Anda di halaman 1dari 24

SOAL JAWAB TEORI MOTIVASI

PERILAKU KEORGANISASIAN
Dosen Pengampu : Muh. Ichwan Musa, SE., M.Si

Nama : Andi Muhammad Akbar


NIM : 1993141057
Kelas : Manajemen C (2019)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
1. TEORI KEPUASAN
a. Teori Hierarki Kebutuhan

Abraham H. Maslow adalah pendekar tunggal dalam bidang motivasi yang menggunakan
pendekatan kebutuhan. Menurut teori ini orang mengalami tingkat kebutuhan, yaitu:
kebutuhan fisik (lapar dan haus), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan
akan penghargaan dan kebutuhan untuk mewujudkan diri. Berbagai kebutuhan ini dianggap
tersusun dalam suatu hierarki sedemikian rupa, sehingga kebutuhan yang mendasar harus
dipuaskan lebih dahulu sebelum timbulnya kebutuhan yang lebih tinggi. Manusia bekerja
disebabkan adanya faktor kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh dirinya sendiri. Hal ini
menyebabkan manusia melakukan kerja sama dengan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya tersebut dengan memasuki suatu organisasi. Pada dasarnya menurut Maslow
ada lima kebutuhan pegawai dalam organisasi yang disusun secara hierarkis (bertingkat),
yaitu:
1) Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat
tinggal, seks, tidur, istirahat dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan,
harga diri dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dulu. Ia akan
mengabaikan atau menahan terlebih dahulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan
fisiologisnya terpenuhi. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan
membahayakan, tak ada minat lain kecuali pada makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis
kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan
segera kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi
perilaku manusia (Maslow, 1970: 35).
2) Kebutuhan Rasa Aman Atau Keselamatan
Maslow berpendapat bahwa apabila kebutuhan fisiologis relative telah terpenuhi,
maka akan muncul seperangkat kebutuhan baru yang kurang-lebih dapat kita kategorikan
dalam kebutuhan akan keselamatan, yaitu keamanan, kemantapan, ketergantungan,
perlindungan, bebas dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur,
ketertiban, hukum, batas-batas, kekuatan diri pelindung, dan sebagainya (Maslow, 1970:
39). 3)
3) Kebutuhan Sosial
Menurut Maslow, jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah
terpenuhi, maka muncullah kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki dan
dimiliki. Orang akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada
umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat di tengah kelompoknya, dan
ia akan berusaha keras mencapai tujuan yang satu ini (Supratinya, 1987: 74).
4) Kebutuhan Penghargaan
Maslow menemukan bahwa setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan
penghargaan, yakni: harga diri dan penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi
kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,
ketidaktergantungan dan kebebasan. Penghargaan dari orang lain meliputi prestise,
pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan. Seseorang
yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu sehingga lebih
produktif. Sebaliknya jika harga dirinya kurang maka akan menyebabkan rasa rendah diri
tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Harga diri yang paling
stabil dan sehat, tumbuh dari penghargaan yang wajar dari orang lain, bukan karena nama
harum, serta sanjungan kosong (Maslow, 1970: 39).
5) Kebutuhan Aktualisasi Diri
Maslow mengemukakan bahwa setiap orang harus berkembang sepenuh
kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan
kemampuannya, oleh Maslow disebut aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi
diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sendiri sepenuhnya, menjadi apa saja menurut
kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan atualisasi diri ini biasanya muncul setelah
kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai. Kebutuhan akan
16 aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow.
Munculnya kebutuhan yang tanpa jelas ini biasanya berdasarkan suatu pemenuhan
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, cinta dan harga diri yang ada
sebelumnya (Maslow, 1970: 46).

b. Teori ERG
-. Definisi
Teori ERG dikemukakan oleh Clayton Alderfer seorang psikolog asal Amerika
Serikat, kelahiran 1 September 1940, dimana teori ini merupakan simplifikasi dan
pengembangan lebih lanjut dari teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow.
E (Existence atau keberadaan)
R (Relatedness atau hubungan)
G (Growth atau pertumbuhan)

