Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PERILAKU ORGANISASI

Nama : Bakti Bahari

NPM : 19180233

Jawaban

1. Konsep dari Motivasi adalah menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam
diri setiap individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku. Konsep ini digunakan
untuk menjelaskan perbedaaan-perbedaan dalam intensitas perilaku dimana perilaku yang
bersemangat adalah hasil dari tingkat motivasi yang kuat. Selain itu konsep motivasi
digunakan untuk menunjukkan arah perilaku.
2. Uraian konsep motivasi :
A. Teori Abraham Maslow
Didalam teori Maslow seperti yang dikutip oleh Hasibuan (2006:152) yang
menyatakan bahwa Maslow’s Need Hierarcy Theory atau Teori Hierarki Kebutuhan
adalah mengikuti teori jamak yakni seseorang berperilaku dan bekerja karena adanya
dorongan untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan.

Maslow berpendapat, kebutuhan yang diinginkan seseorang itu berjenjang. Artinya,


jika kebutuhan yang pertama telah terpenuhi, kebutuhan tingkat kedua akan muncul
menjadi yang utama. Selanjutnya jika kebutuhan tingkat kedua telah terpenuhi,
muncul kebutuhan tingkat ketiga dan seterusnya sampai tingkat kebutuhan yang
kelima.

Dasar Teori Hierarki Kebutuhan :


a. Manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan selalu menginginkan lebih
banyak lagi dan akan berhenti jika akhir hayatnya tiba.
b. Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivator bagi
pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang akan menjadi motivator.
c. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu jenjang/hierarki.

Hierarki atau Jenjang Kebutuhan Manusia :


1. Kebutuhan fisik dan biologis
Bagian ini terdiri dari kebutuhan akan sandang, pangan, papan, kesehatan dan
lain-lain
2. Kebutuhan keselamatan dan keamanan
Bagian ini terdiri dari kebutuhan perlindungan dari bahaya, ancaman dan
sebagainya
3. Kebutuhan Sosial (Affiliation or Aceptance Needs or Belongingness)
Bagian ini terdiri dari kebutuhan akan cinta kasih, kepuasan dalam menjalin
hubungan dengan orang lain dan kelompok dan rasa kekeluargaan.
4. Kebutuhan akan penghargaan atau prestise (Esteem or Status Needs)
Bagian ini terdiri dari kebutuhan kehormatan diri dan berpartisipasi.
5.  Aktualisasi Diri (Self Actualization)
Bagian ini terdiri dari penyelesaian pekerjaan secara kreativitas dan
mengembangkan diri.

B. Teori ERG Thomasl Aldelfer


Teori ini merupakan simplikasi dan pengembangan lebih lanjut dari teori kebutuhan
Abraham Maslow

1. Existence atau keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai
dengan tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu meliputi kebutuhan
fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman.
2. Relatedness atau hubungan mencakup kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang
lain. Kebutuhan ini sesuai dengan kebutuhan afiliasi dari Maslow.
3. Growth atau pertumbuhan adalah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk
memiliki pengaruh yang kreatif dan produktif terhadap diri sendiri atau lingkungan.
Realisasi dari kebutuhan penghargaan dan perwujudan diri dari Maslow.

Alderfer berpendapat bahwa pemenuhan atas ketiga kebutuhan tersebut dapat


dilakukan secara simultan, artinya bahwa hubungan dari teori ERG ini tidak bersifat
hirarki.

Penjelasan dari sanggahan Alderfer terhadap teori hirarki Abraham Maslow adalah
sebagai berikut; seseorang menurut teori Maslow akan tetap pada tingkat kebutuhan
tertentu sampai kebutuhannya  terpuaskan. Sedangkan menurut teori ERG, jika
kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi buruk maka seorang individu mungkin kembali
untuk meningkatkan kepuasan dari kebutuhan tingkat rendah. Ini disebut frustasi-
regresi dari aspek teori ERG.

Misalnya ketika kebutuhan-pertumbuhan buruk, maka seseorang mungkin akan


termotivasi untuk mencapai kebutuhan yang berkaitan dan jika ada masalah dalam
mencapai kebutuhan yang berkaitan, maka dia mungkin akan termotivasi oleh
kebutuhan eksistensi. Dengan demikian, frustrasi/kejengkelan dapat mengakibatkan
regresi untuk kebutuhan tingkat rendah.

