Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Organization Citizenship Behavior (OCB)

2.1.1 Definisi OCB

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan bentuk

perilaku kerja yang biasanya tidak terlihat atau diperhitungkan. Perilaku ini

muncul karena perasaan individu sebagai organisasi yang memiliki rasa

puas apabila melakukan sesuatu yang lebih dari organsasi (Wulani, 2005).

Organ (1988) dalam penelitian Sharma et al. (2001) menyebutkan

bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan perilaku

individu diluar peran yang secara tidak langsung atau eksplisit dapat

dikenali dalam suatu system kerja formal dan secara agregat mampu

meningkatkan efektifitas organisasi. Hal ini berarti perilaku tersebut tidak

termasuk kedalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan

sehingga jika tidak ditampilkanpun tidak diberikan hukuman.

Podsakoff et al.(2000), mendefinisikan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) sebagai suatu perilaku individual yang bersifat bebas

(discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapatkan

pengharapan dari sistem imbal formal yang cara keseluruhan mendorong

keefektifan fungsi-fungsi organisasi. Hal ini berarti bersifat bebas dan

sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran

atau deskripsi jabatan, yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak

dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal.

8
9

Perilaku OCB adalah perilaku karyawan yang dilakukannya secara

sukarela, tidak berhubungan langsung maupun tidak langsug dengan sistem

penghargaan dan secara keseluruhan dapat mendukung efektifitas dan

efisiensi organisasi organisasi (Organ, 1988 dalam Alotaibi, 2013). Menurut

Luthans (2005), dasar kepribadian untuk OCB tersebut merefleksikan ciri

karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian dan bersungguh-

sungguh. OCB juga didefinisikan sebagai perilaku individu yang sifatnya

functional, pro-social, extra-role yang diarahkan atau ditunjukkan kepada

individu, kelompok atau organisasi (Schnake, 1991)

Menurut Moorhead dan Griffin (2013), Organizational Citizenship

(keanggotaan organisasi) adalah perilaku individu yang memberikan

kontribusi keseluruhan yang positif kepada organisasi. Organizational

Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku pilihan yang tidak menjadi

bagian dari kewajiban kerja formal, namun mendukung berfungsinya

organisasi tersebut secara efektif (Robbins, 2006)

Menurut Smith (1983), Organizational Citizenship Behavior (OCB)

adalah kontribusi pekerja “diatas dan lebih dari” deskripsi kerja formal.

Dapat diartikan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB)

melibatkan beberapa hal perilaku yang meliputi perilaku menolong orang

lain, menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas tambahan, mematuhi aturan-

aturan dan prosedur-prosedur ditempat kerja.

Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan perilaku yang


10

dilakukan individu tetapi perilaku tersebut sebenarnya bukan merupakan

keharusan atau kewajibannya. Selain itu Organizational Citizenship

Behavior (OCB) merupakan perilaku kesetiakawanan sosial bersifat

sukarela, seperti membantu rekan kerja dalam menyelesaikan pekerjaan,

memberi bantuan pada karyawan baru, tidak istirahat ataupun cuti jika tidak

diperlukan dan perilaku sukarela untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan

meskipun diluar deskripsi pekerjaanya.

2.1.2 Indikator Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Menurut Graham dalam Ahdiyana (2009), mengemukakan tiga

bentuk Organizational Citizenship Behavior (OCB), diantaranya; 1)

Obedient, yaitu perilaku yang mengambarkan kemauan karyawan untuk

menerima dn memenuhi peraturan dan prosedur organisasi, 2) loyalty yaitu

perilaku yang menempatkan kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan

dan kelangsungan organisasi, 3) participation yaitu mengambarkan

kemauan karyawan untuk secara aktif mengembangkan seluruh aspek

kehidupan organisasi. Partisipasi tersebut terdiri dari:

a. Partisipasi sosial yang mengambarkan keterlibatan karyawan dalam

uruan-urusan organisasi dan dalam aktivitas sosial organisasi.

Misalnya; selalu menaruh perhatian pada isu-isu aktual organisasi atau

menghadiri pertemuan-pertemuan tidak resmi.

b. Partisipasi advokasi yang mengambarkan kemauan karyawan untuk

mengembangkan organisasi dengan memberikan dukungan dan


11

pemikiran inovatif. Misalnya, memberikan masukan pada organisasi

dan memberi kansumbangan pemikiran bagi pengembangan organisai.

c. Partisipasi fungsional yang mengambarkan kontribusi karyawan yang

melebihi standar kerja yang diwajibkan. Misalnya, kesukarelaan

membantu untuk melakukan tugas ekstra.

2.1.3 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Menurut Bateman dan Organ (1993 dalam Gonzalez dan Garazo,

2006) menemukan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB)

terdiri atas empat dimensi yaitu: comformity, cooperation, punctually dan

expence. Podsakoff et al. (2000, dalam Castrot al, 2004) membagi

Organizational Citizenship Behavior (OCB) menjadi tujuh kategori yaitu:

helping behavior, sportmanship, individual initiative, civic virtue,

organizational commitment, compliance, dan personal development.

Menurut Organ (1988), Organizational Citizenship Behavior (OCB)

dibangun dari 5 (lima) dimensi, yaitu;

1. Altruism yaitu perilaku membantu rekan kerja dalam menyelesaikan

pekerjaannya, misalnya bersedia secara sukarela membantu rekan kerja

yang mendapat pekerjaan overload, mengerjakan pekerjaan rekan kerja

yang tidak masuk kerja.

2. Courtesy yaitu perilaku untuk terjadinya masalah yang berkaitan

dengan hubungan pekerjaan, misalnya mendorong rekan kerja yang

bekerja malas-malasan
12

3. Sportmanship yaitu perilaku menerima atau keadaan yang tidak

menyenangkan dan kurang ideal, misalnya tidak suka mengeluh secara

picik, tidak suka melalaikan realitas.

4. Civic Virtue yaitu perilaku tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam

aktivitas kehidupn perusahaan, misalnya menghadiri pertemuan yang

tidak diperlukan bagi dirinya tetapi bermanfaat bagi perusahaan,

bersedia mengikuti atau mentaati perubahan-perubahan yang terjadi

dalam perusahaan, memiliki inisiatif untuk meningkatkan produktivitas

perusahaan.

5. Concientiousness yaitu dedikasi untuk bekerja dan mencapai hasil

diatas standar yang ditetapkan, misalnya bekerja sepanjang hari, tidak

membuang-buang waktu, mentaati semua peraturan perusahaan, secara

sukarela bersedia melakukan pekerjaan yang tidak menjadi

tanggungjawabnya.

Kelima dimensi tersebut dapat disimpulkan bahwa Organizational

Citizenship Behavior (OCB) adalah bentuk perilaku yang merupakan

kontribusi karyawan yang bukan merupakan kewajiban kerja formalnya

melainkan kesukarelaannya.

Dalam penelitian ini, dimensi OCB yang akan dianalisis yaitu

altruism, civic virtue, courtesy concientiousness, dan sportmanship.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational citizenship Behavior

(OCB)
13

Konovsky dan Organ (1996); Organ et al.(2006); Organ dan Ryan

(1995); Podsakoff et al.(2000) mengkategorikan faktor-faktor yang

mempengaruhi OCB terdiri dari:

1. Perbedaan individu yaitu sifat stabil yang dimiliki oleh individu, yang

meliputi variabel: kepribadian (kesadaran dan keramahan), kemampuan,

pengalaman, pelatihan, pengetahuan, ketidakperdulian dengan

penghargaan, dan kebutuhan otonomi (Podsakoff et al.,2000);

Motivation (Folger,1993); kepribadian (Smith et al.,1983; Van Dyne

et.al.,1994); kebutuhan (Schnake, 1991) dan nilai individu (Burton,

2003)

2. Sikap pada pekerjaan yaitu emosi dan kognisi yang berdasarkan

persepsi individu terhadap lingkungan kerja yang meliputi: komitmen

organisasi (O’Reilly and Chatman,1986; Eisenberger et al.,1990;

Organ,1990), persepsi kepemimpinan dan dukungan organisasi (Farh et

al.,1990; Smith et al.1993; Bateman and Organ,1983; Murphy et

al.,2002), Person organization fit (De Lara, 2008), kepuasan kerja

(Smith et al., 1983; Bateman and Organ,1983; Murphy et al.,2002),

Psycological contract (Coyle-shapiro, 2002; Turnley et al,2003),

persepsi keadilan/perception of fairness (Moorman et al.,1993; Tepper

and Taylor, 2003), Justice and organizational justice (Moorman, 1991;

Sheppard et al.,1992; Eskew,1993; Tanky,1993; Skarlicki and Latham,

1996)
14

3. Faktor-faktor kontekstual adalah pengaruh eksternal yang berasal dari

pekerjaan, bekerja kelompok, organisasi atau lingkungan. Variabel

kontekstual meliputi; karakteristik tugas (Farh et al., 1990; Niehoof and

Mooman, 1993; smith et al.,1983; Van Dyne et al.,1994), Sikap pada

pekerjaan (Moorman and Ryan, 1995); Organ,1988; Podsakoff et

al.,1990; Podsakoff et al., 1993; Schnake,1991; Schnake et al., 1995;

Smith et al.,1983), gaya kepemimpinan (Podsakoff et al., 1990; Farh et

al., 1990; Wyne and green, 1993; Truckenbrodt, 2000), karakteristik

kelompok, organisasi budaya organisasi (Organ et al, 2006; Podsakoff

et al, 2000), profesionalisme (Cohen dan Kol, 2004), dan harapan peran

sosial (Danzis dan Stode-Romero, 2009 dalam Mayfield dan Taber,

2009).

