Anda di halaman 1dari 15

TEORI-TEORI MOTIVASI

T.R.Mitchell mengartikan motivasi sebagai proses yang ikut menentukan


intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam upaya mencapai sasaran. Stephen P.
Robbins, lebih lanjut menguraikan bahwa terdapat tiga unsur kunci dalam motivasi,
yaitu intensitas (intensity), arah (direction), dan ketekunan (persistence).

Intensitas terkait dengan seberapa keras seseorang berusaha. Unsur ini


merupakan unsur yang mendapat perhatian paling besar dalam pembahasan tentang
motivasi. Namun demikian, intensitas yang tinggi ini tidak akan menghasilkan kinerja
yang diinginkan jika tidak disalurkan ke arah yang diinginkan, seperti tujuan organisasi.
Untuk itu, manajemen harus dapat menjaga agar upaya yang ada diarahkan ke sasaran
dan dipelihara konsistensinya. Selanjutnya, motivasi mempunyai dimensi berlangsung
lama. Ini adalah ukuran tentang berapa lama seseorang dalam mempertahankan
usahanya. Individu -individu yang termotivasi tetap bertahan dengan pekerjaannya
dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka.

1. Teori‐Teori tentang Konsep Motivasi


2.

Pada kurun tahun 1950 –an, teori tentang konsep-konsep motivasi


berkembang. Terdapat tiga teori spesifik yang dirumuskan pada periode tersebut
yang walau banyak dipertanyakan kesahihan (validitas) -nya namun dapat
menjelaskan secara baik soal motivasi karyawan, yaitu teori hierarki kebutuhan,
teori X dan Y, dan teori dua faktor.

Ketiga teori ini perlu kita pahami ketika kita membahas tentang teori
motivasi karena dua hal, yaitu teori -teori ini menjadi dasar bagi teori motivasi
kontemporer yang berkembang kemudian dan para manajer aktif masih

1
menggunakan teori -teori ini beserta terminologinya dalam menjelaskan motivasi
karyawan.

A. Teori Hierarki Kebutuhan

Abraham Maslow mempunyai hipotesis bahwa di dalam diri manusia


bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu sebagai berikut:

1) Kebutuhan psikologis: antara lain rasa lapar, haus, perlindungan, pakaian,


perumahan, seks, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2) Kebutuhan keamanan: antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap
kerugian fisik dan emosional.
3) Kebutuhan sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik,
dan persahabatan.
4) Kebutuhan penghargaan: mencakup faktor penghormatan dari luar seperti
misalnya status, pengakuan, dan perhatian.
5) Kebutuhan aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi seseorang/sesuatu
sesuai ambisi yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan
pemenuhan kebutuhan diri.

Ketika suatu kebutuhan secara substansial sudah terpenuhi, maka


kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Gambar 2.3 menjelaskan bahwa
kebutuhan individu bergerak naik mengikuti anak tangga hierarki. Dari titik
pandang motivasi, teori ini mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan
yang bisa dipenuhi sepenuhnya, namun kebutuhan tertentu yang telah terpuaskan
secara substansial tidak lagi menjadi pendorong motivasi. Jadi jika kita ingin
memotivasi seseorang, kita perlu memahami sedang berada di anak tangga
manakah orang itu dan kita harus fokus pada pemenuhan kebutuhan di tingkat
atasnya.

2
Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu mulai dari kebutuhan tingkat
rendah sampai kebutuhan tingkat tinggi. Kebutuhan psikologis dan kebutuhan
akan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan tingkat rendah yang umumnya
dipenuhi secara eksternal semisal dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa
kerja. Sedangkan kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi
diri sebagai kebutuhan tingkat tinggi yang pemenuhannya secara internal (dalam
diri orang itu sendiri).