Ketiga kebutuhan pokok manusia ini diurai Aldelfer sebagai simplifikasi teori
hirarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai berikut:
1) Existence atau keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai dengan
tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu meliputi kebutuhan fisiologis dan
kebutuhan akan rasa aman.
2) Relatedness atau hubungan mencakup kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Kebutuhan ini sesuai dengan kebutuhan afiliasi dari Maslow.
3) Growth atau pertumbuhan adalah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk
memiliki pengaruh yang kreatif dan produktif terhadap diri sendiri atau lingkungan.
Realisasi dari kebutuhan penghargaan dan perwujudan diri dari Maslow.
-. Mekanisme Kebutuhan :
-. Frustration – Regression
-. Satisfaction – Progression
Penjelasan dari sanggahan Alderfer terhadap teori hirarki Abraham Maslow adalah
sebagai berikut; seseorang menurut teori Maslow akan tetap pada tingkat kebutuhan
tertentu sampai kebutuhannya terpuaskan. Sedangkan menurut teori ERG, jika kebutuhan
di tingkat yang lebih tinggi buruk maka seorang individu mungkin kembali untuk
meningkatkan kepuasan dari kebutuhan tingkat rendah. Ini disebut frustasi-regresi dari
aspek teori ERG.
Misalnya ketika kebutuhan-pertumbuhan buruk, maka seseorang mungkin akan
termotivasi untuk mencapai kebutuhan yang berkaitan dan jika ada masalah dalam
mencapai kebutuhan yang berkaitan, maka dia mungkin akan termotivasi oleh kebutuhan
eksistensi. Dengan demikian, frustrasi/kejengkelan dapat mengakibatkan regresi untuk
kebutuhan tingkat rendah.
Sementara teori hirarki Maslow kaku karena mengasumsikan bahwa kebutuhan
mengikuti hirarki spesifik dan tertib, kecuali kebutuhan tingkat rendah terpuaskan, seorang
individu tidak dapat melanjutkan ke kebutuhan tingkat yang lebih tinggi, Teori ERG
sangat fleksibel.
-. Implikasi Teori ERG
Manajer harus memahami bahwa karyawan memiliki berbagai kebutuhan yang harus
dipenuhi pada waktu yang sama. Menurut teori ERG, jika manajer hanya memusatkan
perhatian pada satu kebutuhan pada satu waktu, hal ini tidak akan efektif memotivasi
karyawan.
Juga, aspek frustasi-regresi Teori ERG memiliki efek tambahan pada motivasi kerja.
Misalnya jika seorang karyawan tidak diberi kesempatan pertumbuhan dan kemajuan
dalam sebuah organisasi, ia mungkin kembali untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi,
jika lingkungan atau keadaan tidak memungkinkan, ia mungkin kembali ke kebutuhan
akan uang untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi.
Semakin cepat manajer menyadari dan menemukan ini, langkah-langkah lebih cepat
akan mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Teori Dua Faktor