2.1.5 Manfaat OCB

Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB dapat mempengaruhi

organisasi karena beberapa alasan, antara lain;

1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja

2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial

3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya

organisasional untuk tujuan-tujuan produktif

4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber

daya organisasional untuk pemeliharaan karyawan


15

5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-

aktivitas koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar kelompok-

kelompok kerja

6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan

dan mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan

bahwa organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik

7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi

8) OCB dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan-

perubahan lingkungan bisnisnya.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa OCB menimbulkan

dampak positif bagi organisasi, sehingga sangatlah penting bagi organisasi

untuk meningkatkan OCB dikalangan karyawannya.

2.2 Organizational Commitment

2.2.1 Definisi Organizational Commitment

Organizational Commitment didefinisikan sebagai kekuatan

identifikasi dan keterlibatan individual dalam organisasi tertentu (Mowday,

Steers dan Porter, 1979). Organizational Commitment yang memiliki arti

lebih dari sekedar loyalitas yang pasif tetapi melibatkan hubungan yang

aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti

pada organisasinya (Steers,2002).

Wiener (1982) mendefinisikan Organizational Commitment sebagai

dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat
16

menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan meletakkan

kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadinya. Menurut Griffin

(2004), Organizational Commitment adalah sikap yang mencerminkan

sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasi.

Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan

melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Menurut Luthans (1995),

komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan kuat untuk tetap

sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai

keinginan organisasi, dan keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan

tujuan organisasi. Robbins (1989) mendefinisikan Organizational

Commitment sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau

tidak suka dari karyawan terhadap organisasi. O’Reilly (1989) menyebutkan

Organizational Commitment sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap

organisasi yang mencakup keterlibatan kerja, kesetiaan, dan perasaan

percaya terhadap nilai-nilai organisasi.

Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

Organizational Commitment merupakan suatu sikap yang merefleksikan

loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana

anggota organisasi yang mngekspresikan perhatiannya terhadap organisasi

dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

2.2.2 Indikator Organizational Commitment

Meyer & Allen (1990) membedakan bentuk Organizational Citizenhip

Behavior yang dibagi menjadi tiga komponen yaitu:


17

a. Komponen Afektif (affective commitment) berkaitan dengan emosional,

identifikasi, dan keterlibatan pegawai didalam suatu organisasi.

Karyawan yang memiliki komitmen afektif akan terus bekerja dalam

organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal

tersebut.

b. Komponen Normatif (normative commitment) merupakan perasaan-

perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada

organsasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi

merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi.

c. Komponen Kontinuan (continuance commitment) merupakan

komponen yang berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang

dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Karyawan yang terutama

bekerja berdasarkan komitmen kontinuan dalam organisasi karena

mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut.

Dalam penelitian ini, indikator Organizational Commitment yang akan

dianalisis yaitu komitmen afektif (affective commitment), komitmen

normatif (normative commitment) dan komitmen kontinuan (continuance

commitment).

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Commitment

Steers dalam Dessler (1992), Organizational Commitment dapat

dilihat dari 3 faktor, yaitu: 1)kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas

tujuan dan nilai-nilai organisasi, 2)kemauan untuk mengusahakan


18

tercapainya kepentingan organisasi, 3)keinginan yang kuat untuk

mempertahankan keanggotaan organisasi.

Allen & Meyer (1997) menyatakan bahwa Organizational

Commitment dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya;

karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman

selama berorganisasi. Karakteristik organisasi adalah struktur organisasi,

desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan

organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam

dua variabel, yaitu variabel demografis, seperti; gender, usia, status

pernikahan, tingkat pendidikan dan lamanya seseorang bekerja pada suatu

organisasi dan variabel disposisional yaitu mencakup kepribadian dan nilai

yang dimiliki anggota organisasi seperti ; kebutuhan berprestasi dan etos

kerja yang baik selain itu kebutuhan berafiliansi dan persepsi individu

mengenai kompetensinya sendiri (Allen & Mayer 1997).

