Teori ERG dikembangkan antara tahun 1961 dan 1978,selama teori itu menguji data
secara empiris untuk mengasah prinsip- prinsip utama teori dan dipublikasikan secara ilmiah,
menurut Alderfer (1989). menjelaskan bagaimana teori ERG dikembangkan, sambil
membandingkan latar belakang penulisnya,Alderfer, dengan Maslow. Alderfer menjelaskan
bagaimana studi empiris yang memvalidasi ERG dilakukan di sebuah pabrik diEaston,
Pennsylvania, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan pembangunan studi empiris lain
di fasilitas yang lebih besar, dimana pengukuran ditingkatkan dan disajikan dalam disertasi
Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan
manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness),dan pertumbuhan (growth).
Alfeder mengemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi
maka manusia akan kembali pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu
kewaktu dan dari situasi ke situasi.
1. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk
memuaskannya
2. kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila
kebutuhan yang lebih rendah dipuaskan
3. sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya yang lebih tinggi.
semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatism oleh manusia. Artinya, karena
manyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi objektif yang
dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin
dicapainya.
1. Faktor yang dapat membuat individu memiliki keinginan yang besar untuk memuaskan
suatu kebutuhan yaitu jika seorang individu semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut
2. Jika suatu tingkat kebutuhan tertentu tidak dapat dipuaskan maka seorang individu akan
kembali ke tingkat yang lain
1. Kebutuhan Existence
Kebutuhan pertama kebutuhan eksistensi yang dimana kebutuhan akan tetap hidup dengan
tingkat kebutuhan tingkat rendah yang meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa
aman. Sebagai contoh adalah seorang siswa yang merasa terancam atau dikucilkan baik oleh
siswa lain mapun gurunya, maka ia tidak akan termotivasi dengan baik dalam belajar. Ada
kebutuhan yang disebut harga diri, yaitu kebutuhan untuk merasa dipentingkan dan dihargai.
Seseorang siswa yang telah terpenuhi kebutuhan harga dirinya, maka dia akan percaya diri,
merasa berharga, marasa kuat, merasa mampu atau bisa, merasa berguna dalam didupnya.
Kebutuhan yang paling utama atau tertinggi yaitu jika seluruh kebutuhan secara individu
terpenuhi maka akan merasa bebas untuk menampilkan seluruh potensinya secara penuh.
Dasarnya untuk mengaktualisasikan sendiri akan kebutuhan menjadi tahu, mengerti untuk
memuaskan aspek-aspek kognitif yang paling mendasar.
2. Kebutuhan Relatednes
Kebutuhan kedua relatedness yang dimana kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
sebagai contoh Siswa yang datang ke sekolah memiliki berbagai pemahaman tentang dirinya
sendiri secara keseluruhan dan pemahaman tentang kemampuan mereka sendiri khususnya.
Mereka mempunyai gambaran tertentu tentang dirinya sebagai manusia dan tentang kemampuan
dalam menghadapi lingkungan. Ini merupakan cap atau label yang dimiliki siswa tentang dirinya
dan kemungkinannya tidak dapat dilihat oleh guru namun sangat mempengaruhi kegiatan belajar
siswa. Gambaran itu mulai terbentuk melalui interaksi dengan orang lain, yaitu keluarga dan
teman sebaya maupun orang dewasa lainnya, dan hal ini mempengaruhi prestasi belajarnya di
sekolah.
3. Kebutuhan Growth
Kebutuhan ketiga Growth yang dimana kebutuhan yang mendorong seseorang untuk memiliki
pengaruh yang kreatif dan produktif terhadap diri sendiri atau lingkungan. Sebagai contoh
adanya Guru sebagai seorang pendidik harus tahu apa yang diinginkan oleh para sisiwanya.
Seperti kebutuhan untuk berprestasi, karena setiap siswa memiliki kebutuhan untuk berprestasi
yang berbeda satu sama lainnya. Tidak sedikit siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang
rendah, mereka cenderung takut gagal dan tidak mau menanggung resiko dalam mencapai
prestasi belajar yang tinggi. Meskipun banyak juga siswa yang memiliki motivasi untuk
berprestasi yang tinggi. Siswa memiliki motivasi berprestasi tinggi kalau keinginan untuk sukses
benar-benar berasal dari dalam diri sendiri. Siswa akan bekerja keras baik dalam diri sendiri
maupun dalam bersaing dengan siswa lain.
REFERENSI
Mintarsih danumiharja (2014) profesi tenaga kependidikan (Yogyakarta) Grup penerbitan CV BUDI
UTAMA