ISI
A. Transfer Pelatihan
1. Pengertian Pelatihan
Pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan kinerja yang dimiliki oleh
tenaga kerja yang bersangkutan dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya.
Moekijat (2008:4) berpendapat bahwa pelatihan adalah suatu bagian pendidikan yang
menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relative singkat dengan metode yang lebih
mengutamakan praktik daripada teori.
Terdapat 3 syarat yang harus terpenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut latihan, yaitu:
a. Latihan harus membantu pegawai menambah kemampuannya.
b. Latihan harus menimbulkan perubahan dalam kebiasaan, informasi, dan pengetahuan yang ia
terapkan dalam pekerjaan sehari-harinya.
c. Latihan harus berhubungan dengan pekerjaan yang akan diberikan pada masa yang akan
datang.
2. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan lebih banyak dari segi sejauh mana perubahan perilaku yang diharapkan
terjadi pada peserta atau lulusan pelatihan sebagai hasil dari proses pelatihan. Seperti yang
dikemukakan oleh Dale S. Beach dalam Duludu (2012:28) “The objective of training is not
achieve a change in the behavior of those trained.” Artinya, tujuan pelatian adalah untuk
memperoleh perubahan dalam tingkah laku mereka yang dilatih.
Menurut Tziner, et al., dalam Kustini (2005) yang menjadi dasar tujuan pelatihan adalah
membantu orang mengembangkan keahlian dan kemampuannya, ketika menerapkan ke
pekerjaan, akan dapat meningkatkan kinerja mereka. Definisi lain yang di kemukakan oleh
Campbell dalam Kustini (2005) mengatakan bahwa pelatihan adalah sebuah perencanaan
pengalaman belajar yang di desain untuk membawa perubahan pada pengetahuan, kemampuan
atau keahlian individu.
1. Memperbaiki kinerja
Kendatipun pelatihan tidak dapat memecahkan semua masalah kinerja yang tidak efektif,
program pelatihan dan pengembangan yang sehat kerap berfaedah dalam meminimalkan
masalah-masalah ini.
2. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan
Teknologi melalui pelatihan, pelatih (trainer) memastikan bahwa karyawan dapat secara
efektif menggunakan teknologi-teknologi baru. Perubahan teknologi pada gilirannya berarti
bahwa pekerjaan-pekerjaan sering berubah dan keahlian serta kemampuan karyawan
mestilah dimutakhirkan melalui pelatihan sehingga kemajuan teknologi tersebut secara
sukses dapat diintegrasikan ke dalam organisasi.
3. Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten dalam pekerjaan
Sering seorang karyawan baru tidak memiliki keahlian-keahlian dan kemampuan yang
dibutuhkan untuk menjadi “job competent” yaitu mampu mencapai output dan standar
kualitas yang diharapkan.
4. Membantu memecahkan permasalahan operasional
Meskipun persoalan-persoalan organisasional menyerang diberbagai penjuru, pelatihan
adalah salah satu cara terpenting guna memecahkan banyak dilema yang harus dihadapi oleh
manajer.
5. Mempersiapkan karyawan untuk promosi
Salah satu cara untuk menarik, menahan dan memotivasi karyawan adalah melalui
program pengembangan karir yang sistematik. Organisasi yang gagal menyediakan pelatihan
akan kehilangan karyawan yang berorientasi pada pencapaian (archievement oriented) yang
merasa frustasi karena tidak adanya kesempatan untuk promosi dan akhirnya memilih keluar
dari perusahaan dan mencari perusahaan lain yang menyediakan pelatihan bagi kemajuan
karir mereka.
6. Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi
Selama beberapa hari pertama pada pekerjaan, karyawan baru membentuk kesan pertama
mereka terhadap organisasi dan tim manajemen. Kesan ini dapat meliputi dari kesan yang
menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan, dan dapat mempengaruhi kepuasan kinerja
dan mempengaruhi produktivitas keseluruhan karyawan karena alasan inilah, beberapa
pelaksana orientasi melakukan upaya bersama supaya supaya secara benar mengorientasikan
karyawan-karyawan baru terhadap organisasi dan pekerjaan.
7. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi
Pelatihan dan pengembangan dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan
aktivitas-aktivitas yang membuahkan efektivitas organisasional yang lebih besar dan
meningkatkan pertumbuhan pribadi bagi sesama karyawan.
Dari pendapat di atas mengenai tujuan pelatihan maka dapat disimpulkan bahwa adanya
pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan sesuai dengan kompetensinya, dapat
menggunakan keahlian sesuai dengan perubahan teknologi, karyawan akan lebih berorientasi
pada pengembangan perusahaan, meningkatkan kinerja karyawan dan untuk pengembangan
karir, sehingga dengan adanya pelatihan diharapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan
pribadi dalam setiap karyawan.
3. Metode pelatihan
Metode pelatihan yang dipilih hendaknya sesuai dengan jenis pelatihan yang akan
dilaksanakan dan dikembangkan oleh perusahaan. Dalam pelatihan beberapa teknik akan
menjadikan prinsip belajar tertentu menjadi lebih efektif. Dalam melaksanakan pelatihan ini ada
beberapa metode yang dapat digunakan menurut Rivai (2004:240) yaitu On the job dan Off the
job training.
Evaluasi membutuhkan adanya penilaian terhadap dampak program pelatihan pada perilaku
sikap dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun pengukuran efektifitas penilaian
meliputi penilaian (Simamora, 2007):
1) Reaksi-reaksi yaitu bagaimana perasaan partisipan terhadap program.
2) Belajar yaitu pengetahuan, keahlian dan sikap-sikap yang diperoleh sebagai hasil dari
pelatihan.
3) Perilaku yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada pekerjaan sebagai akibat dari
pelatihan.
4) Hasil-hasil yaitu dampak pelatihan dari keseluruhan efektifitas organisasi atau pencapaian
dari tujuan-tujuan organisasi.
Pengukuran reaksi dan belajar yang berhubungan dengan hasil-hasil program pelatihan saja
disebut dengan kriteria internal. Pengukuran perilaku dan hasil-hasil mengidentifikasi dampak
pelatihan pada lingkungan pekerjaan disebut sebagai kriteria eksternal yaitu dukungan dari pihak
manajemen untuk memberikan kesempatan peserta pelatihan mempraktekkan apa yang telah
mereka peroleh dari pelatihan.
Adanya pengukuran efektifitas pelatihan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa
evaluasi pelatihan baik mengenai program maupun instruktur atau pelatih dapat menjadi umpan
balik untuk pelatihan selanjutnya demikian pula dengan pembelajaran mereka apakah mereka
mempelajari prinsip-prinsip, keterampilan dan fakta-fakta seharusnya mereka pelajari.
Selanjutnya dapat mengetahui apakah perilaku peserta berubah karena program pelatihan atau
bukan. Terakhir dengan melihat hasil dari pelatihan apakah sesuai dengan tujuan pelatihan yang
di tetapkan.
Karakteristik
Peserta
Lingkungan
Kerja
A. Karakteristik Peserta
Self-efficacy merupakan bagian dari social cognitive theory atau social learning theory
yang dikembangkan oleh Bandura dalam Ginting (2012). Teori ini memandang
pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang
diterima. Dimana sosial memengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan
manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif
mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif terhadap
motivasi, sikap dan perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagian besar
pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan secara terus
menerus mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Hal tersebut
mempengaruhi motivasi, sikap dan perilaku individu.
Adanya self efficacy pada peserta pelatihan akan dapat menambah kepercayaan dirinya
bahwa dia dapat menjalankan tugas pelatihan secara benar. Seperti yang dikemukakan oleh
Noe, et al yang dikutip oleh Ginting (2012) bahwa self efficacy adalah tingkat kepercayaan
karyawan, bahwa mereka dapat berhasil mempelajari isi program pelatihan. Meskipun
kerangka kerja ini menghasilkan kinerja, tingkat aktifitas bervariasi dari cakap ke kreatif,
tingkat self efficacy dapat dicapai melalui interaksi manusia dan kognisi mental,
merupakan faktor yang dapat dipercaya menghasilkan transfer positif dan transfer
keterampilan terhadap lingkungan kerja (Decker, 2008).