C. Teori X dan Y Thomas McGregor’s

Teori X dan Y merupakan teori yang dikemukakan oleh Douglas McGregor terhadap
pembawaan sebuah organisasi dan bagaimana pembawaan tersebut dapat
mempengaruhi karyawan dan pegawainya. Sesuai dengan namanya, teori ini dibagi
menjadi 2 domain. Domain X dan domain Y. Secara representatif, domain X
dilambangkan sebagai pembawaan authoritarian (otoriter), sedangkan domain Y
dilambangkan sebagai pembawaan participative (partisipatif). 

Teori X

Sebuah organisasi yang pemimpinnya mengadopsi teori X berarti menganggap bawahan


mereka cenderung kurang termotivasi dalam melakukan pekerjaannya, atau bahkan tidak
menyukai apa yang sedang mereka lakukan ketika mereka sedang bekerja.
Dalam implementasi teori X, pemimpin cenderung akan memberikan hadiah atau
ancaman terhadap para pekerjanya. Dalam teori ini juga menjelaskan bahwa setiap
pekerja harus selalu diawasi, diancam, serta diarahkan agar bekerja sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh perusahaan.

Gaya pembawaan teori X ini menjabarkan kemungkinan pekerjanya:

1. Tidak menyukai pekerjaan mereka


2. Menghindari kewajiban mereka
3. Harus dikontrol, diancam, dan diawasi agar dapat optimal dalam mengerjakan
pekerjaan mereka
4. Harus diawasi dalam setiap step atau tahapan kerjanya
5. Tidak berambisi untuk bekerja, atau harus diberikan hadiah agar mereka dapat
bekerja.

Menurut McGregor, karyawan yang harus diatur menggunakan teori X ini cenderung


minoritas. Namun ketika kita dihadapkan dengan sebuah perusahaan dengan pekerja yang
cukup banyak, terkadang teori X ini mungkin diperlukan untuk
mengatur kualitas pekerjanya.

Teori Y

Seorang pemimpin yang mengadopsi teori Y cenderung melihat pegawainya sebagai


pegawai yang optimistik, dan melihat pekerjaan mereka sebagai sesuatu yang menantang.
Mereka juga cenderung memiliki positive opinion terhadap pegawai mereka. Pemimpin
tersebut juga cenderung menyemangati pekerjanya untuk terus menerus menggapai hal
yang baru. Berbeda dengan teori X, pemimpin yang mengadopsi teori ini cenderung lebih
terbuka terhadap pegawainya dan terus mendukung pegawainnya daripada mengatur dan
mengawasi mereka setiap saat.

Gaya pembawaan teori X ini menjabarkan kemungkinan pekerjanya:

1. Bekerja dengan bahagia dan sukarela dengan inisiatif dari diri mereka sendiri


2. Lebih ikut turun tangan dalam pemilihan keputusan
3. Self-motivated ketika mengerjakan tugas mereka
4. Dapat menyelesaikan tugas dengan kreatif dan inovatif
5. Melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang menantang
Teori Y ini melihat pegawai sebagai sesosok pekerja yang memiliki motivasi dan
keinginan untuk berkembang yang lebih tinggi lagi. Ini melambangkan peningkatan
keinginan pekerja untuk memiliki meaningful career yang bisa menunjang mereka selain
uang.

D. Teori 2 Faktor dari Herzberg’s

Teori Dua Faktor (juga dikenal sebagai teori motivasi Herzberg atau teori hygiene-
motivator). Teori ini dikembangkan oleh Frederick Irving Herzberg (1923-2000), seorang
psikolog asal Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang
manajemen dan teori motivasi.

Frederick Herzberg menyatakan bahwa ada faktor-faktor tertentu di tempat kerja yang
menyebabkan kepuasan kerja, sementara pada bagian lain ada pula faktor lain yang
menyebabkan ketidakpuasan. Dengan kata lain kepuasan dan ketidakpuasan kerja
berhubungan satu sama lain.

Faktor-faktor tertentu di tempat kerja tersebut oleh Frederick Herzberg diidentifikasi


sebagai hygiene factors (faktor kesehatan) dan motivation factors (faktor pemuas).