1) Pengertian Teori Dua Faktor
Teori Dua Faktor dikenal juga dengan sebutan Teori Motivasi dan Kebersihan
atau teori faktor ganda yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang
psikolog dan ilmuwan perilaku Amerika pada tahun 1959.
Teori ini berada dalam lingkup proposisi bahwa dua jenis faktor dapat
ditemukan di tempat kerja, yang dapat menciptakan kepuasan kerja, memotivasi
karyawan dan yang lainnya yang menyebabkan ketidakpuasan dan mengurangi moral
dan dorongan karyawan untuk bekerja.
Herzberg berpendapat bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan bukanlah ujung
kutub dari metrik yang sama tetapi berbeda metrik independen dan berbeda. Dia
menyatakan bahwa kebalikan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan tetapi kurangnya
kepuasan dan kebalikan dari ketidakpuasan bukanlah kepuasan tetapi kurangnya
ketidakpuasan.
Frederick Herzberg menerbitkan hasil pengamatannya tentang berbagai aspek
yang ada di lingkungan kerja yang memiliki dampak signifikan pada tingkat motivasi
karyawan dalam buku 'Motivasi untuk Bekerja' pada tahun 1959. Dalam bukunya itu,
Herzberg mengelompokan hal -hal yang menjadi faktor kepuasan dan faktor
ketidakpuasan, yaitu sebagai berikut:
Teori Motivasi Herzberg didasarkan pada prinsip bahwa kepuasan kerja dan
ketidakpuasan memiliki hubungan independen satu sama lain. Beberapa faktor
tertentu dapat dikaitkan dengan kepuasan kerja sementara faktor-faktor lain
bertanggung jawab atas ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor pekerjaan ini
diklasifikasikan oleh Herzberg ke dalam dua kategori besar, Faktor Kebersihan dan
Faktor Motivasi.
2) Faktor Kepuasan-Prestasi
Faktor-faktor motivasi adalah yang berhubungan dengan metrik kepuasan dan
merupakan faktor-faktor yang secara positif bertindak untuk dan memastikan
kepuasan atau motivasi selama rentang waktu tertentu. Faktor-faktor ini tidak
berurusan dengan metrik ketidakpuasan.
Faktor motivasi adalah faktor-faktor yang memungkinkan peningkatan kinerja
karyawan. Faktor-faktor ini lebih bersifat intrinsik sedangkan faktor kebersihan
kurang lebih bersifat ekstrinsik.
Dia menetapkan 6 faktor penting sebagai faktor Motivasi dan dalam urutan
kepentingannya, mereka adalah Prestasi, Pengakuan, Sifat pekerjaan, Tanggung
jawab, Kemajuan dan Pertumbuhan. Seorang karyawan jika ia dikenali oleh
katakanlah karyawan tahun ini atas kerja keras yang telah ia lakukan, maka karyawan
itu sendiri akan merasa puas dan akan termotivasi.
Lembaga penghargaan semacam itu setiap tahun akan membuat karyawan lain
berjuang untuk itu dan akan memotivasi mereka juga.
Ada banyak faktor yang dapat memotivasi karyawan seperti yang diidentifikasi
dalam teori ini. Faktor-faktor yang biasanya diamati yang secara positif
mempengaruhi kepuasan yang disebut Motivator meliputi sifat kerja, pengakuan
terhadap pencapaian seseorang, peluang kemajuan, tanggung jawab, rasa penting, dan
dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.
3) Faktor Ketidakpuasan-Kebersihan
Faktor kebersihan mengacu pada faktor-faktor pekerjaan yang tidak secara
positif menjamin kepuasan atau motivasi dalam jangka waktu yang lama, tetapi
merupakan faktor-faktor tersebut ketika absen menyebabkan ketidakpuasan dan
penurunan moral.
Faktor-faktor ini bukan aktor positif yang memungkinkan peningkatan
motivasi, tetapi merupakan alasan positif mengapa karyawan tidak boleh tidak puas
dengan pekerjaannya. Faktor-faktor ini juga dikenal sebagai Faktor Ketidakpuasan
atau Pemeliharaan karena fakta bahwa ia berurusan dengan metrik ketidakpuasan.
Dia meletakkan enam faktor kebersihan penting dalam hal pentingnya sebagai
Kebijakan Perusahaan, Pengawasan, Hubungan dengan Bos, Kondisi Kerja, Gaji dan
Hubungan dengan teman sebaya.
Misalnya, jika bisnis memiliki kebijakan perusahaan yang sangat kaku dan
tidak mengakomodasi, itu berarti ketidakpuasan sedangkan kebijakan perusahaan
yang cukup fleksibel untuk memberikan ruang bernapas tidak menimbulkan
ketidakpuasan.
Demikian pula, kondisi kerja yang aman berarti tidak ada ketidakpuasan dan
berbahaya dan tidak aman berarti ketidakpuasan. Tampaknya ada lebih banyak alasan
yang menyebabkan ketidakpuasan daripada kepuasan. Faktor-faktor yang umum
diamati yang menyebabkan ketidakpuasan sesuai teori dan disebut higienis termasuk
kebijakan perusahaan yang tidak adil, hubungan dengan penyelia, manajemen mikro,
kompensasi, kondisi kerja, rekan set, keamanan pekerjaan, status dan lainnya.
4) Kolaborasi antara Motivasi dan Kebersihan
Kolaborasi sederhana dari motivasi dan faktor kebersihan dapat menghasilkan matriks
pengukuran motivasi yang berguna dari seorang karyawan dan selanjutnya sukses
bagi perusahaan. Berikut ini adalah himpunan kombinasi yang memungkinkan:
-. Motivasi Tinggi dan Kebersihan Tinggi: Seperti suara, itu adalah kombinasi yang
sangat indah, dan semua orang ingin mencapai ini. Dari perspektif organisasi, itu
menghasilkan motivasi tinggi dan keluhan rendah di antara karyawan.
-. Motivasi Tinggi dan Kebersihan Rendah: Karyawan termotivasi secara signifikan
tetapi masih menimbulkan banyak keluhan. Misalnya, pertimbangkan pekerjaan
yang menantang dan bermanfaat, tetapi kebijakan dan kondisi kerja tidak diterima
dengan baik.
-. Motivasi Rendah dan Kebersihan Tinggi: Dalam situasi seperti itu, karyawan
senang melakukan pekerjaan mereka, mendapatkan gaji pada akhir hari tetapi tidak
memiliki keinginan untuk mengambil inisiatif dan menandai perbedaan untuk
organisasi mereka. Pekerjaan itu identik dengan gaji.
-. Motivasi Rendah dan Kebersihan Rendah: Posisi terburuk untuk organisasi mana
pun. Ini dapat dibandingkan dengan pandangan organisasi yang gagal mengurangi
kehadiran dan operasinya, sementara setiap karyawan secara praktis tidak mencari
insentif untuk bekerja.
d. Teori Kebutuhan Akan Prestasi
1) Definisi
Teori kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of needs) dikembangkan oleh
David McClelland dan rekan-rekannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan yaitu
kebutuhan pencapaian (need for achievement), kebutuhan kekuasaan (need for
power), dan kebutuhan hubungan (need for affiliation).

2) Kebutuhan Akan Pencapaian


Individu dengan kebutuhan akan pencapaian atau prestasi tinggi ini sangat
termotivasi oleh pekerjaan yang menantang dan bersaing. Mereka mencari peluang
promosi dalam pekerjaan dan memiliki keinginan kuat untuk mendapatkan umpan balik
atas pencapaian mereka. Mereka akan berusaha mendapatkan kepuasan dalam
melakukan hal-hal dengan lebih baik. Pencapaian atau Prestasi tinggi akan berkaitan
langsung dengan kinerja tinggi. Individu yang berkinerja lebih baik dan di atas rata-rata
sangat termotivasi. Orang-orang ini dapat memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah di tempat kerja.
3) Kebutuhan Akan Kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasaan adalah keinginan dalam diri seseorang untuk
memegang kendali dan wewenang atas orang lain dan memengaruhi serta mengubah
keputusan sesuai dengan kebutuhan atau keinginannya sendiri. Individu tersebut akan
termotivasi oleh kebutuhan akan reputasi dan harga diri. Individu yang memiliki
kekuasaan dan otoritas yang lebih besar akan melakukan lebih baik daripada mereka yang
memiliki kekuasaan kecil.
Umumnya, manajer dengan kebutuhan akan kekuasaan yang tinggi akan menjadi
manajer yang lebih efisien dan sukses. Mereka lebih bertekad dan loyal kepada organisasi
tempat mereka bekerja. Kebutuhan akan kekuasaan tidak harus selalu dianggap negatif.
Ini dapat dipandang sebagai kebutuhan untuk memiliki efek positif pada organisasi dan
untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuan organisasinya.
4) Kebutuhan Akan Afiliasi
Kebutuhan untuk berafiliasi adalah dorongan seseorang untuk memiliki hubungan
interpersonal dan sosial dengan orang lain atau sekelompok orang tertentu. Mereka
berusaha untuk bekerja dalam kelompok dengan menciptakan hubungan yang ramah dan
memiliki keinginan yang kuat untuk disukai oleh orang lain. Orang-orang ini cenderung
suka berkolaborasi dengan orang lain dalam bersaing dan biasanya akan menghindari
situasi yang berisiko tinggi ataupun menghindari situasi yang penuh dengan
ketidakpastian.
Individu-individu yang termotivasi oleh kebutuhan akan berafiliasi ini lebih suka
menjadi bagian dari suatu kelompok. Mereka suka menghabiskan waktu bersosialisasi
dan menjaga hubungan dan memiliki keinginan kuat untuk dicintai dan diterima. Orang-
orang yang termasuk dalam kelompok ini cenderung mematuhi norma-norma budaya di
tempat kerja yang bersangkutan dan biasanya tidak akan mengubah norma-norma di
tempat kerja karena takut ditolak oleh orang-orang disekitarnya.
Mereka bukan pencari risiko dan lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya.
Individu-individu ini bekerja secara efektif dalam peran yang didasarkan pada interaksi
sosial, seperti layanan klien (customer service) dan tugas-tugas yang dapat berinteraksi
pelanggan lainnya.
2. Teori Proses
a. Teori Pengharapan
A.    Konsep Teori Harapan
Teori Vroom mengidentifikasi secara konseptual penentu motivasi dan bagaimana
hal tersebut saling berhubungan. Vroom mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses
pengaturan pilihan diantara bentuk bentuk aktivitas sukarela alternatif. Menurut
pandangannya, sebagian besar perilaku berada dibawah pengendalian orang, dan
karenanya dimotivasi.Konsep inti teori tersebut adalah :
P = f (M x A). Performance adalah fungsi perkalian antara Motivasi (M) dan Ability
(A).             
M = f (V1 x E). Motivasi (M) adalah fungsi perkalian antara Valensi (V) dari setiap
perolehan tingkat pertama (V1) dengan Expentancy (E), atau harapan bahwa perilaku
tertentu akan diikuti oleh sesuatu perolehan tingkat pertama.            V1 = f (V2 x I).
Valensi berhubungan denga berbagai perolehan tingkat pertama (V1) merupakan fungsi
(f) perkalian antara jumlah valensi yang melekat pada semua perolehan tingkat kedua
dan instrumentalitas (I) yang dimiliki oleh pencapaian hasil tingkat pertama untuk
mencapai pencapaian setiap hasil tingkat kedua.       
Hasil tingkat pertama yang diakibatkan oleh perilaku adalah hasil yang
berkaitan dengan perilaku itu sendiri, misalnya produktivitas, ketidak-hadiran,
pergantian. Hasil tingkat kedua adalah peristiwa-peristiwa (imbalan atau hukuman)
yang disebabkan hasil tingkat pertama, umpamanya kenaikan upah berdasarkan
kecakapan. Instrumentalitas adalah prestasi individu tentang korelasi antara hasil
tingkat pertama (prestasi kerja), dan hasil tingkat kedua (imbalan) atau kuatnya
keyakinan individu bahwa satu tindakan menimbulkan hasil kedua. Nilai
instrumentalitas berkisar minus satu sampai dengan plus satu. Nilai plus satu berarti
individu yang bersangkutan yakin bahwa hasil tingkat pertama dari suatu tindakan
diikuti hasil kedua, misalkan hasil pertama berupa peningkatan produktivitas, hasil
tingkat kedua berupa peningkatan imbalan.       
Valensi merupakan kekuatan keinginan seseorang untuk mencapai hasil
tertentu. Sebagai contoh, seseorang mungkin lebih menginginkan kenaikan upah
sebesar 9% daripada di transfer ke departemen lain. Suatu hasil mempunyai nilai
valensi positif jika disenangi dan valensi-nya negatif jika tidak disenangi.
Harapan berkaitan dengan keyakinan individu terhadap kemungkinan bahwa
perilaku tertentu akan diikuti oleh hasil tertentu. Harapan terdiri dua macam, yaitu
harapan upaya dan harapan hasil. Harapan upaya menunjukan persepsi individu tentang
sukarnya melakukan perilaku tertentu dan kemungkinan tercapainya perilaku tersebut.
Seseorang akan mempunyai harapan usaha yang rendah atau bahkan nol apabila dia
merasa tidak memiliki kemampuan melakukan perilaku tertentu. Jenis harapan kedua
adalah harapan hasil prestasi, yaitu persepsi individu terhadap kaitan antara prestasi
dengan imbalan. Seseorang akan memiliki harapan hasil prestasi yang tinggi jika dia
yakin akan memperoleh imbalan jika prestasi yang telah ditentukan dapat dicapai. Nilai
harapan seseorang berkisar antara nol sampai dengan satu.
B.     Hubungan Harapan Dengan Motivasi Dan Pekerjaan
Teori ini berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak
dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa
tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran
tersebut bagi individu tersebut (Victor Vroom).
Victor Vroom dalam bukunya yang berjudul “work and motivation”
mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “teori harapan”. Menurutnya,
motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seseorang dan
perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan
tampaknya terbuka utuk memperolehnya, yang bersangkutan akan
berupaya mendapatkannya.       
Vroom menjelaskan bahwa motivsi adalah hasil dari tiga faktor :         
1.      Seberapa besar seseorang menginginkan imbalan (valensi)
2.      Perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan
menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan).    
3.      Perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan atau
instrumentalis.
Hubungan antara ketiga factor dapat dinyatakan sebagai berikut :        
a.       Valensi x harapan x instrumentalisasi = motivasi    
Valensi mengacu pada kekuatan preferensi seseorang untuk memperoleh imbalan. Ini
merupakan ungkapan kadar keinginan seseorang untuk mencapai suatu tujuan.
b.      Harapan adalah kadar kuatnya keyakinan bahwa ketujuh perubahan tersebut adalah
pasif menjadi aktif, bergantung menjadi tidak bergantug, sedikit bertindak menjadi
banyak variasi bertindak, minat yang tidak menentu dan dangkal menjadi lebih dalam
dan kuat,perspektif waktu jarak dekat menjadi jarak jauh, posisi yang menjadi di bawah
menjadi setingkat atau bahkan di atasnya, serta kekurangan kesadaran atas dirinya
menjadi tahu pengendalian diri.      
c.       Instrumentalisasi menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan memperoleh suatu
imbalan apabila dapat meyelesaikan tugasnya.
Hasil ketiga factor tersebut adalah motivasi,yakni kekuatan dorongan untuk
melakukan suatu tindakan. Kombinasi yang menimbulkan motivasi adalah valensi
positif yang tinggi, harapan yang tinggi, dan instrumentalisasi yang tinggi.
Dengan adanya model harapan ini, para manajer organisasi akan dipaksa untuk
menguji proses timbulnya motivasi secara seksama. Model ini juga mendorong mereka
untuk merancang iklim motivasi yang akan memperbesar kemungkinan timbulnya
perilaku pegawai yang diharapkan.
Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan
tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian
kinerja yang baik,suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran
organisasional, seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi, dan ganjaran itu akan
memuaskan.
Strategi yang tepat untuk memotivasi orang adalah menawarkan pada mereka
perangsang, yakni bila mereka berhasil mencapai sasaran – sasaran tertentu. Orang juga
perlu tahu tentang kemungkinan bahwa usaha yang dilakukan akan menghasilkan
penghargaan sebagai ganjaran prestasinya.     
Orang akan meningkatkan usahanya dalam kondisi-kondisi di bawah ini:
Kerja keras menghasilkan prestasi baik 

Prestasi baik menghasilkan imbalan

Imbalan memuaskan kebutuhan penting

Pemuasan kebutuhan terasa sangat besar pengaruhnya sehingga membuat usaha yang
dilakukan terasa berharga

Kemungkinan subyektif sangat tinggi dimana usaha akan menuju pada prestasi baik yang
menghasilkan imbalan

Jika kemungkinan menerima imbalan rendah (kecil) maka jumlahnya (nilainya) harus sangat
tinggi

b. Teori Keadilan
A. Teori Keadilan
1. Pengertian Secara Umum
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. 1 Dari beberapa
definisi dapat dipahami bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan
sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar
orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut
tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Keadilan dalam pandangan beberapa tokoh, yaitu:
a. Aristoteles
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku
Nicomachean Ethics. 2 Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus
dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2)
apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.
1) Keadilan dalam Arti Umum
Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter
yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan
berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan. Pembentukan sikap dan karakter
berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa
berlaku dua dalil, yaitu; a) Jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga
diketahui; b) kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi
“baik”3 Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih,
diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan
secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga
ambigu. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang
tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair),
maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan
fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua
tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah
adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan
masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.4 Dengan demikian
keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap
bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian
orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri
sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilainilai. Keadilan dan tata
nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai
hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai suatu
sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam hubungan sosial
terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang tidak fair.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan
pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu tata nilai
sosial.
Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal
tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan
ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat
menimbulkan ketidak adilan. Sebagai contoh, seorang pengusaha yang membayar
gaji buruh di bawah UMR, adalah suatu pelanggaran hukum dan kesalahan.
Namun tindakan ini belum tentu mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan
dan kemampuan membayar perusahaan tersebut memang terbatas, maka jumlah
pembayaran itu adalah keadilan. Sebaliknya walaupun seorang pengusaha
membayar buruhnya sesuai dengan UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja
menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan pengusaha tersebut sangat besar
dan hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah buruh. Ketidakadilan ini
muncul karena keserakahan.5 Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti
umum. Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan
hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah
melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum adalah tidak
fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap hukum.
2) Keadilan dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:
a) Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal
lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya.
Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu
tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara
“yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik
tengan atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan
antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk
memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak
kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar persamaannya adalah tingkat
kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran. Sedangkan dalam sistem
aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang
berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai
proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah
(intermediate) dan proporsi.
b) Perbaikan suatu bagian dalam transaksi Arti khusus lain dari keadilan adalah
sebagai perbaikan (rectification).
Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang
dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila
masing-masing memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau
suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan
adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan
terjadi jika satu orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan
yang dibuat secara sederajat.7 Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau
mediator melakukan tugasnya menyamakan dengan mengambil sebagian dari
yang lebih dan memberikan kepada yang kurang sehingga mencapai titik
tengah. Tindakan hakim ini dilakukan sebagai sebuah hukuman. Hal ini
berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan masing-
masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari ketidaksukarelaan berlaku
keadilan korektif yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi dari
yang memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak
dilakukan dengan semata-mata mengambil keuntungan yang diperoleh satu
pihak diberikan kepada pihak lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang
melukai tidak diselesaikan dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk
melukai balik Timbal balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran
atas nilai tertentu sehingga mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan
pertukaran inilah digunakan uang. Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah
antara tindakan tidak adil dan diperlakukan tidak adil. Keadilan dan
ketidakadilan selalu dilakukan atas kesukarelaan. Kesukarelaan tersebut
meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang melakukan tindakan secara
tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tidak
adil ataupun adil, kecuali dalam beberapa cara khusus.
Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil harus ada ruang untuk
memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga dalam hubungan antara
manusia ada beberapa aspek untuk menilai tindakan tersebut yaitu, niat,
tindakan, alat, dan hasil akhirnya. Ketika (1) kecideraan berlawanan deengan
harapan rasional, adalah sebuah kesalahan sasaran (misadventure), (2) ketika
hal itu tidak bertentangan dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan
tindak kejahatan, itu adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan
pengetahuan tetapi tanpa pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan (4)
seseorang yang bertindak atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil
dan orang yang jahat. Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama
dengan melakukan sesuatu dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin
diperlakukan secara tidak adil apabila orang lain tidak melakukan sesuatu
secara tidak adil. Mungkin seseorang rela menderita karena ketidakadilan,
tetapi tidak ada seorangpun yang berharap diperlakukan secara tidak adil.
Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan
keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan
manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan
keadilan yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan yang
ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai.
Akibat adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara keadilan
universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran keadilan
hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam waktu tertentu
tidak mungkin untuk membuat suatu pernyataan universal yang harus benar.
Adalah sangat penting untuk berbicara secara universal, tetapi tidak mungkin
melakukan sesuatu selalu benar karena hukum dalam kasus-kasus tertentu
tidak terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu hukum memuat hal yang
universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan tidak tercantum dalam
hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan alam memperbaiki
kesalahan tersebut.
b. Jhon Rawls
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls, atau nama lengkapnya John Borden
Rawls, dilahirkan pada tahun 1921 dari sebuah keluarga kaya di Baltimore,
Maryland.11 Ia adalah putra kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, William Lee
Rawls adalah seorang ahli hukum perpajakan yang sukses dan sekaligus ahli dalam
bidang konstitusi. Ibunya, Anna Abell Stump, berasal dari sebuah keluarga Jerman
yang terhormat. Perempuan pendukung gerakan feminisme ini pernah menjabat
sebagai presiden dari League of Women Voters di daerah Kediamannya. Karena latar
belakang ini, oleh sebagian orang yang dekat dengannya, Rawls disebut sebagai orang
yang memiliki “darah biru”. Hal ini membuatnya memiliki sense of noblege. John
Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.12 Hal
ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan
kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah
(1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan
(2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar
masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat
ideal ini digunakan untuk:
1) Menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
2) Melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial. Rawls berpendapat bahwa yang
menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial sehingga perlu diperiksa kembali
mana prinsipprinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi
masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara
mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original
position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original
agreement) anggota masyarakat secara sederajat. Ada tiga syarat supaya manusia
dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
1) Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang
pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya,
kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk
memegang pilihannya tersebut.
3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru
kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus
diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan Dalam menciptakan
keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:
1) Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua
pihak;
2) Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas
kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah
untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan.
Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas
masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena
adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk
memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan
derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi
kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah
asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.

c. Teori Penguatan
Teori penguatan atau reinforcement theory of motivation dikemukakan oleh B. F.
Skinner (1904-1990) dan rekan-rekannya. Pandangan mereka menyatakan bahwa perilaku
individu merupakan fungsi dari konsekuensi-konsekuensinya (rangsangan – respons —
konsekuensi).
Teori ini didasarkan atas semacam hukum pengaruh dimana tingkah laku dengan
konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkah laku dengan konsekuensi
negatif cenderung untuk tidak diulang.
Teori ini berfokus sepenuhnya pada apa yang terjadi pada seorang individu ketika
ia bertindak. Teori ini adalah alat yang kuat untuk menganalisis mekanisme pengendalian
untuk perilaku individu. Namun, tidak fokus pada penyebab perilaku individu.
Menurut Skinner, lingkungan eksternal organisasi harus dirancang secara efektif
dan positif sehingga dapat memotivasi karyawan.
Model penguatan Skinner adalah interval (tetap atau variabel) dan rasio (tetap atau
variabel).
-. Penguatan terus menerus – pemberian secara konstan penguatan terhadap tindakan,
dimana setiap kali tindakan tertentu dilakukan diberikan terhadap subjek secara
langsung dan selalu menerima penguatan. Metode ini tidak praktis untuk digunakan,
dan perilaku diperkuat rentan terhadap kepunahan.
-. Interval (fixed / variabel) penguatan tetap – penguatan mengikuti respon pertama
setelah durasi yang ditetapkan. Variabel-waktu yang harus dilalui sebelum respon
menghasilkan penguatan tidak diatur, tetapi bervariasi di sekitar nilai rata-rata.
-. Rasio (tetap atau variabel) penguatan tetap – sejumlah tanggapan harus terjadi
sebelum ada penguatan. Variabel-jumlah tanggapan sebelum penguatan disampaikan
berbeda dari yang terakhir, namun memiliki nilai rata-rata.
Menurut management study guide, manajer menggunakan metode berikut untuk
mengendalikan perilaku karyawan namun memiliki nilai rata-rata. Menurut management
study guide, manajer menggunakan metode berikut untuk mengendalikan perilaku
karyawan:
-. Penguatan Positif

Ini berarti ada pemberian tanggapan positif ketika seorang individu menunjukkan perilaku
positif yang dibutuhkan. Misalnya memuji karyawan untuk datang lebih awal. Ini akan
meningkatkan kemungkinan perilaku yang akan terjadi lagi. Reward adalah positif untuk
memperkuat, tapi belum tentu demikian, jika dan hanya jika perilaku karyawan membaik,
hadiah dapat dikatakan sebagai dorongan yang positif. Penguatan positif merangsang
terjadinya perilaku.
-. Penguatan Negatif
Ini berarti menghargai karyawan dengan menghapus konsekuensi negatif/tidak diinginkan.
Baik penguatan positif dan negatif dapat digunakan untuk meningkatkan  perilaku yang
diinginkan/diperlukan.
-. Hukuman

Ini berarti menghapus konsekuensi positif sehingga dapat menurunkan kemungkinan


mengulangi perilaku yang tidak diinginkan di masa depan. Dengan kata lain, hukuman
berarti menerapkan konsekuensi yang tidak diinginkan untuk menampilkan perilaku yang
tidak diinginkan. Misalnya – Menangguhkan seorang karyawan untuk melanggar aturan
organisasi. Hukuman bisa disamakan oleh penguatan positif dari sumber alternatif.
-. Kepunahan

Kepunahan berarti menurunkan kemungkinan perilaku yang tidak diinginkan dengan


menghilangkan hadiah untuk perilaku seperti itu.
-. Implikasi Teori 
Mirip dengan teori keseimbangan yang membangun kesadaran yang lebih luas terhadap
dimensi penilaian masing-masing individu sebagai manifestasi keadilan, teori ini juga
memandang bahwa penghargaan terhadap karyawan tidak bisa dipukul rata bahwa
manajemen harus menghargai semua karyawan secara bersamaan, melainkan harus
memberitahu karyawan apa yang perlu dilakukan dengan benar. Karyawan diberitahukan
bagaimana mereka dapat mencapai penguatan positif. Teori Penguatan menjelaskan secara
rinci bagaimana seseorang belajar berperilaku.

d. Teori Penetapan Tujuan


Teori penetapan tujuan (goal-setting theory) yang dikemukakan oleh Locke (1968)
sebagai teori utama (grand theory). Teori penetapan tujuan merupakan salah satu bentuk teori
motivasi yang didasari pada premis bahwa seseorang memiliki kebutuhan yang dapat diingat
atau dipikirkan sebagai outcomes tertentu atau sasaran (goals) yang diharapkan dapat dicapai
(Locke dan Bryan, 1968). Penetapan tujuan (goal setting) merupakan manajemen penetapan
sasaran atau tujuan untuk keberhasilan mencapai kinerja (performance) (Davis, 1981 dalam
Sekaran, 1992). Teori penetapan tujuan menekankan pada pentingnya hubungan antara tujuan
yang ditetapkan dan kinerja yang dihasilkan. Konsep dasarnya yaitu seseorang yang mampu
memahami tujuan yang diharapkan oleh organisasi, maka pemahaman tersebut akan
mempengaruhi perilaku kinerjanya. Terdapat lima prinsip dalam penetapan tujuan yaitu
(1) Tujuan harus jelas
(2) tujuan harus mempunyai tingkat kesulitan menengah sampai tinggi,
(3) karyawan harus menerima tujuan itu,
(4) karyawan harus menerima umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai
tujuan tersebut.
(5) tujuan yang ditentukan secara partisipastif lebih baik daripada tujuan yang
ditentukan begitu saja.
Teori penetapan tujuan dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan tindakan
bawahan dalam mewujudkan tujuan yang diharapkannya. Tujuan bawahan akan menentukan
pilihan tindakan yang akan dilakukan. Locke dalam Kusuma (2013) menemukan bahwa goal-
setting berpengaruh pada ketepatan anggaran. Setiap organisasi yang telah menetapkan
sasaran (goal) yang diformulasikan ke dalam rencana anggaran lebih mudah untuk mencapai
target kinerjanya sesuai dengan visi dan misi organisasi itu sendiri. Sebuah anggaran tidak
hanya sekedar mengandung rencana dan jumlah nominal yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan atau program, tetapi juga mengandung sasaran yang ingin dicapai organisasi. Dalam
beberapa kasus, sasaran yang ditetapkan secara partisipatif menghasilkan kinerja yang
unggul, artinya individu akan memiliki kinerja terbaik bila diberi tugas sasaran oleh atasan
mereka (Robbins, 2003). Teori penetapan tujuan adalah teori bahwa tujuan-tujuan yang
spesifik dan sulit, dengan umpan balik akan menghasilkan kinerja yang tinggi (Robbins dan
Judge, 2008). Smith (1998) serta Russell dan Russell (1992) menganggap bahwa otonomi
pembuatan keputusan yang tinggi akan membantu manajer dalam mengelola lingkungan yang
lebih dinamis, efektif dan kurang dapat diprediksi.
Otonomi pembuatan keputusan yang tinggi dapat diperoleh melalui partisipasi
penganggaran. Partisipasi penganggaran berhubungan dengan luasnya manajer terlibat atau
diikutsertakan dengan, dan memiliki pengaruh pada penentuan anggaran mereka (Brownell,
1982). Anggaran yang ditetapkan secara partisipasi menggunakan fungsi informasi agar
bawahan dapat mengumpulkan, bertukar dan menyebarkan job relevant information dan
manajer akan memperoleh kepuasan jika dilibatkan dalam partisipasi penganggaran untuk
bertukar informasi sehubungan pekerjaannya dan menetapkan target kinerja mereka. Murray
(1990) menunjukkan bahwa partisipasi informasi dapat ditransfer dari manajer pada
atasannya dan terdapat dua keuntungan yang diperoleh yaitu: manajer dapat mengembangkan
strategi yang lebih baik yang dapat disampaikan kepada atasan sehingga kinerja akan
meningkat, 13 disamping itu dari informasi yang diberikan manajer kepada atasannya akan
memperoleh tingkat anggaran yang lebih baik atau lebih sesuai bagi perusahaan. Keuntungan
utama dari partisipasi adalah penerimaan atas sasaran yang telah ditetapkan sebagai sasaran
yang diinginkan, yaitu jika seseorang berpartisipasi dalam penetapan sasaran maka lebih
besar kemungkinan sasaran yang sulit akan diterima karena individu lebih berkomitmen pada
pilihan-pilihan dimana mereka turut serta menjadi bagian dari proses penetapan sasaran
tersebut. Teori penetapan tujuan mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada
tujuan (Robbins dan Judge, 2008).
Jika seorang individu memiliki komitmen untuk mencapai tujuannya, maka komitmen
tersebut akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya.
Capaian atas sasaran (tujuan) yang ditetapkan dapat dipandang sebagai tujuan atau tingkat
kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Secara keseluruhan, niat dalam hubungannya
dengan tujuantujuan yang ditetapkan, merupakan motivasi yang kuat dalam mewujudkan
kinerjanya. Individu harus mempunyai keterampilan, mempunyai tujuan, dan menerima
umpan balik untuk menilai kinerjanya. Capaian atas sasaran (tujuan) mempunyai pengaruh
terhadap perilaku pegawai dan kinerja dalam organisasi. Berdasarkan pendekatan teori
penetapan tujuan peningkatan kinerja manajerial merupakan tujuan yang ingin dicapai,
sedangkan variabel partisipasi penganggaran, kepuasan kerja, JRI, dan komitmen tujuan
anggaran sebagai faktor penentu. Semakin tinggi faktor penentu tersebut maka akan semakin
tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya.
RUJUKAN :
https://www.studimanajemen.com/2019/04/teori-dua-faktor-frederick-herzberg.html
http://desakeurea.blogspot.com/2013/01/makalah-tentang-teori-harapan.html
Damanhuri Fattah, “Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPIs, Vol.9 No.2
Juli-Desember 2013, hlm. 31.
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/
pag/Aristoteles-nicomachaen.html. Diakses pada tanggal 1 Juli 2015.
Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam, Gema Insani,
Jakarta, 2001, hlm. 57.
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009, hlm. 115-116.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 517.
ristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/
pag/Aristoteles-nicomachaen.html. Diakses pada tanggal 1 Juli 2015.

Anda mungkin juga menyukai