Aktualisasi
Diri

Penghargaan

Sosial

Keamanan

Psikologis

Bagan 2.3 Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow

Teori kebutuhan Maslow ini telah memperoleh pengakuan yang luas


karena teori ini menggunakan logika yang intuitif dan mudah dipahami. Tetapi
sayangnya secara umum riset tidak menyahihkan teori ini. Maslow tidak
memberikan pembenaran empiris. Lebih spesifik, hanya ada sedikit bukti bahwa
struktur kebutuhan itu terorganisasi sepanjang dimensi-dimensi yang dikemukakan
oleh Maslow, bahwa kebutuhan yang tidak terpuaskan akan memotivasi. Atau,
bahwa kebutuhan tertentu yang terpuaskan akan mengaktifkan dorongan ke
tingkat kebutuhan yang baru.

B. Teori X dan Y

Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda


mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai sebagai Teori

3
X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan teori Y. Menurut Teori X, empat
asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut:

1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan akan
mencoba menghindarinya.
2) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, dan
diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.
3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal
bila mungkin.
4) Kebanyakan karyawan yang menempatkan keamanan di atas semua faktor lain
yang terkait dengan kerja akan menunjukkan ambisi yang rendah.

Kontras dengan pandangan negatif mengenai manusia ini, McGregor


mencatat empat asumsi positif, yang disebut Teori Y.

1) Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan
istirahat atau bermain.
2) Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika
mereka memiliki komitmen pada sasaran.
3) Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan,
tanggung jawab.
4) Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua
arah dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.

Apa saja yang menjadi implikasi pada motivasi jika kita menerima analisis
McGregor? Jawabnya paling baik diungkapkan dalam kerangka yang disajikan
oleh Maslow.

Teori X mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat rendah mendominasi


individu. McGregor sendiri menganut keyakinan bahwa asumsi Teori Y lebih sahih
daripada Teori X. Oleh karena itu, McGregor mengusulkan ide-ide seperti
pengambilan keputusan partisipatif, pekerjaan yang bertanggung jawab dan
menantang, dan hubungan kelompok yang baik sebagai pendekatan -pendekatan
yang akan memaksimalkan motivasi kerja karyawan. Sayangnya, tidak ada bukti

4
yang mengkonfirmasikan bahwa masing-masing rangkaian asumsi itu sahih atau
bahwa menerima asumsi Teori Y dan mengubah tindakan seseorang agar sesuai
dengan asumsi itu akan mendorong pekerja lebih termotivasi.

C. Teori Dua Faktor

Teori dua faktor (kadang -kadang disebut juga teori motivasi -higiene)
dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg. Dalam keyakinannya bahwa
hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa
sikap seseorang terhadap kerja dapat sangat menentukan kesuksesan atau
kegagalan individu itu. Herzberg menelaah pertanyaan, “Apa yang diinginkan
orang-orang dari pekerjaan mereka?”, ia meminta orang-orang untuk
menguraikan, secara terperrinci, situasisituasi di mana mereka merasa luar biasa
baik atau buruk menyangkut pekerjaan mereka. Respon-respon tersebut
ditabulasikan dan dikategorikan.

Dari respon -respon yang dikategorikan, Herzberg menyimpulkan bahwa


jawaban yang diberikan orang -orang ketika mereka merasa senang mengenai
pekerjaan mereka sangat berbeda dari jawaban yang diberikan ketika mereka
merasa tidak senang. Seperti tampak dalam Gambar 2.4, karakteristik-
karakteristik tertentu cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja
dan yang lain terkait dengan ketidakpuasan kerja. Faktor intrisik seperti kemajuan,
prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab tampaknya terkait dengan kepuasan
kerja. Responden yang merasa senang dengan pekerjaan mereka cenderung
mengaitkan dengan faktorfaktor ekstrinsik, seperti misalnya pengawasan, gaji,
kebijakan perusahaan, dan kondisi kerja.

Menurut Herzberg, data itu mengemukakan bahwa lawan dari kepuasan


bukanlah ketidakpuasan seperti yang diyakini orang pada umumnya.
Menyingkirkan karakteristik yang tidak memuaskan pada pekerjaan tertentu tidak
serta merta menyebabkan pekerjaan itu jadi memuaskan. Seperti dilukiskan
dalam Gambar 2.4, Herzberg mengemukakan bahwa temuannya mengindikasikan

5
adanya kontinuum (rangkaian ganda): lawan “kepuasan” adalah “tidak ada
kepuasan,” dan lawan “ketidakpuasan” adalah “tidak ada ketidakpuasan.”

Menurut Herzberg, factor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja


terpisah dan berbeda dari factor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja.
Oleh karena itu, manajer yang berusaha menghilangkan faktor -faktor yang
menciptakan ketidakpuasan kerja dapat membawa ketenteraman, tetapi belum
tentu memotivasi. Mereka akan menenteramkan tenaga kerja, bukannya
memotivasi mereka. Akibatnya, kondisi -kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti
kualitas pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, hubungan antarpribadi, kondisi
kerja fisik, dan keamanan kerja telah dicirikan oleh Herzberg sebagai faktor-faktor
higiene. Jika memadai, orang -orang tidak akan tak terpuaskan; tetapi mereka juga
tidak akan puas. Jika kita ingin memotivasi orang pada pekerjaannya, Herzberg
menyarankan untuk menekankan pada hal-hal berhubungan dengan kerja itu
sendiri atau hasil langsung yang diakibatkannya, seperti peluang promosi, peluang
pertumbuhan personal, pengakuan, tanggung jawab dan prestasi. Inilah
karakteristik yang dianggap sebagai hal yang menguntungkan secara intrinsik.

Teori dua faktor tidaklah tanpa cacat. Kritik terhadap teori itu antara lain
adalah sebagai berikut:

1) Prosedur yang digunakan Herzberg terbatasi oleh metodologinya. Bila


semuanya berlangsung baik, orang cenderung menganggap itu berkat diri
mereka. Sebaliknya, mereka menyalahkan lingkungan luar jika terjadi
kegagalan.
2) Keandalan metodologi Herzberg dipertanyakan. Karena penilai harus
melakukan penafsiran, mungkin mereka dapat mencemari penemuan dengan
menafsirkan respon tertentu dengan cara tertentu namun di sisi lain
memperlakukan respon lain yang serupa dengan cara berbeda.
3) Tidak digunakannya ukuran total kepuasan apapun. Dengan kata lain,
seseorang dapat tidak menyukai bagian dari pekerjaannya,
tapi masih berpikir bahwa pekerjaan itu dapat diterimanya.

6
4) Teori itu tidak konsisten dengan riset sebelumnya. Teori dua faktor
mengabaikan variabel -variabel situasi.
5) Herzberg mengasumsikan hubungan antara kepuasan dan produktivitas.
Tetapi metodologi riset yang dia gunakan hanya memandang pada
kepuasan, bukan produktivitas. Untuk membuat agar riset semacam itu
relevan, kita harus mengasumsikan hubungan yang kuat antara kepuasan
dan produktivitas.

Terlepas dari kritik-kritik itu, teori Herzberg telah dibaca luas, dan hanya
sedikit manajer yang tidak familier dengan rekomendasi -rekomendasinya.

Bagan 2.4 Teori Dua Faktor

7
2. Teori Kontemporer tentang Motivasi

Perkembangan selanjutnya dari teori motivasi adalah munculnya teori-


teori yang lebih didukung dengan dokumentasi yang lebih baik, yang oleh Stephen
P. Robbins disebut sebagai teori kontemporer.

A. Teori ERG

Teori hierarki yang dikembangkan oleh Maslow, dikerjakan ulang oleh


Clayton Alderfer dari Universitas Yale dengan metode yang didukung riset empiris.
Menurut Alderfer, terdapat tiga kelompok kebutuhan inti, yaitu existence
(eksistensi), relatedness (keterhubungan), dan growth (pertumbuhan), yang
kemudian disebut sebagai teori ERG.

Kelompok existence memperhatikan tentang pemberian persyaratan


keberadaan materiil dasar kita, mencakup butir -butir yang oleh Maslow dianggap
sebagai kebutuhan psikologis dan keamanan. Kelompok relatedness menganggap
hasrat yang kita miliki adalah untuk memelihara hubungan antarpribadi yang
penting. Hasrat sosial dan status menuntut terpenuhinya interaksi dengan orang-
orang lain, dan hasrat ini sejalan dengan kebutuhan sosial Maslow dan komponen
eksternal pada klasifikasi penghargaan Maslow. Sedangkan kebutuhan growth
merupakan hasrat intrinsic untuk perkembangan pribadi, yang mencakup
komponen intrinsik dari kategori penghargaan Maslow dan karakteristik-
karakteristik yang tercakup pada aktualisasi diri.

Selain perbedaan pengelompokan kebutuhan, perbedaan antara teori


hierarki Maslow dengan teori ERG Alderfer adalah bahwa teori ERG berpendapat:

1) Lebih dari satu kebutuhan dapat berjalan pada saat yang sama, dan
2) Jika kepuasan pada kebutuhan tingkat lebih tinggi tertahan, maka hasrat
untuk memenuhi kebutuhan tingkat lebih rendah meningkat.

8
Hierarki kebutuhan Maslow mengikuti kemajuan yang bertingkat-tingkat
dan kaku. Teori ERG tidak mengasumsikan hierarki yang kaku di mana kebutuhan
yang lebih rendah harus lebih dahulu dipuaskan secara substansial sebelum
orang dapat maju terus. Misalnya, seseorang dapat mengusahakan pertumbuhan
(growth) meskipun kebutuhan eksistensi (existence) dan keterhubungan
(relatedness) belum terpuaskan; atau ketiga kategori kebutuhan dapat berjalan
sekaligus.

Teori ERG juga mengandung dimensi frustasi -regresi. Jika Maslow


berargumen bahwa individu akan tetap pada tingkat kebutuhan tertentu sampai
kebutuhan tersebut dipenuhi, maka Aderer menyangkalnya. Teori ERG
menyatakan bahwa jika tingkat kebutuhan tertentu pada urutan lebih tinggi
terhalang maka hasrat individu akan meningkat dalam memenuhi kebutuhan
tingkat lebih rendahnya. Misalnya, ketidakmampuan memuaskan kebutuhan akan
interaksi sosial mungkin meningkatkan hasrat untuk memiliki lebih banyak uang
atau kondisi kerja yang lebih baik. Jadi frustasi (halangan) dapat mendorong
mundur ke kebutuhan yang lebih rendah.

Ringkasnya, teori ERG berargumen, seperti Maslow, bahwa kebutuhan


tingkat lebih rendah yang terpuaskan menghantar ke hasrat untuk memenuhi
kebutuhan tingkat lebih tinggi; tetapi kebutuhan ganda dapat beroperasi sebagai
motivator pada saat yang sama, dan frustasi ketika berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat lebih tinggi dapat menghasilkan regresi ke kebutuhan tingkat
lebih rendah.

Teori ERG lebih konsisten dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan


individual di antara manusia. Variabel-variabel seperti pendidikan, latar belakang
keluarga, dan lingkungan budaya dapat mengubah minat atau daya dorong yang
dimiliki sekelompok kebutuhan pada individu tertentu. Bukti untuk memperlihatkan
bahwa manusia dalam budaya -budaya lain memperingkat kategori kebutuhan
secara berbeda – misalnya, pribadi Spanyol dan Jepang menempatkan kebutuhan
sosial sebelum kebutuhan psikologis – konsisten dengan teori ERG.

9
Beberapa studi telah mendukung teori ERG, tetapi ada juga bukti bahwa
teori ERG tidak berhasil dalam beberapa organisasi. Bagaimanapun, secara
keseluruhan teori ERG memperlihatkan hierarki kebutuhan versi yang lebih sahih.

B. Teori Kebutuhan McClelland

Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh McClelland dan koleganya. Teori


ini berfokus pada tiga kebutuhan, yaitu prestasi, kekuasaan, dan kelompok
pertemanan. Uraian kebutuhan -kebutuhan ini adalah sebagai berikut:

1) Kebutuhan akan prestasi (achievement): dorongan untuk unggul, untuk


berprestasi berdasarkan seperangkat standar, untuk berusaha keras supaya
sukses.
2) Kebutuhan akan kekuasaan (power): kebutuhan untuk membuat orang lain
berperilaku dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak
akan berperilaku sebaliknya.
3) Kebutuhan akan kelompok pertemanan (affiliation): hasrat untuk hubungan
antarpribadi yang ramah dan akrab.

Ada orang yang memiliki dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Merek
a bergulat demi prestasi pribadi bukannya untuk ganjaran sukses itu semata-
mata. Mereka mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau
lebih efisien dari pada yang telah dilakukan sebelumnya. Dorongan ini adalah
kebutuhan akan prestasi (nAch – achievement need).

Dari riset mengenai kebutuhan akan prestasi, McClelland menemukan


bahwa peraih prestasi tinggi membedakan diri mereka dari orang lain berdasar
hasrat mereka untuk menyelesaikan apa yang dikerjakan dengan cara yang lebih
baik. Mereka mengupayakan situasi di mana mereka dapat mencapai tanggung
jawab pribadi untuk menemukan pemecahan terhadap masalah-masalah, di mana
mereka dapat menerima umpan balik yang cepat atas kinerja mereka sehingga
mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi lebih baik atau

10
tidak, dan di mana mereka dapat menentukan sasaran yang cukup menantang.
Peraih prestasi tinggi bukanlah penjudi; mereka tidak menyukai keberhasilan yang
didapatkan karena kebetulan. Mereka lebih menyukai tantangan dalam
menyelesaikan masalah dan menerima baik tanggung jawab pribadi atas sukses
atau gagal, bukannya mengandalkan hal-hal yang bersifat kebetulan atau
mengandalkan tindakan orang lain.

Yang penting, mereka menghindari apa yang mereka persepsikan


sebagai tugas yang terlalu mudah atau terlalu sukar. Mereka menyukai tugas-
tugas dengan kesulitan tingkat sedang.

Peraih prestasi tinggi berkinerja paling baik apabila mereka


mempersiapkan kemungkinan sukses mereka sebesar 0,5 yaitu, di mana mereka
menaksir bahwa mereka mempunyai peluang sukses 50-50. Mereka tidak
menyukai berjudi dengan peluang kecil karena mereka tidak memperoleh
kepuasan prestasi dari sukses secara kebetulan. Sama halnya pula, mereka tidak
menyukai tantangan yang rendah (probabilitas keberhasilan tinggi) karena tidak
ada tantangan terhadap keterampilan mereka. Mereka suka menentukan sasaran
yang menuntut sedikit pengerahan diri.

Hal di atas dapat digambarkan dalam ilustrasi sebagai berikut:

“Anda memiliki satu kantong biji kacang dan lima sasaran dipasang di depan
Anda. Sasaran-sasaran itu dipasang mulai dari yang dekat sampai yang jauh
dari Anda, dan makin jauh makin sukar dikenai. Sasaran A mudah sekali karena
terletak hamper dalam jangkauan tangan Anda. Jika kena, Anda mendapat $2.
Sasaran B sedikit lebih jauh, tetapi 80% orang yang mencoba dapat
mengenainya. Hadiahnya $4. Sasaran C hadiahnya $8, dan sekitar separuh
orang yang mencobanya dapat mengenainya. Sangat sedikit orang mengenai
sasaran D, tetapi hadiahnya $16 jika dapat mengenainya. Sasaran E hadiahnya
$32, namun hampir mustahil dicapai. Jika Anda memilih C, maka kemungkinan
besar Anda termasuk dalam kelompok peraih prestasi tertinggi.”

Kebutuhan akan kekuasaan (nPow – need for power) adalah hasrat untuk
berpengaruh, dan mengendalikan orang lain. Individu -individu dengan nPow yang
tinggi menikmati “kekuasaan”, bertarung untuk dapat memengaruhi orang lain,
lebih menyukai ditempatkan dalam situasi kompetitif dan berorientasi status, dan

11
cenderung lebih peduli akan gengsi serta memperoleh pengaruh atas orang lain
daripada kinerja yang efektif.

Kebutuhan ketiga yang diungkapkan oleh McClelland adalah kelompok


pertemanan atau afiliasi (nAff – need for affiliation). Kebutuhan ini mendapat
perhatian yang kecil dari para peneliti. Individu dengan motif afiliasi yang tinggi
berjuang keras untuk mendapatkan persahabatan, lebih menyukai situasi
kooperatif daripada situasi kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan
yang melibatkan derajat pemahaman timbal‐balik yang tinggi.

Berdasarkan riset yang telah dilakukan, individu dengan kebutuhan tinggi


untuk berprestasi lebih menyukai situasi pekerjaan dengan tanggung jawab
pribadi, umpan balik, dan risiko yang sedang-sedang saja. Bila karakteristik-
karakteristik ini muncul, peraih prestasi tinggi akan sangat termotivasi. Bukti itu
secara konsisten memperlihatkan, misalnya, bahwa peraih prestasi tinggi sukses
dalam kegiatan wiraswasta, seperti misalnya menjalankan bisnis mereka sendiri
dan mengelola unit mandiri di dalam organisasi yang besar. Kebutuhan tinggi
untuk berprestasi tidak harus menghantar menjadi manajer yang baik, teristimewa
dalam organisasi -organisasi besar. Orang dengan kebutuhan prestasi yang
tinggi tertarik dengan seberapa baik mereka melakukan secara pribadi dan tidak
tertarik dengan memengaruhi orang lain untuk melakukan dengan baik. Orang
bagian penjualan dengan nAch tinggi tidak harus merupakan manajer penjualan
yang baik, dan manajer umum (GM) yang baik dalam organisasi besar lazimnya
tidak mempunyai kebutuhan tinggi untuk berprestasi.

Kebutuhan akan afiliasi dan kekuasaan cenderung erat dikaitkan dengan


sukses manajerial. Manajer terbaik adalah yang tinggi dalam kebutuhan akan
kekuasaan dan rendah kebutuhan akan afiliasi. Memang, motif kekuasaan tinggi
dapat merupakan persyaratan bagi efektivitas manajerial. Tentu saja, mana
penyebab dan mana akibat dapatlah diperdebatkan. Telah disarankan bahwa
kebutuhan akan kekuasaan yang tinggi dapat terjadi semata -mata sebagai fungsi

12
dari level seseorang dalam organisasi hierarkis. Argumen belakangan
mengemukakan bahwa makin tinggi individu naik ke dalam organisasi, makin
besar motif kekuasaan sang pemegang jabatan (incumbent). Akibatnya, posisi-
posisi yang berkuasa akan menjadi rangsangan untuk munculnya motif
kekuasaan tinggi.

Akhirnya, karyawan berhasil dilatih untuk merangsang kebutuhan prestasi


mereka. Pelatih berlaku efektif dalam mengejar individu -individu untuk berpikir
dari segi prestasi, menang, dan sukses; lalu kemudian membantu mereka untuk
belajar cara bertindak dalam cara yang berprestasi tinggi dengan lebih menyukai
situasi di mana mereka mempunyai tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan
risiko yang sedang. Jadi, jika pekerjaan tersebut membutuhkan peraih prestasi
tinggi, manajemen dapat memilih seorang dengan nAch tinggi atau
mengembangkan calonnya sendiri lewat pelatihan prestasi.

C. Teori Penetapan -Sasaran

Teori ini berangkat dari adanya dua jenis pengarahan dalam menjalankan
suatu misi. Jenis pertama adalah pengarahan yang bersifat umum, yaitu
“Bekerjalah dengan sebaik -baiknya!” Sedangkan jenis pengarahan kedua adalah
pengarahan untuk mencapai target tertentu yang sifatnya spesifik, seperti “Dalam
Satu bulan ini Anda harus menyelesaikan minimal dua penugasan audit!”

Pada akhir 1960 -an, Edwin Locke mengemukakan bahwa niat -niat untuk
bekerja menuju sasaran merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya,
sasaran memberitahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak
upaya harus dilakukan. Kita dapat mengatakan bahwa sasaran khusus akan
meningkatkan kinerja. Artinya, bahwa sasaran yang sulit bila diterima dengan baik,
akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada sasaran yang mudah, dan
bahwa umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada tidak ada
umpan balik. Kekhususan sasaran berfungsi sebagai rangsangan internal. Jika

13
faktor -faktor seperti kemampuan dan penerimaan sasaran itu dikonstankan, kita
dapat juga menyatakan bahwa makin sulit sasaran maka makin tinggi tingkat
kinerjanya. Akan tetapi, adalah logis untuk mengasumsikan bahwa sasaran yang
lebih mudah akan lebih besar kemungkinan untuk diterima. Tetapi begitu karyawan
menerima dengan baik tugas yang sulit, ia akan berusaha keras sampai tugas
tersebut dicapai, diturunkan, atau diabaikan.

Untuk mengurangi penolakan atas sasaran yang diberikan, walau sasaran


tersebut mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi, adalah dengan
mengikutsertakan karyawan dalam menetapkan sasaran. Melalui sasaran
partisipatif ini diharapkan karyawan lebih memiliki komitmen dalam mewujudkan
sasaran yang dirinya turut andil dalam penetapannya. Walaupun buktinya masih
bervariasi, sasaran partisipatif ini dapat juga membuat karyawan lebih berusaha
keras untuk mencapainya. Orang akan melakukan dengan baik bila mereka
memeroleh umpan balik mengenai betapa mereka maju ke arah sasaran. Karena,
umpan balik membantu mengidentifikasi penyimpangan antara apa yang telah
mereka kerjakan dan apa yang ingin mereka kerjakan. Di samping umpan balik,
tiga faktor lain telah ditemukan dapat memengaruhi hubungan sasaran-
kinerja, yaitu: komitmen sasaran, keefektifan diri (self-efficacy) yang memadai,
dan budaya nasional.

Teori penentuan sasaran berasumsi bahwa individu berkomitmen


terhadap sasaran, artinya bertekad untuk tidak menurunkan atau meninggalkan
sasaran. Ini paling besar kemungkinan untuk terjadi bila sasaran diumumkan,
bila individu mempunyai locus of control internal, dan bila sasaran itu ditentukan
sendiri, bukannya ditugaskan. Keefektifan diri merujuk pada keyakinan individu
bahwa ia mampu menyelesaikan tugas tertentu. Makin tinggi keefektifan diri kita,
makin besarlah kepercayaan diri kita terhadap kemampuan untuk berhasil dalam
tugas tertentu. Jadi, dalam situasi -situasi sulit, kita jumpai bahwa orang-orang
dengan keefektifan diri rendah lebih besar kemungkinan untuk mengurangi upaya

14
mereka atau sama sekali menyerah. Sedangkan mereka dengan keefektifan diri
yang tinggi akan berusaha lebih keras untuk menguasai tantangan itu. Di samping
itu,individu yang tinggi keefektifan dirinya tampaknya menanggapi umpan balik
yang negatif dengan meningkatkan upaya dan motivasi; sementara mereka yang
rendah keefektifan dirinya kemungkinan besar akan mengurangi upayanya bila
diberi umpan balik yang negatif.

Riset menunjukkan bahwa sasaran tampaknya memiliki dampak yang


lebih substansial terhadap kinerja bila tugas -tugas itu sederhana dan bukannya
rumit, dapat dikenal dan bukannya baru, serta independen dan bukannya
interdependen. Pada tugas-tugas yang interdependen, tugas-tugas kelompok
lebih disukai. Terakhir, teori penentuan -sasaran merupakan ikatan budaya.Teori
itu sangat cocok untuk negeri -negeri seperti Amerika Serikat dan Kanada karena
komponen -komponen utamanya cukup segaris dengan budaya Amerika Utara.
Teori itu mengasumsikan bahwa bawahan akan berdiri sendiri (skor pada jarak
kekuasaan tidak terlalu tinggi), sehingga manajer dan bawahan akan mencari
sasaran yang menantang (penghindaran ketidakpastiannya rendah), dan bahwa
kinerja dianggap penting oleh keduanya (kuantitas hidup tinggi). Jadi janganlah
mengharapkan penentuan sasaran pasti akan menghasilkan kinerja karyawan
yang lebih tinggi di negara -negara Portugal dan Chili, di mana terdapat kondisi
yang berlawanan.

15

Anda mungkin juga menyukai