Dua faktor ini oleh Frederick Herzberg dialamatkan kepada faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik, dimana faktor intrinsik adalah faktor yang mendorong karyawan termotivasi,
yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik
yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya
bekerja.

Teori ini merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan Maslow. Dan juga
berhubungan erat dengan teori tiga faktor sosial McClelland.

1. Hygiene Factors
Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya
motivasi di tempat kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka
panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan. Faktor
ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai
dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari
ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan
fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Hygiene factors (faktor kesehatan)
meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi kerja, jaminan kerja,
hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.
2. Motivation Factors
Menurut Herzberg, hygiene factors (faktor kesehatan) tidak dapat dianggap sebagai
motivator. Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan positif. Faktor-faktor yang
melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang unggul
disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan hanya menemukan faktor-faktor intrinsik
yang berharga pada motivation factors (faktor pemuas). Para motivator melambangkan
kebutuhan psikologis yang dirasakan sebagai manfaat tambahan. Faktor motivasi
dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan yang
menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam pekerjaan.

Teori dua faktor juga memiliki keterbatasan lain yaitu variabel situasional. Herzberg
dilakukan oleh Herzberg menekankan pada kepuasan dan mengabaikan produktivitas.
Tidak ada ukuran komprehensif kepuasan digunakan. Seorang karyawan mungkin
menemukan pekerjaannya diterima meskipun fakta bahwa ia mungkin membenci obyek
pekerjaannya.

Teori dua faktor menurut para ahli juga tidak bebas dari bias karena didasarkan pada
reaksi alami dari karyawan ketika mereka ditanya sumber kepuasan dan ketidakpuasan di
tempat kerja. Mereka akan menyalahkan ketidakpuasan pada faktor-faktor eksternal
seperti struktur gaji, kebijakan perusahaan dan hubungan dengan karyawan lainnya. Juga,
karyawan tentunya subyektif terhadap diri mereka sendiri untuk menilai faktor kepuasan
kerja.

E. Teori 3 Kebutuhan David McLelland’s

1. Kebutuhan akan pencapaian (Need For Achievment )

Individu dengan kebutuhan akan pencapaian atau prestasi tinggi ini sangat
termotivasi oleh pekerjaan yang menantang dan bersaing. Mereka mencari peluang
promosi dalam pekerjaan dan memiliki keinginan kuat untuk mendapatkan umpan
balik atas pencapaian mereka. Mereka akan berusaha mendapatkan kepuasan dalam
melakukan hal-hal dengan lebih baik. Pencapaian atau Prestasi tinggi akan
berkaitan langsung dengan kinerja tinggi. Individu yang berkinerja lebih baik dan
di atas rata-rata sangat termotivasi. Orang-orang ini dapat memikul tanggung jawab
untuk menyelesaikan masalah di tempat kerja.

McClelland menyebutkan bahwa orang-orang dengan kebutuhan akan prestasi


tinggi ini sebagai akan  menetapkan target yang menantang untuk diri sendiri dan
mengambil risiko yang disengaja untuk mencapai target yang ditetapkan tersebut.
Individu yang memiliki kebutuhan akan pencapaian ini mencari cara yang inovatif
dalam melakukan pekerjaan. Mereka menganggap pencapaian tujuan sebagai
hadiah dan menghargainya lebih dari sekadar hadiah finansial.

Contoh Kebutuhan akan Pencapaian ini diantaranya seperti seorang pengacara yang
memenangkan kasus dan diakui oleh banyak orang ataupun Seorang pelukis yang
berhasil melukis sebuah lukisan terkenal.
2. Kebutuhan akan kekuasaan ( Need for Power )

Kebutuhan akan kekuasaan adalah keinginan dalam diri seseorang untuk


memegang kendali dan wewenang atas orang lain dan memengaruhi serta
mengubah keputusan sesuai dengan kebutuhan atau keinginannya sendiri. Individu
tersebut akan termotivasi oleh kebutuhan akan reputasi dan harga diri. Individu
yang memiliki kekuasaan dan otoritas yang lebih besar akan melakukan lebih baik
daripada mereka yang memiliki kekuasaan kecil.

Umumnya, manajer dengan kebutuhan akan kekuasaan yang tinggi akan menjadi
manajer yang lebih efisien dan sukses. Mereka lebih bertekad dan loyal kepada
organisasi tempat mereka bekerja. Kebutuhan akan kekuasaan tidak harus selalu
dianggap negatif. Ini dapat dipandang sebagai kebutuhan untuk memiliki efek
positif pada organisasi dan untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuan
organisasinya.

3. Kebutuhan akan Afiliasi ( Need for Affiliation )

Kebutuhan untuk berafiliasi adalah dorongan seseorang untuk memiliki hubungan


interpersonal dan sosial dengan orang lain atau sekelompok orang tertentu. Mereka
berusaha untuk bekerja dalam kelompok dengan menciptakan hubungan yang
ramah dan memiliki keinginan yang kuat untuk disukai oleh orang lain. Orang-
orang ini cenderung suka berkolaborasi dengan orang lain dalam bersaing dan
biasanya akan menghindari situasi yang berisiko tinggi ataupun menghindari situasi
yang penuh dengan ketidakpastian.

Individu-individu yang termotivasi oleh kebutuhan akan berafiliasi ini lebih suka
menjadi bagian dari suatu kelompok. Mereka suka menghabiskan waktu
bersosialisasi dan menjaga hubungan dan memiliki keinginan kuat untuk dicintai
dan diterima. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini cenderung
mematuhi norma-norma budaya di tempat kerja yang bersangkutan dan biasanya
tidak akan mengubah norma-norma di tempat kerja karena takut ditolak oleh orang-
orang disekitarnya.

Mereka bukan pencari risiko dan lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya.
Individu-individu ini bekerja secara efektif dalam peran yang didasarkan pada
interaksi sosial, seperti  layanan klien (customer service) dan tugas-tugas yang
dapat berinteraksi pelanggan lainnya.

F. Teori Penetapan Tujuan/Goals Setting Theory


Teori penetapan tujuan atau goal setting theory awalnya dikemukakan oleh Dr. Edwin
Locke pada akhir tahun 1960. Lewat publikasi artikelnya ‘Toward a Theory of Task
Motivation and Incentives’ tahun 1968, Locke menunjukkan adanya keterkaitan antara
tujuan dan kinerja seseorang terhadap tugas.
Dia menemukan bahwa tujuan spesifik dan sulit menyebabkan kinerja tugas lebih baik
dari tujuan yang mudah. Beberapa tahun setelah Locke menerbitkan artikelnya,
penelitian lain yang dilakukan Dr. Gary Latham, yang mempelajari efek dari penetapan
tujuan di tempat kerja.

Penelitiannya mendukung persis apa yang telah dikemukakan oleh Locke mengenai
hubungan tak terpisahkan antara penetapan tujuan dan kinerja. Pada tahun 1990, Locke
dan Latham menerbitkan karya bersama mereka, ‘A Theory of Goal Setting and Task
Performance’.

Dalam buku ini, mereka memperkuat argumen kebutuhan untuk menetapkan tujuan
spesifik dan sulit. :

1. Kejelasan

Tujuan harus jelas terukur, tidak ambigu, dan ada jangka waktu tertentu yang
ditetapkan untuk penyelesaian tugas. Manfaatnya ketika ada sedikit
kesalahpahaman dalam perilaku maka orang masih akan tetap menghargai atau
toleran. Orang tahu apa yang diharapkan, dan orang dapat menggunakan hasil
spesifik sebagai sumber motivasi.

2. Menantang

Salah satu karakteristik yang paling penting dari tujuan adalah tingkat tantangan.
Orang sering termotivasi oleh prestasi, dan mereka akan menilai tujuan berdasarkan
pentingnya sebuah pencapaian yang telah diantisipasi. Ketika orang tahu bahwa apa
yang mereka lakukan akan diterima dengan baik, akan ada motivasi alami untuk
melakukan pekerjaan dengan baik. Dengan catatan sangat penting untuk
memperhatikan keseimbangan yang tepat antara tujuan yang menantang dan tujuan
yang realistis.

