Anda di halaman 1dari 55

BAB I

Kini, usianya mendekati senja. Walau begitu, ingatannya


tentang bertahan hidup di kota metropolitan, masih rapi
dalam memori. Ia terus mengingat dan kerap menceritakan
pada sepasang anaknya. Bukan karena ingin memamerkan
perjalanan hidup, hanya saja agar pendengar dan pembaca
dapat memetik hikmah. Buruk baiknya kisah tergantung pada
pola pikir manusia. Manusiawi.

1993
Tidak salah bila seorang anak dari kampung, memiliki cita-
cita tinggi melebihi ketinggian lapisan ozon. Barangkali,
kedua orang tua meragu atas keputusannya merantau ke
kota metropolitan. Kota yang membentuk pola pikir manusia
untuk selalu tertekan. Bagaimana tidak? Demi memenuhi
sejengkal perut, setiap manusia menjelang tidur, harus
berpikir untuk makan di hari esok. Padahal, esok belum
dilalui, namun pikirannya sudah menembus ke sana. Lain
halnya di kampung, walau makan seadanya dari hasil ladang,
namun mereka jarang memikirkan hari esok terkecuali bagi
orang sebagai korban gaya hidup. Bagi mereka, selagi masih
ada yang di tanam, maka disana pula alam akan
mempersunting hasil. Selama padi masih tertancap di tanah,
maka akan ada kehidupan makhuk yang terselamatkan. Ada
rantai kehidupan yang belum diputus. Begitulah petikan yang
dapat diambil dari kisah petani.
Amin terus memandang cakrawala. Terik yang menyengat
kulit, mengingatkan kegiatannya selama di kampung.

1
Mengayuh sepeda sembari membawa beberapa karung padi
siap panen, untuk digiling menjadi beras adalah pekerjaannya
sebelum pergi sekolah. Hari ini, ia harus melawan waktu
demi menyambung hidup. Bertahan di kampung selepas
sekolah, bukanlah inovasi memajukan pola pikir, toh akan
begitu juga ke depannya, menjadi petani. Amin pun
memberanikan diri merantau untuk mencari pengalaman.
Awalnya memang berat, namun harus terlaksana demi
perubahan. Walau tidak ada perubahan, setidaknya
mendapatkan pengaruh baik. Ingatan tentang bentangan
sawah juga perlahan dikikis demi menghilangkan rasa rindu.
Amin menyapu seisi pandangan, dilihatnya orang-orang sibuk
berlalu-lalang. Sama seperti pikirannya kala itu yang sibuk
memikirkan cara menyambung hidup. Mengetahui kegagalan
masuk ujian ke Universitas Tinggi Negeri, ia harus
mempertahankan diri hidup di kota.
Sulit. Iya, ini memang sulit. Harus menjalani hidup tanpa
keahlian apapun kecuali baca tulis dan mengandalkan
tenaga. Walau begitu, bukan berarti harus mengubur
ekspektasi yang telah disematkan dalam hati. Pantang pulang
sebelum mati dalam peperangan. Mungkin, itu kalimat yang
tepat untuknya. Keahlian baca tulis dan mengandalkan
tenaga bisa saja ditanak dengan ketekadan untuk
menghasilkan yang diinginkan.
Sudah seminggu Amin bertempat tinggal di rumah sanak
saudara. Rasa segan perlahan bertunas, jangan sampai ini
merambat dan menjadikan diri gelisah. Selain itu, uang yang
dibawa dari kampung juga sudah menipis. Sekiranya masih
diberi tempat berteduh, ia harus memiliki pekerjaan. Tidak

2
mungkin menghabiskan waktu menunggu pendaftaran
mahasiswa baru dengan makan tidur di rumah sanak
saudara. Ini bukan budaya baik yang patut dicontoh. Apalagi
menunggu pendaftaran tahun depan, bukanlah waktu yang
singkat dengan isi kantong yang melompong.
Hati Amin semakin resah dengan keadaan. Hampir
seminggu ia bepergian keluar rumah untuk mencari
pekerjaan. Apapun itu asalkan halal, ia mau bekerja. Amin
memang tipikal pekerja keras. Kegagalan bukanlah sebagai
penghambat jalan hidupnya, justru ia mengambil hikmah dari
arti sebuah kegagalan. Terselip proses pendewasaan pada
kejadian gagal. Ia bisa lebih mengevaluasi diri dari pelajaran
yang didapatnya. Dari kegagalan, ia menyimpulkan bahwa
semua kesuksesan berawal dari kegagalan. Bagaimana
mungkin, jika seseorang bisa sampai ke puncak kalau belum
merasakan jatuh bangun saat mendaki. Bagaimana mungkin
seseorang dikatakan dewasa, bila ia belum merasakan
getirnya dalam berproses kehidupan. Tidak, semua yang
tersaji di meja makan adalah instan, semua butuh proses.
Hanya saja, ada waktu sebagai penentu keberhasilan
seseorang. Cepat atau lambatnya orang meraih keinginan,
tergantung ia mendisiplinkan waktu dan mampu memimpin
dirinya sendiri. Maka, tak heran pula Allah SWT menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi agar ia tidak terjatuh
pada kebudakan duniawi.
***
Seminggu berlalu dengan cepat, sedangkan rasa segan
perlahan menumpuk. Ia harus segera menemukan pekerjaan.
Menyusahkan keluarga, bukanlah cita-citanya dari kampung.

3
Dari tanah Huristak-Gunung Tua, ia sudah menancapkan
sebuah perubahan dalam diri untuk keluarga. Bahkan, suatu
hari ia akan membuktikan bisa membesarkan nama yang
diberikan orang tua.
Sudah seminggu Amin berjalan ke sana sini untuk mencari
pekerjaan. Suatu ketika, ia pergi ke pasar Sukaramai dengan
menaiki angkutan umum. Ditemuinya pedagang roti, ia pun
memberanikan diri menanyakan pekerjaan pada pedagang
itu. Lelaki paruh baya yang tidak ingin menjanjikan pekerjaan
pada Amin, namun ia menunjukkan alamat pabrik roti. Ia
mau Amin menanyakan langsung mengenai pekerjaan.
Karena alamatnya tidak terlalu jauh dari rumah saudara,
keesokannya Amin segera mendatangi pabrik roti. Jelas saja,
Amin diterima bekerja, memang pabrik tersebut
membutuhkan tenaga kerja sebagai pembuat roti bukan
pedagang keliling. Dengan hati bersorak bahagia, Amin
bekerja di tanah Melayu berbaris Batak, Medan.
Hari pertama bekerja sebagai pembuat roti. Awalnya
sedikit bingung, tidak tahu membuatnya. Orang-orang yang
ramah di sana membantu Amin melakukan pekerjaannya.
Mereka bergantian mengajarkan Amin mengadon tepung
dan bahan lainnya. Usai mengadon, mulai di bentuk. Dalam
pembentukan roti, ada sebagian roti diisi pisang, cokelat,
kelapa, dan lainnya. Kemudian, dipanggang.
Hampir seminggu Amin bekerja membuat roti, namun ini
tak layak ditekuni. Dengan bekerja panas-panasan di dalam
pabrik, ia hanya menerima upah roti bukan uang. Ini tidak
bisa dilanjutkan, ia bekerja untuk mencari uang agar bisa
menyambung hidup. Upah roti, tidak mungkin bisa

4
mengantarkan dirinya menjadi mandiri. Amin pun berhenti
bekerja.
Karena mengetahui Amin berhenti bekerja di pabrik roti,
tetangga menawarkan pekerjaan. Pekerjaan yang saat ini
dianggap rendah, yakni tukang becak. Siapa sangka, lelaki
bernama lengkap Marasamin itu dulunya pernah bekerja
sebagai tukang becak. Saat itu Amin memang membutuhkan
pekerjaan, itu sebabnya ia selalu menerima tawaran
pekerjaan dari orang. Selagi pekerjaan itu halal, ia pun
menerima tanpa berpikir panjang.
Pemuda itu memulai kehidupan sebagai tukang becak
dayung. Bekerja sebagai tukang becak, tidaklah rumit. Cuma
mengeluarkan tenaga. Ia sering bekerja menguras keringat di
kampung, masak mendayung becak saja tidak sanggup.
Pikirnya.
Bermulai pukul tujuh pagi, ketika para tetangga sibuk
berlomba-lomba mengeraskan suara untuk membangunkan
dengkuran dan mengatur anaknya, Amin bergegas pergi
memungut rejeki di jalanan. Ia menyiapkan bekal seperti air
minum dan handuk kecil untuk mengelap keringat. Semua
sudah sempurna tergantung di leher. Ia segera mengadu
nasib di jalanan. Dengan membawa bekal dan doa, ia
berharap hari pertama akan membawa berkah sebagai
pembuka hari berikutnya. Doa sudah dirapalkan, bekal pun
menyertai. Entah dapat rejeki banyak atau tidak, terpenting
sudah berusaha. Semua berpulang padaNya, hanya Dia yang
Maha Berkehendak.
Masih terlalu pagi untuk bergegas menjemput rejeki.
Spirit yang membakar sukma agar bisa mengharumkan nama

5
keluarga sedang marak. Amin bergerak dengan bayangan
kedua orang tua di setiap langkah. Ia memasukkan semua
bekal ke dalam jok bawah tempat duduk penumpang. Bekal
berupa air minum dan satu handuk lagi di simpannya dengan
rapi. Perlahan, Amin mendorong becak dari halaman rumah.
Kata orang tua dulu, jemputlah rejeki sebelum dipatuk ayam.
Ini kerap dijadikan Amin sebagai kalimat motivasi, selain
membuatnya lebih giat, juga bisa membiasakan diri bangun
pagi. Agar tidak terbiasa bangun siang, ia khawatir tinggal di
kota akan membudidayakan malas bangun pagi.
Di bawah atap kebiruan muda, Amin sudah meninggalkan
beranda, mulai mengayuh becak meninggalkan daerah jalan
prumnas mandala. Ia menyambut hari pertama kerjanya
dengan semangat.
Gang ke gang sudah dilalui, Amin memasuki jalan Denai.
Tujuan utamanya adalah pasar Sukaramai. Di sana, ia
menaruh asa mendapat penumpang yang mau pergi atau
sehabis belanja.
Sepanjang perjalanan, ia terus mengayuh. Hati yang tak
luput menyebut namaNya membumbung tinggi, seolah ingin
menembus langit ketujuh agar semesta mendengar dan
merestui keinginan. Matanya sibuk menyisir tepi aspal.
Telinga yang biasanya mendengarkan kicauan burung di
sawah, kini harus dipertajam untuk merekam panggilan
penumpang. Kicauan burung setiap pagi menjelma teriakan
para tetangga dan panggilan penumpang dari seberang jalan.
Namun, bukan berarti dirinya untuk menghapus suara
Mamak dan Ayah di kampung. Justru, setiap intonasi yang
keluar dari bibir Mamak Ayah masih tersimpan jelas dalam

6
memori. Setiap petatah-petitih mereka adalah pegangan saat
Amin terjatuh atau berada di satu titik fase kejenuhan. Suatu
hari, petatah petitih mereka akan terbukti. Pikirnya.
Saat Amin asik mengayuh, terdengar suara perempuan
memanggil “becak” dari seberang jalan. Ia menoleh, terlihat
perempuan paruh baya menjinjing keranjang di tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya melambai, memanggil Amin. Ia
segera memutar setang, mendayung pedal menuju
perempuan yang memanggilnya. Dalam hati, ia bersorak
gembira seraya mengucapkan kata syukur. Ah, ada saja cara
Allah SWT Menyayangi hambaNya, batin Amin. Ia pun
menarik bibir, melempar senyum pada semesta seolah
menunjukkan bahwa dirinya bahagia. Bahagia karena
mendapatkan penumpang pertama, ingin diingatnya sampai
kapanpun. Kelak, ia ingin berbagi pengalaman pada anak-
anaknya, atau ini pantas dijadikan sebuah cerita membangun
motivasi orang yang telah lama terlelap akibat kepraktisan.
Amin berhenti di depan perempuan yang memanggilnya
tadi. Seorang ibu bermata sipit melempar senyum sembari
menanyakan ongkos ke Pasar Sukaramai.
“Berapa ke Sukaramai?” tanya si ibu
“Seperti biasa, bu.” Jawab Amin
“Ya, saya biasa bayar Rp.750,00.”
“Ya sudah, bu. Ayo naik!”
Tanpa bimbang Amin menyuruh ibu itu naik ke dalam
becak. Ia juga tidak tahu ongkos ke Sukaramai. Lagian, itu
sudah separuh harga sewa. Setidaknya, bila ia mendapatkan
satu atau dua penumpang lagi, uang sewa becak dapat
tertutupi. Selebihnya ia bisa menabung buat ngekost kamar.

7
Memang selama ini ia berniat untuk memisahkan diri dari
sanak saudara. Bukan berarti ia memutuskan tali
kekeluargaan, hanya ingin hidup mandiri.
Amin mengayuh becak menuju pasar Sukaramai. Ini
penumpang pertama dengan nama becak mawar, ia
mengayuh dengan semangat. Sembari mendayung pedal, ia
memikirkan bahwa pekerjaan menarik becak sangat
menguntungkan baginya. Kalau sehari bisa mendapatkan
Rp.5000,00 ia bisa menabung buat biaya sendiri. Apalagi
kalau ia pandai berhemat, ia mampu menabung untuk kuliah.
Keringat perlahan mengucur, mengalir ke seluruh tubuh.
Sesekali Amin mengelap dengan handuk kecilnya. Baju yang
melekat pun sudah basah. Biar begitu, ia terus menjalani
pekerjaannya.
Sesampai di perempatan jalan. Si penumpang minta
diturunkan sebelum traffic lamp. Amin menghentikan
dayungan kakinya. Si ibu turun, mengeluarkan beberapa
lembar uang dari dompet kecil. Ia menyodorkan uang
tersebut ke Amin. Dengan senyum simpul, Amin mengangguk
sambil berucap “terima kasih.” Perempuan bermata sipit
itupun membalasnya. Mereka berpisah setelah ibu berkulit
putih itu memasuki toko. Sedangkan Amin masih menunggu
keringat kering. Ia mengibas-ibaskan handuk, membuat
udara lebih banyak menghampirinya.
Tak lama Amin mengeringkan keringat, ada seorang ibu
menghampiri. Ia menanyakan ongkos ke jalan Bromo. Sama
seperti tadi. Untuk saat ini, Amin hanya mampu menjawab
“seperti biasa” kalau ada yang menanyakan ongkos.
***

8
Lima hari Amin bekerja sebagai tukang becak, pundi-pundi
uang sudah terkumpul. Ia pernah melihat tulisan menerima
anak kost di jalan rawa cangkuk tiga. Ia meminta ijin pada
paman dan bibi untuk mengekost. Sebenarnya mereka berat
hati membiarkan Amin mengekost. Selain ia baru pertama
kali ke Medan, khawatir juga pada kehidupannya nanti. Cuma
dengan keras hati, Amin meyakinkan keluarga bahwa ia
mampu menjalani hidup mandiri. Lagian, ia ingin merasakan
kehidupan dengan hasil keringat sendiri. Akhirnya pihak
keluarga rela melepaskannya pergi. Walau berpisah, sesekali
ia menjenguk mereka. Bukan hanya keluarga yang di
Prumnas Mandala, Amin juga sering mendatangi keluarga di
Jalan Pelita Satu. Sejak ia jadi tukang becak, langkahnya
mengukur jalan semakin panjang. Ia juga bisa mendatangi
beberapa rumah saudara. Menyelam sambil meminum air,
begitulah yang dialami Amin. Sambil menarik becak, ia bisa
mengunjungi rumah keluarga yang ada di Medan.
Membentangi keeratan tali persaudaraan.
Seminggu mengekost di jalan rawa cangkuk tiga, ia
semakin rajin mengais rejeki. Mulai pagi hingga petang, Amin
menarik becak melewati jalan Bromo-Sukaramai. Bila malam
tiba, ia segera menjajaki jalan Halat, Amaliun, HM. Joni.
Pernah suatu ketika, saat mengantar penumpang ke jalan
bahagia Pass, ia terkesan. Kala itu, Amin mengantar seorang
perempuan ke jalan Bahagia Pass. Tepat di depan rumah
penumpang, transaksi telah usai dilakukan. Amin mencoba
mencari jalan baru. Niat hati bisa menemukan jalanan baru
untuk mencari penumpang, ternyata dipenghujung jalan
hanya terdapat persawahan. Ia tertegun. Ditengah keramaian

9
kota masih terselip persawahan di dalamnya. Spontan saja
memori tentang kerinduan kampung meruak seperti sawah
di hadapannya. Betapa remuk hati Amin malam itu menahan
rindu. Setelah melewati beberapa hari di Medan dengan
kegiatan, kembali perihnya menganga akibat rindu. Begitulah
rindu menghantam manusia, tak kenal siapa dan kapan.
Amin memutar setang. Malam mulai larut, ia segera
mengakhiri pekerjaan. Uang buat bayar sewa becak sudah
terpenuhi. Hanya tersisa sedikit untuk ditabung buat bayar
kost kamar.
Selama seminggu penuh Amin mengekost, ia semakin
sering main ke rumah saudara yang ada di jalan Pelita satu,
kampung durian. Sembari bersilaturrahmi, ia juga
menjemput rejeki membawa penumpang yang searah.
Ternyata, ada hal yang berbeda di sana. Ia merasa bahwa di
daerah jalan pelita satu, sudah banyak pemukiman. Maka,
saudara menyarankan pada Amin segera pindah. Awalnya
Amin enggan untuk pindah. Itu sama saja ia harus mencari
kerja lagi. Sedangkan ia sudah nyaman dengan pekerjaannya
sebagai tukang becak.
“Bagaimana ya, Tulang1? Aku sudah nyaman dengan
kerjaanku.” Tutur Amin
“Kau juga bisa menarik becak di sini, ada juga kok di sini
tauke becak.” Ujar Paman Amin.
Amin menarik napas banyak-banyak. Kalau begitu, ia
mengiyakan ajakan paman. Jadi, bukan sekedar tawaran
namun diberi solusi.

1
Tulang dalam sebutan orang batak yang berarti paman

10
Sebenarnya maksud paman menyuruh Amin pindah ke
rumahnya. Tetapi bukan Amin orangnya kalau tidak berkeras
hati. Bukan, ia tidak memelihara kekerasan hati, ia Cuma
ingin menjadi manusia berprinsip. Karena dengan prinsiplah,
manusia menemukan identitas diri. Ia tidak akan tergoyah
dengan arah angin. Tetap maju walau di sekeliling sibuk
mencerca dan menjatuhkan, namun manusia berprinsip
tetap teguh pada pendirian.
Sepulang dari rumah paman, Amin menarik becak lagi.
Hanya itu kegiatannya selama ini. Berhubung akan bertempat
tinggal di daerah kampung durian, ia membaca jalan di sana
hingga menemukan rumah yang menerima anak kost.
Kebetulan sekali, ia pun berhenti di depan rumah tersebut,
menanyakan uang sewa kamar.
Akhirnya Amin menemukan tempat tinggal di kampung
durian gang kacung. Disinilah, ia akan menyambung rejeki
lagi.
***
Suasana baru dimulai kembali. Dengan sisa tabungan, ia
coba berusaha mengais rejeki dengan jualan. Amin berjualan
rokok keliling di Pasar Sambu. Barangkali dengan dagang, ia
bisa mendapatkan keuntungan besar.
Tiga hari ia mengelilingi pasar Sambu sambil
menggendong kumpulan merek rokok, bertemulah dengan
seorang preman. Lelaki bertato itu mengajak Amin berbicara
lama. Ia menawarkan Amin bekerja, namun jauh di Batam
sana. berat hati Amin mau diajak, sebab ia bertujuan kuliah
bukan bekerja, namun anggaplah ini sebagai batu loncatan
mengemban ilmu di tahun depan. Amin mengiyakan ajakan si

11
Preman. Tanpa sadar, preman itu mengambil rokok Amin
tanpa membayar.
Seminggu dilalui, Amin merasa jualan rokok bukanlah
solusi memenuhi kebutuhan hidup. Menunggu kabar dari
preman juga tak kunjung kejelasan. Malah ia tak pernah
menampakkan diri. Amin menimbang logika untuk
meneruskan usaha kecilnya itu. Ia rasa, menarik becak masih
memiliki omset lebih besar ketimbang jualan rokok. Memang
sangat melelahkan, namun tetap terbayarkan.
Akhirnya, Amin menarik becak kembali dengan menyewa
becak di daerah jalan pelita satu. Lumayan, bayaran sewa
lebih murah dari sebelumnya, yakni Rp.1000/hari. Mungkin,
untuk sementara ia hanya bisa menarik becak dayung. Tak
apa, selagi bisa menyambung hidup tanpa berpangku tangan
pada orang lain. Ia tetap melakukannya dengan senang hati.
Hari ini, kakinya kembali menjilati jalanan kota Medan.
Bermula dari lintas kampung durian, jalan rakyat, Krakatau,
Sutomo hingga Pasar Sambu adalah jalanan yang dilalui.
Suasana di kampung durian membuat dirinya termotivasi
karena bermukim dengan mahasiswa IAIN. Semangatnya
untuk kuliah semakin marak setelah melihat kehidupan
mahasiswa di sekeliling. Mereka menghabiskan waktu untuk
belajar.
“Suatu hari nanti, aku pun akan merasakan.” Bisiknya
dalam hati.
Ada seorang teman serumah dengannya memiliki jiwa
hemat yang amat luar biasa sampai-sampai Amin dimarahi
karena berbagi lauk kepada teman lainnya. Ini sangat diingat
Amin. Ini pula pertanda bahwa Kota dapat mengubah pola

12
pikir manusia. Walaupun begitu, Amin bukan seperti pucuk
pohon kelapa yang goyang mengikuti arah angin. Ia tetap
membiarkan tangannya ringan memberi kepada siapapun.
Terlebih lagi ia sudah merasakan getirnya hidup dengan biaya
sendiri. Ternyata kegetiran itu pula yang membuat hati
semakin peka untuk saling menolong. Bukankah Allah SWT
sudah menyarankan agar manusia saling kenal dan
menolong. Ah, ia bukan seorang manusia pendusta terhadap
janji Allah SWT.
Seperti biasa, ia mulai berangkat menjemput rejeki dari
pukul 07.00. Sama seperti sebelumnya, ia melewati pasar
kampung durian, melalui jalan pelita sampai ke jalan rakyat,
kemudian menyusuri jalan pasar tiga krakatau terus sampai
ke jalan Muktar Basri.
Dari pasar tiga krakatau, ada empat pemuda yang
melambaikan tangan sambil berteriak “Becak” pada Amin.
Amin menghentikan dayungan, ia menoleh dan menghampiri
keempat pemuda itu. Mereka minta diantarkan ke Tol
Tanjung Mulia. Melihat tubuh keempat pemuda itu, Amin
tidak keberatan mengantarnya. Lagian ongkosnya pasti lebih
mahal. Selain jauh, mereka juga melebihi kapasitas isi becak.
Amin mengangguk saat mereka sepakat membayarnya
seperti biasa dan akan diberi uang lebih.
Keempat pemuda itu masuk ke dalam becak. Sedangkan
Amin mulai mengayuh. Dalam kayuh, ada rapalan doa agar
kaki diberi kesehatan untuk menyambung hidup di kota
orang. Setiap cucuran, ada rindu yang harus dikeluarkan
setiap harinya. Amin dengan jasa pengantar orang ke tujuan

13
mulai berperang melawan nasib. Perlahan rasa pahit dan asin
sudah dikecap walau belum sepenuhnya.
Sesampainya di pintu tol Tanjung Mulia, ada rasa
kekesalan menghujam hati karena keempat pemuda itu lari
dari becak tanpa membayar. Amin mengejar mereka, namun
tak sampai jauh, ia juga tidak mungkin meninggalkan
becaknya sembarangan. Ini malah lebih membahayakan. Ia
sudah berteriak meminta ongkos pada pemuda itu, tetapi
tidak ada yang menghiraukan. Miris. Kekhawatiran
mendapatkan getah permasalahan orang, menjadikan
manusia kota acuh pada manusia lainnya.
Napasnya tersengal-sengal, ia mengelap tubuh
bermandikan keringat. Rasanya ingin marah, namun
percuma. Teringat nasihat Mamak di kampung. Marah hanya
membuat diri menyesal. Amin mendoakan keempat pemuda
itu agar tak merasakan apa yang dirasakannya. Mengantar
mereka dengan beban berat dan jarak yang jauh tanpa
dibayar. Karena hukum Allah tidak akan berkhianat seperti
hukum manusia.
Ia kembali memutar becak, membawa kecewa akibat
keempat pemuda. Di sana, hatinya ditempah untuk
membentuk kesabaran. Kakinya harus ikhlas. Dengan
kesedihan mendalam, Amin mengayuh. Ia tidak mengerti,
mengapa ada manusia setega itu. Walaupun mereka tidak
bisa membayar sesuai tarif, setidaknya separuh. Bahkan
untuk berucap terima kasih, tak didengarnya.
Matahari semakin terik, seolah ingin membakar kulit
manusia. Amin mendayung pedal, menyusuri jalan krakatau.
Waktunya sudah terkuras dibuat keempat pemuda itu.

14
Harusnya ia sudah berada di persimpangan jalan Gaharu. Apa
boleh dibuat? Kalau tidak begitu, Amin tidak merasakan
kegetiran hidup di kota. Ia harus kuat, agar menjadi tegar.
Baja yang berkualitas akan diuji pada tungku yang paling
panas.
Terdengar alunan ayat Allah SWT dari mesjid ke mesjid.
Segera Amin mencari mesjid untuk menunaikan kewajiban
sekaligus beristrirahat. Sesampai di jalan krakatau, ia
memarikirkan becak di halaman mesjid. Siang itu pula
ditumpahkan segala kekesalan peristiwa di atas sajadah.
Hidup, apapun yang anda rasakan dan simpulkan. Hidup
tetaplah hidup, kepahitan dalam hidup sudah dirasa baginya.
Akan ada hal lain lagi yang harus dikecap untuk membentuk
diri menjadi kuat dan tegar. Amin pun tidak ingin peristiwa
menjadi keputusasaan. Malah, ia menjadikan ini sebagai
bahan hidup di hari yang akan datang. Bukan hanya itu, ia
juga sudah memetik pelajaran penting, mungkin tidak
didapat bangku sekolahan, yakni kesabaran. Keempat
pemuda yang menipunya, memberikan pelajaran betapa
sakitnya ditipu. Maka, ia tidak boleh melakukan hal serupa
pada orang lain.
Selesai mengadu di rumah Allah SWT. Kebutuhan batin
juga sudah terpenuhi. Kini, mencari warung untuk memberi
asupan bagi fisik. Sebab, hidup juga harus adil. Dirogoh saku
celana, mengambil recehan dan memasukkannya ke kotak
infak mesjid. Ia menyisihkan uang buat makan hari ini.

***

15
Masih sama seperti pagi kemarin, ia tetap membiarkan
kaki mengayuh pedal becak. Barangkali, suatu hari ia akan
merindu pekerjaannya dulu. Sebagai pengantar kesuksesan,
ia yakin janji Allah SWT pasti tepat. Bila kesusahan hinggap
dalam hidup, juga ada kebahagiaan mengiringi.
Seperti biasa, persimpangan jalan Gaharu menjadi
tempatnya menunggu penumpang. Di sana pula ia membawa
penumpang seorang mahasiswi. Gadis itu membutuhkan jasa
Amin mengantarnya ke kampus Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara (UMSU). Dalam perjalanan, Amin bergumam
dalam diri.
“Betapa enaknya menjadi kakak ini, ia diberi kesempatan
untuk kuliah. Sedangkan dirinya, harus bertarung melawan
waktu demi menyambung hidup. Dan, itupun sudah
Alhamdulillah.”
Ada iri mampir dalam pikiran. Amin merasa iri, namun
bukan berarti menggunakan sifat itu menjadi senjata
menyakiti orang lain. Ia jadikan itu sebagai tusukan dalam
diri, agar esok tak lagi merasa iri melihat mahasiswa.
Akhirnya, Amin menjadikan iri untuk bahan motivasi agar
lebih giat mencari dana buat biaya kuliah nanti.
Sewaktu-waktu, ia ingin merasakan hal sama seperti
penumpangnya. Duduk di gedung, menikmati ilmu dari
dosen. Mendapatkan gelar sarjana dan menjadi orang yang
dapat mengamalkan ilmu.
Untuk sementara, ia memasak harapan, doa dan usaha
menuju kebahagiaan. Kuliah di kampus juga tidak memaksa
identitas. Siapa dan kapanpun bisa kuliah selagi ada
kemauan. Tahun ini ia gagal kuliah, namun masih ada tahun

16
yang akan datang. Bila harapan sudah ditabur dalam diri, doa
mencapai langit, usaha sudah mengukur jalanan. InsyaAllah
Allah SWT akan membalas semua yang diinginkan, asalkan
dengan niat lurus. Maksud niat lurus, tanpa ada
menyombongkan diri di hadapan orang lemah. Boleh saja
memiliki sifat kesombongan, Cuma tergantung kepandaian
seseorang menempatkannya.
Mungkin, saat ini Allah SWT tengah memperhatikan Amin
menjalani hidup di jalanan.
***
Matahari mengintip di ufuk timur, sindarnya
memancarkan seisi kampung durian. Banyak manusia
bertabur, berlalu-lalang, namun tak seperti hari biasa. Pekan
ini Amin juga ingin memanjakan tubuh. Ia beristirahat untuk
menikmati hidup seharian. Manusia bekerja untuk hidup
bukan hidup untuk bekerja. Ia tak mau jadi budak dunia.
Guyon bersama teman serumah, menegur sapa tetangga dan
berjalan-jalan membaca keadaan.
Amin berniat untuk jalan-jalan ke Pasar Sambu untuk
membeli kebutuhan. Masih terlalu pagi bergegas, maka ia
membiarkan diri menikmati teh dan kicauan beberapa
burung gereja. Tak lupa pula matanya menyapu anak-anak
tengah bermain kelereng yang memerdekakan diri dari
penjara tugas sang guru. Begitu juga kaum ibu, sejak pagi tadi
tak terdengar teriakan membangunkan anaknya untuk
bersekolah. Keadaan gang terlihat ramai. Di depan gang,
banyak orang berlewatan, ada yang ke pasar, ke gereja
karena ibadah, ada juga kaum bapak-bapak yang baru pulang
dari Mesjid untuk jalan pagi.

17
Dengan menggandeng lengan gelas berisi teh, Amin
melangkahkan kaki ke dapur. Ia menyudahi kenikmatan pagi
itu, Raja cahaya sudah merangkak perlahan. Tak mau
tersengat bakaran matahari, Amin segera bergegas ke Pasar
Sambu. Kali saja ia juga menemukan pekerjaan di sana.
Mengenakan pakaian sekedarnya- kaos dan celana keper.
Amin berjalan menuju ujung gang, sesekali bibirnya
melempar senyum pada tetangga. Ia tak ingin menebar
kebencian karena sombong. Apa yang harus dipongahkan
manusia di dunia? Bukankah dunia ini fana? Ya, terlalu fana
untuk diartikan. Sekiranya senyum saja masih bisa diartikan
dengan banyak argumen, lantas apalagi dengan
kesombongan pada kaum lemah dan miskin. Pun, bila ada
orang mengangkat dagu di hadapan kalangan bawah, ia
adalah pecundang. Bagaimana tidak? Ia hanya berani
menyombongkan diri di hadapan kalangan bawah. Apakah ia
berani menaikan dagu di depan bos atau atasannya? Bijaklah
untuk menempatkan kesombongan dalam diri, sebelum ia
menjadi belati yang siap mencabik-cabik.
Di penghujung gang, Amin menunggu angkot. Satu-satu
diperhatikan orang yang di sana. Lagi, ia membaca keadaan.
Sangat jauh untuk dibandingkan dengan keadaan di Huristak.
Dari kejauhan, ia melihat angkot berwarna kuning
bertuliskan angka. Amin melambaikan tangan, pertanda
menghentikan angkot. Tepat di depannya, angkot tersebut
berhenti. Ternyata, bukan Amin saja yang masuk ke dalam
angkot. Sebelum kakinya masuk ke angkot, ada ibu-ibu
terlebih dahulu naik. Kemudian, ia masuk ke dalam angkot.

18
Di dalam angkot, Amin bertemu dengan teman
sekampung. Raja namanya. Amin menegurnya, Raja yang
juga membalas teguran Amin. Hati mereka bersorak gembira
bertemu dengan teman sekampung di perantauan. Mereka
saling menanyakan kabar dan bercericau. Pemuda yang
disamping Amin itu menanyakan keadaannya. Amin
menceritakan keinginan, kegagalan kuliah hingga pekerjaan
saat ini.
Raja menghadiahkan wajah murung saat mendengar
cerita Amin. Ada gerakan hati untuk menawarkan kerjaan
lebih baik untuk Amin. Hanya saja, ia takut Amin menolak.
Namun, tidak salahnya Amin mencoba, kali saja pekerjaan ini
sesuai buat Amin.
Tanpa berpikir lama, Amin mengiya ajakan Raja setelah
mulutnya berlama-lama komat-kamit. Lagian sepupu Raja
bekerja di tempat yang sama. Daripada menunggu kerjaan
dari preman di Sambu yang tak kunjung kabar, Amin pun
mencari batu loncatan. Lubukpakam, bukanlah kawasan yang
jauh dari Medan. Sekiranya, ini adalah kerjaan tetap yang
bisa dibuat sambilan kuliah, mengapa tidak dijalankan.
Barangkali, dengan kerja ini, Amin bisa hidup dengan biaya
sendiri, bayar kuliah sendiri, bahkan bisa mengirimi uang ke
kampung buat sekolah adik-adik.
***
Tentang pekerjaan yang diceritakan Raja, memang
benar. Bekerja di kantor dengan pakaian rapi. Tidak seperti
tukang becak dan pedagang rokok asongan. Ia akan bekerja
di dalam ruang, tepatnya akan keluar masuk kantor. Selain
itu, mengantongi enam ratus ribu setiap bulan sudah

19
mengurangi beban pikiran mengenai makan dan bertempat
tinggal. Ia juga bisa menyisihkan beberapa uang buat dikirim
ke kampung. Memang mudah mencari kerja di kota asal kita
mau saja, pikirnya.
Dengan mengendarai sepeda, mulailah Amin mengelilingi
kawasan Lubukpakam. Penginapan dan sepeda yang
ditanggung kantor, membuatnya merasa senang. Itu
pertanda gaji Amin hanya dipergunakan untuk makan saja.
Lumayan, batinnya.
Amin memulai pekerjaan dengan bingkisan hati yang
senang. Ia ditugaskan untuk membantu warga dengan
meminjamkan uang. Ini berarti ia melakukan pekerjaan
sekaligus membantu orang-orang susah. Ia menawarkan jasa
pada ibu-ibu yang berkumpul di beranda rumah seperti
semut-semut yang menemukan tetesan cokelat. Amin
menghampiri mereka, merakit kata-kata lembut untuk
membujuk kaum hawa agar mau menerima bantuan dari
Amin. Soal uang, siapa yang tidak tergiur. Bahkan tikus-tikus
yang sering hilir-mudik kantor pun senang dengan uang.
Malah, tikus kampung juga ikutan doyan makan uang.
Seleranya bukan lagi memakan padi atau biji sawit. Mereka
malah lebih memilih pindah ke kantor. Barangkali, di sana
tidak ada pemangsa seperti ular atau elang. Hanya ada
manusia yang dapat ditipu muslihat dengan gerakkannya
yang cepat.
Dengan sigap, ibu-ibu seperti semut itu langsung
menyambar Amin. Mengajukan beberapa pertanyaan.
Bagaimana caranya bisa mendapatkan uang tersebut?