Faktor lain yang mempengaruhi Organizational Commitment menurut

David (dalam Minner, 1997) mengemukakan bahwa ada empat faktor, yaitu;

1) Faktor personal (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman

kerja, kepribadian), 2) Karakteristik pekerjaan (ruang lingkup jabatan,

tantangan dalam pekerjaan, konflik peran dalam pekerjaan, tingkat kesulitan

dalam pekerjaan), 3) Karakteristik struktur (besar/kecinya organisasi, bentuk

organisasi seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat pekerja

dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan),

4)Pengalaman kerja (karyawan yang baru bekerja beberapa tahun dan


19

karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun tentunya memiliki tingkat

komitmen berbeda).

2.3 Job Insecurity

2.3.1 Definisi Job Insecurity

Job insecurity merupakan ketidakberdayaan seseorang/perasaan

kehilangan kekuasaan untuk mempertahankan kesinambungan yang

diinginkan dalam kondisi/situasi kerja yang terancam (Greenhalgh dan

Rosenblatt, 1984). Jolsen dan Wahlquist (dalam Hartley et al.,1991)

menyatakan bahwa Job insecurity merupakan pemahaman individual

pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. (Ashford

et al.,1989) mengatakan bahwa Job insecurity merupakan suatu tingkat

dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak

berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity

dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan

pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford et al, 1989)

Menurut Smithson dan Lewis (2002) mengemukakan bahwa Job

insecurity adalah kondisi psikologis karyawan yang menunjukkan rasa

bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi linkungan yang

berubah-ubah, kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang

bersifat kontrak atau sementara. Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley

et.al, 1991) mendefinisikan Job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang

terancam.
20

Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Job insecurity

adalah suatu ketidakberdayaan untuk menjamin kesinambungan dari suatu

pekerjaan pada saat keadaan pekerjaan itu terancam, menimbulkan rasa

ketidaknyamanan karyawan dikarenakan rasa tidak aman.

2.3.2 Indikator Job Insecurity

Greenhalgh & Rosenblatt dalam Ashford et al.(1989) mengemukakan

bahwa konstruk Job insecurity terdiri dari dua dimensi, yaitu besarnya

ancaman (severity of threat) atau derajat ancaman yang dirasakan mengenai

kelanjutan situasi kerja tertentu. Ancaman ini dapat terjadi pada berbagai

aspek-aspek pekerjaan atau pada keseluruhan pekerjaan, dan yang kedua

adalah powerlessness.

Ruvio dan Rosenblatt (1990) memperjelas kedua dimensi yang

dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford et al., 1989.

Dimensi Job insecurity, sebagai berikut: pertama perasaan terancam pada

total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang

lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level

yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain

kehilangan pekerjaan mungkin terjadi secara permanen atau seseorang

mungkin dipecat atau dipaksa pensiun awal.

Kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja (Job

features), misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan

seseorang kesulitan mengalami kemajuan dalam organisasi,

mempertahankan gaji ataupun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin


21

berpengaruh terhadap posisi seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk

mengatur pekerjaan, penampilan kerja dan signifikasnsi pekerjaan.

Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga berperan dalam kesulitan

mengakses sumber-sumber yang sebelumya siap dipakai.

Ketiga, Job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang

terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan

kejadian-kejadian dilingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya

(powerlessness).

Terdapat lima komponen Job insecurity yang dikemukakan oleh

Greenhalgh & Rosenblatt dalam Ashford et.al.(1989) antara lain:

1) Tingkat pentingnya apek-aspek pekerjaan yang dirasakan oleh individu

2) Kemungkinan perubahan negatif pada aspek-aspek kerja tersebut bagi

individu

3) Tingkat kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap

peristiwa yang secara negatif dapat mempengaruhi keseluruhan kerja

individu

4) Kemungkinan munculnya peristiwa-peristiwa tersebut yang secara

negatif dapat mempengaruhi keseluruhan kerja individu

5) Ketidakberdayaan yang dirasakan individu

Dalam penelitian ini indikator yang akan digunakan adalah kelima

komponen Job Insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalgh & Rosenblatt

dalam Ashford et al.(1989).


22

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Job Insecurity

Greenhalgh & Rosenblatt dalam Ashford et al. (1989) telah

mengkategorikan penyebab Job insecurity kedalam tiga kelompok sebagai

berikut:

1. Kondisi lingkungan dan organisasi

Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa

faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan

organisasional. Perubahan orgaisasionl yang terjadi antara lain dengan

dilakukannya downzising, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan

2. Karakteristik individual dan jabatan pekerja

Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender,

senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya,

status sosial ekonomi dan pengalaman kerja.

3. Karakteristik personal kerja

Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi Job insecurity

misalnya; locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau

pesimis pada karyawan.

Anda mungkin juga menyukai