Anda di halaman 1dari 20

BAB II

ISI

A. Transfer Pelatihan
1. Pengertian Pelatihan
Pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan kinerja yang dimiliki oleh
tenaga kerja yang bersangkutan dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya.
Moekijat (2008:4) berpendapat bahwa pelatihan adalah suatu bagian pendidikan yang
menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relative singkat dengan metode yang lebih
mengutamakan praktik daripada teori.
Terdapat 3 syarat yang harus terpenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut latihan, yaitu:
a. Latihan harus membantu pegawai menambah kemampuannya.
b. Latihan harus menimbulkan perubahan dalam kebiasaan, informasi, dan pengetahuan yang ia
terapkan dalam pekerjaan sehari-harinya.
c. Latihan harus berhubungan dengan pekerjaan yang akan diberikan pada masa yang akan
datang.

Sudjana dalam Duludu (2012:24) mengemukakan bahwa pelatihan mengandung beberapa


pengertian;
a. Pelatihan adalah suatu proses penyampaian dan pemilikan keterampilan, pengetahuan dan
nilai-nilai.
b. Pelatihan adalah produk dan proses tersebut, yaitu pengetahuan dan pengalaman yang
diperoleh dalam pelatihan.
c. Pelatihan adalah kegiatan professional yang memerlukan pengalaman khusus dan pengakuan
(sertifikasi).
d. Pelatihan adalah suatu disiplin akademik, yaitu kegiatan terorganisasi untuk mempelajari
proses produk, dan profesi pelatihan dengan menggunakan kajian sejarah, filsafat dan ilmu
pengetahuan tentang manusia atau kajian keilmuan tentang manusia yang bermasyarakat (the
seciences of social man).
Menurut Robinson dalam Marzuki (2010:174) pelatihan adalah pengajaran atau pemberian
pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, skill, sikap)
agar mencapai sesuatu yang diinginkan. Sejalan dengan pendapat tersebut Dearden dalam Kamil
(2010:7) menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya meliputi proses mengajar dan latihan
bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu atau efisien kerja.
Dari berbagai pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelatihan adalah suatu
proses pendidikan jangka pendek untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian dan keterampilan
teknis yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, sehingga karyawan
dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap perusahaan dan demikian juga bagi
perusahaan. Pelatihan bukanlah merupakan suatu tujuan, tetapi merupakan suatu usaha untuk
meningkatkan tanggungjawab mencapai tujuan perusahaan. Pelatihan merupakan proses
keterampilan kerja timbal balik yang bersifat membantu, oleh karena itu dalam pelatihan
seharusnya diciptakan suatu lingkungan dimana para karyawan dapat memperoleh atau
mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang
berkaitan dengan pekerjaan sehingga dapat mendorong mereka untuk dapat bekerja lebih baik.

2. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan lebih banyak dari segi sejauh mana perubahan perilaku yang diharapkan
terjadi pada peserta atau lulusan pelatihan sebagai hasil dari proses pelatihan. Seperti yang
dikemukakan oleh Dale S. Beach dalam Duludu (2012:28) “The objective of training is not
achieve a change in the behavior of those trained.” Artinya, tujuan pelatian adalah untuk
memperoleh perubahan dalam tingkah laku mereka yang dilatih.
Menurut Tziner, et al., dalam Kustini (2005) yang menjadi dasar tujuan pelatihan adalah
membantu orang mengembangkan keahlian dan kemampuannya, ketika menerapkan ke
pekerjaan, akan dapat meningkatkan kinerja mereka. Definisi lain yang di kemukakan oleh
Campbell dalam Kustini (2005) mengatakan bahwa pelatihan adalah sebuah perencanaan
pengalaman belajar yang di desain untuk membawa perubahan pada pengetahuan, kemampuan
atau keahlian individu.
1. Memperbaiki kinerja
Kendatipun pelatihan tidak dapat memecahkan semua masalah kinerja yang tidak efektif,
program pelatihan dan pengembangan yang sehat kerap berfaedah dalam meminimalkan
masalah-masalah ini.
2. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan
Teknologi melalui pelatihan, pelatih (trainer) memastikan bahwa karyawan dapat secara
efektif menggunakan teknologi-teknologi baru. Perubahan teknologi pada gilirannya berarti
bahwa pekerjaan-pekerjaan sering berubah dan keahlian serta kemampuan karyawan
mestilah dimutakhirkan melalui pelatihan sehingga kemajuan teknologi tersebut secara
sukses dapat diintegrasikan ke dalam organisasi.
3. Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten dalam pekerjaan
Sering seorang karyawan baru tidak memiliki keahlian-keahlian dan kemampuan yang
dibutuhkan untuk menjadi “job competent” yaitu mampu mencapai output dan standar
kualitas yang diharapkan.
4. Membantu memecahkan permasalahan operasional
Meskipun persoalan-persoalan organisasional menyerang diberbagai penjuru, pelatihan
adalah salah satu cara terpenting guna memecahkan banyak dilema yang harus dihadapi oleh
manajer.
5. Mempersiapkan karyawan untuk promosi
Salah satu cara untuk menarik, menahan dan memotivasi karyawan adalah melalui
program pengembangan karir yang sistematik. Organisasi yang gagal menyediakan pelatihan
akan kehilangan karyawan yang berorientasi pada pencapaian (archievement oriented) yang
merasa frustasi karena tidak adanya kesempatan untuk promosi dan akhirnya memilih keluar
dari perusahaan dan mencari perusahaan lain yang menyediakan pelatihan bagi kemajuan
karir mereka.
6. Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi
Selama beberapa hari pertama pada pekerjaan, karyawan baru membentuk kesan pertama
mereka terhadap organisasi dan tim manajemen. Kesan ini dapat meliputi dari kesan yang
menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan, dan dapat mempengaruhi kepuasan kinerja
dan mempengaruhi produktivitas keseluruhan karyawan karena alasan inilah, beberapa
pelaksana orientasi melakukan upaya bersama supaya supaya secara benar mengorientasikan
karyawan-karyawan baru terhadap organisasi dan pekerjaan.
7. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi
Pelatihan dan pengembangan dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan
aktivitas-aktivitas yang membuahkan efektivitas organisasional yang lebih besar dan
meningkatkan pertumbuhan pribadi bagi sesama karyawan.

Dari pendapat di atas mengenai tujuan pelatihan maka dapat disimpulkan bahwa adanya
pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan sesuai dengan kompetensinya, dapat
menggunakan keahlian sesuai dengan perubahan teknologi, karyawan akan lebih berorientasi
pada pengembangan perusahaan, meningkatkan kinerja karyawan dan untuk pengembangan
karir, sehingga dengan adanya pelatihan diharapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan
pribadi dalam setiap karyawan.

3. Metode pelatihan
Metode pelatihan yang dipilih hendaknya sesuai dengan jenis pelatihan yang akan
dilaksanakan dan dikembangkan oleh perusahaan. Dalam pelatihan beberapa teknik akan
menjadikan prinsip belajar tertentu menjadi lebih efektif. Dalam melaksanakan pelatihan ini ada
beberapa metode yang dapat digunakan menurut Rivai (2004:240) yaitu On the job dan Off the
job training.

A. On the job training


On the job training atau disebut juga pelatihan di tempat kerja adalah metode yang bertujuan
untuk memberikan kecakapan pada karyawan baru setelah pelatihan berakhir, dalam pelatihan
ini, pengawasan dan instruksi langsung diberikan kepada peserta pelatihan di tempat kerjanya
dan dengan demikian karyawan akan lebih mudah dalam menguasai pekerjaannya.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi:
1. Job instruction training
Proses belajar yang mencerminkan langkah urutan pekerjaan dimana petunjuk pekerjaan
diberikan secara langsung, dimana bantuan-bantuan instruktur biasanya digunakan untuk
melatih karyawan tentang cara-cara pelaksanaan pekerjaan saat ini.
2. Job rotation
Teknik pengembangan yang dilakukan dengan cara memindahkan peserta dari suatu jabatan
atau pekerjaan ke jabatan atau ke pekerjaan lainnya secara periodik untuk menambah
keahlian dan kecakapan karyawan pada setiap jabatan atau pekerjaan tertentu. Dengan
demikian maka karyawan dapat mengetahui dan melaksanakan pekerjaannya pada tiap
bagian yang berbeda.
3. Apprenticehip
Proses belajar dari seseorang yang lebih berpengalaman dan biasanya dikenal dengan istilah
magang.
4. Coaching
Teknik pelatihan dimana atasan memberikan pengarahan kepada karyawan dalam
melaksanakan pekerjaan rutin mereka.

B. Off the job training


Off the job training atau pelatihan diluar tempat kerja adalah pelatihan yang menggunakan
situasi diluar pekerjaan, teknik ini banyak digunakan bila pekerjaan yang harus dilatih dengan
cepat, seperti halnya bila perusahaan melakukan perluasan usaha dan bila pelatihan langsung
pada pekerjaan tidak dapat dilakukan karena biaya yang sangat mahal.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi:
1. Lecture
Merupakan metode pelatihan yang memberikan kuliah dan kelemahan yang dimilikinya yaitu
pelatihan dan partisipasi dan pasif.
2. Video presentation
Metode ini biasanya dilakukan dengan presentasi melalui media televisi, film, slide, dan
sejenisnya, dimana bentuknya sama dengan metode lecture.
3. Vestibule training
Merupakan metode pelatihan yang dilakukan pada suatu ruang latihan yang khusus dan
terpisah dari tempat kerja biasa dimana disediakan jenis peralatan yang sama seperti yang
akan digunakan pada pekerjaan sebenarnya.
4. Case study
Dalam pelatihan peserta dihadapkan pada beberapa kasus tertulis dan memecahkan masalah-
masalah tersebut.
5. Laboratory training
Merupakan jenis kelompok yang terutama digunakan untuk mengembangkan keterampilan
antar pribadi. Salah satu bentuk latihan laboratorium yang terkenal adalah sensitivitas,
dimana peserta belajar menjadi lebih sensitif terhadap perasaan orang lain dan lingkungan.
Pelatihan ini juga berguna untuk mengembangkan berbagai perilaku serta tanggungjawab
pekerjaan diwaktu yang akan datang.

4. Evaluasi Program-Program Pelatihan


Pelatihan mestilah di evaluasi dengan sistematis mendokumentasikan hasil-hasil pelatihan
dari segi bagaimana sesungguhnya peserta pelatihan berperilaku kembali kepada pekerjaan
mereka dan relevansinya perilaku peserta pada tujuan-tujuan perusahaan. Dalam menilai manfaat
atau kegunaan program pelatihan, perusahaan berusaha menjawab 4 pertanyaan (Simamora,
2007):
1) Apakah terjadi perubahan?
2) Apakah perubahan disebabkan oleh pelatihan?
3) Apakah perubahan secara positif berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan
organisasional?
4) Apakah perubahan yang serupa terjadi pada partisipan yang baru dalam program pelatihan
yang sama?

Evaluasi membutuhkan adanya penilaian terhadap dampak program pelatihan pada perilaku
sikap dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun pengukuran efektifitas penilaian
meliputi penilaian (Simamora, 2007):
1) Reaksi-reaksi yaitu bagaimana perasaan partisipan terhadap program.
2) Belajar yaitu pengetahuan, keahlian dan sikap-sikap yang diperoleh sebagai hasil dari
pelatihan.
3) Perilaku yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada pekerjaan sebagai akibat dari
pelatihan.
4) Hasil-hasil yaitu dampak pelatihan dari keseluruhan efektifitas organisasi atau pencapaian
dari tujuan-tujuan organisasi.

Pengukuran reaksi dan belajar yang berhubungan dengan hasil-hasil program pelatihan saja
disebut dengan kriteria internal. Pengukuran perilaku dan hasil-hasil mengidentifikasi dampak
pelatihan pada lingkungan pekerjaan disebut sebagai kriteria eksternal yaitu dukungan dari pihak
manajemen untuk memberikan kesempatan peserta pelatihan mempraktekkan apa yang telah
mereka peroleh dari pelatihan.
Adanya pengukuran efektifitas pelatihan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa
evaluasi pelatihan baik mengenai program maupun instruktur atau pelatih dapat menjadi umpan
balik untuk pelatihan selanjutnya demikian pula dengan pembelajaran mereka apakah mereka
mempelajari prinsip-prinsip, keterampilan dan fakta-fakta seharusnya mereka pelajari.
Selanjutnya dapat mengetahui apakah perilaku peserta berubah karena program pelatihan atau
bukan. Terakhir dengan melihat hasil dari pelatihan apakah sesuai dengan tujuan pelatihan yang
di tetapkan.

5. Pengertian Transfer Pelatihan


Tujuan akhir dari setiap program pelatihan adalah bahwa belajar yang terjadi selama
pelatihan ditransfer kembali ke dalam pekerjaan. Transfer pelatihan (transfer of training) di
definisikan sejauh mana pengetahuan, keahlian dan perilaku belajar dalam pelatihan diterapkan
dalam pekerjaan (Noe, et al., 2003).
Definisi lain diberikan pada istilah transfer pelatihan, diantaranya pendapat dari Baeldwin &
Ford (2018): “positive transfer of training is the degree to which trainess effectively apply the
knowledge, skills, and attitude gained in a training context to the job”. Broad & Newstrom
dalam Suhartono dan Raharso (2003) “transfer of training is the effective and continuing
application, by trainess to their job, of the knowledge and skill gained in training-both on and of
he job”.
Definisi transfer pelatihan tersebut di atas menunjukkan adanya persamaan bahwa transfer
pelatihan merupakan aktivitas secara efektif dan berkelanjutan untuk menerapkan pengetahuan,
keahlian dan perilaku yang diperoleh dari suatu pelatihan. Pada definisi pertama bahwa
perolehan hasil dari pelatihan hanya pada konteks pekerjaan. Sedangkan definisi kedua tidak
hanya pada konteks pekerjaan tapi juga diluar pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa transfer pelatihan mengidentifikasikan sejauh mana peserta pelatihan dapat menerapkan
apa yang diperoleh dari pelatihan sehingga dapat mengubah perilaku peserta dalam pelaksanaan
pekerjaan mereka.
Ada tiga cara transfer pelatihan ke tempat kerja (Craig, 2006):
1) Positif, yaitu hasil pelatihan meningkatkan kinerja pekerjaan;
2) Negatif, yaitu hasil pelatihan justru menurunkan kinerja sebelumnya;
3) dan Netral, yaitu hsil pelatihan tidak mempengaruhi kinerja pekerjaan.
Dari ketiga cara transfer tersebut transfer positiflah yang diharapkan pada hasil program-
program pelatihan sehingga pengetahuan dan keahlian yang mereka peroleh secara maksimal
dapat mereka terapkan ke pekerjaan yang akhirnya akan dapat meningkatkan kinerja pekerjaan.

6. Kerangka Sistem Transfer Pelatihan


Untuk penelaah transfer pelatihan berdasarkan studi komprehensif terhadap transfer
pelatihan, dari Baldwin dan Ford (2008) mereka membangun suatu model antara input, output,
dan kondisi suatu pelatihan seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Input Pelatihan Output Pelatihan Kondisi Transfer

Karakteristik
Peserta

Pembelajaran Generalisasi dan


Desain Pelatihan
dan Resistensi Pemeliharaan

Lingkungan
Kerja

Gambar 1.1. Model Proses Transfer Of Training

Sumber : Baldwin & Ford (2008)


Model proses transfer of training memperlihatkan adanya hubungan yang langsung dan
tidak langsung antara input, output, dan kondisi transfer. Transfer pelatihan yang efektif
ditentukan oleh faktor-faktor yang disebut dengan input pelatihan. Input pelatihan
merupakan suatu kondisi individu sebelum pelatihan, artinya input pelatihan merupakan
faktor yang menentukan terjadinya transfer pelatihan. Scaduto et al,. (2008), Velada et al.,
(2007), Burke and Hutchincs (2008) serta Chiaburu and Marinova (2005) menyebutkan
bahwa input pelatihan terdiri dari tiga faktor utama yatu karakteristik peserta, desain
pelatihan dan lingkungan kerja.
Dari masing-masing faktor tersebut dapat diterangkan bahwa karakteristik peserta
seperti self-efficacy, motivasi mengikuti pelatihan yang ada pada peserta akan dapat
mendukung proses transfer pelatihan sehingga peserta akan mudah dan mempunyai
motivasi untuk pembelajaran atau penguasaan pada isi program pelatihan yang diberikan.
Desain pelatihan juga merupakan hal yang penting agar materi-materi yang diberikan
pada saat pelatihan lebih mudah diterima yaitu berkaitan dengan isi atau materi pelatihan,
ruang kelas, instruktur dan praktek langsung. Dimensi desain pelatihan antara lain adalah
retensi pelatihan dan desain pelatihan yang efektif. Desain pelatihan yang baik akan
menjadi umpan balik bagi peserta maupun penyelenggara sehingga proses belajar dan
transfer akan lebih mudah.
Demikian juga dengan libgkungan kerja, yaitu dukungan dalam organisasi akan
dirasakan oleh karyawan ketika mereka percaya bahwa pihak lain (seperti atasan,
kelompok kerja) memberikan peluang untuk mempraktekan pengetahuan dan keterampilan
baru ke tempat kerja. Adanya peluang untuk mempraktekan hasil pelatihan, maka akan
terjadi proses atau budaya pembelajaran sehingga apa yang mereka telah pelajari akan
dapat mereka terapkan ke dalam pekerjaannya. Dimensi lingkungan kerja antara lain
adalah dukungan organisasional dan dukungan supervisor.

A. Karakteristik Peserta
Self-efficacy merupakan bagian dari social cognitive theory atau social learning theory
yang dikembangkan oleh Bandura dalam Ginting (2012). Teori ini memandang
pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang
diterima. Dimana sosial memengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan
manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif
mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif terhadap
motivasi, sikap dan perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagian besar
pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan secara terus
menerus mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Hal tersebut
mempengaruhi motivasi, sikap dan perilaku individu.
Adanya self efficacy pada peserta pelatihan akan dapat menambah kepercayaan dirinya
bahwa dia dapat menjalankan tugas pelatihan secara benar. Seperti yang dikemukakan oleh
Noe, et al yang dikutip oleh Ginting (2012) bahwa self efficacy adalah tingkat kepercayaan
karyawan, bahwa mereka dapat berhasil mempelajari isi program pelatihan. Meskipun
kerangka kerja ini menghasilkan kinerja, tingkat aktifitas bervariasi dari cakap ke kreatif,
tingkat self efficacy dapat dicapai melalui interaksi manusia dan kognisi mental,
merupakan faktor yang dapat dipercaya menghasilkan transfer positif dan transfer
keterampilan terhadap lingkungan kerja (Decker, 2008).
Individu melakukan proses pembelajaran sebelum melakukan perilaku tertentu,
mempelajari perilaku terdahulu, mempelajari perilaku orang lain dan memahami
konsekuensi perilaku tersebut. Individu yang memiliki self efficacy tinggi akan lebih
mampu menunjukkan kinerja yang baik dibandingkan dengan individu dengan self efficacy
rendah. Penilaian efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang dikeluarkn dan
seberapa lama individu bertahan dalam menghadapi rintangan dan pengalaman yang
menyakitkan. Semakin kuat persepsi self efficacy semakin giat dan tekun usaha-usahanya.
Ketika menghadapi kesulitan, individu yang mempunyai keraguan diri yang besar tentang
kemampuannya akan mengurangi usaha-usaha atau menyerah sama sekali.
Sedangkan mereka yang mempunyai perasaan efficacy yang kuat menggunakan usaha
yang lebih besar untuk mengatasi tantangan. Bandura dalam Indah (2010) menggambarkan
empat sumber informasi yang mengarah ke self efficacy yaitu:
1) Penguasaan aktif
Penguasaan aktif dengan melihat pada diri peserta seberapa besar dia dapat menguasai
pelatihan, penguasaan aktif akan dapat meningkatkan self efficacy sedangkan orang
yang tidak menguasai pelatihan akan ada kecenderungan menurunkan self efficacy.
2) Pengalaman
Pengalaman, baik pengalaman diri maupun pengalaman orang lain menyediakan
informasi langsung mengenai kemampuan memprediksi dan mengatasi ancaman-
ancaman untuk mengembangkan dan membuktikan self efficacy yang kuat. Secara
umum, keberhasilan akan meningkatkan self efficacy, sedangkan kegagalan akan
menurunka self efficacy.
3) Persuasi
Persuasi dapat berupa persuasi sosial (orang lain yang meyakinkan bahwa kita dapat
melakukan sesuatu) atau persuasi diri (meyakinkan diri sendiri).
4) Pembangkit fisiologis
Pembangkit fisiologis yaitu individu mengamati tingkat self efficacy dengan
memperhatikan reaksi emosional dalam menghadapi situasi. Ketika individu merasa
terlalu cemas atau takut, mereka akan mengantisipasi kegagalan. Individu yang tidak
terlalu tegang cenderung mempersiapkan dirinya dapat berhasil.

Robbins (2007) mengungkapkan sumber atau indikator dari self efficacy yang tidak
jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu: perasaan mempu melakukan
pekerjaan, kemampuan yang lebih baik, senang pekerjaan yang menantang dan kepuasan
terhadap pekerjaan.

B. Desain Pelatihan
Teransfer pelatihan yang efektif ditentukan oleh desain pelatihan itu sendiri. Desain
pelatihan yang efektif dan mampu menghasilkan luaran yang positif berupa luaran
kognitif, luaran afektif, keterampilan dan pengetahuan baru akan menentukan keberhasilan
transfer pelatihan. Luaran kognitif itu menunjukkan bahwa peserta pelatihan dapat
menguasai dan memahami berbagai prinsip, fakta, prosedur dan proses yang diberikan
pada saat pelatihan berlangsung. Luaran efektif menunjukkan peningkatan motivasi dan
terbentuknya sikap positif peserta selama dan setelah mengikuti pelatihan. Selain itu,
desain pelatihan efektif juga menunjukkan bahwa peserta pelatihan mampu memahami dan
menggunakan keterampilan baru dalam pekerjaan sehari-hari.
Desain pelatihan juga berkaitan dengan retensi pelatihan yang menjamin bahwa materi
pelatihan yang diperoleh peserta tetap dikuasainya dalam jangka waktu tertentu. Retensi
pelatihan ini menunjukkan kapasitas kemampuan seseorang dalam memahami dan
memelihara materi pelatihan yang telah diperolehnya. Velada, et al., (2007) menunjukkan
bahwa retensi pelatihan merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya transfer
pelatihan yang efektif. Intinya adalah bahwa desain pelatihan yang efektif akan mampu
meningkatkan kinerja individual apabila hasil pelatihan yang berupa keterampilan dan
pengetahuan baru itu benar-benar direalisasikan dalam pekerjaan.

C. Lingkungan Kerja
Suatu pola pikir mengenai pengaruh lingkungan kerja pada transfer pelatihan akan
mempengaruhi pemberian pelatihan secara keseluruhan. Transfer pelatihan bisa
ditingkatkan dengan menciptakan ikatan kerja diantara peserta pelatihan. Peserta pelatihan
bisa berbagi pengalaman sukses mereka dalam menggunakan keterampilan yang di dapat
dari pelatihan pada hasil kerja mereka, adanya kesempatan untuk menggunakan keahlian
yang dipelajari (kesempatan mempraktekkan) berarti kesempatan dimana peserta pelatihan
secara aktif mencari pengalaman dengan menggunakan ilmu keahlian dan sikap kerja yang
di dapat dari program pelatihan. Program pelatihan karyawan untuk bisa memimpin diri
mereka sendiri atas penggunaan keterampilan atau keahlian dan sikap yang mereka dapat
dari pelatihan pada pekerjaan mereka.
Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan suatu transfer adalah: iklim
organisasi yang mendukung, diskusi dengan atasan sebelum terlibat dalam pelatihan,
kesempatan menggunakan keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan serta
pasca pelatihan dan umpan balik (Broad & Newstrom) (dalam Suharsono & Raharso
2003). Menurut Noe, et al., dalam Kustini (2005) transfer pelatihan dipengaruhi oleh;
iklim untuk transfer, dukungan manajer, dukungan teman kerja, kesempatan menggunakan
keahlian secara cakap.

A. Kinerja Karyawan
1. Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-
pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan
dengan visi yang di emban suatu organisai serta mengetahui dampak positif dan negatif
suatu kebijakan operasional yang diambil. Adanya informasi mengenai kinerja suatu
instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas
kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk
perencanaan, menetukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan,
dan lain-lain.
Kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja dengan
standard yang diharapkan (Dessler, 2006). Definisi lain mengenai kinerja menurut Nawawi
(2006) adalah “kinerja dikatakan tinggi apabila suatu target kerja dapat diselesaikan pada
waktu yang tepat atau tidak melampaui batas waktu yang disediakan.” Artinya kinerja
akan menjadi rendah jika diselesaikan melampaui batas waktu yang disediakan atau sama
sekali tidak terselesaikan.
Sejalan dengan pendapat di atas BPKP memberikan pengertian tentang kinerja ini
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang tertuang dalam perumusan perencanaan
strategi suatu organisasi.
Menurut Hasibuan (2007) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu.
Sedangkan menurut Prawirosentono (2008:2) kinerja atau dalam bahasa inggris adalah
performance, yaitu:
“Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi,
sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-massing dalam rangka upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai
dengan moral maupun etika”.

2. Penilaian Kinerja
Melalui pengukuran kinerja diharapkan pola kerja dan pelaksanaan tugas
pembangunan dan tugas umum pemerintahan akan terlaksana secara efisien dan efektif
dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengukuran kinerja pegawai akan dapat berguna
untuk:
1) mendorong orang agar berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang
berada di bawah standard kinerja,
(2) sebagai bahan penilaian bagi pihak pimpinan apakah mereka telah bekerja dengan baik,
(3) memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan kebijakan untuk peningkatan organisasi
(Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah, 2009).

A. Manfaat Penilaian Kinerja


Mengenai manfaat penilaian kinerja, Sedarmayanti (2009) mengemukakan adalah
sebagai berikut.
1) Meningkatkan prestasi kerja
Dengan adanya penilaian, baik pimpinan maupun karyawan memperolah umpan balik
dan mereka dapat memperbaiki pekerjaan/prestasinya.
2) Memberikan kesempatan kerja yang adil
Penilaian akurat dapat menjamin karyawan memperoleh kesempatan menempati
posisi pekerjaan sesuai kemampuannya.
3) Kebutuhan pelatihan dan pengembangan
Melalui penilaian kinerja, terdeteksi karyawan yang kemampuannya rendah sehingga
memungkinkan adanya program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.
4) Penyesuaian kompensasi
Hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam
menentukan perbaikan pemberian kompensasi, dan sebagainya.
5) Keputusan promosi dan demosi
Hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
mempromosikan atau mendemosikan karyawan.
6) Mendiagnosis kesalahan desain pekerjaan
Kinerja yang buruk mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain
pekerjaan. Penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis kesalahan tersebut.
7) Menilai proses rekrutmen dan seleksi
Kinerja karyawan baru yang rendah dapat mencerminkan adanya penyimpangan
proses rekruitmen dan seleksi.

B. Hambatan Penilaian Kinerja


Penilaian yang dilakukan dengan baik sesuai fungsinya akan sangat menguntungkan
organisasi, yaitu akan dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi, dalam proses melakukan
penilaian kinerja yang baik terdapat beberapa penyebab kesalahan dalam penilaian
kinerja (Sedarmayanti, 2009) sebagai berikut:
1) Efek halo. Terjadi bila pendapat pribadi penilai tentang karyawan mempengaruhi
pengumuman kinerja.
2) Kesalahan kecenderungan terpusat. Disebabkan oleh penilai yang menghindari
penilaian sangat baik atau sangat buruk. Penilaian kinerja cenderung dibuat rata-rata.
3) Bisa terlalu lemah dan bisa terlalu keras. Bisa terlalu lemah disebabkan oleh
kecenderungan penilai untuk terlalu mudah memberikan nilai baik dalam evaluasi.
Bisa terlalu keras adalah penilai cenderung terlalu kental dalam evaluasi. Kedua
kesalahan ini pada umumnya terjadi bila standard kinerja tidak jelas.
4) Prasangka pribadi. Faktor yang membentuk prasangka pribadi (seperti faktor
senioritas, suku, agama, kesamaan kelompok dan status sosial) dapat mengubah
penilaian.
5) Pengaruh kesan terakhir. Penilaian dipengaruhi oleh kegiatan yang paling akhir.
Kegiatan terakhir baik atau buruk cenderung lebih diingat oleh penilai.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Mathis & Jackson (2006) mengemukakan kinerja karyawan yang umum untuk
kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: kuantitas dari hasil, kualitas,
ketepatan waktu, kehadiran, kemampuan berkerja sama. Hasibuan (2007) mengemukakan
bahwa salah satu aspek yang dijadikan kriteria dalam penilaian kinerja karyawan adalah
sikap dan kejujuran. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi bagaimana individu yang
ada bekerja adalah (1) kemampuan individual, (2) tingkat usaha, (3) dukungan organisasi.
Menurut Gomes (2003:142) kinerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain:
1. Quantity of work (kuantitas kerja)
Jumlah kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya.
2. Quality of work (kualitas kerja)
Kualitas kerja yang dicapai pegawai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan
kesiapannya.
3. Job knowledge (pengetahuan pekerjaan)
Luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.
4. Creativensess (kreativitas)
Keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk
menyelesaikan persoalan yang timbul.
5. Cooperation (kerjasama)
Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (semua anggota organisasi).
6. Dependability (kesadaran)
Kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7. Initiative (inisiatif)
Semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar
tanggungjawabnya.
8. Personel qualities (kualitas personal)
Menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-tamahan dan integritas pribadi.

Sedangkan menurut Simamora dalam Mangkunegara (2009:14), kinerja dipengaruhi


oleh tiga faktor, yaitu :
a. Faktor individual yang terdiri dari:
1) Kemampuan dan keahlian
2) Latar belakang
3) Demografi
b. Faktor psikologi yang terdiri dari:
1) Persepsi
2) Attitude
3) Personality
4) Pembelajaran
5) Motivasi
c. Faktor organisasi terdiri dari:
1) Sumber daya
2) Kepemimpinan
3) Penghargaan
4) Struktur
5) Job design

B. Hubungan Transfer Pelatihan dengan Kinerja Karyawan


Seiring persaingan dan perubahan yang terjadi di dalam organisasi, pelatihan menjadi
lebih penting daripada sebelumnya. Para karyawan yang harus beradaptasi terhadap
berbagai perubahan yang dihadapi organisasi harus dilatih secara terus-menerus dengan
tujuan untuk memelihara dan memperbaharui kapabilitas mereka. Disamping itu, para
manajer mempunyai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan kepemimpinan
mereka.
Tracy, et al., dalam Kustini (2005) menyatakan bahwa pengembangan dan
melaksanakan program pelatihan yang efektif bukanlah pekerjaan yang mudah, harus
dilakukan pertimbangan yang matang sehubungan dengan banyaknya variabel dan isu-isu
terkait. Beberapa isu penting yang terkait dengan proses pelatihan dan pengembangan
sumber daya manusia, diantaranya adalah transfer pelatihan.
Transfer pelatihan adalah penerapan pengetahuan, keahlian dan perilaku lainnya yang
dipelajari dalam pelatihan yang dapat digunakan atau diterapkan dalam pekerjaan
(Simamora, 2007). Suatu pelatihan dikatakan berhasil atau efektif bila para peserta dapat
menerima dan mengalami peningkatan pengetahuan, keterampilan, maupun perilaku yang
tepat karena diberikan oleh instruktur yang tepat pula, serta pencapaian peningkatan
kinerja atau kompetensi karyawan. Untuk melakukan transfer pelatihan bukanlah hal yang
sederhana, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi.
Holding (1991) dalam Indah (2010) mengatakan bahwa transfer pelatihan terjadi ketika
pelatihan tersebut mempengaruhi kinerja atau aktivitas selanjutnya. Derajat untuk peserta
pelatihan yang berhasil diterapkan dalam pekerjaan mereka dianggap sebagai “positif
transfer of training” (Baldwin & Ford, 1980).

C. Indikator Transfer of Training


Beberapa penelitian tentang transfer of training mengungkapkan bahwa transfer of
training dilakukan untuk mengukur kemampuan karyawan menerapkan hasil yang
diperoleh dalam pelatihan di tempat tugas (Velada et al., 2007; Gegenfurtner, 2011;
Maung, 2014). Dalam penelitian empiris tersebut, dikemukakan beberapa indikator yang
digunakan untuk mengukur transfer of training, kemudian dari beberapa indikator tersebut
dipilih indikator yang paling sesuai dan terkait dengan variabel eksogen dan endogen
dalam penelitian ini, seperti Gambar 1.2.
Transfer of Training

Velada et al., 2007 Gegenfurtner, 2011 Maung, 2014

-Penggunaan - Subsequent use - Faster (cepat menerapkan


keterampilan baru untuk (Penggunaan selanjutnya) hasil pelatihan)
meningkatkan kinerja - Frequency of use - Fewer mistakes
- Pelatihan membantu (frekuensi penggunaan) (mengurangi kesalahan)
meningkatkan kinerja - Increased effectiveness - Task Better (mengerjakan
- Memasukkan (peningkatan efektifitas) tugas dengan baik)
keterampilan yang - Correct ferformance - Performance (meningkakan
dipelajari dalam kegiatan after training kinerja)
sehari-hari (peningkatan kinerja) - Use effectively
(menerapkan hasil dengan
Efektif)

Gambar 1.2
Indikator Transfer of Training

Dalam Gambar 1.2 terlihat bahwa, para peneliti mengungkapkan transfer of training
memiliki beberapa indikator yang lebih luas dan subyektif, sehingga dapat dikompilasi
sebagai berikut:
1) Penggunaan selanjutnya adalah usaha karyawan untuk segera melakukan transfer of
training sehingga dapat meningkatkan kinerja. Karyawan yang telah mengikuti
pelatihan dapat menerapkan hasil pelatihan yang diterima untuk meningkatkan kinerja,
karyawan ini dapat dikatakan telah melakukan transfer of training (Velada et al., 2007;
Gegenfurtner, 2011; Maung, 2014
2) Penggunaan selanjutnya adalah usaha karyawan untuk segera melakukan transfer of
training sehingga dapat meningkatkan kinerja. Karyawan yang telah mengikuti pelatihan
dapat menerapkan hasil pelatihan yang diterima untuk meningkatkan kinerja, karyawan
ini dapat dikatakan telah melakukan transfer of training (Velada et al., 2007;
Gegenfurtner, 2011; Maung, 2014
3) Frekuensi penggunaan, adalah kemampuan karyawan untuk terus menerus melakukan
transfer of training di tempat kerja. Semakin sering hasil pelatihan digunakan akan dapat
meningkatkan transfer of training (Gegenfurtner, 2011).
4) Peningkatan efektifitas adalah keadaan di mana pelatihan yang diikuti mampu membantu
karyawan mengerjakan pekerjaan dengan lebih efektif. Hal ini berarti telah terjadi
transfer of training ke tempat kerja (Gegenfurtner, 2011; Maung, 2014).
5) Faster, setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menyelesaikan pekerjaan dengan
cepat dari biasanya (Maung, 2014).
6) Fewer mistakes, setelah selesai pelatihan peserta mampu untuk meminimalisir terjadinya
kesalahan di tempat kerja akibat transfer of training (Maung, 2014).

 Motivation to Transfer
1. Konsep Motivation to Transfer
Beberapa ahli telah mengemukan pengertian motivation to transfer diantaranya, motivasi
untuk melakukan transfer (yang selanjutnya disebut dengan motivation to transfer)
didefinisikan sebagai keinginan individu untuk memanfaatkan dan menghubungkan
pengetahuan serta keterampilan yang diperoleh dalam program pelatihan ke tempat kerja.
(Noe dan Schmiit, 1986; Wexley dan Latham, 1991). Pengertian motivation to transfer
berikutnya menurut Gegenfurtner et al., (2009), adalah suatu sikap terhadap konten pelatihan,
keterkaitan dan kepuasan instruksional.
Penjelasan sebelumnya menggambarkan bahwa motivation to transfer sebagai keinginan
karyawan untuk melakukan transfer of training ke tempat kerja. Untuk mendukung terjadinya
transfer of training adalah penting memahami mengapa individu memilih untuk melakukan
transfer of training dalam lingkungan kerja mereka. Pengertian motivation to transfer yang
dipaparkan tersebut adalah pengertian yang berlaku umum, namun akan terdapat perbedaan
cukup signifikan ketika pembahasan bergeser ke arah yang lebih spesifik, yaitu konsep
motivation to transfer yang muncul dari diri sendiri (autonomous motivation to transfer) dan
motivation to transfer karena keharusan atau dorongan dari luar untuk melakukan (controlled
motivation to transfer). Autonomous motivation to transfer sangat terkait dengan sikap
peserta terhadap konten pelatihan, sedangkan controlled motivation to transfer terkait dengan
faktor-faktor yang berasal dari luar peserta yang memotivasi hal yang harus dilakukan oleh
karyawan di tempat kerja Gegenfurtner et al., (2009). Autonomous motivation to transfer
dapat didefinisikan sebagai keinginan dari dalam diri sendiri untuk melakukan transfer of
training di tempat kerja karena sesuai dengan nilai yang dianut seseorang.
Controlled motivation to transfer dapat didefinisikan sebagai keinginan untuk melakukan
transfer of training yang disebabkan oleh suatu stimuli yang diatur oleh lingkungan ekternal
karyawan yang mengikuti pelatihan. Stimuli itu misalnya penghargaan atau sanksi eksternal
(Larose & Senécal, 2007).
Konsep motivation to transfer secara umum menggunakan teori harapan (expectancy
theory) yang dikemukanan oleh Vroom (1964). Vroom (1964) menjelaskan expectancy
merupakan sebuah momen keyakinan mengarahkan para pegawai untuk melakukan suatu
tindakan, dan tindakan tersebut akan memberikan hasil bagi pegawai. Expectancy theory
merupakan suatu yang mengkondisikan seseorang dalam hal ini pegawai dalam sebuah
kondisi atau melakukan sesuatu dalam jalur yang pasti karena mereka memiliki ekspektasi
atau hasil yang sesuai dengan perilaku mereka. Mereka akan termotivasi untuk memilih
perilaku spesifik atas berbagai perilaku, hal ini sebagai sebuah jalan keluar untuk menentukan
perilakunya yang sangat mempengaruhi pencapaian ekspektasinya. Seorang pegawai
memiliki harapan atas imbalan uang atau hal lain yang bernilai atas kinerja yang dicapainya,
atau kinerja yang tinggi akan meningkatkan kepuasan kerja atau peningkatan karier. Hal
tersebut dapat dimaklumi sebagai tujuan pegawai. Dengan adanya penghargaan dapat
diharapkan mereka akan melakukan transfer of training di lingkungan kerjanya. Karyawan
akan melakukan transfer of training, karena hal tersebut akan meningkatkan hasil dalam
bentuk penghargaaan, kepuasan kerja, promosi dan sebagainya.
Controlled motivation to transfer didukung oleh teori X yang dikemukakan Mc.Gregor
(1960) yaitu dorongan faktor ekternal yang mampu mempengaruhi karyawan untuk
melakukan transfer of training. Faktor-faktor ekternal itu dapat berupa hukuman, imbalan,
bimbingan maupun arahan untuk memotivasi karyawan agar melakukan transfer of training.
Mc Clelland (1961) sebagai tokoh teori motivasi (otonom) menyatakan bahwa seseorang
memiliki motivasi apabila yang bersangkutan memiliki keinginan untuk lebih berprestasi
daripada yang lainnya. Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli
prestasi karyawan lainnya. Faktor-faktor internal itu dapat berupa kesediaan menerima resiko
yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja, keinginan
mendapatkan tanggung jawab dalam memecahkan masalah.

Anda mungkin juga menyukai