingkungan, dan beberapa faktor predisposisi.
3. Etiologi Rheumatoid Arthritis
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiaannya dikorelasikan dengan
interaksi yang kompleks antara factor genetik dan lingkungan.
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB 1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009.
b. Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulus esterogen dan
progesterone pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular

20
(TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana,
2009).
c. Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA
(Suarjana, 2009).
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amini homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada
agen infeksi dan sel Host. Sehingga menyebabkan terjadinya reaksi silang limfosit
dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
e. Faktor lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
4. Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis
Gejala awal terjadi pada beberapa sendi sehingga disebut poli artritis rheumatoid.
Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan tangan, sendi lutut,
sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi panggul dan biasanya
bersifatbilateral/simetris. Tetapi kadang-kadang hanya terjadi pada satu sendi disebut
rheumatoid arthritis mono-artikular (Chairuddin, 2003).
a. Stadium Awal
Malaise, penurunan BB, rasa capek, sedikit demam dan anemia. Gejala local yang
berupa pembengkakan, nyeri dan ganggun gerak pada sendi matakarpofalangeal.
Pemeriksaan fisik : tenosinofitas pada daerah ekstensor pergelangan tangan an fleksor
jari-jari. Pada sendi besar (misalnya sendi lutut), gejala peradangan ocal berupa
pembengkakan nyeri serta tand-tanda efusi sendi.
b. Stadium Lanjut
Kerusakan sendi dan deformitas yang bersifat permanen, selanjutnya timbul/ketidak
stabilan sendi akibat rupture tendo/ligament yang menyebabkan deformitas rheumatoid
yang khas berupa deviasi ulnar jari-jari , deviasi radial/volar pergelangan tangan serta
valgus lutut dan kaki.

21
DAFTAR PUSTAKA

https://www.alomedika.com/penyakit/reumatologi/reumatoid-artritis/patofisiologi

http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/20541/1/7ecfc9533b3d0c63e52385ece00081a8.pdf

http://eprints.umpo.ac.id/5034/3/BAB%202.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai