Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERSEPSI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN INDIVIDU

Dosen Pengampu
Dr. dr. Gustaaf A. E. Ratag, MPH
Dr. dr. Dina V. Rombot, M.Kes

Disusun Oleh :
Linna Lenda Jeclin Minggu NIM 20202111026
Frans Steve Martono Mintardjo NIM 20202111044

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa oleh karena rahmat-
Nya maka kelompok dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak – pihak yang membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini,
khususnya kepada :
1. Dr. dr. Gustaaf A. E. Ratag, MPH
2. Dr. dr. Dina V. Rombot, M.Kes
3. Semua pihak – pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan – kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kristik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Manado, Oktober 2020

Kelompok

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan banyak cara. Setiap orang mempunyai
pengertian akan suatu peristiwa atau masalah yang terjadi pada dirinya atau pengalaman.
Pengertian ini akan berbeda pada setiap individu walaupun melihat hal yang sama.
Pengambilan keputusan mengacu pada bagaimana seseorang mengolah informasi, apakah
lebih dominan menggunakan pikirannya, ataukah dengan perasaannya. Setelah semua
informasi diperoleh melalui fungsi persepsi, maka seseorang harus melalukan sesuatu dengan
informasi tersebut. Informasi tersebut harus diolah untuk memperoleh suatu kesimpulan guna
mengambil suatu keputusan ataupun membentuk suatu opini.1
Salah satu cara dalam mengambil keputusan adalah dengan mempergunakan perasaan
dan persepsi. Perasaan disini bukan berarti emosi, melainkan dengan mempertimbangkan
dampak dari suatu keputusan terhadap diri sendiri/ orang lain. Apakah manfaatnya bagi diri
sendiri/ orang lain (tanpa mempersyaratkan terlebih dahulu bahwa hal tersebut haruslah
logis). Pengambilan keputusan atas dasar perasaan ini berlandaskan pada nilai-nilai pribadi
atau norma-norma dan bukan mengacu pada tindakan yang dapat disebut emosionil. Apabila
kita mengambil keputusan berdasarkan perasaan, kita akan mempertanyakan seberapa jauh
kita pribadi akan melibatkan diri secara langsung, seberapa jauh kita merasa turut
bertanggung jawab terhadap dampak atas keputusan yang kita ambil, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Mereka yang mempunyai preferensi menggunakan perasaan
dalam mengambil keputusan, cenderung bersikap simpatik, bijaksana dan sangat menghargai
sesama. Banyak cara atau gaya dalam pengambilan keputusan.1

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud persepsi?
2. Bagaimana persepsi orang membuat penilaian atas orang lain?
3. Bagaimana hubungan antara persepsi dan pengambilan keputusan individual?
4. Bagaimana pengambilan keputusan dalam organisasi?
5. Apa pengaruh perbedaan individu dan batasan organisasi dalam pengambilan
keputusan?

1
6. Bagaimana etika dalam pengambilan keputusan?
7. Bagaimana kreativitas pengambilan keputusan kreatif dan inovasi dalam organisasi?

1.3 Tujuan Pembahasan


Tujuan penulis membuat makalah yang berjudul “ Persepsi dan Pengambilan Keputusan
Individu “ adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi persepsi.
2. Mengetahui bagaimana persepsi orang membuat penilaian atas orang lain.
3. Mengetahui hubungan persepsi dengan pengambilan keputusan individual.
4. Mengetahui pengambilan keputusan dalam organisasi.
5. Mengetahui pengaruh pengambilan keputusan antara perbedaan individu dan
organisasi.
6. Mengetahui bagaimana etika dalam pengambilan keputusan.
7. Mengetahui kreativitas pengambilan keputusan kreatif dan inovasi dalam organisasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Persepsi
Persepsi adalah sebuah proses individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan
kesan sensoris untuk memberikan pengertian pada lingkungannya. Persepsi penting bagi
perilaku organisasi karena perilaku orang-orang didasarkan pada persepsi mereka tentang apa
realita yang ada, bukan mengenai realita itu sendiri. Persepsi menjadi penting karena
kebiasaan seseorang lebih didasarkan pada persepsi yang mereka rasakan dibandingkan
dengan kenyataan yang ada. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
penginderaan, yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu
indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi
merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan
sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain; karakteristik kepribadian (sikap,
motif, minat, pengalaman masa lampau, dan ekspektasi), faktor situasi (waktu, social, dan
latar kerja), dan faktor pada target yang bepengaruh yaitu inovasi, pergerkan, suara, ukuran,
latar belakang, proksimitas dan kesamaan.1
2.1.1 Persepsi Orang: Membuat Penilaian atas Orang Lain
a. Teori Atribusi
Teori Atribusi (attributior theory) menjelaskan cara-cara kita menilai orang dengan
berbeda, bergantung pada pengertian yang kita atribusikan pada sebuah perilaku. Ini
menyatakan bahwa ketika kita mengamati perilaku seorang individu, kita mencoba
menentukan apakah itu disebabkan dari internal atau eksternal.2
Perilaku yang disebabkan internal adalah kendali perilaku pribadi dari individu.
Perilaku yang disebabkan eksternal adalah situasi yang kita bayangkan, memaksa
individu untuk melakukannya.1
Penentuan itu terutama tergantung pada tiga faktor, yaitu : Perbedaan, Konsensus, dan
Konsistensi. Faktor perbedaan merujuk pada apakah seorang individu menampilkan
perilaku yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Faktor konsensus merujuk kepada
setiap orang dalam menghadapi situasi yang sama dan memberikan respon yang sama.
Faktor konsistensi adalah tindakan yang dilakukan seseorang secara terus menerus,
semakin konsisten perilakunya, semakin menunjukkan atribusi kepada penyebab
internal.1
3
b. Kesalahan dan Bias dalam Atribusi
Kesalahan dan bias atribusi terdapat pada kecenderungan untuk meremehkan
pengaruh faktor eksternal dan melebih-lebihkan pengaruh faktor internal saat membuat
penilaian tentang perilaku orang lain. Secara umum, kita cenderung menyalahkan orang,
bukan situasinya.3
Kecenderungan individu untuk mengaitkan kesuksesan mereka sendiri dengan faktor
internal sementara menyalahkan kegagalan pada faktor eksternal.1
2.1.2 Jalan Pintas dalam Menilai Orang Lain secara Umum
a. Persepsi Selektif
Persepsi selektif membuat kita membaca orang lain dengan cepat, tetapi berisiko
menggambarkan gambaran yang tidak akurat. Melihat apa yang ingin kita lihat, kita
dapat menggambarkan kesimpulan yang tidak dapat dijamin dari sebuah situasi yang
ambigu. Kita menemukan contoh persepsi selektif dalam analisis keuangan.1
b. Efek Halo
Ketika kita menggambarkan sebuah kesan mengenai seorang indovidu berdasarkan
sebuah karakteristik tunggal, seperti kecerdasan, kemampuan bersosialisasi, atau
penampilan, sebuah efek halo sedang bekerja. Pandangan umum kita mengontaminasi
pandangan spesifik kita.4
c. Efek Kontras
Penonton sangat menyukai anak-anak dan hewan sehingga orang dewasa akan
kelihatan buruk dalam perbandingan. Contoh ini menunjukkan bagaimana efek kontras
dapat mengganggu persepsi.1
d. Stereotip
Ketika kita menilai seseorang berdasarkan persepsi kita atas kelompok asalnya, kita
sedang melakukan stereotip. Kita berhadapan dengan jumlah rangsangan yang tidak
dapat dikendalikan dari dunia yang kompleks dengan menggunakan heuristis atau
stereotip untuk mengambil keputusan dengan cepat. Stereotip dapat berakar dalam dan
cukup kuat untuk memengaruhi keputusan hidup dan mati. Satu masalah dari stereotip
adalah adanya generalisasi yang menyebar luas, meskipun mungkin tidak mengandung
kebenaran ketika diaplikasikan pada orang atau situasi tertentu.5

2.2 Hubungan antara Persepsi dan Pengambilan Keputusan Individual


Individu mengambil keputusan, pilihan yang dibuat dari dua atau lebih alternatif.
Pengambilan keputusan individu merupakan bagian penting dari perilaku organisasi. Tetapi
4
cara individu mengambil keputusan dan kualitas pilihannya sangat dipengaruhi oleh persepsi
individu.1
Pengambilan keputusan terjadi sebagai reaksi atas masalah, yaitu sebuah perbedaan
antara situasi sekarang dan yang diinginkan, yang mengharuskan kita mempertimbangkan
alternatif-alternatif tindakan. Masalah bagi seseorang bisa jadi merupakan kondisi yang
menyenangkan bagi orang lain. Kesadaran bahwa suatu masalah ada dan bahwa sebuah
keputusan mungkin atau mungkin tidak diperlukan adalah isu perseptual.6
Setiap keputusan membutuhkan kita untuk menginterpretasi dan mengevaluasi informasi.
Kita umumnya menerima data dari banyak sumber yang perlu kita saring, proses, dan
interpretasi. Kita juga perlu mengembangkan alternatif-alternatif dan mengevaluasi kekuatan
dan kelemahannya. Proses perseptual akan memengaruhi hasil akhir. Selama proses
pengambilan keputusan, kesalahan perseptual sering kali muncul sehingga dapat membiaskan
analisis dan kesimpulan.1

2.3 Pengambilan Keputusan dalam Organisasi


2.3.1Model Rasional, Rasionalitas Terbatas, dan Intuisi
a. Pengambilan Keputusan Rasional
Pengambilan keputusan terbaik adalah rasional dan membuat pilihan yang konsisten
dan memaksimalkan nilai dalam batasan-batasan spesifik. Keputusan-keputusan ini
mengikuti enam langkah model pengambilan keputusan rasional yaitu: definisi masalah,
identifikasi kriteria keputusan, alokasikan bobot pada kriteria, kembangkan alternatif-
alternatif, evaluasi alternatif-alternatif, dan pilihlah alternatif terbaik.7,8
Model pengambilan keputusan rasional mengasumsikan bahwa pengambil keputusan
memiliki informasi yang komplet, mampu mengidentifikasi semua opsi yang relevan
dengan tidak bias, dan memilih opsi dengan utilitas tertinggi.9
b. Rasionalitas Terbatas
Kemampuan terbatas kita dalam memproses informasi membuat tidak mungkin untuk
mengasimilasikan semua informasi yang diperlukan untuk optimalisasai. Kebanyakan
orang merespons masalah yang kompleks dengan menguranginya sampai level yang
mereka siap mengerti. Banyak masalah tidak memiliki solusi yang optimal karena terlalu
rumit untuk cocok dengan model pengambilan keputusan rasional, sehingga orang-orang
memutuskan dan mengejar tindakan yang memenuhi persyaratan minimum untuk
mencapai tujuan; mencari solusi yang memuaskan atau cukup.10

5
Oleh karena pikiran manusia tidak dapat memformulasikan dan memecahkan
masalah-masalah kompleks dengan rasionalitas penuh, rasionalitas terbuka beroperasi
dalam lingkungan. Kita membangun model yang disederhanakan yang mengeluarkan
fitur-fitur esensial dari masalah tanpa menangkap semua kompleksitasnya.11
Berusaha puas tidak selalu buruk – sebuah proses sederhana bisa lebih sering menjadi
masuk akal daripada model pengambilan keputusan rasional tradisional. Untuk
menggunakan model rasional, kita perlu mengumpulkan banyak sekali informasi
mengenai semua opsi, menghitung bobot yang dapat diterapkan, dan kemudian
menghitung nilai lintas sejumlah besar kriteria. Semua proses ini bisa menghabiskan
waktu, energi, dan uang. Jika ada banyak bobot dan pilihan yang tidak diketahui. Model
rasional penuh bisa saja tidak lebih akurat daripada sebuah tebakan terbaik. Kadang-
kadang proses yang cepat dan hati-hati atas pemecahan masalah bisa jadi pilihan
terbaik.12
c. Intuisi
Cara yang paling tidak rasional dalam mengambil keputusan adalah pengambilan
keputusan intuitif, sebuah proses tanpa sadar yang diciptakan dari pengalaman yang
diperoleh. Pengambilan keputusan intuitif terjadi diluar pikiran sadar; berpegang pada
asosiasi holistis, atau kaitan antara potongan-potongan informasi yang tidak sama; cepat;
dan secara afektif dibebankan, berarti melibatkan emosi.13,14
2.3.2 Bias dan Kesalahan Umum dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan terlibat dalam rasionalitas terbatas, tetapi mereka juga
mengizinkan bias dan kesalahan sistematis merusak penilaian mereka. Untuk
meminimalkan usaha dan menghindari trade-off, orang-orang cenderung terlalu
mengandalkan pengalaman, impuls, tebakan, dan aturan jempol yang menyenangkan.15
a. Bias Terlalu Percaya Diri
Riset terkini terus menyimpulkan bahwa kita cenderung terlalu percaya diri dengan
kemampuan kita dan kemampuan orang lain; juga, bahwa kita biasanya tidak sadar
dengan bias ini. Ketika kita diberikan pertanyaan-pertanyaan faktual dan diminta untuk
menilai probabilitas bahwa jawaban kita benar, kita cenderugn optimis berlebihan.
Individu yang memiliki kecerdasan intelektual dan interpersonal paling lemah paling
mungkin berlebihan dalam mengestimasi kinerja dan kemampuannya.16,17
Contoh; Pak Joni memiliki keahlian dibidang teknik mesin, namun keahlian ini sangat
ditonjolkan berlebihan didepan atasannya. Ketika atasannya datang, barulah dia
memainkan keahliannya sebegitu baiknya. Namun saat atasannya pergi, ia hanya bekerja
6
dengan setengah-setengah dan tidak menggunakan keahlian yang dimilikinya dengan
maksimal.
b. Bias Jangkar
Bias jangkar (anchoring bias) adalah kecenderungan untuk bertahan pada informasi
awal dan gagal menyesuaikan secara adekuat pada informasi sesudahnya. Jangkar secara
luas digunakan oleh orang-orang dalam profesi dimana keahlian persuasif penting –
iklan, manajemen, politik, perumahan mewah, dan hukum. Kapan pun negosiasi terjadi,
penjangkaran juga terjadi.18
Contoh; Seorang menejer iklan ingin melakukuan sebuah kontrak bisnis dengan
customernya yaitu pemilik Gudang Garam, karena ingin bisnisnya lebih dikenal lagi
manejer ini beranggapan bahwa penampilan customernya ini sedemikian rapi, sopan, dan
berkepribadian yang sopan. Ternyata saat datang manajer ini kaget melihat pemilik
Gudang Garam yang hanya memakai sendal jepit, berpakaian kaos oblong, rambut
berantakan. Akhirnya informasi yang ia siapkan seketika hilang diingatannya, hanya
karena kaget melihat penampilan customernya.
c. Bias Konfirmasi
Proses pengambilan keputusan rasional mengasumsikan kita mengumpulkan
informasi secara objektif. Bias konfimasi mewakili sebuah kasus persepsi selektif; kita
mencari informasi yang membenarkan pilihan masa lalu kita, dan kita mengurangi
informasi yang berlawanan dengannya. Kita paling rentan pada bias konfimasi ketika
kita percaya bahwa kita memiliki informasi yang baik dan dengan kuat berpegang pada
opini kita.19
d. Bias Ketersediaan
Bias ketersediaan adalah kecenderungan kita untuk mendasarkan penilaian pada
informasi yang siap tersedia. Riset terbaru mengindikasikan bahwa sebuah kombinasi
atas informasi yang siap sedia dan pengalaman langsung kita dengan informasi yang
sama khususnya sangat berdampak pada pengambilan keputusan kita.20
Contoh; Beberapa mahasiswa lebih memilih makan di depot kita, daripada makan di
pinggir jalan yang baru buka. Karena depot kita menurut para mahasiswa tempatnya
bersih dan makanannya juga enak, sedangkan makanan pinggir jalan yang baru masih
belum ada kejelasan informasinya.
e. Eskalasi Komitmen
Distorsi lainnya yang mengganggu keputusan adalah kecenderungan untuk
mengeskalasi komitmen, sering kali karena meningkatnya alasan-alasan nonrasional.
7
Eskalasi komitmen merujuk pada bertahannya kita dengan keputusan sekalipun ada bukti
yang jelas bahwa itu salah.21
Sebuah metaanalisis terbaru mengungkapkan beberapa temuan menarik mengenai apa
yang menyebabkan kita mengeskalasi komitmen kita sesudah kegagalan awal. Pertama,
tampaknya tidak masalah apakah kita memilih tindakan yang menggagalkan atau itu
diberikan pada kita – kita merasa bertanggung jawab dan mengeskalasinya dalam kasus
manapun. Kedua, pembagian otoritas keputusan – seperti ketikaa yang lain meninjau
pilihan yang kita buat – dapat berujung pada eskalasi yang lebih tinggi karena keputusan
awal lebih umum.22
Contoh; Para pejabat peemerintah yang tetap memilih untuk melakukan korupsi, padahal
mereka tau keputusan yang mereka buat itu salah dan merugikan Negara, tapi mereka
lebih memilih untuk kepentingan dirinya sendiri.
f. Kesalahan Acak
Kebanyakan dari kita suka berpikir bahwa kita memiliki kendali atas dunia kita.
Kecenderungan kita untuk percaya kita mampu memprediksi hasil dari peristiwa acak
adalah kesalahan acak. Pengambilan keputusan terganggu ketika kita mencoba
menciptakan pengertian dalam peristiwa acak, khusunya ketika kita mengubah pola
imajinasi menjadi ide yang salah.23
Contoh; Ketika seorang mahasiswa berpikir bahwa “oh, ini dosen Akuntasi Manajemen
yang tidak akan meluluskan saya”, disini dia mempercayai bahwa ia dapat
memprediksikan masa depan, hal ini berimbas terhadap keputusannya. Alhasil ia
membatalkan PRSnya hanya karena persepsinya seperti itu, dan penilaiannya terhadap
dosen tersebut menjadi buruk.
g. Aversi Risiko
Kecenderungan untuk memilih hal-hal yang pasti daripada hasil yang berisiko adalah
aversi risiko. Aversi risiko memiliki implikasi penting. Preferensi risiko kadang-kadang
terbalik: Orang-orang memilih mengambil kesempatan ketika mencoba menghindari
hasil negatif.24
Mencoba menutupi kesalahan daripada mengakui kesalahan, meskipun adanya risiko
yang sangat berbahaya atau bahkan sanksi penjara, adalah contoh lainnya. Situasi yang
menekan dapat membuat pilihan risiko lebih kuat. Orang-orang akan lebih mungkin
terlibat dalam perilaku mencari risiko untuk hasil-hasil negatif, dan perilaku menghindari
risiko untuk hasil positif, saat dibawah tekanan.25

8
Contoh; Bapak A memiliki sebuah restoran yang sudah sangat ramai dikunjungi
konsumen, namun ia tidak berani melakukan inovasi-inovasi yang baru misalnya;
mengenai pembaharuan resep maupun expand. Keputusan Bapak A ini menunjukkan
bahwa ia tidak berani mengambil risiko apabila inovasinya tidak diterima konsumen.
h. Bias Retrospeksi
Bias retrospeksi adalah kecenderungan untuk salah dalam mempercayai bahwa kita
dapat memprediksinya secara akurat. Ketika kita memiliki umpan balik atas hasil, kita
tampaknya baik dalam menyimpulkan. Bias retrospeksi mengurangi kemampuan kita
untuk belajar dari masa lalu. Bias retrospektif membuat kita berpikir bahwa kita
memprediksi lebih baik dari yang sebenarnya dan dapat membuat kita percaya diri
meskipun salah.26
Contoh; Ketika mahasiswa A mengikuti mata kuliah AKBI semester 2, dia tidak lulus.
Mahasiswa ini lalu sering berkata, “kenapa aku tidak lulus, padahal aku sudah berjuang”.

2.4 Pengaruh Dalam Pengambilan Keputusan: Perbedaan Individu dan Batasan


Organisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana orang mengambil keputusan dan tingkat di
mana mereka rentan pada kesalahan serta bias.
2.4.1 Perbedaan Individu
Pengambilan keputusan dalam praktiknya dikarakterisasikan oleh batasan-batasan
rasionalitas, bias dan kesalahan umum serta penggunaan instuisi. Perbedaan-perbedaan
individu juga menciptakan deviasi dari model rasional, yang terdiri dari:
a. Kepribadian
Riset tentang kepribadian dan pengambilan keputusan menyatakan kepribadian
mempengaruhi keputusan kita.Aspek-aspek spesifik dari kehati-hatian dari pada sifat-
sifat luasnya, bisa mempengaruhi eskalasi komitmen. Khususnya aspek kehati-hatian
usaha keras untuk pencapaian dan kepatuhan. Pertama riset menyatakan bahwa orang-
orang yang berjuang dalam pencapaiannya lebih mungkin mengeskalasi komitmennya,
sedangkan orang-orang yang patuh lebih tidak mungkin. Kedua, individu yang mengejar
pencapaian tampaknya lebih rentan pada bias retrospeksi, mungkin karena mereka perlu
menjustifikasi tindakannya.27,28
Orang-orang dengan harga diri tinggi sangat termotivasi untuk mempertahankannya,
sehingga mereka menggunakan bias pemenuhan diri untuk mempertahankannya. Mereka
menyalahkan orang lain atas kegagalanya, tetapi mengambil kredit atas kesuksesan.29
9
b. Jenis Kelamin
Riset atas kontemplasi menawarkan pandangan mengenai perbedaan jenis kelamin
dalam pengambilan keputusan. Kontemplasi bermakna berefleksi dalam waktu yang
lama. Dari sisi pengambilan keputusan, itu berarti terlalu memikirkan masalah.Dua puluh
tahun studi mendapati wanita mengahabiskan lebih banyak waktu dibandingkan pria
dalam menganalisis masa lalu, masa kini dan masa depan. Mereka lebih mungkin terlalu
menganalisis masalah sebelum mengambil keputusan dan menyesali keputusan ketika
telah dibuat. Ini dapat mengarah pada pertimbangan kehati-hatian atas masalah dan
pilihan. Masalah lebih sulit diselesaikan, meningkatkan penyesalan atas keputusan masa
lampau, dan meningkatkan depresi.30
c. Kemampuan Mental
Orang-orang dengan level kemampuan mental yang lebih tinggi mampu memproses
informasi lebih cepat, memecahkan masalah lebih akurat, dan belajar lebih cepat,
sehingga anda mungkin mengekspektasikan mereka juga lebih sedikit berisiko salah
mengambil keputusan umum. Kemampuan mental tampak hanya membantu orang-orang
menghindari beberapa dari masalah. Orang-orang yang cerdas sama mungkinnya untuk
jatuh dalam jebakan penjangkaran, terlalu percaya diri, dan ekskalasi komitmen.31
d. Perbedaan Budaya
Model rasional tidak membuat pengakuan atas perbedaan budaya, oleh karena itu, kita
perlu mengakui bahwa latar belakang budaya dari pembuat keputusan dapat
mempengaruhi dengan signifikan pilihan masalah, keadaan analisis, pentingnya logika,
rasionalitas dan apakah keputusan organisasi seharusnya dibuat secara antokrat oleh
seorang manajer atau secara kolektif dalam kelompok.Beberapa budaya menekankan
pemecahan masalah, sedangkan yang lainnya fokus pada menerima situasi sebagaimana
adanya.32
2.4.2 Batasan Organisasi
Organisasi dapat membatasi pengambilan keputusan, menciptakan deviasi dari model
rasional.
a. Evaluasi Kinerja
Manajer dipengaruhi oleh kriteria yang menjadi dasar mereka dievaluasi. Jika seorang
manajer divisi percaya bahwa kinerja pabrik yang berada di bawah tanggung jawabnya
beroperasi terbaik ketika ia tidak mendengar hal negatif, kita akan mendapati manejer
pabriknya bekerja menghabiskan banyak waktu untuk memastikan tidak ada informasi
negatif yang sampai padanya.1
10
b. Sistem Imbalan
Sistim imbalan organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan dengan
menyarankan pilihan apa yang memiliki pembayaran pribadi lebih baik. Jika organisasi
menghargai penghindaran resiko, manajer lebih mungkin untuk mengambil keputusan
konservatif.1
c. Peraturan Baku
Organisasi membuat peraturan dan kebijakan untuk memprogram keputusan dan
mengarahkan individu bertindak sesuai yang diharapkan. Dalam melakukan hal
demikian, mereka membatasi pilihan-pilihan keputusan.1
d. Batasan Waktu Akibat Sistem
Hampir semua keputusan penting muncul dengan tenggat waktu eksplisit. Sebuah
laporan tentaang pengembangan produk baru bisa saja harus siap untuk ditinjau komite
eksekutif tanggal pertama bulan itu.1
e. Contoh Historis
Keputusan tidak dibuat dalam ruang vakum, mereka memiliki sebuah konteks.
Keputusan-keputusan individu merupakan poin-poin dalam arus pilihan yang dibuat di
masa lampau seperti hantu yang membuntuti dan membatasi pilihan-pilihan sekarang.
Merupakan rahasia umum bahwa penentu terbesar dari ukuran dari anggaran tahun ini
adalah anggaran tahun lalu. Pilihan-pilihan yang dibuat hari ini sebagian besar
merupakan hasil dari pilihan-pilihan yang dibuat bertahun-tahun.33

2.5 Etika dalam Pengambilan Keputusan


Pertimbangan etis harusnya menjadi kriteria dalam semua pengambilan keputusan dalam
organisasi. Ada tiga cara untuk membingkai keputusana secara etis, yaitu:
2.5.1 Utilitarianisme
Mengusulkan pengambilan keputusan hanya berdasarkan outcome/keluaran, idealnya
untuk memberikan yang paling baik dalam jumlah yang paling besar. Pandangan ini
mendominasi pengambilan keputusan bisnis. Ia konsisten dengan sasaran seperti
efisiensi, produktivitas dan laba tinggi.1
2.5.2 Membuat Keputusan Konsisten
Dengan kebebasan dan hak-hak fundamental, seperti yang tercantum dalam Piagam
Hak Azazi. Sebuah penekanan pada hak dalam pengambilan keputusan berarti
menghormati dan melindungi hak-hak asasi individu, seperti hak atas privasi, kebebasan
berbicara dan proses yang pantas. Kriteria ini melindungi whistle blower (ketika mereka
11
mengungkapkan praktik tidak etis organisasi pada pers atau agen pemerintah,
menggunakan hak kebebasan berbicara).1
2.5.3 Menanamkan dan Mendorong Aturan-Aturan
Dengan adil dan netral untuk memastikan keadilan atau distribusi yang merata atas
manfaat dan biaya. Anggota serikat umumnya memihak pandangan ini. Adil membayar
orang dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama tanpa memandang perbedaan
kinerja.1
Setiap kriteria memiliki keuntungan dan kewajiban. Sebuah fokus pada utilitarianisme
mendorong efisiensi dan produktivitas, tetapi dapat menyerempet hak-hak beberapa individu,
khususnya mereka dengan representasi minoritas. Penggunaan hak melindungi individu dari
cidera dan konsisten dengan kebebasan dan privasi, tetapi dapat menciptakan lingkungan
legalistik yang mengurangi produktivitas dan efisiensi.Sebuah fokus pada keadilan
melindungi kepentingan yang kurang diwakilkan dan kurang berkuasa, tetapi dapat
mendorong rasa kepemilikan yang mengurangi pengambilan resiko, inovasi dan
produktivitas.1
Riset etika perilaku menekankan pentingnya budaya pada pengambilan keputusan etis.
Ada beberapa standar global untuk pengambilan keputusan etis, yang kontras antara yang
Asia dan Barat. Apa yang etis dalam satu budaya bisa saja tidak etis dalam budaya lain.1

2.6 Kreativitas, Pengambilan Keputusan Kreatif dan Inovasi Dalam Organisasis


Meskipun model pengambilan keputusan rasional akan sering memperbaiki keputusan,
seorang pengambil keputusan juga membutuhkan kreativitas, kemampuan untuk
menghasilkan ide-ide, yang inovatif dan berguna.Kreativitas membuat pengambil keputusan
untuk secara penuh menilai dan memahami masalah, termasuk melihat masalah yang tidak
dapat dilihat orang lain.1
Model tiga tahap dari kreativitas dalam organisasi. Inti dari model itu adalah perilaku
kreatif, yang memiliki sebab (prediktor dari perilaku kreatif) dan efek (hasil dari perilaku
kreatif).1
2.6.1 Perilaku Kreatif
a. Formulasi Masalah
Setiap tindakan kreativitas dimulai dengan masalah yang memunculkan perilaku
dirancang untuk memecahkannya. Formulasi Masalah (problem formulation) tahapan
perilaku kreatif dimana kita mengindentifikasi sebuah masalah atau peluang yang
membutuhkan sebuah solusi yang belum diketahui.1
12
b. Pengumpulan Informasi.
Dengan adanya masalah, solusinya jarang sekali ada ditangan. Kita membutuhkan
waktu untuk belajar. Oleh karena itu, pengumpulan informasi adalah tahapan perilaku
kreatif ketika solusi-solusi yang mungkin atas masalah diinkubasikan dalam pikiran
individu.1
c. Pemunculan Ide
Jika kita telah mengumpulkan informasi yang relevan, saatnya untuk mentranslasikan
pengetahuan menjadi ide – ide. Oleh karena itu, pemunculan ide adalah proses perilaku
kreatif dimana kita mengembangkan solusi – solusi yang mungkin atas sebuah masalah
dari informasi dan pengetahuan yang relevan. Semakin meningkat, pemunculan ide
bersifat kolaboratif.1
d. Evaluasi Ide
Terakhir saatnya memilih ide-ide yang dimunculkan. Oleh karena itu Evaluasi Ide
adalah proses perilaku kreatif dimana kita mengevaluasi solusi-solusi potensial untuk
mengidentifikasi yang terbaik. Kadang-kadang metode memilih bisa jadi inovatif.
Umumnya untuk mengeliminasi bias nyata Anda ingin agar orang-orang yang melakukan
evaluasi ide adalah orang yang berbeda dengan orang memunculkan ide.1

2.6.2 Penyebab Perilaku Kreatif


a. Potensi Kreatif
Ketika jenius kreatif, baik dalam ilmu pengetahuan (Albert Einstein), seni (Pablo
Picasso), maupun bisnis (Steve Jobs) langka, kebanyakan orang memiliki beberapa
karakteristik yang merupakan bagian dari orang – orang yang luar biasa kreatif. Semakin
banyak karakteristik ini kita miliki, semakin tinggi potensi kreatif kita.1
Kecerdasan berhubungan dengan kreativitas. Orang-orang cerdas lebih kreatif karena
mereka lebih baik dalam memecahkan masalah yang kompleks. Meskipun demikian
individu-individu cerdas bisa juga lebih kreatif karena mereka memiliki memori kerja
yang lebih besar, yaitu mereka dapat mengingat lebih banyak informasi yang
berhubungan dengan tugas di tangan.34
Keahlian adalah fondasi dari semua pekerjaan kreatif dan oleh karena itu merupakan
alat prediksi tunggal paling penting dari potensi kreatif. Potensi bagi kreativitas
ditingkatkan ketika individu memiliki kemampuan, pengetahuan, kecakapan dan
keahlian yang sama dengan bidang yang dijalaninya.1
b. Lingkungan Kreatif
13
Kebanyakan dari kita memiliki potensi kreatif yang dapat kita pelajari untuk
diterapkan, tetapi sepenting apa pun potensi kreatif, tidaklah cukup jika hanya sendirian
saja. Apa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi potensi kreatif agar
ditranslasikan dalam perilaku kreatif?.1
Pertama yang paling penting adalah motivasi. Jika anda tidak termotivasi untuk
menjadi kreatif, tidak mungkin anda akan menjadi kreatif. Sebuah tinjauan atas 26 studi
mengungkapkan bahwa motivasi instrinsik atau keinginan untuk mengerjakan sesuatu
karena lebih menarik, menyenangkan, memuaskan dan menantang, berkorelasi cukup
kuat dengan hasil kreatif.35
Juga bernilai untuk bekerja di sebuah lingkungan yang menghargai dan mengakui
pekerjaan kreatif. Organisasi harus mendorong arus bebas ide, termasuk memberikan
penilaian yang adil dan konstruktif.36
Kepemimpinan yang baik juga berpengaruh pada kreativitas. Sebuah studi terbaru
pada lebih dari 100 tim yang bekerja di sebuah bank besar mengungkapkan bahwa ketika
pemimpin berprilaku menghukum dan tidak mendukung, tim itu kurang kreatif. Disisi
lain ketika pemimpin mendorong, menjalankan unitnya secara transparan dan memacu
pengembangan pekerjaanya, individu yang diawasinya akan lebih kreatif.37
c. Keluaran dari kreatif (Inovasi)
Tahapan akhir dari model kreativitas kita adalah hasil. Perilaku kreatif tidak selalu
menghasilkan hasil kreatif atau inovatif. Seorang pekerja mungkin menghasilkan sebuah
ide kreatif dan tidak pernah membagikannya. Manajemen mungkin menolak sebuah
solusi yang kreatif. Tim mungkin membatasi perilaku kreatif dengan mengisolasikan
mereka yang mengusulkan ide-ide berbeda. Satu studi menunjukan bahwa kebanyakan
orang memiliki bias terhadap menerima ide-ide kreatif karena ide-ide menciptakan
ketidakpastian. Ketika orang-orang merasa tidak pasti, kemampuannya untuk melihat
suatu ide sebagai sesuatu yang kreatif diblok.1
Keluaran dari kreatif (creative outcome) sebagai ide-ide atau solusi-solusi yang dinilai
baru dan berguna oleh pemangku kepentingan yang relevan. Pembaruan itu sendiri tidak
menghasilkan sebuah hasil kreatif jika tidak berguna. Oleh karena itu, solusi yang aneh
hanya kreatif ketika ia membantu memecahkan masalah. Kegunaan dari solusi mungkin
dibuktikan sendiri, atau mungkin dianggap sukses oleh pemangku kepentingan sebelum
kesuksesan nyata diketahui.38
Satu fakta penting ide-ide kreatif tidak mengimplementasikan diri mereka sendiri,
mentranslasikannya menjadi hasil-hasil kreatif adalah sebuah proses sosial yang
14
membutuhkan utilisasi konsep-konsep lain yang dibahas, termasuk kekuasaan dan
politik, kepemimpinan dan inovasi.39

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Individu mendasarkan perilakunya tidak pada lingkungan eksternal, melainkan pada cara
pandang atau apa yang individu percayai. Setiap individu dibekali dengan kreativitas dan
inovasi masing-masing yang dapat berbeda satu dengan lainnya, hal ini mendorong pemimpin
untuk menciptakan kreativitas dan rule invosi dalam pengambilan keputusan.

3.2 Saran
Dari kesimpulan diatas, maka kami dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan produktivitas, kajilah bagaimana para pekerja anda menilai
pekerjaan mereka. Petunjuk pada absensi, perputaran pekerja (turnover), dan tingkat
kepuasan pekerja sebagai indikator persepsi mereka.
2. Sesuaikan pendekatan pengambilan keputusan pada budaya negara dan pada kriteria
yang dihargai organisasi.
3. Berhati-hatilah dengan bias. Kemudian cobalah meminimalisasi dampaknya.
4. Kombinasikan analisis rasional dengan intuisi.
5. Cobalah tingkatkan kreativitas.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Robbins S, Judge T. 2006. Perilaku Organisasi. Salemba Empat. Jakarta


2. H. H. Kelley, “Attribution in Social Interaction,” in E. Jones et al. (eds.), Attribution:
Perceiving the Causes of Behavior (Morristown, NJ: General Learning Press, 1972);
andM. J. Martinko, P. Harvey, and M. T. Dasborough, “Attribution Theory in the
Organizational Sciences: A Case of Unrealized Potential,” Journal of Organizational
Behavior 32, no. 1 (2011), pp. 144–149.
3. See L. Ross, “The Intuitive Psychologist and His Shortcomings,” in L. Berkowitz (ed.),
Advances in Experimental Social Psychology, vol. 10 (Orlando, FL: Academic Press,
1977), pp. 174–220; and A. G. Miller and T. Lawson, “The Effect of an Informational
Option on the Fundamental Attribution Error,” Personality and Social Psychology
Bulletin 15 , no. 2 (1989), pp. 194–204.
4. D. C. Dearborn and H. A. Simon, “Selective Perception: A Note on the Departmental
Identification of Executives,” Sociometry 21 , no. 2 (1958), pp. 140–144. Some of the
conclusions in this classic study have recently been challenged in J. Walsh, “Selectivity
and Selective Perception: An Investigation of Managers’ Belief Structures and
Information Processing,” Academy of Management Journal 31 , no. 4 (1988), pp. 873–
896; M. J. Waller, G. Huber, and W. H. Glick, “Functional Background as a Determinant
of Executives’ Selective Perception,” Academy of Management Journal 38 , no. 4
(1995), pp. 943–974; and J. M. Beyer, P. Chattopadhyay, E. George, W. H. Glick, D. T.
Ogilvie, and D. Pugliese, “The Selective Perception of Managers Revisited,” Academy
of Management Journal 40 , no. 3 (1997), pp. 716–737.
5. See P. Rosenzweig, The Halo Effect (New York: The Free Press, 2007); I. Dennis, “Halo
Effects in Grading Student Projects,” Journal of Applied Psychology 92, no. 4 (2007),
pp. 1169–1176; C. E. Naquin and R. O. Tynan, “The Team Halo Effect: Why Teams Are
Not Blamed for Their Failures,” Journal of Applied Psychology 88 , no. 2 (2003), pp.
332–340; and T. M. Bechger, G. Maris, and Y. P. Hsiao, “Detecting Halo Effects in
Performance-Based Evaluations,” Applied Psychological Measurement 34, no. 8 (2010),
pp. 607–619.
6. D. Eden and A. B. Shani, “Pygmalion Goes to Boot Camp: Expectancy, Leadership, and
Trainee Performance,” Journal of Applied Psychology (April 1982), pp. 194–199; D. B.
McNatt and T. A. Judge, “Boundary Conditions of the Galatea Effect: A Field
Experiment and Constructive Replication,”Academy of Management Journal (August
17
2004), pp. 550–565; and X. M. Bezuijen, P. T. van den Berg, K. van Dam, and H.
Thierry, “Pygmalion and Employee Learning: The Role of Leader Behaviors,” Journal of
Management 35, (2009), pp. 1248–1267.
7. See, for example, K. F. E. Wong and J. Y. Y. Kwong, “Effects of Rater Goals on Rating
Patterns: Evidence from an Experimental Field Study,” Journal of Applied Psychology
92, no. 2 (2007), pp. 577–585; and S. E. DeVoe and S. S. Iyengar, “Managers’ Theories
of Subordinates: A CrossCultural Examination of Manager Perceptions of Motivation
and Appraisal of Performance,” Organizational Behavior and Human Decision Processes
(January 2004), pp. 47–61.
8. R. Sanders, The Executive Decisionmaking Process: Identifying Problems and Assessing
Outcomes (Westport, CT: Quorum, 1999).
9. See H. A. Simon, “Rationality in Psychology and Economics,” Journal of Business
(October 1986), pp. 209–224; and E. Shafir and R. A. LeBoeuf, “Rationality,” Annual
Review of Psychology 53 (2002), pp. 491–517.
10. . J. G. March, A Primer on Decision Making (New York: The Free Press, 2009); and D.
Hardman and C. Harries, “How Rational Are We?” Psychologist (February 2002), pp.
76–79.
11. Bazerman and Moore, Judgment in Managerial Decision Making.
12. J. E. Russo, K. A. Carlson, and M. G. Meloy, “Choosing an Inferior Alternative,”
Psychological Science 17, no. 10 (2006), pp. 899–904.
13. D. Kahneman, “Maps of Bounded Rationality: Psychology for Behavioral Economics,”
The American Economic Review 93, no. 5 (2003), pp. 1449–1475; and J. Zhang, C. K.
Hsee, and Z. Xiao, “The Majority Rule in Individual Decision Making,” Organizational
Behavior and Human Decision Processes 99 (2006), pp. 102–111.
14. See H. A. Simon, Administrative Behavior, 4th ed. (New York: The Free Press, 1997);
and M. Augier, “Simon Says: Bounded Rationality Matters,” Journal of Management
Inquiry (September 2001), pp. 268–275.
15. G. Gigerenzer, “Why Heuristics Work,” Perspectives on Psychological Science 3, no. 1
(2008), pp. 20–29; and A. K. Shah and D. M. Oppenheimer, “Heuristics Made Easy: An
Effort-Reduction Framework,” Psychological Bulletin 134, no. 2 (2008), pp. 207–222.
16. See A. W. Kruglanski and G. Gigerenzer, “Intuitive and Deliberate Judgments Are Base
on Common Principles,”Psychological Review 118 (2011), pp. 97–109.
17. P. D. Brown, “Some Hunches About Intuition,” The New York Times (November 17,
2007), p. B5.
18
18. S. P. Robbins, Decide & Conquer: Making Winning Decisions and Taking Control of
Your Life (Upper Saddle River, NJ: Financial Times/Prentice Hall, 2004), p. 13.
19. B. Fischhoff, P. Slovic, and S. Lichtenstein, “Knowing with Certainty: The
Appropriateness of Extreme Confidence,” Journal of Experimental Psychology: Human
Perception and Performance (November 1977), pp. 552–564.
20. J. Kruger and D. Dunning, “Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in
Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments,” Journal of
Personality and Social Psychology (November 1999), pp. 1121–1134; and R. P. Larrick,
K. A. Burson, and J. B. Soll, “Social Comparison and Confidence: When Thinking
You’re Better than Average Predicts Overconfidence (and When It Does Not)”
Organizational Behavior and Human Decision Processes 102 (2007), pp. 76–94.
21. R. Frick and A. K. Smith, “Overconfidence Game,” Kiplinger’s Personal Finance 64, no.
3 (2010), p. 23
22. J. Bailey, “Dreams Fly Into Reality,” The New York Times (April 10, 2008), pp. B1, B4.
23. C. Janiszewski and D. Uy, “Precision of the Anchor Influences the Amount of
Adjustment,” Psychological Science 19, no. 2 (2008), pp. 121–127.
24. See B. M. Staw, “The Escalation of Commitment to a Course of Action,” Academy of
Management Review (October 1981), pp. 577–587; K. Fai, E. Wong, M. Yik, and J. Y.
Y. Kwong, “Understanding the Emotional Aspects of Escalation of Commitment: The
Role of Negative Affect,” Journal of Applied Psychology 91, no. 2 (2006), pp. 282–297;
and A. Zardkoohi, “Do Real Options Lead to Escalation of Commitment? Comment,”
Academy of Management Review (January 2004), pp. 111–119.
25. B. M. Staw, “Knee-Deep in the Big Muddy: A Study of Escalating Commitment to a
Chosen Course of Action,” Organizational Behavior and Human Performance 16 (1976),
pp. 27–44; and S. Schulz-Hardt, B. Thurow Kröning, and D. Frey, “Preference-Based
Escalation: A New Interpretation for the Responsibility Effect in Escalating Commitment
and Entrapment,” Organizational Behavior and Human Decision Processes 108 (2009),
pp. 175–186.
26. K. F. E. Wong and J. Y. Y. Kwong, “The Role of Anticipated Regret in Escalation of
Commitment,” Journal of Applied Psychology 92, no. 2 (2007), pp. 545–554.
27. See, for instance, A. James and A. Wells, “Death Beliefs, Superstitious Beliefs and
Health Anxiety,” British Journal of Clinical Psychology (March 2002), pp. 43–53; and
U. Hahn and P. A. Warren, “Perceptions of Randomness: Why Three Heads Are Better
than One,” Psychological Review 116 (2009),pp. 454–461.
19
28. See, for example, D. J. Keys and B. Schwartz, “Leaky Rationality: How Research on
Behavioral Decision MakingChallenges Normative Standards of Rationality,”
Psychological Science 2, no. 2 (2007), pp. 162–180; and U. Simonsohn, “Direct Risk
Aversion: Evidence from Risky Prospects Valued Below Their Worst Outcome,”
Psychological Science 20, no. 6 (2009), pp. 686–692.
29. J. K. Maner, M. T. Gailliot, D. A. Butz, and B. M. Peruche, “Power, Risk, and the Status
Quo: Does Power PromoteRiskier or More Conservative Decision Making,” Personality
and Social Psychology Bulletin 33, no. 4 (2007), pp. 451–462.
30. A. Chakraborty, S. Sheikh, and N. Subramanian, “Termination Risk and Managerial Risk
Taking,” Journal ofCorporate Finance 13 (2007), pp. 170–188.
31. A. J. Porcelli and M. R. Delgado, “Acute Stress Modulates Risk Taking in Financial
Decision Making,” Psychological Science 20, no. 3 (2009), pp. 278–283.
32. R. L. Guilbault, F. B. Bryant, J. H. Brockway, and E. J. Posavac, “A Meta-Analysis of
Research on Hindsight Bias,” Basic and Applied Social Psychology (September 2004),
pp. 103–117; and L. Werth, F. Strack, and J. Foerster, “Certainty and Uncertainty: The
Two Faces of the Hindsight Bias,” Organizational Behavior and Human Decision
Processes (March 2002), pp. 323–341.
33. J. Bell, “The Final Cut?” Oregon Business 33, no. 5 (2010), p. 27
34. N. J. Adler, International Dimensions of Organizational Behavior, 4th ed. (Cincinnati,
OH: South-Western Publishing, 2002), pp. 182–189.
35. G. F. Cavanagh, D. J. Moberg, and M. Valasquez, “The Ethics of Organizational
Politics,” Academy of Management Journal (June 1981), pp. 363–374.
36. See, for example, T. Machan, ed., Commerce and Morality (Totowa, NJ: Rowman and
Littlefield, 1988).
37. A. K. Leung, W. W. Maddux, A. D. Galinsky, and C. Chiu, “Multicultural Experience
Enhances Creativity,” American Psychologist 63, no. 3 (2008), pp. 169–180
38. J. Zhou, “When the Presence of Creative Coworkers Is Related to Creativity: Role of
Supervisor Close Monitoring, Developmental Feedback, and Creative Personality,”
Journal of Applied Psychology 88, no. 3 (June 2003), pp. 413–422.
39. G. Park, D. Lubinski, and C. P. Benbow, “Contrasting Intellectual Patterns Predict
Creativity in the Arts and Sciences,” Psychological Science 18, no. 11 (2007), pp. 948–
952.

20
PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Seorang karyawan melakukan satu pekerjaan yang tidak memuaskan dari satu proyek yang
ditugaskan. Jelaskan proses atribusi yang akan digunakan manajer personalia untuk
membentuk penilaian terhadap kinerja karyawan tersebut.!
Jawaban:
Dalam proses atribusi tersebut, manajer personalia haruslah juga melakukan evaluasi
kinerja terhadap seorang karyawan tersebut. Karena tidak semua pekerjaan yang dilakukan
karyawan tersebut membuahkan hasil yang tidak memuaskan. Dilakukannya evaluasi
kinerja tersebut dapat menentukan hasil pekerjaan karyawan, yang apabila hasilnya masih
cukup memuaskan maka karyawan tersebut masih bisa untuk dipertahankan diperusahaan
namun jika hasilnya mengecewakan maka perusahaan harus melakukan tindakan tegas
kepada karyawan tersebut.

2. Bagaimana persepsi kita tentang tindakan kita sendiri bisa berbeda dari persepsi kita
tentang tindakan orang lain?
Jawaban:
Persepsi yang berlainan ini karena sudut pandang diri kita sendiri. Apabila kita
memandang tindakan kita, maka yang akan ada penilaian yang bersifat subjektif dan
menganggap apa yang kita lakukan adalah benar, dan jika kita melihat orang lain pasti
akan membandingkan tindakan orang lain dengan tindakan kita atau orang yang lain lagi.

3. Dalam suatu perusahaan, terdapat kekurangan karyawan. Pemimpin perusahaan


memerintahkan bagian staff kepegawaian untuk meluncurkan job vacancy dengan
kriteria kualifikasi penilaian memenuhi grade 80 untuk dapat ditempatkan dibagian
tersebut. Dari 5 orang pelamar didapatkan kualifikasi pelamar pekerjaan sebagai berikut;
A grade 70, B grade 66, C grade 55, D grade 75, dan E grade 76.
Bagaimana pemimpin perusahaan mengambil keputusan jika ditinjau dari macam-macam
tipe pengambilan keputusan?
Jawaban
Rasional decision:
Pemimpin dengan kualifikasi rasional decision akan tidak menerima satu pun karyawan
yang ada, sebab tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan. Pemimpin
akan mempertimbangkan dengan matang kualitas pekerja apabila diperkerjakan di
21
perusahaan. Pemimpin dengan tipe ini lebih memilih untuk membuka lowongan
pekerjaan dan memperluas cakupan untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan.
Behavior decision:
Pemimpin dengan tipe ini akan cenderung memusyawarahkan hasil kualifikasi pelamar
kepada bawahannya terlebih dahulu. Jika berada dalam perusahaan laba para pemimpin
akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan penasehat bisnis. Jika berada dalam
perusahaan non profit seperti lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan negara atau
rumah sakit, maka pemimpin akan mengkonsultasikan masalah ini pafa konsultan,
psikolog atau bimbingan konseling.
Intiuion decision:
Pemimpin dengan tipe intiution decision akan memilih “E” untuk dapat dipekerjakan
diperusahaan dengan alasan kriteria kualifikasi penilainnya mendekati spesifikasi job
desk yang dibutuhkan. Pemimpin dengan tipe ini akan banyak mengadakan pelatihan-
pelatihan didalam internal perusahaan untuk meningkatkan kualitas karyawannya sebagai
jalan keluar permasalahan.

22
STUDI KASUS

Suatu organisasi/ perusahaan diberikan kepercayaan untuk menjalankan suatu project


di luar kota. Diputuskan project berjalan selama satu bulan. Saat project sedang berjalan,
ditengah-tengah proses, terjadi permasalahan kekurangan personil untuk mengatasi project
tersebut dan dikhawatirkan project tidak akan selesai pada tenggat waktu yang telah
ditentukan dan waktunya semakin mepet.
Untuk memperlancar project tersebut selesai tepat waktu, maka pemimpin dapat
memutuskan untuk menambah personilnya untuk memperlancar project tersebut, walaupun
akan ada pengeluaran tambahan untuk pengiriman personil tersebut bagi organisasi.

23

Anda mungkin juga menyukai