3. Komitmen

Tujuan harus dipahami agar efektif. Karyawan lebih cenderung memiliki tujuan
jika mereka merasa mereka adalah bagian dari penciptaan tujuan tersebut. Gagasan
manajemen partisipatif terletak pada ide melibatkan karyawan dalam menetapkan
tujuan dan membuat keputusan. Mendorong karyawan untuk mengembangkan
tujuan-tujuan mereka sendiri, dan mereka menjadi berinisiatif memperoleh
informasi tentang apa yang terjadi di tempat lain dalam organisasi. Dengan cara ini,
mereka dapat yakin bahwa tujuan mereka konsisten dengan visi keseluruhan dan
tujuan perusahaan.
4. Umpan Balik

Umpan balik memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi harapan,


menyesuaikan kesulitan sasaran, dan mendapatkan pengakuan. Sangat penting
untuk memberikan kesempatan benchmark atau target, sehingga individu dapat
menentukan sendiri bagaimana mereka melakukan tugas.

5. Kompleksitas Tugas

Faktor terakhir dalam teori penetapan tujuan memperkenalkan dua persyaratan


lebih untuk sukses. Untuk tujuan atau tugas yang sangat kompleks, manajer perlu
berhati-hati untuk memastikan bahwa pekerjaan tidak menjadi terlalu berlebihan.

Orang-orang yang bekerja dalam peran yang kompleks mungkin sudah memiliki
motivasi tingkat tinggi. Namun, mereka sering mendorong diri terlalu keras jika
tindakan tidak dibangun ke dalam harapan tujuan untuk menjelaskan kompleksitas
tugas, karena itu penting untuk memberikan orang waktu yang cukup untuk
memenuhi tujuan atau meningkatkan kinerja.

G. Teori Pengharapan / Expectancy Theory

Teori ini menyatakan bahwa intensitas kecenderungan untuk melakukan dengan cara
tertentu tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil
yang pasti dan pada daya tarik dari hasil kepada individu.

Vroom dalam Koontz, 1990 mengemukakan bahwa orang-orang akan termotivasi


untuk melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan apabila mereka yakin bahwa
tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut.

Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang Craig C. Pinder (1948) dalam


bukunya Work Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat harapan atau ekspektansi seseorang yaitu:

a. Harga diri.
b. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas.
c. Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan.
d. Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
e. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja.

Sementara teori harapan menyatakan bahwa motivasi karyawan adalah hasil dari
seberapa jauh seseorang menginginkan imbalan (Valence), yaitu penilaian bahwa
kemungkinan sebuah upaya akan menyebabkan kinerja yang diharapkan (Expectancy),
dan keyakinan bahwa kinerja akan mengakibatkan penghargaan (Instrumentality ).
Singkatnya, Valence adalah signifikansi yang dikaitkan oleh individu tentang hasil
yang diharapkan.
Ini adalah kepuasan yang diharapkan dan tidak aktual bahwa seorang karyawan
mengharapkan untuk menerima setelah mencapai tujuan. Harapan adalah keyakinan
bahwa upaya yang lebih baik akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Harapan
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepemilikan keterampilan yang sesuai untuk
melakukan pekerjaan, ketersediaan sumber daya yang tepat, ketersediaan informasi
penting dan mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.

H. Teori Keadilan / Equity Theory


Teori keseimbangan atau equity theory  dikemukakan oleh  John Stacey Adams,
seorang psikolog kerja dan perilaku pada tahun 1963.  Teori ini berasumsi bahwa pada
dasarnya manusia menyenangi perlakuan yang adil/sebanding, berhubungan  dengan
kepuasan relasional dalam hal persepsi distribusi yang adil/tidak adil dari sumber daya
dalam hubungan interpersonal.

Teori ini membangun kesadaran yang lebih luas terhadap dimensi penilaian masing-
masing individu sebagai manifestasi keadilan yang lebih luas dibanding teori motivasi
lainnya.

Teori keseimbangan berfokus pada rasio input-output dalam organisasi. Input diwakili


oleh kontribusi kita terhadap organisasi; output segala sesuatu yang kita terima dari
organisasi. Teori ini mengasumsikan bahwa ketika kita terlibat dalam hubungan
pertukaran dengan organisasi, dan mengevaluasi keadilan dari apa yang kita dapatkan
dari pertukaran ini dengan membandingkan rasio input-output kita sendiri dengan yang
lain, untuk menentukan apakah kita dibayar kurang/underpaid atau dibayar lebih.