20
Mereka menyatakan diri tidak ingin bekerja serabutan dan
tidak memiliki ijazah untuk bekerja di kantoran.
Tubuh yang gempal, berkulit hitam dan gigi kuning,
seorang Ibu terus menghujani pertanyaan dan pernyataan
yang harus dijawab dan diyakinkan Amin.
Santai, Amin menjelaskan cara mendapatkan uang
tersebut dengan mudah. Mereka tidak perlu menggadaikan
surat tanah dan ijazah atau bekerja serabutan. Mereka cukup
di rumah saja. Ia menjelaskan semua persyaratan untuk
mendapatkan uang dari koperasi pinjaman dari kantor.
Memaparkan bahwa setiap meminjam Rp.5000,00 harus
dipotong biaya administrasi sebesar Rp.500,00 atau
Rp.250,00. Sedangkan si peminjam harus membayar penuh.
Setiap hari mereka harus membayar dengan cicilan
Rp.140,00 perangsuran.
Kumpulan ibu itu tertegun menatap Amin bak
memandang guru yang menjelaskan pelajaran hari ini. Kalau
didalam kelas, mereka akan mendapatkan peringkat pertama
dengan juara kelas paling diam. Ini persoalan uang, bila tidak
didengarkan baik-baik akan merasa rugi. Selain rugi, juga
terjadi kemunculan perselisihan.
Semilir angin menghembuskan kasih sayangNya,
mendinginkan hati dan pikiran. Tarian reranting menutupi
cakrawala, memberikan celah sinar matahari yang jatuh ke
wajah Amin dan kaum hawa di depannya.
Ada beberapa Ibu yang tertarik pada tawaran Amin.
Penghasilan dari sawah memang belum bisa memenuhi
kebutuhan pokok rumah tangga, terlebih lagi biaya sekolah
dan sembako perlahan-lahan menaik.

21
Sama halnya kaum hawa lain, ibu-ibu yang di hadapan
bergelagat menawar bunga dari pinjaman. Namun, peraturan
tetap peraturan. Amin tidak bisa menyangkal keinginan
mereka. Kalau ia mengabulkan kemauan mereka, gaji bisa
dipotong.
Hari-hari direbusnya dengan doa dan harapan.
Dikecapnya beberapa rasa kehidupan, di tahan kemudian
ditelannya. Begitulah ia menghadapi kehidupan. Tidak ingin
ada hujatan dan menyalahkan. Semua peristiwa dijadikan
pembelajaran. Ada beberapa harus direkam untuk dijadikan
sejarah. Setidaknya sejarah buat anak-anaknya. Ia menulis
biografi bukan untuk memamerkan perjalanan hidupnya.
Namun, dengan menulis ia ingin menunjukkan kepada cucu
dan cicitnya bahwa ia pernah hidup. Mengenyam kehidupan
yang akan dilalui mereka.
Sebelum usia menutup, menulis kisah untuk pembekalan
setiap pembaca agar bisa menempah hati lebih kuat
menahan ombak. Abrasi bisa saja terjadi kapanpun sekiranya
hati yang paling hulu sudah dirusak dari awal. Didikan orang
tua dari kampung, mampu menghijaukan hati Amin dari
prasangka dan ketegaran untuk menghadapi berbagai
kesulitan dan macam orang. Pikiran, kulit dan ras setiap
orang diterimanya dengan keluasan diri.
Bekerja di koperasi, Amin mulai lihai menyusun kalimat
arif untuk dilontarkan pada orang-orang. Ia belajar untuk
meyakinkan banyak orang, agar mau meminjam uang
padanya. Iming-imingpun keluar dari mulut seperti
karbondioksida, ringan tanpa beban.

22
Di awal, ia belum mengerti mereka dapat uang dari mana
membayar angsuran perharinya. Yang diketahui, setiap hari
ia harus menagih, menagih dan menagih. Sebenarnya waktu
juga terus menagih harapannya yang tergantung di mega.
Menagih untuk kesuksesan demi keluarga. Berharap bisa
membuka jalan bagi adik-adik menebas puisi hidup yang
diterka masyarakat mengenai nasib. Ditulis dengan kata “Ya
sudah” tanpa ada niat mengubah dengan kata “harus bisa”.
Sedangkan ia terus menempelkan kata “harus bisa” setiap
dinding hati. Bayangan orang tua yang disembunyikan dalam
sudut retina, menjadi acuan langkah untuk tak mengenal
lelah. Mengenyam kebahagiaan dengan bahan keperihan
adalah pelajaran paling mahal.
Bermalam di penginapan yang diberi perusahaan
perseorangan itu meringankan pikiran Amin. Tidak perlu
memikirkan uang kontrak, selain itu juga tidak butuh
pengeluaran buat makan, sebab perusahaan sudah
memberikan semua fasilitas. Ini pekerjaan baik untuk
diteruskan. Pikir Amin.
Hari-hari nyaris dihabiskan dengan pengutipan uang dan
meyakinkan orang-orang untuk meminjam uang dari
koperasi.
Dari pintu ke pintu, panas, hujan, bohongan para
peminjam adalah makanan Amin setiap hari. Ketika
menerima uang, mereka paling cepat. Namun, bila waktunya
datang pembayaran, mereka bersembunyi, atau malah
mengelak. Di sini, Amin mempertebal lapisan sabar untuk
menameng diri dari amarah yang akan membuatnya rugi.

23
Kian hari, Amin tersadar. Seperti hembusan ilham yang
singgah di hulu hati. Mengabarkan bahwa ini bukan
pekerjaan yang tepat untuknya. Sang hati terus membludak,
seperti ada aksi demo pada dirinya untuk menyudahi semua.
Ini tidak layak, sorak sang hati.
Sebulan Amin bekerja di koperasi, ia seperti membaca
buku perhalamannya dengan kebencian dan tidak
menyelesaikan bacaan. Secercah yang mampir dalam pikiran
memberitahu bahwa ini pekerjaan yang membuat orang-
orang terjerat dalam lingkaran kesusahan. lingkaran yang
memikat mereka untuk dipaksa meminjam uang, kemudian
dipotong biaya adiminstrasi, sedangkan mereka harus
membayar penuh plus bunga 20%. Hatinya terus
memberontak, meraung, menggeram dan membenci diri
sendiri.
Akhirnya, dengan bingkisan tekad, Amin mengutarakan
keinginan untuk keluar dari pekerjaannya. Ia meminta ijazah
SMA yang ditahan perusahaan, namun mereka malah
memberikan Amin servis yang baik agar ia enggan keluar.
Mereka juga mengancam akan membakar ijazahnya.
Delapan bulan kemudian, Amin datang menjemput
ijazahnya. Ia membawa teman untuk dijadikan saksi bila
pihak perusahaan berbuat semena-mena padanya.
***
“Yakin kau mau kerjaannya?” kata Ucok
“Kalau sekedar mengurusi ayam, aku bisa kok.” Tutur
Amin
“Aku pemimpin di perusahaan itu. Bukan hanya kau, aku
juga sebagai taruhan kalau kau mengulah.”

24
“InsyaAllah aku tidak akan mempermalukan, Uda2.”
Ucok mengangguk pelan. Lelaki berbicara kebatak-
batakkan itu memberi kesempatan buat Amin bekerja di
sebuah perusahaan yang dipimpinnya, yakni PT Charoen
Phokpand. Sudah beberapa hari ia melihat Amin menganggur
di rumah, ia pun memberi kesempatan.
Anak kandang adalah sebutan bagi Amin bekerja di
perusahaan tersebut. Nama yang sesuai kerjaannnya
mengurusi kandang ayam. Bukan hanya kandang, ia juga
bekerja merawat ayam yang berusia nol sampai cukup usia
dipotong.
Memikul tiga sampai empat karung dedak berisi 50kg naik
ke rumah panggung adalah makanan sehari-hari Amin. Bukan
tak jarang ia merasa pegal-pegal. Namun, menjahit
kehidupan menjadi sukses memang harus menahan sakitnya
ditusuk jarum bersambung benang. Segetir apapun, harus
dihadapi demi menutupi luka kehidupan susah yang
menganga.
Detik berganti menit, menit menjelma jam, jam berubah
hari, bulan merangkum hari. Tidak terasa, Amin bekerja
sudah lima bulan. Ini termasuk dikatakan lama, biasanya ia
hanya bertahan dua bulan saja. Mungkin, ini dikarenakan
janjinya menjaga nama Uda Ucok. Selain itu, dengan gaji
Rp.800.000,00/bulan adalah bahan pertimbangan untuk
keluar dari kerjaan. Selama bekerja, ia coba belajar hemat.
Sebab ia harus menabung untuk bekal pulang ke kampung.
Merantau ke kota orang, harus dibuktikan bahwa
kepergiannya tidak menjadi beban pikiran Ayah dan Mama di
2
Uda panggilan suku batak untuk adik laki-laki ayah.

25
kampung. Membawakan mereka ole-ole merupakan bukti
kesuksesan anaknya, walaupun sang anak bekerja sebagai
buruh.
Sayangnya, sama seperti sebelumnya. Ia tidak bisa
mempertahankan pekerjaan. Ini terjadi hari pertama di bulan
Ramadhan. Ia sudah menjalankan pekerjaan dengan baik.
Ayam-ayam sudah masuk ke kandang. Selaku manusia yang
sadar eksistensi hidupnya di bumi sebagai khalifah, maka
keadilan harus diterapkan. Bekerja di dunia untuk memenuhi
kebutuhan fisik. Adakalanya juga harus adil untuk memenuhi
kebutuhan batin, yakni ibadah. Amin segera bergegas
mengambil sarung, mengenakan dan mengambil wudhu. Ia
melangkahkan kaki menuju mesjid terdekat yang ada di
Batangkuis.
Sepulang dari mesjid, ia membawa ketenangan. Ia
berharap keadilan dalam diri terus berlanjut sampai menutup
mata selamanya.
***
Tetesan embun perlahan beranjak dari ujung daun. Raja
cahaya mulai mengintip dari ufuk timur. Amin sudah
membersihkan kandang ayam. Seorang staf atasannya
datang menghampiri.
“Kau, tadi malam kemana, hah?” tanya lelaki bertopi
hitam itu.
Amin mengangguk. Ia tahu kesalahan yang diperbuat.
Memang, ayam-ayam tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Setiap orang boleh melakukan apa saja, dan silahkan saja
menghina siapapun selagi ia menanggung dosa tersendiri,
namun jangan sampai seseorang harus melarang beribadah.

26
Amin tidak terima bila ibadah dijadikan masalah dalam
pekerjaan. Bukankah bekerja merupakan ibadah? Tergantung
niat masing-masing. Sekiranya seseorang bekerja untuk
membantu orang lain, bukankah itu suatu ibadah. Bukankah
bekerja memberi nafkah juga beribadah, berpulang pada niat
individu.
“Kalau abang memang tidak suka karena aku shalat
tarawih. Aku keluar saja dari sini.”
Amin tidak lagi memikirkan gaji dan pekerjaan apa ke
depannya. Ia tetap mengundurkan diri seminggu menjelang
hari raya. Terserah mau kerja atau tidak. Mau mudik atau
tidak. Ia tidak mau menjadi manusia yang menafikkan diri
dari seorang khalifah. Ia tidak bisa harus bersikap tidak adil
dalam diri.
Usai mengajukan pengunduran diri, Amin segera bergegas
membereskan semua barang-barang, ia pulang ke rumah
paman.
Amin turun di jalan Aksara. Ia menunggu angkot ke arah
rumah paman. Tetapi, ada seorang pemuda datang
menghampiri Amin. Ia memukul ringan lengan Amin dan
mengajaknya ke jalan Simpanglimun. Sesampainya di sana,
pemuda itu meminta Amin menyerahkan tas yang
digendong. Tanpa pikiran, Amin memberikan tasnya pada
pemuda itu. Ia disuruh duduk di tembok pinggir jalan. Amin
seperti kerbau yang ditusuk hidungnya, ia menganggukkan
kepala.
Sejam lamanya, Amin tersadar. Ia menoleh ke kanan dan
kiri. Bingung, mengapa dirinya ada di tempat yang berbeda.
Padahal, seingatnya ia ada di jalan Aksara.

27
Isi kepala memutar kejadian. Ia baru tersadar kalau
pemuda tadi yang mengajaknya ke sini. Segera Amin
merogoh tas. Hangus semua pencahariannya sebagai anak
kandang. Di dalam tas pula ada kain shalat untuk Ayah dan
Mamak di kampung nanti.
Hati Amin menangis sampai meneteskan butiran hangat
dari sudut mata. Ia berpikir mengapa ada orang yang tega
menghipnotisnya, mengapa bisa terjadi.
Kala itu, seluruh tulangnya seperti tercabut dari badan. Ia
menjatuhkan tubuh ke bibir jalan. Sumpah serapah pun
menghardik si penghipnotis, semoga terbalas untuknya.
Kaualupun tidak, akan terbalas untuk anak cucunya. Hukum
alam tidak akan berkhianat seperti hukum manusia, pikirnya.
***
Menganggur lagi, mencari lagi. Menanak kehidupan
memang tidak semudah ucapan orang yang menjadi beban
untuk dipikul dalam pikiran. Kehidupan bukan kesimpulan
yang mengakhiri manusia untuk berusaha. Hidup adalah
proses untuk pulang padaNya. Namun, selama napas masih
bersahabat, bukan berarti tidak berusaha untuk
menyeimbangkan hidup untuk dunia dan akhirat. Amin hidup
di dunia bukan berarti harus memikirkannya terus. Suatu
saat, ia akan merasakan kefanaan dunia.
Di tepi nestapa, ia terus melangkahkan kaki dan tak lelah
mencari kerja. Waktu memang fana, ia bisa saja menjadi apa
yang kita pikirkan. Sewaktu-waktu bisa menjelma pedang
yang siap menghunus kemalasan. Atau bisa berubah menjadi
pundi-pundi materi yang dihipnotis kerajinan. Semua
berpulang pada menyikapi waktu. Amin tidak ingin

28
menghabiskan waktu hanya untuk bersantai. Baginya, lebih
baik lelah di masa muda ketimbang lelah yang tiada habisnya
sampai ajal mengabari kepulangan.
Datanglah sepupu Amin bernama Firman menemuinya,
Firman mengajaknya bekerja di pabrik roti dengan berjualan
keliling. Amin sempat menyatukan alis saat Firman menyebut
pabrik roti, pikirannya mengulang pada masa sebelumnya. Ia
tidak ingin terjadi kembali. Cuma, setelah mendengar kalimat
selanjutnya, Amin tersenyum simpul. Kali ini ia akan
berjualan seperti pedagang lain.
Segera saja Amin menganggukan kepala dan menyetujui
pekerjaan tersebut. Ia tidak ingin menyiakan waktu. Ini demi
waktu, jangan sampai merugi dengan kesia-siaan. Amin
bekerja berjualan roti keliling digaji Rp.10.000,00/hari. Mulai
dari jalan Bandarsetia, Pasar IX, Sei Rotan sampai ke
Batangkuis, Amin membawa roti dan mengutip rejeki dari
jalanan. Tak sekalipun ia menghujat diri untuk tak
mendapatkan rejeki. Baginya, selagi diberi kesehatan, disana
pula ada usaha yang harus dijemput untuk mencari rejeki
agar hidup tersambung, ibadah mengalir. Keseimbanganpun
juga menyertai. Ia tak berhak mengeluh pada dunia yang
hanya fana. Semakin meninggikan keluhan, semakin banyak
bibir menertawainya. Dunia malah ikut mengutuk. Bukankah
Allah menghidupkan makhluk dengan bekal masing-masing.
Tidak mungkin Dia menciptakan manusia tiada sia-sia, telebih
lagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Amin, belajar
menempah diri menjadi sosok yang dimaksud Allah sebagai
khalifah; khalifah bagi diri sendiri, keluarga dan anak-anaknya
nanti. Barangkali, juga bisa jadi khalifah sebuah organisasi.

29
Bermulai dari pukul 13.00 WIB hingga 24.00 WIB Amin
membawa sekitar 200 roti di dalam gerobak. Bila hari Sabtu,
ia bisa menghabiskan dua kali lipat. Dari jalan Tembung gang
Pisang, disana Amin memulai pekerjaan selaku penjual roti
keliling. Namun, ada hal yang menarik pada pabrik roti ini,
yakni kerendahan hati si pemilik pabrik kepada pekerjanya.
Sebelum bekerja, para pekerja diberi sarapan roti dan teh
sepuasnya. Sedangkan pabrik lain, kalau mau sarapan roti
harus membeli terlebih dahulu.
Hari terus berganti, runtuhan detik yang dikumpulkan
Amin dengan kegigihan menumpuk jadi kedewasaan diri.
Sebelumnya ia hanya bisa berpangku tangan pada orang tua,
kini harus berdiri dengan kaki sendiri. Baik dengan kedua kaki
atau dengan kaki satu, terpenting hidup tetaplah berlanjut.
Langkah-langkah yang ditempah dengan keteguhan
dibawanya berjualan roti keliling jalan Tembung, Sei Rotan
dan Batangkuis.
Dari waktu ke waktu, Amin menjalani hidup sebagai
pedagang roti keliling. Ini berlanjut sampai ia mendaftar
sebagai mahasiswa IAIN (Institusi Agama Islam Negeri)
Medan. Merasakan jualan keliling membuat Amin
menambah pengalaman, selain mengetahui rute perjalanan,
ia juga memperluas relasi, bertemu dengan orang-orang
baru. Hidup di pasaran membuatnya banyak membaca
perihal beberapa kehidupan. Dari beberapa perjalanan, ia
kerap menyaksikan kehidupan di berbagai rumah. Terkadang,
ia melihat keributan pada keluarga orang lain di dalam gang
sewaktu berjualan, terkadang pula ia mengeja karakter
pembeli dari perbincangan.

30
Merajut kisah berdagang roti keliling hanya selesai sampai
usia dua bulan saja. Selebihnya ia ingin fokus untuk
mendaftar masuk kuliah di Universitas. Tetapi, ia bingung
mau mendaftar di Universitas mana. Sebab, sejak duduk
dibangku sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah
atas, Amin duduk di sekolah umum bukan Agama. Ternyata,
saat itu hati Amin tengah di balikkan Allah SWT. Ia
menjatuhkan pilihan untuk mendaftar ke kampus IAIN
(Institut Agama Islam Negeri) Medan. Walau ia tidak terlalu
paham mengenai Agama, namun disinilah Allah
menginginkan seorang hamba untuk mengetahui.
MasyaAllah.

***

31
BAB II

1994
Ujian masuk kuliah telah tiba. Amin memanfaatkan
waktu menunggu hasil pengumuman dengan berjualan rokok
asongan di pasar Sambu. Pasar yang menyimpan segala bau.
Sampai sekarang, pasar ini banyak menciptakan anak-anak
sukses dari seorang ayah atau ibu yang berjualan di sana. Tak
lupa pula di pasar ini merupakan lokasi menempah diri dari
kerasnya hidup di kota metropolitan. Kembalinya ke pasar
ini, membuat Amin teringat pada kekriminalan yang sering
terjadi. Pencopetan dan perampokan hal biasa yang sering
disaksikan. Tapi, menonton hal tersebut bukan
menjadikannya hidup dalam kekriminalan. Justru ia
mengambil hikmah untuk belajar lebih banyak. Kriminal itu
lahir dari tuntutan hidup dan kurangnya kesadaran dalam
diri. Misalkan saja, seseorang terpaksa melakukan
pencopetan di sana, karena ia mendapat tekanan dari rumah
untuk membeli susu atau memberi nafkah. Sehubung dengan
tidak memiliki keahlian dan tidak bisa banyak berharap pada
ijazah, serta tidak punya modal buka usaha. Maka, mau tak
mau, ia melakukan perbuatan yang dianggap orang
kejahatan, yakni pencopetan. Ia sangat mengetahui, bahwa
ada sesuatu yang melarang perbuatan tersebut. Tetapi,
karena tekanan, ia terpaksa melakukannya. Satu kali
melakukan, ia bisa lolos. Kedua dan sampai seterusnya ia bisa
lancar melakukan pencopetan dan mengklaim bahwa
perbuatan itu adalah mudah. Tertutuplah bisikan dalam diri

32
mengenai kebaikan. Akhirnya, jadilah manusia tersesat dalam
dirinya sendiri.
Sebenarnya, secara tidak langsung, Allah telah
memberikan pengetahuan pada Amin. Dia ingin meliat Amin
belajar penelitian sosial di pasar Sambu. Memetik pelajaran
hidup untuk dijadikan pembelajaran. Kelak, ketika jatuh pada
titik paling bawah, jangan sampai melakukan kejahatan.
Sekiranya berada di titik paling atas, alangkah baiknya
melihat dan mengenang hidup di posisi bawah.
Bertempat tinggal di rumah paman, sudah menjadi
anugerah yang patut disyukuri. Namun, biar begitu, Amin
tetap bekerja. Berangkat jualan saat orang-orang masih
mendengkur dan memeluk guling. Iya, ia memulai jualan
sejak pukul tiga pagi. Kala itu, belum ada sebutan begal,
belum serusuh perekonomian saat ini yang harus mengambil
tugas malaikat Izrail hanya demi uang. Tapi, bukan berarti
Amin tidak was-was setiap keadaan. Rasa khawatir di
perjalanan menuju pasar Sambu sudah mengarungi dirinya.
“Bissmillahi saja.” Batinnya
Langkah demi langkah menyusuri jalanan sepi. Hanya ada
gelap yang memeluk keheningan. Sesekali becak dan mobil
pengangkut sayuran lewat. Di bibir jalanan, Amin merenung.
Iyakah selamanya diri harus hidup di posisi paling bawah?
Atau bisakah ia menaiki anak tangga sampai ke puncak?
Hanya Allah Yang Maha Tahu. Barangkali, jika Amin ingin
berkehendak dengan niat yang lurus, insyaAllah Allah akan
berkehendak juga. Banyak orang berburuk sangka pada niat
yang baik dan Dia. Andai Amin memiliki niat baik untuk
mengharumkan nama keluarga agar tidak di sepelekan orang,

33
maka itu bukanlah niat yang baik. Tetapi sudah bercampur
keangkuhan. Niat yang baik itu, diawali baik dan diakhiri
dengan baik pula. Amin berniat ingin mengharumkan nama
keluarga dan terus membantu orang banyak, itulah niat yang
lurus.
Keberangkatan dari rumah paman di jalan pelita menuju
pasar Sambu, sudah hampir membasahi baju akibat keringat
mengucur. Sesekali Amin berhenti, duduk di trotoar.
Menikmati keheningan dua pertiga malam. Terkadang
sinaran rembulan menemaninya berjalan, sampai Amin dapat
pelajaran bahwa tak selamanya kegelapan itu berbahaya.
Malah ada terselip keindahan. Seperti bintang yang
menghiasi langit.
Sembari menunggu masuk kuliah, Amin berjualan rokok.
Pergi pagi hari pulang malam hari untuk memiliki uang dan
jajan. Diberi tumpangan tinggal dengan sanak saudara, sudah
menjadi nikmat yang paling disyukuri. Tidak pula ikut
merusuhi keluarga dengan keuangan. Tidak.
Sepanjang pasar di depan kantor RRI, Amin menjajakan
rokok pada penjual sayur dan pembeli. Dalam perjalanan
hidup berjualan sebagai pedagang rokok, Amin sering
mengalami kerugian. Bagaimana tidak? Banyak orang tidak
membayar rokok. Terkadang ada pula yang mengaku sudah
bayar, padahal Amin tahu persis bahwa dia belum bayar.
“Jangan begitu, bang. Aku tahu abang belum bayar.”
“Enak saja, kau. Aku sudah bayar. Kalau mau betah jualan
di sini, jangan cari masalah.”
Begitulah yang sering ditelan Amin sewaktu meminta
bayaran pada orang yang membeli. Memang, Amin

34
menawarkan rokok terlebih dahulu. Menjelang senja, Amin
menagih bayaran rokok mereka. Di sana sering terjadi
pertikaian antara Amin dan preman pasar. Walau begitu,
Amin tetap sabar. Ia tidak mau membuat masalah selama
menumpang di kota orang. Membuat keonaran bukanlah
sifat Amin. Justru ia berkeras dalam pikir untuk mencari cara
lain agar tetap bisa bertahan hidup.
***
Ini hari pertama masuk kuliah, betapa bahagianya hati
cucu Adam yang bernama lengkap Marasamin Lubis bisa
duduk di bangku kuliah. Akhirnya mimpi menjadi mahasiswa
bisa terwujud. Anak kampung dari pelosok Sumatera Utara,
Gunung Tua, Desa Huristak telah bertarung mengarungi kota
Medan. Antara menang atau kalah, bukan persoalan. Tetapi
pengalamannya menguras keringat di kota orang adalah
pengalaman mahal yang harus dibayar dengan cerita-cerita
kepada anak. Atau akan ditulis dalam larik-larik yang
ditempah dengan tinta semesta. Dan, suatu saat akan dibaca
anak cucu, kemudian dijadikan motivasi mereka melangkah.
Iya, ini bukan akhir dari sebuah perjalanan. Justru menjadi
awal dari perjalanan. Menjadi pekerja di kota besar sudah
menjadi hal lumrah. Tetapi, bekerja sambil kuliah, yang
terlalu rumit. Harus lihai menyesuaikan waktu antara bekerja
dan berkuliah. Mesti pandai membagi pikiran untuk belajar
dan mengatur waktu. Lebih penting adalah harus bisa
memanajemen keuangan.
Dua bulan berjualan rokok, Amin rasa ini bukan solusi dari
peristiwa perjalanan. Ini malah membuatnya rugi. Jelas saja,
ia menjual rokok seharga Rp.6.000,00 dengan keunntungan

35
Rp.200,00. Maka, Amin kembali menyusuri jalanan untuk
mencari kerja. Sepulang kuliah, Amin sibuk mencari-cari
pekerjaan. Entah mengapa, Amin teringat dengan
pekerjaannya dulu sebagai penjual roti. Ia ingin mengulang
kembali pekerjaan itu. Amin pun mencari pabrik roti di
daerah jalan Pelita Enam.
Di sepanjang perjalanan, Amin melihat langkahnya di
bawah terik. Di sana pula ada bayangan orangtua yang harus
dibayar pengorbanannya. Walaupun sampai akhir hayat,
pengorbanan orang tua tidak bisa di bayar, setidaknya Amin
berkomitmen sebelum datang penyesalan. Ia harus ada
membuat senyum bahagia terlukis di wajah Ayah dan
Mamak.
Ia tahu, Mamak dan Ayah berat melepas anaknya kuliah.
Tapi, ini adalah jalan hidup seseorang yang hanya dia sendiri
dapat merasakan. Setiap manusia memiliki takaran berbeda
dari Allah. Sekiranya pun sama, tetap saja ada perbedaan.
Amin akan membuktikan bahwa dirinya bisa membuat
bangga dan lebih dari yang diharapkan orang tua di
kampung.
Hari pertama kuliah memang terasa menyenangkan.
Tetapi, dibalik kebahagiaan, ada keperihan. Mereka adalah
dua hal sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Banyak orang
menduga bahwa bahagia tidak memiliki pasangan. Dibalik
bahagia pemuda itu, Amin memikirkan pekerjaan.
Pabrik roti yang ditemui Amin dari informasi orang di
Jalan Pelita Enam, membuatnya bersyukur pada Allah. Atas
nikmat-Nya, ia menangis dalam hati. Betapa Maha
Romantisnya Allah. Memang Dia tidak memberikan apa yang

36
diinginkan hamba-Nya, namun Dia memberikan kemudahan
untuk tujuan seorang hamba. Kelak, agar si hamba dapat
memetik hikmah dari setiap perjalanan. Agar hamba-Nya
mengetahui bahwa Dia Maha Segalanya. Namun, banyak
manusia lupa atas kehadiran-Nya dalam hidup. Terkadang
manusia mendustai nikmat-Nya.
***
Hari kedua masuk kuliah, masa perkenalan bersama
teman dan dosen. Sama seperti mahasiswa lainnya, Amin
normal saja di perkuliahan. Adalah sepulang kuliah, Amin
tidak seperti teman lainnya yang sering mengumpul dan
tertawa agar saling kenal dan akrab. Amin malah segera
mengejar waktu untuk bekerja. Ia terus mengutip setiap
detik.
Ini demi waktu. Amin segera mengambil roti di Jalan Pelita
Enam, nama pemiliknya adalah Amir. Ia mengambil 100 roti,
terkadang juga mengambil 150 roti dengan modal Rp.100,00
per roti dan menjualnya seharga Rp.150,00. Targetnya ialah,
menghabiskan semua roti. Jika semua roti habis, Amin bisa
mendapatkan keuntungan sekitar Rp.5000,00 sampai
Rp.7.500,00 per hari. Itu kalau penjualannya habis. Bila tidak,
Amin harus memutar isi kepala menghabiskannya. Agar tidak
rugi, ia menjual dengan teman atau ke kedai dengan harga
modal. Terpenting, semua roti habis. Biar besok bisa
mengambil roti kembali.
Perkuliahaan dimulai pukul delapan pagi dan berakhir
tepat di pukul sepuluh. Segera Amin bergegas meninggalkan
kampus IAIN Medan.

37
“Min, mau kemana? Yok, main dulu.” Ajak seorang
temannya
Amin melempar senyum. Dengan halus ia menolak ajakan
temannya. Bukan menaruh kesombongan dalam diri. Hanya
kesadaran dalam diri terlalu tinggi untuk bisa membuang
waktu tanpa manfaat. Memang, pernah ingin menangisi
keadaan karena belum bisa memiliki waktu untuk berkumpul
dan bermain dengan teman. Cuma, sudah terbiasa
menghabiskan waktu bekerja. Jadi, sayang rasanya
melewatkan waktu dengan sia-sia. Ini demi waktu, Amin
tidak ingin merugi.
“Tidak bisa. Ada hal yang harus kukerjakan. Mohon maaf
ya, kawan.”
Sehimpun mahasiswa yang berkelas sama dengan Amin di
kampus menganggukan kepala. Sehubung belum terlalu
dekat, mereka membiarkan Amin pergi. Mungkin, waktu
akan memberitahukan kepada teman-teman mengenai
kehidupan Amin tinggal di Medan. Dan, semoga mereka
memaklumi.
Dengan langkah cepat, Amin pergi meninggalkan kampus.
Sembari mengayuh sepeda BMX. Dalam hati, tak pernah
luput menyuruh lahiriah agar terus bersyukur. Sebab, syukur
juga bagian dari penambah rejeki. Analoginya, Anda memberi
orang makanan, lalu dia merasa senang dan mengingat Anda
terus. Anda pasti merasa bahagia, dan akan rajin
memberinya makanan. Begitu pula Allah melihat hambaNya
yang pandai bersyukur. Banyak sedikit rejeki bergantung cara
manusia menyikapinya. Bila lihai bersyukur, maka akan
mendapatkan kebahagiaan batin. Sebaliknya, bila tidak

38
bersyukur, maka akan merasa kekurangan. Yakinah, orang
yang dewasa adalah ketika ia tidak memikirkan dunia. Justru
orang yang berpikir kekanak-kanakan adalah ia hidup takut
meninggalkan dunia.
“Alhamdulillah ya Allah. Akhirnya aku bisa duduk bersama
mahasiswa lainnya. Yang dulu hanya pengangkut mahasiswa
dalam becak. Kini, bisa duduk bersama mereka.”
Di bawah terik, Amin meninggalkan kawasan kampus
UNIMED dan IAIN. Ia mengayuh melewati beberapa pohon
pisang milik orang. Dalam hati, ia membatin akan seperti apa
keadaan di sekeliling kampus beberapa puluh tahun
mendatang. Mungkinkah berganti dengan gedung-gedung
yang berbaris rapi dengan bentuk yang serupa. Ah, entahlah.
Yang menjadi tekanan dalam pikirannya saat ini adalah agar
segera sampai ke pabrik roti.
Sesampainya di pabrik, Amin menaruh dan menitipkan
sepeda kepada pemilik pabrik, yakni pak Amir. Ini suda
rutinitas lumrah. Pak Amir mengiyakan. Segera Amin masuk
ke ruang berasap dan panas lantaran pemasakan roti
sekaligus makanan ringan kuping gajah. Ia menunggu giliran
pengambilan roti.
“Cukup bawa seratus roti, Min?” tanya pak Amir
Pak Amir selaku pemilik pabrik dikenal orang paling ramah
pada karyawannya. Para karyawan boleh memakan roti atau
makanan ringan kuping gajah di dalam pabrik, tapi tidak
boleh dibawa pulang. Kalau ketahuan, beliau bisa marah
besar dan memecat karyawannya.
“Cukup, pak. Ini saja dulu.” Tutur Amin

39
Setelah menghitung kembali dan menyusun roti, Amin
mengeluarkan lembaran uang seribu sebanyak sepuluh
lembar. Amin menyerahkan uang tersebut kepada lelaki yang
lebih tua dua puluh lima tahun dari Amin. Tepat di depan
gerbang, Pak Amir menunggu orang-orang yang mengambil
rotinya untuk dijual lagi.
Dengan senyum simpul, Pak Amir menerima uang
sebanyak sepuluh ribu dari Amin. Dalam hati, pak Amir
bersorak gembira melihat Amin yang mengambil roti dalam
hitungan banyak. Terkadang Amin membawa seratus sampai
seratus lima puluh roti per harinya. Luar biasa.
Padahal, Amin sering tidak kehabisan roti. Hanya saja,
Amin mencari cara untuk menghabiskannya. Akhirnya, esok
sepulang kuliah, Amin menjualnya lagi.
***
Seperti biasa, Amin mulai berjualan roti keliling dengan
gerobak yang diberi pak Amir. Ia mulai mengayuh gerobak
dari jalan Kampung Durian menuju jalan Perintis
Kemerdekaan, Gaharu, Sutomo, Ampera dan Glugur.
Terkadang sesekali Amin berjualan ke jalan Veteran hingga ke
jalan Bedagai. Karena jalan ini yang sering dilaluinya
berjualan lisong dulu.
Mega mulai mengabu, percikan keemasan raja cahaya
sudah hampir sempurna di ufuk barat. Lantunan ayat suci Al-
Quran sayup-sayup terdengar dari Mesjid. Amin sejenak
rehat di depan kantor RRI di jalan Bedagai. Melihat seisi
gerobak yang belum habis rotinya, Amin menghela napas
panjang. Dalam pikkir, Ia mencari cara menghabiskan roti.

40
Sembari mengelap keringat mengucur di leher, Amin
menatapi isi gerobak.
“Keknya aku harus membagikan roti kepada teman-
teman.” Pikirnya.
Setelah beristirahat, kembali Amin mengayuh becak
menyusuri jalanan kotor akibat bekas pasar tadi pagi. Ia
pulang menuju rumah sembari memencet terompet. Itu
pertanda penjual roti sedang lewat. Barangkali ada orang
yang mau memanggil dan membeli rotinya.
“Setidaknya modal untuk jualan hari esok sudah ada.”
Batin Amin dalam hati.
Keras. Tidak. Hidup tidak sekeras yang dipikirkan banyak
orang. Hidup Cuma butuh dibaca dan dipahami. Seluas apa
kita memaknai hidup. Bukan sekedar dipandang dari
kacamata buruk saja, tetapi hidup mengajarkan seseorang
memiliki mental yang kuat. Sebab, baja yang berkualitas akan
diuji pada tungku yang paling panas. Esok, bila menemui
Amin dengan hati yang keras. Ketahuilah, hatinya akan
mengeras pada posisi yang memang butuh kekerasan.
Hakikatnya semua manusia diciptakan dengan perbedaan
dan serupa. Iya, Amin juga memiliki hal yang sama dengan
manusia lainnya, yakni kasih sayang.
Di perjalanan pulang, adzan sudah berkumandang. Segera
Amin mencari Mesjid, namun tidak menemui. Akhirnya Amin
mengayuh gerobak lebih cepat agar segera sampai pabrik
dan pulang dengan sepedanya.
“Cepat mandi, terus shalat.” Kata Paman
“Iya, Tulang3.”
3
Tulang, sebutan untuk paman dalam bahasa batak.

41
Segera Ia masuk ke dalam rumah menuju dapur dan
mencari kamar mandi. Di dalam, Ia sudah tidak mendapati
orang-orang yang sibuk ke kamar mandi. Sepertinya, mereka
sudah shalat semua. Amin cemas, takut waktu shalat akan
habis. Terlebih lagi waktu maghrib sangat singkat. Dengan
kecepatan tinggi, Amin mandi. Tidak tahu bersih atau tidak,
yang penting sudah bersih dari najis. Entah berapa siraman
yang membasahi tubuh, yang jelas Ia sudah wangi.
Secepat Amin berjalan menuju kamar setelah dari kamar
mandi. Mengejar waktu shalat maghrib. Baginya, shalat
bukan lagi sebagai kewajiban, melainkan suatu kebutuhan
yang membuat jiwa merasa kekurangan billa
meninggalkannya.
***
Enam bulan atau satu semester berhembus begitu saja
dengan kegiatan menjual roti dan kuliah. Adiknya mengambil
keputusan untuk pergi ke Medan dari kampung halaman,
Huristak. Amin memutar pikiran. Bagaimana bisa ia
menerima kehadiran sang adik, sedangkan hidupnya masih
menumpang pada paman. Walaupun Amin juga mencari
pundi uang untuk biaya kuliah. Tetapi, ini hubungan keluarga
dan batin. Ia tidak bisa melihat adiknya hidup sendiri di kota
Rantauprapat. Amin merasa, bahwa ada kehidupan yang
layak selagi masih mau mencari dan bekerja seperti dirinya.
Itu sebabnya Ia mengajak si adik merantau ke Medan saja.
Hanya saja, Amin bingung menempatkan adiknya. Tidak
mungkin Ia mengajak Sapir bertempat tinggal bersamanya di
rumah paman. Maka, Amin menitipkan adiknya bernama
Sapir di rumah kontrakan teman, yakni di Jalan Sutomo.

42
Mulailah pikirannya bercabang, memikirkan Sapir yang
tidak seatap dengan dirinya. Saban malam, Amin bekerja
keras dalam pikir untuk mencari solusi terbaik. Kelak, agar
bisa serumah bersama adiknya dan keluar dari rumah paman
tanpa ada kesalahpahaman.
Dua minggu lamanya Sapir bermukim di jalan Sutomo,
sudah sepantasnya Amin mengambil keputusan. Ia harus
segera mencari rumah kontrakan. Akhirnya Amin sepakat
untuk angkat kaki dari rumah paman, mengontrak rumah
bersama ketiga temannya, yakni Parentah Lubis, Parlaungan
Hasibuan dan Ali Akbar. Sesama membawa adik dalam
rumah terkadang menjadi ada rasa tidak enak dalam hati.
Ada pula yang tidak sejalan. Hal lumrah. Amin bingung
dengan kehidupan baru mereka. Ia meminta bantuan dengan
abangnya.
Memiliki uang dari kiriman sang abang, Mahmud Lubis.
Amin menggunakan uang tersebut dengan membeli becak
dayung dan gerobak roti. Ia menggunakan gerobak untuk
berjualan, sedangkan si adik, Sapir menjadi tukang becak.
Selepas pulang sekolah, Sapir membantu perekonomian
dengan menarik becak. Berkeliling Medan serupa dengan
Amin. Baginya, bisa kembali bersama Amin merupakan
anugerah yang harus dijaga. Medan, memang banyak paman
dan bibi bermukim di kota ini, namun serumah dengan abang
sendiri dalam keadaan susah, menjadi kebahagiaan. Karena,
setiap orang memiliki cara sendiri untuk bahagia.
***
Bhayangkara

43
Di Bhayangkara, berbagi rasa dengan orang lain. Walau
masih ada rasa asing, namun harus dilawan dengan
kebersamaan. Empat Mahasiswa dari kampus yang sama,
Amin selalu mengingatkan pada Sapir agar bisa
menyesuaikan diri bersama teman-temannya. Benar, Sapir
dapat berinteraksi dengan baik.
Seperti pagi sebelumnya, pun Amin ke kampus dengan
angkutan umum. Ia harus bisa menimba ilmu dengan banyak,
sebab Amin tidak memiliki waktu yang banyak untuk mencari
ilmu. Hampir separuh waktu Ia habiskan untuk mencari
pertahanan hidup di Medan. Seyakin mungkin, esok
pertahanan itu membuahkan hasil yang menggembirakan
hati. InsyaAllah.
Sebelum bergegas pergi kuliah, Amin menyiapkan
sepotong roti untuk sarapan Sapir. Mengajak adik ke Medan
juga sama halnya menempah jadi pemimpin yang harus
bertanggung jawab. Seraya itu Amin harus bisa jadi panutan
buat Sapir di kota.
Akhirya Sapir bisa juga menikmati bangku sekolah seperti
dulu. Ia sekolah di Al-Imron Bandar Setia. Di sana ia bisa
mengartikan pertemanan lagi. Walau hampir paruh waktu di
habiskan mencari uang, namun Sapir bersyukur dapat
sekolah lagi dan bisa tinggal bersama keluarga, walaupun
hanya seorang abang.
Setiap pagi harus mendengar caci maki supir angkutan
umum di jalanan, merupakan sarapan keseharian Sapir dan
Amin. Inilah Medan, berbicara keras dan tidak memiliki
aturan berbicara. Macat sedikit, adu klakson seperti tradisi di
persimpangan.

44
Dalam angkutan umum, Sapir hanya menelan ludah saja
melihat tingkah di jalanan. Selaku pekerja tarik becak dayung,
Sapir menanam hal yang tidak layak dilakukan di luar.
Sebagai buruh kasar sekaligus peserta didik, Sapir akan
membuktikan ia adalah berbeda. Sedangkan Amin sudah
menjadi hal lumrah.
Setiap hari mereka habiskan mencari uang. Bila tidak,
mereka tidak akan mendapatkan beras. Itu berarti tidak bisa
makan. Ya, begitulah mereka. Sepulang sekolah atau kuliah,
harus mencari uang untuk beli beras, kemudian masak dan
makan. Lalu, bertugas kembali bekerja. Keras. Tidak, hidup
tidak keras, hanya mempertegas saja. Kita yang mengeraskan
diri pada konsep yang telah diatur sedemikian rupa,
sedemikian enak hingga malas dan berasumsi bahwa hidup
menjadi keras. Padahal, tidak. Tidak ada kehidupan yang
keras. Kita yang harus menerjamahkan setiap keadaan dan
mulai beradaptasi. Beda beradaptasi dengan apatis. Bila
beradaptasi, harus mencari solusi. Sedangkan tidak peduli,
itu berarti memang tidak mau mencari tahu, dan akhirnya
menyerah dan menganggap hidup adalah keras.
Pernah suatu ketika, menjadikan Amin memiliki sakit
tipus. Itu karena tidak menjaga pola makan. Sebab, sebelum
Amin beraktivitas, hanya menggajal perut dengan segelas
kopi. Ya, kesengajaan minum kopi lantaran menghambat
kantuk. Separuh hari, dihabiskan mencari uang sampai
malam, membuat dirinya mengantuk di kelas. Wajar saja
terkadang Amin tertidur di kelas. Bahkan, ledekan dari teman
pun sering terujar untuknya. Tapi, Amin tidak ambil pusing.
Biar bagaimana pun setiap orang memiliki pandangan

45
tersendiri. Biar saja ledekan terucap dari mulut orang, Amin
malah menjadikan motivasi untuk bangkit. Suatu hari nanti,
semua akan terbalas. Aamiin.
Kegigihan yang dapat membayar semua keletihan. Amin
yakin hal itu.

46
BAB III
Mengarungi Dunia Kampus

Pagi ini Amin pergi ke kampus untuk mengurus Kartu


Rencana Studi, atau KRS. Ia berjalan mengitari kampus
mencari dosen-dosen untuk meminta nilai perkuliahaannya
untuk diisi dalam raport. Kemudian, baru bisa melanjutkan
pengisian KRS untuk lanjut ke semester berikutnya.
Kala itu, Amin merasakan sesuatu yang ganjal dalam hati.
Ia gelisah ingin mengetahui apa keganjalan dalam dirinya.
Memori dalam pikiran bekerja untuk mencari tahu sumber
kegelisahan diri.
Dalam pekerjaan, Amin tidak pernah berbuat kesalahan.
Jadi, ia tidak perlu menanggung resiko. Hanya saja dalam
perkuliahaan semester sebelumnya, ia pernah melakukan
kesalahan. Tapi, ini bukan sepenuhnya kesalahan Amin.
Kejadiannya karena Amin pulang ke kampung di saat
minggu tenang. Sedangkan seorang dosen meminta para
mahasiswa hadir untuk mengikuti Ujian Tengah Semester.
Bagi Amin itu tidak wajar, sebab harusnya mahasiswa tidak
melakukan aktivitas perkuliahan pada minggu tenang. Itu
waktunya untuk mengevaluasi semasa kuliah di kelas.
Mempelajari yang telah diberi keilmuan dari sang dosen.
Entah kenapa dosen berinisial B meminta mahasiswanya
untuk UTS pada masa minggu tenang. Akhirnya Amin
memutuskan untuk pulang ke kampung.
Bersama hembusan angin, Amin melihat segerombolan
teman-teman. Ia menyapa, kemudian mendengar keributan

47
mereka yang tidak terima terhadap hasil kartu D yang diberi
dosen dengan nilai E. Dengan santai Amin duduk di bawah
pohon rindang. Sebenarnya pun Ia mendapatkan nilai yang
sama karena tidak hadir saat UTS pada saat minggu tenang.
Hanya saja, Amin tidak ingin mempermasalahkannya.
“Gimana ini, Min?” tanya seorang teman
“Kalau aku, terima saja.”
“Kenapa begitu?” tanya mereka serentak
“Karena aku merasa nilai itu sesuai dengan diriku. Nilai itu
hak mutlak milik dosen. Dan, penilaian tidak harus dinilai dari
kecerdasan intelektual saja, tetapi juga nilai afektif dan
psikomotorik.” Jawab Amin bijak
Sebagian dari mereka mengangguk, mengiyakan
pernyataan Amin. Tetapi, ada juga yang menyangkal
pernyataan Amin. Mereka menganggap bahwa diri mereka
unggul dan tidak pantas mendapat nilai E.
“Lagian, masih ada semester pendek atau semester depan
untuk memperbaikinya.” Sambung Amin.
“Itu kan menurutmu, tetapi kami menganggap kalau kami
berhak mendapatkan nilai unggul. Capek-capek hadir tapi
malah dapat nilai E.” Kata seorang pemuda berjanggut tipis.
“Iya, Min. Aku juga begitu. Kalau begitu, kita datangi saja
dosennya beramai-ramai.” Sahut pemuda lain.
Amin Cuma bisa mengangkat bahu. Cepat pikirannya
mengevaluasi, Ia tidak memaksakan semua orang harus
memiliki pemikiran yang sama dengannya. Itulah cara Allah
untuk manusia saling mengenal. Bagi yang gemar membaca
seperti seruan Allah, akan menyadari KuasaNya, bahwa Allah

48
menciptakan berbagai perbedaan untuk manusia saling
mengenal dan memahami.
Akhirnya, Amin ditinggali teman-teman. Mereka mencari
dosen berinisial B untuk menuntut. Berhubung semua
keperluan sudah selesai, Amin mengisi raport untuk
diserahkan ke Staf Jurusan.
Begitulah peserta didik yang sudah didoktrin bahwa nilai
menjadi tolokukur seseorang. Karena terlalu besar
kekhawatiran dalam diri untuk susah mecari kerja lantaran
nilai rendah. Padahal, kualitas manusia yang dapat
menjaminkan seseorang menjadi sukses. Nilai, hanya
kuantitas pendukung seseorang berkualitas. Manusia
berkualitas, sudah pasti berkuantitas. Tetapi, manusia
berkuantitas, belum tentu berkualitas. Lantas, apakah
manusia berkualitas itu?
Manusia berkualitas itu hanya manusia itu sendiri yang
dapat menerjemahkan dalam dirinya sendiri. Ketika manusia
sudah mengenali dirinya sendiri, Ia akan tahu siapa dan apa
dirinya? Tanpa harus dinilai dari orang lain. Saat itu pula Ia
menjadi manusia yang dapat menolong dirinya sendiri.
Berbuat baik kepada semua ciptaanNya, merupakan salah
satu cara untuk mengualitaskan diri. Semisal, ketika Anda
berbuat baik pada seseorang, Ia akan terkesan dan
mengingat Anda. Suatu hari, orang tersebut sedang mencari
seseorang untuk bekerja di perusahaannya atau yayasannya,
ia akan teringat dengan Anda. Lantaran, Anda sudah
dicapnya sebagai orang baik. Itu pertanda, ia sudah memberi
amanah pada diri Anda. Kebaikan dalam diri sudah jadi

49
jaminan Anda di dunia. Lantas, susahkah untuk berbuat
kebaikan? Hanya Anda yang mengetahui.
***
2021
Selamat, Min
Begitulah ucapan para dosen untuk Amin. Siapa
sangka, sosok yang dulunya menguras keringat habis-
habisan, kini membuahkan hasil yang tak terduga.
Sah. Setelah resign dari sekretaris program studi
pendidikan matematika, Amin memiliki ruang tersendiri
sebagai Wakil Dekan di sebuah Universitas Negeri yang ada di
kota Medan.
Mundur satu langkah untuk maju dua langkah
Kalimat yang pantas untuk dirinya. Lelaki yang
hampir setengah abad itu memilih mundur sebagai sekretaris
program studi, namun keyakinannya menjadi wakil dekan
sudah terbukti.
Barangkali, mahasiswa sekarang menyangka bahwa
Amin tidak sama seperti mereka. Padahal, Amin juga bagian
dari mahasiswa lainnya. Menjalani hidup layaknya
mahasiswa yang merantau, makan seadanya, bahkan hidup
harus mengucuri keringat dan menjadi korban waktu demi
pundi-pundi uang.
Di ruang persegi yang masih melompong, sejuk
karena udara yang keluar dari air conditioner mengulang
kembali memorinya mengenai perjalan hidup. Ia tidak
menyangka bisa berada di titik fase saat ini. Dulu, ia tidak
pernah terpikir bisa menjadi wakil dekan. Yang ada dalam

50
pikirnya, selesai wisuda bisa bekerja seperti sarjanawan
lainnya.
Terlalu jauh pikiran untuk menembus jadi pemangku
kuasa. Karena hidup di pasar, panas hujan adalah sahabat
hidupnya. Namun, hari ini menjawab kegigihannya.
Bagaimana tidak? Dulu, semasa kuliah Amin hanya
berpikir setamat kuliah bekerja sebagai guru. Sebab, ia
mengambil program studi pendidikan matematika yang
sudah jelas menjadi guru matematika.
Di kursi bergoyang, pikiran Amin membuka lembaran
lama mengenai perjalanan hidupnya sebagai mahasiswa.
Amin sangat miris terhadap mahasiswa di era saat ini yang
baginya sudah dipermudah segala urusan perkuliahan. Beda
dengan era-nya kala itu. Untuk mengurus KRS saja, Amin
harus menggandakan kertas KRS dan harus ditulis dengan
tangan sendiri, karena belum ada komputer. Sedangkan
untuk mengurus nilai, mahasiswa mengejar dosen.
Menghadap dosen untuk meminta nilai. Mahasiswa saat ini,
cukup menggunakan gawai. Biar begitu, masih saja keluhan
tercetus dari bibir mahasiswa. Padahal, Allah menyuruh
manusia untuk menikmati bukan mengeluh. Terlebih lagi
selama pembelajaran dalam jaringan, mahasiswa tidak
terlalu dibebani dengan segala urusan kampus. Semua sudah
dipermudah dengan teknologi. Mengenai kendaraan juga
sudah berjamur, mulai dari sepeda motor hingga mobil.
Bahkan, mahasiswa sekarang sudah jarang ditemui
mengendarai sepeda angin.ah, merasa sulit atau tidaknya,
itu tergantung mahasiswa yang tidak mau berjuang.

51
Amin menarik bibir tipisnya, tersenyum simpul.
Senyum bahagia dan kebimbangan. Hati dan pikiran mulai
berkecamuk atas amanah yang diperoleh. Semakin tinggi
pohon bertumbuh, semakin terasa kencang merasakan
terpaan angin. Begitu pula amanah yang diberikan kepada
Amin. Mau dibawa kemana amanah ini? Mampukah Amin
berdamai pada dirinya sendiri menjalankan amanah? Semoga
amanah.
***
2017
Terdengar ketukan pintu dari luar. Amin memekik,
menyuruh yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam
ruang. Terlihat kepala perempuan muda berjilbab hitam
setengah badan melempar tatap ke Amin. Perempuan itu
membawa beberapa lembar berwarna-warni, yakni KRS.
“Masuk!” suruh Amin
Perempuan dengan gelar mahasiswi itu masuk ke
dalam ruang. Mereka menyalami tangan Amin. Lelaki paruh
baya itu menyuruh mahasiswa itu duduk di hadapannya.
“Ada kepentingan apa datang ke sini?” tanya Amin.
“Mau minta tanda tangan bapak.”
“Untuk apa?”
“Untuk KRS, pak?”
“Tunggu, saya tidak mau kalau hanya kalian berdua.
Kemana teman kalian semua?” tanya Amin kembali.
“Hampir semua di kampung, pak.”
“Saya tidak mau memberi tanda tangan kalau hanya
dua orang. Saya mau kalian berkumpul semua. Saya ini
bertugas sebagai Pembimbing Akademik kalian. Itu sama

52
seperti orang tua kalian. Jadi, saya mau kenal sama anak-
anak saya.”
Dengan wajah kecewa, kedua mahasiswi itu saling
tatap. Seperti ada tatapan saling mencurahkan isi hati di
antara mereka. Pernyataan Amin sudah perwakilan untuk
penutup dari pertemuan mereka. Akhirnya kedua mahasiswi
itu mengangkat tubuh, berdiri dan segera pamit. Sebelum
keluar, mereka menyalami tangan Amin.
Kala itu, Amin masih menduduki kursi sekretaris
program studi pendidikan matematika. Ia baru memulai
perjalanan untuk memanajemen suatu kekeluargaan di
tempat bekerja. Ketua prodi, dianggap sebagai abang.
Sedangkan mahasiswa, dianggap sebagai anak. Jadi, tidak
heran sekiranya banyak yang kagum padanya. Walaupun
begitu, manusia tetaplah manusia. Setiap manusia memiliki
penilaian di sudut pandang orang lain. Ada yang menyukai,
ada pula yang membenci. Itu perihal relatif. Tidak mungkin
semua orang menyukai Amin.
***
Seminggu sudah berlalu, kedua mahasiswi berhasil
memenuhi kemauan Amin. Tapi, namanya mahasiswa, masih
saja ada yang berpikir pragmatis. Dina, mahasiswi dari
program studi pendidikan matematika berperan sebagai
sekretaris di kelas sudah menegaskan agar berkumpul untuk
mengurusi KRS di hadapan Amin. Namun, masih saja ada
sebagian yang berpikir praktis. Karena selama ini, Dina dan
ketua kelas yang mengurusi semua berkas teman sekelasnya.
Sedangkan Amin malah meminta agar semua mahasiswa di

53
bawah naungannya berkumpul. Ia meminta keakraban pada
mahasiswa.
Namanya juga manusia, ada yang merendahkan hati,
ada pula yang meninggikannya. Dari tiga puluhan mahasiswa
dalam sekelas, hanya setengah yang berkumpul. Dina pikir itu
bisa menjadi perwakilan, namun Amin malah menolak. Ia
ingin semuanya hadir. Jangan ada yang menyerahkan beban
kepada teman. Karena manusia tumpuan beban masalah,
Amin tidak mau ada penambahan lagi dari kepraktisan orang
lain.
Dibalik cahaya yang menembus jendela kantor prodi,
Amin sibuk mengerjakan tugasnya sebagai sekretaris.
Berhubung masih waktu duha, Amin melangkahkan kaki ke
musola kampus. Berketapatan mahasiswa yang disuruh
berkumpul ada di sana. Amin terkejut bukan main melihat
keapatisan mahasiswa. Untuk melirik sampah di musola saja,
mahasiswa itu tidak mau. Padahal, kita tahu bahwa musola,
rumah Allah. Darah Amin mendidih, napasnya tidak
beraturan. Ia yang tadinya memiliki kebaikan hati agar
memberi tanda tangan di atas kertas KRS, malah mengurung
niat. Mahasiswa harusnya jadi maha di antara siswa. Tetapi,
mereka malah lebih pantas di bawah kata maha di antara
siswa.
Seusai shalat, Ketua kelas dan Dina berlari mengejar
Amin untuk meminta tanda tangan. Amin mengacuhkan
mereka, terus berjalan.
“Bapak kan sudah janji hari ini akan memberi tanda
tangan.” Ujar ketua kelas.

54
“Kalian pikir, kalian layak dikatakan mahasiswa
setelah mampu melihat musola kotor.” Ketus Amin
Segera saja Amin meninggalkan sepasang mahasiswa
itu. Ia kembali ke ruang prodi untuk menyelesaikan
pekerjaan.
Dina dan ketua kelas memasang wajah murung.
Ketua kelas melempar wajah kecewa kepada teman-teman,
pertanda gagal.
Hari itu, banyak cibiran yang keluar untuk Amin.
Mulai dari dosen tidak berperasaan, dosen banyak mau,
dosen yang mempersulit mahasiswa. Padahal, bila kita tarik
tali permasalahan, ini bukan sekedar tanda tangan.
Melainkan kelatihan EQ mahasiswa. Percuma memiliki
intelektual tinggi namun mempunyai emosional rendah.
Ketidakseimbangan ini akan mengakibatkan keburukan pada
manusai. Amin tidak mau mahasiswanya menjadi manusia
yang memiliki keburukan. Itu karena ia sayang.

55

Anda mungkin juga menyukai