Anda di halaman 1dari 12

PSIKOLOGI INDUSTRI & ORGANISASI

PROBLEM PERILAKU KELOMPOK DALAM PIO (KELOMPOK


II)

Disusun Oleh:

FAHRIST SETIANTO (16.11.1001.3510.091)

TADEUS ALBERTO KASIMO (16.11.1001.3510.075)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA

FAKULTAS PSIKOLOGI

KALIMANTAN TIMUR, SAMARINDA 2019


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkelompok merupakan suatu kebutuhan, dalam arti tanpa berkelompok


seorang tidak nyaman untuk hidup, bahkan mungkin tidak bisa hidup.Diantara
alasan orang berkelompok adalh untuk mencapai tujuan, kerana berkelompok
memunculkan kekuatan, maka tentu saja akan memudahkan pencapaian tujuan
(Wahjono, 2010).

Hubungan antar individu dalam kelompok harus terjaga. Kelangengan


kelompok terletak pada kesungguhan masing-masing individu yang tergabung
dalam kelompok untuk saling memperbarui semangat kolektivitas dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara bersama dengan menampung
sebagian besar aspirasi individual. Semakin banyak aspirasi anggota kelompok
yang terakomodasi, semakin puaslah anggota kelompok (Wahjono, 2010).

Tentunya, dalam kelompok itu sering kali terdapat perselisih paham antar
individu satu dengan yang lain atau antar kelompok-kelompok kecil di dalam
organisasi yang berbeda pandangan dengan sebagian kelompok yang dapat
memicu konflik. Konflik disini apabila tidak segera ditangani oleh pihak
manajerial, tentunya akan banyak menimbulkan masalah-masalah di dalam
organisasi dan akan sangat rentan akan terjadi perpecahan sehingga dapat
merugikan sebuah perusahaan atau organisasi itu sendiri kedepannya.

Beberapa aspek permasalahan yang muncul sering kali disebabkan


berdasarkan tiga faktor, yakni: Komunikasi, konflik, dan pengambilan keputusan
di dalam organisasi. Oleh karena itu, tujuan dibentuknya makalah ini adalah
untuk memberikan wawasan serta pemahaman kenapa masalah perilaku
kelompok dalam organisasi bisa muncul serta tindakan apa yang harus diambil
untuk mencegah hal-hal demikian terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Robbins dan Sembiring (2012:13) Organisasi adalah kesatuan


(entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang
relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus
untuk mencapai tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Organisasi dipandang
sebagai suatu satuan sistem sosial untuk mencapai tujuan bersama melalui
usaha/kelompok.

Chester Irving Barnard (1886-1961) dianggap sebagai tokoh pertama yang


berhasil memberikan pemahaman tentang konsep organisasi sebagai sebuah
sistem kerja sama. Dalam buku seminal berjudul The Fuctions of the Executive,
Barnard (1938: 91), menyimpulkan bahwa hakikat organisasi hanya mungkin
dipahami dalam ketertarikan yang tidak terpisahkan dengan komunikasi.
Kenyataan ini dijelaskan Barnard sebagai berikut: Dalam sebuah teori organisasi
yang tuntas, komunikasi tentu menduduki tempat sentral, karena struktur,
keluasaaan jangkauan, dan ruang lingkup organisasi hampir sepenuhnya
ditentukan oleh teknik-teknik komunikasi... Lagi pula banyak spesialisasi dalam
organisasi berasal dan pada dasarnya terpelihara disebabkan oleh tuntunan-
tuntunan komunikasi (Andre Hardjana,2016:3).

Redding dan Sanborn (Arni Muhammad, 2007: 65) mendefinisikan


komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam
organisasi yang kompleks. Yang termasuk dengan bidang ini adalah komuikasi
internal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi
downward, komunikasi upward, atau komunikasi dari bawahan kepada atasan,
komunikasi horizontal atau komunikasi dari orang-orang yang sama
level/tingkatnya dalam organisasi, keterampilan komunikasi dan berbicara,
mendengarkan, menulis, dan komunikasi evaluasi program.

Richard (1969:2) mengemukakan, terdapat dua macam bentuk konflik


dalam organisasi yang tidak dapat dihindari (1)Substantive conflict, yaitu konflik
secara substantif yang meliputi ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti
tujuan-tujuan, alokasi sumber-sumber daya, distribusi imbalan,kebijaksanaan dan
prosedur-prosedur serta penugasan pegawai;(2)Emotional conflict, yaitu timbul
karena perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan
sikap menentang, maupunbentrokan-bentrokan kepribadian. Kedua bentuk
konflik tersebut dapatmemiliki sisi konstruktif dan destruktif.

Desmita (2008:198) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan


merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir dan hasil dari suatu perbuatan.
PEMBAHASAN

Problem perilaku dalam kelompok:

1. Komunikasi

Istilah komunikasi mengandung makna bersama-sama (common,


commones; inggris), berasal dari bahasa latin communication yang berarti
pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran, dimana si
pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya. Kata
sifatnya adalah communis yang artinya bersifat umum atau bersama-sama, kata
kerjanya adalah communicare yang artinya berdialog, berunding atau
bermusyawarah (Arifin, 1998:19). Komunikasi merupakan proses yang dilakukan
manusia untuk berinteraksi sosialnya. Mesiono (2012: 105) menyatakan banyak
para ahli yang mengemukakan pengertian komunikasi diantaranya adalah Fordale
( 1981 ) “ communication is the prosess by which a system is established,
mainted,and altered by means of shared signal that operate according to rules “.
Komunikasi adlah suatu proses memberikan sinyal menurut aturan tertentu,
sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara dan diubah.

Pengertian komunikasi telah dipakai demikian luasnya dalam kehidupan


kita, juga telah menjadi objek studi para ahli dalam kurun waktu yang cukup
lama. Komunikasi adalah suatu proses yang dinamis, yakni suatu transaksi yang
akan mempengaruhi pengirim dan penerima serta merupakan suatu proses
personal dan simbolik yang membutuhkan kode abstraksi bersama. Berdasarkan
asumsi di atas maka para pakar komunikasi membagi definisi ke dalam dua
aliran yaitu, 1) definisi yang berorientasi pada sumber dan 2) definisi yang
berorientasi pada penerima.

1.1 Komunikasi ke Bawah (Downward Communication)

Sen (2007) mengatakan bahwa komunikasi ke bawah terjadi ketika


atasan menyampaikan pesan kepada bawahannya. Pembuat keputusan seperti
CEO dan manajer menyampaikan pesan ke bawah mengenai perencanaan
pekerjaan, rasionalisasi pekerjaan, instruksi yang relevan, kebijakan dan
prosedur sehingga budaya organisasi dan lingkungan kerja dapat dimengerti
dengan jelas oleh karyawan (Sen, 2007, p.18).

Komunikasi ke bawah dalam sebuah organisasi memiliki pengertian


informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang
berotoritas lebih rendah (Pace & Faules, 2005, p.184).

1.2 Hambatan Komunikasi ke Bawah

Fielding (2006) menyebutkan ada lima hambatan utama dalam


komunikasi ke bawah antara lain:

a. Pimpinan tidak mengerti tipe pesan seperti apa yang sesuai untuk
bawahan.

b. Pimpinan tidak mengerti seberapa banyak informasi yang sampai


kepada bawahan.

c. Masalah dengan karyawan yang tidak memiliki kesadaran untuk


mengakses informasi.

d. Informasi yang disampaikan kepada bawahan tidak selalu relevan.

e. Terlalu banyak informasi yang disampaikan kepada bawahan.


(Fielding, 2006, p.52)

Sedangkan Sen (2007) memiliki pendapat hambatan komunikasi ke


bawah terbesar adalah garis panjang komunikasi dari atasan kepada bawahan.
Semakin panjang garis komunikasi ke bawah, semakin besar peluang
terjadinya distorsi pesan. Selama komunikasi ini merupakan komunikasi satu
arah, tidak ada peluang untuk memberikan umpan balik. Persepsi atasan ke
bawahan dan sebaliknya, ketidakpercayaan dari atasan dapat menghalangi
penyampaian pesan ke bawahan. Selain itu, kurangnya kontak dengan atasan
dapat menjadi sumber biasnya informasi (Sen, 2007, p.18-19).

Stevens and Hisle (1996) mengungkapkan bahwa manajer mengalami


masalah komunikasi ke bawah dengan lapisan manajemen menengah yang
disebabkan kurangnya umpan balik dan hambatan lintas budaya. Komunikasi
ke bawah biasanya bermasalah dan ditandai dengan distorsi pesan, informasi
yang kurang dan salah tafsir. Dalam mengidentifikasi masalah komunikasi ke
bawah, ada enam hambatan komunikasi ke bawah:

a. Lapisan manajemen mempersulit komunikasi.

b. Karyawan tidak merespon umpan balik - mereka bungkam.

c. Pesan mengalami perubahan

d. Pesan tidak diterima utuh oleh staf tingkat terendah.

e. Pesan tidak dapat disebarluaskan – pesan turun satu atau dua


tingkat, kemudian berhenti.

f. Pesan yang dikirim ke bawah tidak dapat diambil dalam nada yang
sama atau konteks sebagaimana dimaksud.

2. Konflik

Suatu konflik dapat terjadi karena masing-masing pihak atau salah satu
pihak merasa dirugikan. Kerugian ini bukan hanya bersifat material, tetapi dapat
juga bersifat non material. Untuk dapat mencegah konflik, maka pertama-tama
kita harus mempelajari sebab-sebab tersebut antara lain:

1. Perbedaan pendapat

Suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, dimana masing-


masing pihak merasa dirinyalah yang paling benar. Bila perbedaan pendapat ini
cukup tajam, maka dapat menimbulkan rasa yang kurang enak, ketegangan dan
sebagainya.

2. Salah paham

Salah paham juga merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan
konflik. Misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi oleh pihak
lain tindakan tersebut dianggap merugikan.

3. Salah satu atau kedua belah pihak merasa dirugikan


Tindakan salah satu mungkin dianggap merugikan yang lain, atau masing-
masing merasa dirugikan oleh pihak yang lain. Sudah barang tentu seorang yang
dirugikan merasa kurang enak kurang simpati atau malahan benci. Perasaan-
perasaan ini dapat menjurus ke arah konflik.

4. Perasaan yang terlalu sensitif

Perasaan yang terlalu sensitif mungkin adalah wajar tetapi oleh pihak lain
hal ini dianggap merugikan. Jadi kalau dilihat dari sudut hukum atau etika yang
berlaku, sebenarnya tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah, meskipun
demikian karena pihak lain terlalu sensitif perasaannya, hal ini tetap dianggap
merugikan, sehingga dapat menimbulkan konflik.

Keempat konflik tersebut di atas terjadi oleh sebab interen, tetapi


sebenarnya konflik dapat terjadi karena faktor-faktor eksteren. Sebab eksteren
adalah bilamanaterjadinya konflik itu karena dipanasi oleh pihak lain secara
sengaja maupun tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan mengadu domba
antara pihak-pihak yang konflik tersebut.

2. 1 Jenis-Jenis Konflik

Orang mengelompokkan konflik ke dalam:

1. Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (personrole


conflict), dimana peraturan yang berlaku tidak dapat diterima oleh seseorang
sehingga orang itu memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan
peraturan yang berlaku;

2. Konflik antar peranan (inter role conflict), dimana orang


menghadapi persoalan karena dia menjabat dua tau lebih fungsi yang saling
bertentangan; misalnya saja anggota serikat pekerja yang juga pengawasan atau
mandor perusahaan;

3. Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan


beberapa orang (intersender conflict), misalnya saja dekan suatu fakultas harus
memenuhi permintaan yang berlainan para ketua jurusan;

4. Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling


bertentangan (intrasender conflict).
Kelompok konflik yang pertama pada hakekatnya meminta kesadaran
orang untuk mentaati peraturan yang ada atau memerlukan kesetiaan orang pada
organisasi. Kelompok konflik yang kedua dapat dihindari dengan
mendefinjisikan kembali tugas yang terlebih dahulu telah dispesialisasikan dan
dialokasikan pada seorang tertentu sehingga akibat negatif dwi-fungsi
diminimumkan. Sedangkan kelompok konflik ketiga dapat dihindari dengan
memperlakukan sama bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan. Akhirnya
kelompok konflik keempat dapat dihindari dengan sistem informasi yang lebih
baik serta adanya buku pedoman atau petunjuk perusahaan.

Dalam kehidupan organisasi, konflik juga dapat dibedakan menurut pihak-


pihak yang saling bertentangan. Atas dasar hal ini, kita mengenal lima konflik (T.
Hani Handorko, 1984):

1. Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang individu


menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk
melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau
bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari pada kemampuannya.

2. Konflik antar individu dalam organisasi yang sama, dimana hal ini
sering diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga
berasal dari adanya konflik antar peranan (seperti antara manajer dan bawahan).

3. Konflik antara individu dan kelompok, yang berhubungan dengan


cara individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh
kelompok kerja mereka. Sebagai contoh, seorang indiidu mungkin dihukum atau
diasingkan oleh kelompok kerjanya karena melanggar norma-norma kelompok.

4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, karena terjadi


pertentangan kepentingan antar kelompok.

5. Konflik antar organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk


persaingan ekonomi dalam sistem perekonomian suatu negara. Konflik ini telah
mengarahkan timbulnya pengembangan produk baru, teknologi, dan jasa, harga-
harga lebih rendah, dan penggunaan sumber daya lebih efisien.
3. Pengambilan Keputusan

a. Pengertian pengambilan keputusan

Setiap pemimpin pasti bertanggung jawab terhadap masa depan


organisasinya. Untuk itu tujuan yang telah ditetapkan harus dapat tercapai
dengan berbagai aktivitas dan kebijakan. Salah satu yang harus dilakukan
pemimpin dalam rangka pencapaian tujuan organisasi adalah pengambilan
keputusan. Untuk memberikan pemahaman tentang pengambilan keputusan,
terlebih dahulu dikemukakan pengertian pengambilan keputusan.

Menurut Robins dalam Mesiono (2014: 153) decision making is a process


in which one chooses betwen two or more alternatives. Pendapat ini
menegaskanbahwa pengambilan keputusan sebagai proses memilih satu pilihan
di antara dua atau lebih alternatif. Pengambilan keputusan adalah menetapkan
pilihan atau alternatif secara nalar dan menghindari diri dari pilihan yang tidak
rasional, tanpa alasan atau data yang kurang akurat.

Sedangkan menurut Rivai & Mulyadi, Pengambilan keputusan adalah


seperangkat langkah yang diambil individu atau kelompok dalam memecahkan
masalah. Pengambilan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap suatu masalah.
Dengan begitu jelaslah bawa pengambilan keputusan merupakan hal yang
penting untuk dilakukan dalam hubungannya dengan organisasi.

b. Proses Pembuatan Keputusan yang Rasional

Menurut Rivai & Mulyadi (2012: 256) Teori pengambilan keputusan


klasik berasumsi bahwa keputusan harus dengan sepenuhnya rasional. Proses
pengambilan keputusan sebagai berikut: (1) Suatu masalah dikenali, (2) Tujuan &
sasaran hasil dibentuk/mapan, (3) Semua alternatif yang mungkin dihasilkan (4)
Konsekuensi dari tiap alternatif dipertimbangkan, (5) semua alternatif dievaluasi,
(6) Alternatif yang terbaik adalah satu yang memaksimalkan sasaran hasil dan
tujuan, (7) Akhirnya, keputusan diterapkan dan dievaluasi.

Sedangkan Ivancevich, dkk (2006: 161) mengemukakan ada 9 proses


pengambilan keputusan rasional yaitu: (1) Penetapan Terget dan Tujuan Spesifik
serta Pengukuran Hasil. (2) Identifikasi dan Definisi Masalah, (3) Penetapan
prioritas, (4) Mempertimbangkan Penyebab Masalah (5) Pengembangan Solusi
Alternatif, (6) Evaluasi Terhadap Seluruh Alternatif Solusi, (7) Memilih Solusi,
(8) Implementasi, (9) Tindak Lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Candra Wijaya, M.PD (2017). “Perilaku Organisasi”. Medan. Lembaga


Peduli Pengembangan Pendidikan Indonesia (LPPPI)

Selvie. M (2016). Dinamika Konflik Dalam Organisasi. Jurnal LPPM, 3(1), 49-
51.

Johanna. P (2013). Hambatan Downward Communication Antara Pimpinan dan


Karyawan PT. Makmur Jaya. Jurnal E-Komunikasi, 1(2), 28-29.

Basuki. H (2015). Proses Pengambilan Keputusan di Organisasi Kemasyarakatan.


Jurnal Translitera, 3: 54-55.

Anda mungkin juga menyukai