Menurut Adams, ketidakadilan menciptakan ketegangan sebanding dengan


ketidakseimbangan. Ini adalah ketegangan yang memotivasi individu untuk
mengurangi kesenjangan tersebut. Akibatnya, semakin tinggi perasaan ketidakadilan,
semakin kuat motivasi untuk mengurangi itu.

Bagaimana mengurangi ketidakadilan? Jika Anda merasa dibayar kurang/underpaid,


Anda dapat meningkatkan produktivitas dan meminta kenaikan gaji, atau Anda dapat
menurunkan kinerja, atau berpikir untuk berhenti. Anda dapat mengurangi kesenjangan
dengan proses mental seperti mengubah referensi Anda. Jika Anda merasa dibayar
lebih, Anda dapat meningkatkan produktivitas Anda. Ketidaksetaraan negatif (bayaran
yang kurang) dirasakan lebih mendalam daripada ketidakadilan positif (bayaran yang
lebih).

I. Teori Penguatan / Reinforcement Theory

Teori penguatan atau reinforcement theory of motivation dikemukakan oleh B. F.


Skinner (1904-1990) dan rekan-rekannya. Pandangan mereka menyatakan bahwa
perilaku individu merupakan fungsi dari konsekuensi-konsekuensinya (rangsangan –
respons —  konsekuensi).
Teori ini didasarkan atas semacam hukum pengaruh dimana tingkah laku dengan
konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkah laku dengan
konsekuensi negatif cenderung untuk tidak diulang.

Teori ini berfokus sepenuhnya pada apa yang terjadi pada seorang individu ketika ia
bertindak. Teori ini adalah alat yang kuat untuk menganalisis mekanisme pengendalian
untuk perilaku individu. Namun, tidak fokus pada penyebab perilaku individu.

Menurut Skinner, lingkungan eksternal organisasi harus dirancang secara efektif dan
positif sehingga dapat memotivasi karyawan. :

1. Penguatan terus menerus

pemberian secara konstan penguatan terhadap tindakan, dimana setiap kali tindakan
tertentu dilakukan diberikan terhadap subjek secara langsung dan selalu menerima
penguatan. Metode ini tidak praktis untuk digunakan, dan perilaku diperkuat rentan
terhadap kepunahan

2. Interval (fixed / variabel) penguatan tetap

penguatan mengikuti respon pertama setelah durasi yang ditetapkan. Variabel-


waktu yang harus dilalui sebelum respon menghasilkan penguatan tidak diatur,
tetapi bervariasi di sekitar nilai rata-rata.

3. Rasio (tetap atau variabel) penguatan tetap

sejumlah tanggapan harus terjadi sebelum ada penguatan. Variabel-jumlah


tanggapan sebelum penguatan disampaikan berbeda dari yang terakhir, namun
memiliki nilai rata-rata.

Menurut management study guide, manajer menggunakan metode berikut untuk


mengendalikan perilaku karyawan:

1. Penguatan Positif

Ini berarti ada pemberian tanggapan positif ketika seorang individu


menunjukkan perilaku positif yang dibutuhkan. Misalnya memuji karyawan
untuk datang lebih awal. Ini akan meningkatkan kemungkinan perilaku yang
akan terjadi lagi. Reward adalah positif untuk memperkuat, tapi belum tentu
demikian, jika dan hanya jika perilaku karyawan membaik, hadiah dapat
dikatakan sebagai dorongan yang positif. Penguatan positif merangsang
terjadinya perilaku.

2. Penguatan Negatif
Ini berarti menghargai karyawan dengan menghapus konsekuensi
negatif/tidak diinginkan. Baik penguatan positif dan negatif dapat digunakan
untuk meningkatkan  perilaku yang diinginkan/diperlukan.

3. Hukuman

Ini berarti menghapus konsekuensi positif sehingga dapat menurunkan


kemungkinan mengulangi perilaku yang tidak diinginkan di masa depan.
Dengan kata lain, hukuman berarti menerapkan konsekuensi yang tidak
diinginkan untuk menampilkan perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya –
Menangguhkan seorang karyawan untuk melanggar aturan organisasi.
Hukuman bisa disamakan oleh penguatan positif dari sumber alternatif.

4. Kepunahan

Kepunahan berarti menurunkan kemungkinan perilaku yang tidak diinginkan


dengan menghilangkan hadiah untuk perilaku seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai