Anda di halaman 1dari 18

1.

PENGERTIAN MOTIVASI KERJA


Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan
intensitas, arah dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan.

Selanjutnya, Samsudin (2005) memberikan pengertian motivasi sebagai proses


mempengaruhi atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja agar
mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Motivasi juga dapat diartikan
sebagai dorongan (driving force) dimaksudkan sebagai desakan yang alami untuk
memuaskan dan memperahankan kehidupan.

Mangkunegara (2005,61) menyatakan : “motivasi terbentuk dari sikap (attitude)


karyawan dalam menghadapi situasi kerja di perusahaan (situation). Motivasi merupakan
kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk
mencapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan yang pro dan positif terhadap
situasi kerja itulah yang memperkuat motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja maksimal”.

Berdasarkan pengertian di atas, maka motivasi merupakan respon pegawai terhadap


sejumlah pernyataan mengenai keseluruhan usaha yang timbul dari dalam diri pegawai agar
tumbuh dorongan untuk bekerja dan tujuan yang dikehendaki oleh pegawai tercapai.

2. TEORI-TEORI MOTIVASI KERJA


A. Teori Kebutuhan

1) Teori Hirarki : Abraham Maslow

Teori motivasi yang paling awal dan terkenal adalah teori hierarki kebutuhan.
Pencetus teori ini adalah Abraham Maslow. Maslow (1954) menghipotesiskan bahwa di
dalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu, kebutuhan
fisiologis, kebutuhan kemanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan
kebutuhan aktualisasi diri.

Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu dalam dua bagian besar, yakni
kebutuhan tingkat rendah dan kebutuhan tingkat tinggi. Kebutuhan fisiologis dan
kebutuhan akan keamanan ditempatkan sebagai kebutuhan tingkat rendah, sementara
kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri ditempatkan ke
dalam kebutuhan tingkat tinggi. Alasan di balik pemikiran Maslow adalah kebutuhan
tingkat tinggi dipenuhi secara internal (dalam diri orang itu) sedangkan kebutuhan
tingkat rendah dipenuhi secara eksternal (misalnya: dengan upah, kontrak, serikat buruh
dan masa kerja).

Maslow berpandangan bahwa pemenuhan kebutuhan individu dicapai secara


berjenjang dalam arti kebutuhan tingkat di atas tidak didapat bila kebutuhan tingkat di
bawahnya belum terpenuhi. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan pada tingkat
terendah menjadi dasar bagi pemenuhan kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Dalam
artian ini tidak ada kebutuhan yang meloncat.

Hierarki kebutuhan dari Maslow divisualisasikan pada gambar berikut ini.

Diadaptasi dari Sumber: Motivation and Personality 2nd., by


A.Maslow, 1970. Repinted by permission of Prentice Hall Inc, Upper
Saddle New Jersey.
Maslow (dalam Patris Rahabav 2014:152) menjelaskan bahwa di dalam diri semua
manusia terdapat lima jenjang kebutuhan, yakni:

1. Kebututuhan Fisiologis: antara lain rasa `lapar, haus, perlindungan (pakaian dan
perumahan), seks dan kebutuhan jasmani lain;

2. Kebututuhan Kemanan: antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap


keselamatan fisik dan emosional;

3. Kebututuhan Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan
persahabatan;

4. Kebututuhan Penghargaan: mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri,


otonomi dan prestasi; serta faktor penghormatan dari luar seperti, misalnya status,
pengakuan dan perhatian;

5. Kebututuhan Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi seseorang/sesuatu sesuai


ambisinya; yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi dan pemenuhan
kebutuhan diri.

Teori hierarki kebutuhan Maslow telah memperoleh pengakuan luas terutama


para manejer aktif; karena teori ini berdasarkan logika yang intuitif dan mudah
dipahami.Tetapi sayang secara umum riset tidak mensahihkan teori itu. Maslow tidak
memberikan pembenaran empiris sementara beberapa studi yang berusaha
mensahihkan teori itu tidak mendapatkan dukungan empirik (Suttle dan Lawler, 1972).

2) Teori ERG : Clayton Alderfer’s

Clayton Alderfer dari Universitas Yale adalah orang berjasa mengembangkan


pemikiran Maslow mengenai Hierarki kebutuhan manusia. Ia merevisi pemikiran
Maslow dengan teorinya yang disebut ERG (Alderfer, 1969). Alderfer merevisi
pemikiran Maslow dengan membagi kebutuhan manusia atas tiga kelompok kebutuhan,
yakni eksistensi (existence), keterhubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth)
sehingga disebut teori ERG.
Kelompok kebutuhan pertama, adalah eksistensi (existence), yakni aksentuasi
pada persyaratan keberadaan meteriil dasar; mencakup butir-butir yang oleh Maslow
dianggap sebagai kebutuhan fisiologis dan keamanan. Kelompok kebutuhan kedua
adalah kelompok keterhubungan, yakni hasrat yang dimiliki individu untuk memelihara
hubungan antar pribadi. Keinginan membangun relasi sosial dan status individu
menuntut individu berinteraksi dengan orang-orang lain. Hasrat ini sejalan dengan
kebutuhan sosial Maslow dan komponen eksternal pada klasifikasi penghargaan
Maslow.
Kelompok kebutuhan ketiga adalah pertumbuhan (growth), yakni hasrat
intrinsik untuk perkembangan pribadi yang mencakup komponen intrinsik dari kategori
penghargaan Maslow dan karakteristik-karakteristik yang tercakup pada aktualisasi diri.
Beberapa perbedaan mendasar teori ERG dengan teori hierarki kebutuhan
Maslow adalah 1) lebih dari satu kebutuhan dapat berjalan pada saat yang sama dan 2)
jika kepuasan pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk
memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih rendah meningkat.
Hierarki kebutuhan Maslow mengikuti kemajuan yang bertingkat-tingkat dan
kaku. ERG tidak sependapat dengan hierarki yang kaku bahwa kebutuhan yang lebih
rendah harus lebih dahulu dipuaskan secara substansial sebelum orang dapat maju
terus.
Maslow berargumen bahwa individu akan tetap pada tingkat kebutuhan tertentu
sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Teori ERG menggugat itu dengan mengatakan
bahwa jika kebutuhan tertentu pada urutan lebih tinggi terhalang, maka hasrat individu
untuk meningkatkan kebutuhan tingkat lebih rendahnya akan berlangsung.
Ketidakmampuan memuaskan kebutuhan akan interaksi sosial, misalnya mungkin
meningkatkan hasrat untuk memiliki lebih banyak uang atau kondisi kerja yang lebih
baik. Jadi frustrasi (halangan) dapat mendorong mundur ke kebutuhan yang lebih
rendah.

3) Teori Motivasi Berprestasi : David Mc Clelland

Pencetus teori ini adalah David McClelland dan para koleganya. Teori ini
fokusnya pada tiga kebutuhan, yakni prestasi (need for achievement), kekuasaan (need
for power) dan pertemanan (need for affiliation). Kebutuhan ini didefinisikan sebagai
berikut:

1. Kebutuhan prestasi adalah dorongan untuk unggul, untuk berprestasi berdasarkan


seperangkat standar, untuk berusaha keras supaya sukses.

2. Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku
dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku
sebaliknya.
3. Kebutuhan akan kelompok pertemanan adalah hasrat untuk melakukan hubungan
antar pribadi yang ramah dan akrab.(McClelland, 1961).

Kebutuhan akan prestasi (nAch-achievement need) adalah dorongan kuat


sekali untuk berhasil mencapai standar prestasi yang unggul.Mereka yang memiliki
motif berprestasi mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik atau
lebih efisien dari pada sebelumnya.

Berdasarkan pandangan tersebut menurut penulis, seseorang yang memiliki


motif berprestasi yang tinggi dicirikan oleh: 1) menghargai waktu (disiplin), 2) tekun,
3) bertahan dalam tekanan, 4) kreatif, 5) inovatif, 6) selalu mencari umpan balik
terhadap pekerjaan, 7) cenderung individualis, 8) tidak menunda pekerjaan, 9) memilih
pekerjaan yang menantang, 10) memiliki kemandirian dalam bekerja dan 11) mencapai
standar kinerja yang tinggi.

Kebutuhan akan kekuasaan (nPow- need for power) adalah hasrat untuk
berpengaruh dan mengendalikan orang lain. Individu-individu yang nPowernya tinggi
menikmati kekuasaan, bertarung untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai
ditempatkan dalam situasi kompetitif dan berorientasi status dan cenderung lebih peduli
akan prestise serta memperoleh pengaruh atas orang lain dari pada kinerja yang efektif.

Berdasarkan pandangan tersebut menurut penulis, seseorang yang memiliki


motif berkuasa dicirikan oleh: 1) suka organisasi, 2) suka mengatur, 3) memperhatikan
penampilan, 4) suka akan kompetisi, 5) lebih mengejar prestise dari pada prestasi, 6)
tertarik pada politik, 7) selalu ingin mendapatkan dukungan, 8)
memanfaatkan/memperalat teman untuk kariernya, 9) ambisi kekuasaan.

Kebutuhan pertemanan atau afiliasi (nAff-need for affiliation) adalah individu


yang berjuang keras untuk mendapatkan persahabatan, lebih menyukai situasi
kooperatif dari pada situasi kompetitif dan sangat menginginkan hubungan yang
melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi.

Berdasarkan pandangan tersebut menurut penulis, seseorang yang memiliki


motif afiliasi dicirikan oleh: 1) komunikatif, 2) memiliki banyak teman, 3) selalu
menjaga hubungan baik, 4) sangat kompromistis, 5) kesediaan mendengarkan, 6)
cenderung menunda pekerjaan, 7) menjadi negosiator ulung, 8) solider terhadap
permasalahan orang lain, dan 9) pro sosial.
B. Teori Berdasarkan Perilaku

1) Teori Reinforcement : Burrhus Frederic Skinner

Menggambarkan bagaimana reward atau reinforcement positif dapat


mempengaruhi perilaku. Pemerolehan dari satu perilaku menuntut adanya satu
pengukuhan sebelumnya.Prinsip utama dari teori pengukuhan adalah hukum pengaruh
(Thorndike, 1913). Pengukuhan dapat terjadi positif (pemberian ganjaran)atau negatif
(punishment/hukuman). Pendekatan penguatan terhadap motivasi kerja yang lazim
adalah berdasarkan pada pengaruh, insentif, bonus dan promosi.Kebanyakan para
Psikolog I/O yakin bahwa penguatan intrinsik penting bagi motivasi kerja.Jenis
penghargaan ini termasuk perasaan bangga, rasa mencapai sesuatu dan kepuasan
mungkin dihasilkan dari kerja yang baik, merupakan bagian utama dari strategi
motivasi (seperti pendekatan psikologi dalam rancangan kerja). Menurut Jewell dan
Siegel ada 3 (tiga) prinsip yang paling penting dalam model pengukuhan
(reinforcement), yaitu: Individu tetap melakukan hal-hal yang mempunyai hasil yang
memberikan penghargaan. Individu menghindari melakukan hal-hal yang mempunyai
hasil yang memberikan hukuman Individu akan berhenti melakukan hal-hal yang tidak
mempunyai hasil yang memberikan penghargaan ataupun hukuman. Jablonsike dan de
Vries (dalam Siegel & Lane, 1982) memberi saran bagaimana manajemen dapat
meningkatkan motivasi kerja, yaitu dengan: Menentukan apa jawaban yang
diinginkan. Mengkomunikasikan dengan jelas penilaian ini kepada tenaga
kerja. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima tenaga kerja
jika jawaban yang benar terjadi. Memberikan ganjaran hanya jika jawaban yang benar
yang dilaksanakan. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan pada saat
yang paling memungkinkan terdekat dengan kejadiannya.

2) Teori Cognitive Evaluation : Deci & Ryan

Cognitive evaluation theory adalah motivasi instrinsik yang terdapat dalam


aktivitas determinasi diri. Dalam melakukan tindakan, individu dapat bertindak secara
bebas, berkelanjutan dan mendapatkan pengalaman yang menarik dan menyenangkan.
Terdapat 2 tipe motivasi didalamnya: a. motivasi ekstrinsik yang berasal dari luar diri
individu. b. motivasi instrinsik yang berasal dari diri sendiri individu. Fokus utama
dalam hal ini adalah penghargaan eksternal yang dapat merusak motivasi instrinsik.
Penelitian yang sudah dilakukan, penghargaan dalam bentuk barang atau benda
berwujud dapat merusak motivasi instrinsik seseorang, sedangkan penghargaan secara
verbal cenderung meningkatkan motivasi instrinsik seseorang. Dua hal utama yang
mempengaruhi proses kognitif dari motivasi intrinsik seseorang adalah a. Perceived
causality, merupakan hubungan individu dengan kebutuhan akan kebebasan; ketika
individu cenderung menggunakan lokus eksternal dan tidak diberikan pilihan, maka
akan merusak motivasi instrinsik. Sedangkan ketika individu fokus terhadap lokus
internal dan bertindak sesuai pilihannya, maka itu dapat meningkatkan motivasi
intrinsiknya. b. Perceived competence, merupakan hubungan individu dengan
kebutuhan akan kompetensi, dimana ketika seseorang meningkatkan kebutuhan akan
kompetensi nya maka kompetensi seseorang itu akan dapat ditingkatkan, sedangkan
ketika seseorang mengurangi kebutuhan akan kompetensi nya maka motivasi
intrinsiknya pun akan berkurang. Dua konteks dari CET dapat bersifat kontrol dan
informasional. Bila sebuah kejadian bersifat controlling, maka kejadian itu akan
menekan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu, maka siswa akan merasa memiliki
kontrol dan motivasi instrinsik mereka akan hilang. Bila di pihak lain, kejadian itu
memberikan informasi yang meningkatkan sense of competence, maka motivasi
instrinsik akan meningkat, tetapi sebaliknya bila informasi yang diberikan membuat
siswa merasa kurang kompeten, maka kemungkinan besar motivasi akan menurun.
Terdapat 2 hal penting di dalam konteks ini yaitu: 1. Positive feedback sebenarnya
bersifat informational tetapi jika diberikan dalam tekanan, seperti “should do well”
maka positive feedback menjadi bersifat mengontrol , sedangkan Ryan, Mims, Koester
(dalam Deci & Ryan, 2002) mengatakan “meskipun penghargaan bersifat mengontrol,
tetapi jika diberikan dengan tidak mengevaluasi, maka dapat mendukung kebebasan. 2.
Tindakan yang berasal dari dalam diri dan tidak dipengaruhi dari faktor eksternal, itu
akan membuat individu lebih mempunyai harga diri sehingga akan meningkatkan
competence nya. Salah satu bagian dari cognitive evaluation theory yaitu relatedness
yang merupakan keinginan untuk membangun pertalian emosional dengan orang lain.
Bila guru dan orang tua bersikap responsive dan menunjukkan bahwa mereka peduli
terhadap kesejahteraan anak mereka, maka anak tersebut dapat menunjukkan motivasi
instrinsik, begitu juga sebaliknya.

3) Teori Goal Setting/Penetapan Tujuan : Edwin Locke

Secara historis, ahli teori motivasi umumnya mengasumsikan bahwa motivasi


intrinsik seperti misalnya, prestasi, tanggungjawab, dan kompetensi tidak bergantung
pada motivator ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik,
dan kondisi kerja yang menyenangkan. Tetapi, teori evaluasi kognitif mengemukakan
sebaliknya. Teori ini berargumen bahwa bila imbalan ekstrinsik digunakan oleh
organisasi sebagai hadiah atas kinerja yang unggul, imbalan intrinsik yang berasal dari
individu-individu yang melakukan apa yang mereka sukai, akan berkurang. Dengan
kata lain, bila imbalan ekstrinsik diberikan kepada seseorang untuk menjalankan tugas
yang menarik, imbalan itu menyebabkan minat intrinsik terhadap tugas itu sendiri
merosot.

Pada akhir tahun 1960-an Edwin Locke mengemukakan bahwa niat-niat untuk
bekerja menuju sasaran merupakan sumber utama dari motivasi kerja (Locke, 1968).
Artinya, sasaran memberi tahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak
upaya yang harus dilakukan (Prest, et.al.1987).Banyak bukti sangat mendukung nilai
dari sasaran. Sasaran khusus meningkatkan kinerja; sasaran yang sulit bila diterima
baik, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari pada sasaran yang mudah;
dan umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi ketimbang tidak ada umpan
balik (Yukl dan Latham, 1975).

Sasaran secara spesifik menghasilkan tingkat keluaran (output) yang lebih tinggi
dari pada sasaran umum. Kekhususan sasaran itu sendiri berfungsi sebagai rangkaian
internal. Jika faktor seperti kemampuan dan penerimaan sasaran itu dikonstankan, dapat
dikatakan bahwa makin sulit tingkat kinerjanya.Akan tetapi adalah logis untuk
mengasumsikan bahwa sasaran yang lebih mudah akan lebih besar kemungkinan untuk
diterima. Tetapi begitu karyawan menerima dengan baik tugas yang sulit, ia akan
berusaha keras sampai tugas itu dicapai, diturunkan atau diabaikan.

Menurut McMahon dan Ivancevich, (1982) bahwa orang akan melakukan tugas
dengan baik, bila mereka menerima umpan balik. Umpan balik, membantu
mengidentifikasi penyimpangan antara apa yang telah dan apa yang akan mereka
kerjakan.Umpan balik dengan demikian, bertindak memandu perilaku. Namun, tidak
semua umpan balik sama kuatnya. Umpan balik yang ditimbulkan oleh diri sendiri
dimana karyawan itu mampu memantau kemajuan sendiri, telah terbukti sebagai
motivator yang lebih ampuh dari pada umpan balik yang ditimbulkan secara eksternal.

Dalam beberapa kasus, sasaran yang disusun secara partisipatif, menghasilkan


kinerja yang unggul. Dalam kasus lain, individu akan memiliki kinerja yang tinggi bila
ditugasi sasaran oleh atasan mereka. Tetapi keuntungan utama dari partisipasi mungkin
ada dalam peningkatan penerimaan terhadap sasaran itu sendiri sebagai sasaran yang
diinginkan (Hulin, et.al;1985).

Di samping umpan balik, tiga faktor lain telah ditemukan


mempengaruhi hubungan sasaran-kinerja yaitu, komitmen sasaran, keefektifan diri
(self efficacy) yang memadai dan budaya nasional. Teori penentuan sasaran
sebelumnya mengasumsikan bahwa individu berkomitmen terhadap sasaran artinya
bertekad untuk tidak menurunkan atau meninggalkan sasaran.Ini paling besar
kemungkinan untuk terjadi bila sasaran itu diumumkan; bila individu mempunyai locus
of control internal dan bila sasaran itu ditentukan sendiri bukannya ditugaskan (Klein,
et.al.;1989). Keefektifan diri merujuk pada keyakinan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan tugas tertentu (Bandura, 1997). Makin tinggi keefektifan diri seseorang,
makin besarlah kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuan untuk berhasil dalam
tugas tertentu. Jadi dalam situasi sulit, orang dengan keefektifan diri rendah lebih besar
kemungkinan untuk mengurangi upaya mereka atau sama sekali menyerah sedangkan
mereka dengan keefektifan diri tinggi, akan berusaha lebih keras untuk enguasai
tantangan itu (Bobko, et.al., 1984).Di samping itu individu dengan keefektifan diri yang
tinggi tampaknya menanggapi umpan balik yang negatif dengan meningkatkan upaya
dan motivasi sementara mereka yang rendah keefektifan dirinya kemungkinan besar
akan mengurangi upayanya bila diberi umpan balik yang negatif (Cervone dan
Bandura, 1986). Riset menunjukkan bahwa sasaran memiliki dampak yang lebih
substansial terhadap kinerja bila tugas-tugas itu sederhana dan bukannya rumit, dapat
dikenali dan bukannya baru serta independen dan bukannya interdependen (Locke, et.al
1987).

C. Teori Job Design

1) Teori Dua Faktor : Frederick Irving Herzberg

Pencetus teori dua faktor atau yang sering dikenal dengan sebutan teori motivasi
higiene adalah psikolog Frederick Herzberg. Herszberg, et.al. (1959), yakin bahwa
hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap
seseorang terhadap kerja dapat sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu
itu. Herszberg menelaah pertanyaan apa yang diinginkan orang-orang dari pekerjaan
mereka? Ia meminta orang-orang untuk menguraikan secara rinci situasi-situasi dimana
mereka merasa baik atau buruk menyangkut pekerjaan mereka. Respon mereka
ditabulasikan dan dikategorikan.

Dari respon karyawan, Herszberg menyimpulkan bahwa respon karyawan


ketika mereka merasa senang dengan pekerjaan sangat berbeda dari jawaban yang
mereka berikan ketika mereka tidak senang. Karakteristik-karakteristik tertentu
cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja dan yang lain terkait dengan
ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik seperti kemajuan, prestasi, pengakuan dan
tanggung jawab tampaknya terkait dengan kepuasan kerja.

Responden yang senang dengan pekerjaan, cenderung mengaitkan dengan


faktor-faktor yang ada di dalam diri mereka sendiri (faktor intrinsik). Di pihak lain bila
mereka tidak puas, mereka mengaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik seperti misalnya
pengawasan, gaji, kebijakan perusahan dan kondisi kerja.

Menurut Herszberg, data itu memberi gambaran bahwa lawan dari kepuasan
bukan ketidakpuasan seperti yang diyakini orang pada umumnya. Maka, menurut
Herszberg, menyingkirkan karakteristik yang tidak memuaskan pada pekerjaan tertentu,
tidak secara serta merta menyebabkan pekerjaan itu menjadi memuaskan. Menurut
Herszberg faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-
faktor yang menimbulkan ketidak puasan kerja. Oleh karena itu manejer yang berusaha
menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja dapat membawa
ketenteraman tetapi belum tentu memotivasi.

Para manejer yang menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan


ketidakpuasan kerja, cenderung menentramkan tenaga kerja bukannya memotivasi
mereka. Kondisi-kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, gaji,
kebijakan perusahan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja fisik dan keamaman kerja
dicirikan oleh Herszberg sebagai faktor-faktor higiene. Jika mereka ingin memotivasi
orang pada pekerjaannya. Herszberg menyarankan para manajer agar penekanan lebih
pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung yang
diakibatkannya seperti peluang promosi, peluang pertumbuhan personal, pengakuan,
tanggung jawab dan prestasi. Inilah karakteristik yang dianggap sebagai hal yang
menguntungkan secara intrinsik.

Tiga teori sebelumnya sangat dikenal umum akan tetapi belum teruji secara
empirik.Teori-teori berikut merupakan teori kontemporer yang walaupun memiliki
kesamaaan dengan teori sebelumnya, namun telah dilengkapi dengan hasil penelitian
empirik.

2) Model Karakteristik Kerja : Hackman dan Oldman

Dalam Simamora, (2004:129) model karakteristik pekerjaan (Job characteristics


models) merupakan suatu pendekatan terhadap pemerkayaan pekerjan (job enrichment).
Program pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) berusaha merancang pekerjaan
dengan cara membantu para pemangku jabatan memuaskan kebutuhan mereka akan
pertumbuhan, pengakuan, dan tanggung jawab. Pemerkayaan pekerjaan menambahkan
sumber kepuasan kepada pekerjaan. Metode ini meningkatkan tanggung jawab,
otonomi, dan kendali. Penambahan elemen tersebut kepada pekerjaan kadangkala
disebut pemuatan kerja secara vertikal (vertical job loading). Pemerkayaan pekerjaan
(job enrichment) itu sendiri merupakan salah satu dari teknik desain pekerjaan, dalam
Samuel, (2003:75) dikatakan bahwa pendekatan klasik tentang desain pekerjaan yang
diajukan Hackman dan Oldham (1980) dikenal dengan istilah teori karakteristik
pekerjaan (job characteristics theory).

Berikut adalah gambar model karakteristik pekerjaan dari Hackman dan


Oldham (1980) :

Sumber : Munandar (2001 : 359)

Menurut teori karakteristik pekerjaan ini, sebuah pekerjaan dapat melahirkan


tiga keadaan psikologis dalam diri seorang karyawan yakni mengalami makna kerja,
memikul tanggung jawab akan hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya,
ketiga kondisi psikologis ini akan mempengaruhi motivasi kerja secara internal,
kualitas kinerja, kepuasan kerja, ketidakhadiran dan perputaran karyawan. Keadaan
psikologis kritis ini dipengaruhi oleh dimensi inti dari sebuah pekerjaan yang terdiri
dari keragaman keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi tugas dan umpan
balik.

Menurut Munandar (2001:357) ada lima ciri-ciri intrinsik pekerjaan yang


memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan.
Kelima ciri intrinsik tersebut adalah sebagai berikut.

1. Keragaman ketrampilan (skill variety). Banyaknya ketrampilan yang diperlukan


untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan,
makin kurang membosankan pekerjaan.

2. Jati diri Tugas (task identity). Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara
keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja
seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan
yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak
puas.

3. Tugas yang penting (task significance). Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai
dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan
rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan
sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia
cenderung mempunyai kepuasan kerja.

4. Otonomi. Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian


ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan
pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan
peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja.

5. Umpan balik. Tingkat kinerja kegiatan kerja dalam memperoleh informasi tentang
keefektifan kegiatannya. Pemberian balikan pada pekerjaan membantu
meningkatkan tingkat kepuasan.

D. Teori Rasional

1) Teori Equity/Teori Keadilan : J. Stacey Adams

Teori keadilan (Adam, 1965) menyatakan bahwa orang-orang termotivasi


mengusahakan suatu kondisi keadilan dan kejujuran (kewajaran) dalam hubungannya
dengan orang-orang lain dan dengan organisasi. Menurut Adam (1965) para karyawan
yang menemukan diri mereka dalam situasi yang tidak adil, motivasinya akan menurun.
Ketidakadilan merupakan pernyataan psikologis yang timbul dari para karyawan yang
membandingkan diri mereka dengan yang lainnya. Menurut perumusan Adam, orang
membuat perbandingan kognitif antara sumbangannya terhadap keadaan kerja
(masukannya) dan apa yang diperoleh orang lain. Masukan adalah kontribusi yang
diberikan karyawan pada organisasi, segala sesuatu yang dianggap oleh tenaga kerja
sebagai yang patut menerima imbalan. Misalnya, pendidikan, jumlah jam kerja,
pengalaman kerja, keterampilan dan pelatihan. Keluaran adalah ganjaran atau sesuatu
dari nilai pribadi yang karyawan peroleh dari penugasan organisasi. Dengan kata lain,
keluaran adalah segala jenis hal yang dipersepsikan orang sebagai imbalan terhadap
upaya yang diberikan seperti gaji, tunjangan, penghargaan/pengakuan, status dan
tingkat jabatan. Keadilan dirasakan ada jika orang merasa bahwa perbandingan antara
hasil keluarannya dengan masukannya sama dengan perbandingan hasil keluaran orang
lain (yang dianggap penting bagi dirinya) dengan masukannya. Sebaliknya kondisi
ketidakadilan timbul jika perbandingan antara hasil keluaran kita dengan masukan kita
tidak sama besarnya (lebih besar atau lebih kecil) daripada perbandingan hasil keluaran
orang lain dengan masukkannya. Walaupun teori keadilan sangat populer diantara para
Peneliti I/O, perhatian dalam hal ini telah menurun. Locke dan Henne (1986) yakin
bahwa penurunan ini disebabkan oleh fakta bahwa teori tersebut lebih menjelaskan
perilaku di masa lalu daripada memprediksi perilaku di masa mendatang. Sebagian dari
kesulitan adalah bahwa teori tersebut tidak mampu memperkirakan bagaimana para
karyawan memilih perbandingan diri mereka dengan yang lainnya. Tanpa mengetahui
hal ini, sulit untuk membuat prediksi khusus mengenai bagaimana kebijakan atau
tindakan organisasi secara khusus akan diterima oleh para karyawan. Meskipun
demikian, teori keadilan telah mengarahkan perhatian pada pentingnya memenciptakan
situasi dan kondisi pekerjaan para karyawan secara adil dan jujur untuk dapat
mengatasi dampak negatif dari hal-hal yang terjadi. Jika terjadi persepsi tentang
ketidakadilan, menurut teori keadilan orang akan dapat melakukan tindakan-tindakan
berikut (Howell dan Dipdoye, 1986): Bertindak mengubah masukannya, menambah
atau mengurangi uapayanya untuk bekerja. Bertindak untuk mengubah hasil
keluarannya, ditingkatkan atau diturunkan. Bertindak merusak secara kognitif masukan
dan hasil keluarannya sendiri, mengubah persepsinya tentang perbandingan masukan
dan atau hasil keluarannya sendiri. Bertindak terhadap orang lain untuk mengubah
masukan dan atau hasil keluarannya. Secara fisik meninggalkan situasi. Berhenti
membandingkan masukan dan hasil keluaran dengan orang lain dan menggantikannya
dengan acuan lain atau mencari orang lain untuk dibandingkan.

2) Teori Ekspektansi : Vroom

Penemu teori pengharapan (ekspektasi) adalah Victor Vroom (1964).


Meskipun ada yang mengkritiknya, namun kebanyakan bukti riset mendukung teori itu
(Lawler dan Porter, 1968). Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dan
kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan
pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh output tertentu dan bergantung pada
daya tarik output itu bagi individu tersebut. Dalam istilah yang lebih praktis, teori
pengharapan mengatakan bahwa karyawan dimotivasi untuk melakukan upaya yang
lebih keras bila ia meyakini upaya itu menghasilkan penilaian kinerja yang baik.
Penilaian yang baik akan mendorong imbalan organisasi seperti bonus, kenaikan gaji
atau promosi. Dan imbalan itu akan memenuhi sasaran pribadi karyawan itu.

Teori pengharapan berfokus pada tiga hubungan:

1. Hubungan upaya – kinerja. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang


mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.

2. Hubungan kinerja – imbalan. Sampai sejauhmana individu itu meyakini bahwa


berkinerja pada tingkat tertentu, akan mendorong tercapainya output yang
diinginkan.

3. Hubungan imbalan – sasaran pribadi. Sampai sejauhmana imbalan-imbalan


organisasi memenuhi sasaran atau kebutuhan pribadi individu serta potensi daya
tarik imbalan tersebut bagi indivu yang bersangkutan (Vroom, 1964).

3. KAITAN ANTARA MOTIVASI DAN KINERJA


Mc. Clelland seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard di Amerika Serikat
mengemukakan bahwa kinerja seseorang dapat dipengaruhi oleh virus mental yang ada pada
dirinya. Virus tersebut merupakan kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mencapai
kinerja secara optimal. Ada tiga jenis virus sebagai pendorong kebutuhan yaitu kebutuhan
berprestasi, kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan berkuasa.

Mc.Gregor membagi manusia ke dalam dua kelompok besar dengan symbol hurup X
dan Y, satu kelompok sebagai tifikal para pemalas dan pembangkang yang bekerja hanya
untuk memenuhi tuntutan badan, di sisi yang berbeda ada kelompok pekerja keras dan cerdas
yang tidak sekedar berorienatsi pada pemenuhan kebutuhan jasmani dalam bekerja. Kedua
kelompok ini masih lestari di dunia, dan tentunya bisa dijumpai di sekitar lingkungan kita.

Advertisement

Aristippos dari Yunani dengan sangat percaya diri menyatakan bahwa keinginan
terbesar bagi manusia adalah memuaskan nafsunya. Dalam kata lain Aristippos menyatakan
bahwa manusia adalah budak kesenangan. Sebagai budak kesenangan, maka manusia akan
selalu mencari jalan untuk mendapatkan kesenangan. Bekerja, berkarya adalah jalan untuk
menuju kesenangan. Segala sesuatu yang dianggap sebagai pelantara menuju lembah
kesenangan akan dicari meski harus berdarah-darah.

Maslow yang terkenal dengan hirarki kebutuhan manusia menyatakan bahwa manusia
akan bekerja jika merasa membutuhkan sesuatu. Ketika merasa lapar maka manusia
membutuhkan makan. Jika rasa lapar itu bisa dipenuhi dengan hanya sepiring nasi dan
sepotong tempe goreng, maka manusia akan mengerahkan kemampuannya untuk
merealisasikan itu, yang tentunya tidak begitu sulit. Namun jika rasa laparnya hanya bisa
dipenuhi dengan seloyang pizza daging kambing ditambah segelas orange juice, maka usaha
untuk memenuhi kebutuhan ini akan memaksa dia bekerja maksimal.

Organisasi pendidikan Islam yang dikelola oleh orang-orang beriman tentu memiliki
keunikan tersendiri. Perilaku organsiasi yang terjadi di dalam lingkungan pendidikan Islam
meski bersifat humanis universal, tetap mengandung warna-warni Islami. Salah satu
keunikannya adalah adanya motivasi yang besifat transendental.

Motivasi yang dimiliki oleh setiap individu dalam organisasi pendidikan Islam sangat
menentukan kualitas perilaku mereka dalam bekerja. Seorang pekerja yang memiliki motivasi
lahiriyah sebagaimana penjelasan Maslow tentu akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Begitu juga seorang pekerja yang memiliki motivasi untuk berprestasi sebagaimana
teori Mc. Clelland, akan berusaha semaksimal mungkin untuk meraih yang diinginkan.
Pekerja yang bermazhab hedonism pun akan rajin melakukan pekerjaan demi mendapatkan
kesenangan yang bisa dia raih dari hasil kerjanya.

Lingkungan organisasi yang memiliki etos kerja tinggi tentu didasari oleh adanya
motivasi yang tinggi juga. Seorang pekerja yang menginginkan BMW pasti akan bekerja
lebih giat dari pada seorang pekerja yang menginginkan Xenia. Seorang guru yang mencintai
murid-muridnya seperti dia mencintai anaknya tentu akan mengajar lebih semangat dari pada
guru yang menganggap murid hanya kenalan di sekolah. Demikian juga seorang kepala divisi
di sebuah instansi yang memiliki cita-cita untuk menjadi direktur akan bekerja lebih total dari
pada kepala divisi yang merasa sudah cukup dengan posisinya tersebut.

Mengingat pentingnya motivasi dalam suatu lingkungan organisasi maka, seorang


direktur atau pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan memotivasi bawahannya.
Kemampuan memotivasi tersebut bisa menjadi senjata berharga bagi kelangsungan
organisasi, bahkan dengannya bisa mengarahkan organisasi menuju prestasi.

Prof. Abuddin Nata dalam buku Paradigma Manajemen Pendidikan menyinggung


tentang pentingnya peranan motivasi bagi pekerja. “Dengan motivasi yang efektif akan
dihasilkan tenaga kerja yang memiliki etos kerja yang tinggi (great employers) yaitu tenaga
kerja yang rajin, jujur, bersemangat, memiliki komitmen, kreatif, inovatif, progresif, ulet,
sabar dan bertanggung jawab.”[1]

Jika pekerja yang memiliki motivasi lahiriyah bisa meningkatkan etos kerja mereka,
maka bagaimana dengan pekerja yang memiliki motivasi lahiriyah dan batiniyah? Tentu
mereka akan mendapatkan nilai plus dari keberadaan motivasi transendetal, bahkan ini bisa
menjadi kunci dalam mengarungi dunia kerja yang penuh dengan ketidak pastian.

Realita berbicara bahwa tidak semua orang yang bekerja keras bahkan bekerja cerdas
sekalipun bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sebagai contoh; Seorang siswa yang
memiliki motivasi untuk meraih juara umum di sekolahnya belajar dengan giat. Setiap hari
dia mengulang pelajaran. Jika mendapatkan sesuatu yang tidak dipahami, dia akan bertanya
kepada gurunya. Sebulan menjelang ujian, si siswa sudah menulis rangkuman semua mata
pelajaran yang akan diujikan. Seminggu sebelum ujian, dia mampu memahami dan
menghafalnya. Dan satu hari sebelum ujian, anak tersebut diserang panas. Badannya
menggigil, kepalanya pusing dan perutnya sedikit kembung. Hari pertama ujian, siswa yang
termotivasi untuk menjadi juara umum tersebut terbaring di rumah sakit. Dokter yang
memeriksa menyatakan dia terkena deman berdarah.

Menurut teori motivasi konvensional, jika dorongannya maksimal maka hasilnya pun
akan maksimal. Bagaimana dengan peristiwa yang terjadi pada siswa tersebut di atas? Andai
dia hanya memiliki motivasi yang berorientasi kepada benda dan dunia, bisa dipastikan akan
terkena stress. Siswa tersebut bisa jadi akan sulit sembuh dari sakitnya, karena sakit psikis
sangat berpengaruh terhadap sakit fisik. Bahkan sakit psikis lebih berbahaya dari pada sakit
fisik.
Motivasi yang datang dan lahir karena fondasi kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa
akan lebih lama bertahan dari pada motivasi yang berasal dari keinginan duniawi.
Sebagaimana sifat dunia yang tidak abadi, begitu juga dengan motivasinya. Namun jika
motivasi hadir karena keimanan kepada yang Maha Abadi dan dengan segala janji tentang
alam keabadian setelah mati, maka motivasi tersebut akan terus menyala. Motivasi jenis ini
tidak akan kering meski tidak diguyur hujan materi.

[1] Prof. Abuddin Nata, Paradigma Manajemen…, hal. 23.


DAFTAR PUSTAKA
Teori-Online. (2010, 01 Januari). Definisi Motivasi Kerja. Diakses pada 17 September 2019,
dari https://teorionline.wordpress.com/2010/01/25/definisi-motivasi-kerja/

Coretanzone. (2017, 31 Desember). Teori-teori Motivasi Kerja Menurut Para Ahli Psikologi.
Diakses pada 17 September 2019, dari https://www.coretanzone.id/2017/12/teori-teori-
motivasi-kerja.html

Universitas Psikologi. (2018, 29 Juni). Teori Motivasi Kerja - Pengertian dan Siklus
Motivasi. Diakses pada 18 September 2019, dari
https://www.universitaspsikologi.com/2018/06/teori-motivasi-kerja-pengertian-dan-
siklus.html

Microsoft Word - 2012-1-00439-PSBab200. Diakses pada 18 September 2019, dari


http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00439-PS%20Bab2001.pdf

Jurnal Manajemen, Bahan Kuliah Manajemen. (2007, Desember). Model Karakteristik Pekerjaan
(Job characteristics models). Diakses pada 18 September 2019, dari http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2007/12/model-karakteristik-pekerjaan-job.html

Santri Nulis. (2017, 25 Agustus). Hubungan Motivasi dan Kinerja Manusia. Diakses pada 18
September 2019, dari https://santrinulis.com/index.php/2017/08/25/hubungan-motivasi-dan-
kinerja-manusia/

Anda mungkin juga menyukai