Individu melakukan proses pembelajaran sebelum melakukan perilaku tertentu,
mempelajari perilaku terdahulu, mempelajari perilaku orang lain dan memahami
konsekuensi perilaku tersebut. Individu yang memiliki self efficacy tinggi akan lebih
mampu menunjukkan kinerja yang baik dibandingkan dengan individu dengan self efficacy
rendah. Penilaian efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang dikeluarkn dan
seberapa lama individu bertahan dalam menghadapi rintangan dan pengalaman yang
menyakitkan. Semakin kuat persepsi self efficacy semakin giat dan tekun usaha-usahanya.
Ketika menghadapi kesulitan, individu yang mempunyai keraguan diri yang besar tentang
kemampuannya akan mengurangi usaha-usaha atau menyerah sama sekali.
Sedangkan mereka yang mempunyai perasaan efficacy yang kuat menggunakan usaha
yang lebih besar untuk mengatasi tantangan. Bandura dalam Indah (2010) menggambarkan
empat sumber informasi yang mengarah ke self efficacy yaitu:
1) Penguasaan aktif
Penguasaan aktif dengan melihat pada diri peserta seberapa besar dia dapat menguasai
pelatihan, penguasaan aktif akan dapat meningkatkan self efficacy sedangkan orang
yang tidak menguasai pelatihan akan ada kecenderungan menurunkan self efficacy.
2) Pengalaman
Pengalaman, baik pengalaman diri maupun pengalaman orang lain menyediakan
informasi langsung mengenai kemampuan memprediksi dan mengatasi ancaman-
ancaman untuk mengembangkan dan membuktikan self efficacy yang kuat. Secara
umum, keberhasilan akan meningkatkan self efficacy, sedangkan kegagalan akan
menurunka self efficacy.
3) Persuasi
Persuasi dapat berupa persuasi sosial (orang lain yang meyakinkan bahwa kita dapat
melakukan sesuatu) atau persuasi diri (meyakinkan diri sendiri).
4) Pembangkit fisiologis
Pembangkit fisiologis yaitu individu mengamati tingkat self efficacy dengan
memperhatikan reaksi emosional dalam menghadapi situasi. Ketika individu merasa
terlalu cemas atau takut, mereka akan mengantisipasi kegagalan. Individu yang tidak
terlalu tegang cenderung mempersiapkan dirinya dapat berhasil.
Robbins (2007) mengungkapkan sumber atau indikator dari self efficacy yang tidak
jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu: perasaan mempu melakukan
pekerjaan, kemampuan yang lebih baik, senang pekerjaan yang menantang dan kepuasan
terhadap pekerjaan.
B. Desain Pelatihan
Teransfer pelatihan yang efektif ditentukan oleh desain pelatihan itu sendiri. Desain
pelatihan yang efektif dan mampu menghasilkan luaran yang positif berupa luaran
kognitif, luaran afektif, keterampilan dan pengetahuan baru akan menentukan keberhasilan
transfer pelatihan. Luaran kognitif itu menunjukkan bahwa peserta pelatihan dapat
menguasai dan memahami berbagai prinsip, fakta, prosedur dan proses yang diberikan
pada saat pelatihan berlangsung. Luaran efektif menunjukkan peningkatan motivasi dan
terbentuknya sikap positif peserta selama dan setelah mengikuti pelatihan. Selain itu,
desain pelatihan efektif juga menunjukkan bahwa peserta pelatihan mampu memahami dan
menggunakan keterampilan baru dalam pekerjaan sehari-hari.
Desain pelatihan juga berkaitan dengan retensi pelatihan yang menjamin bahwa materi
pelatihan yang diperoleh peserta tetap dikuasainya dalam jangka waktu tertentu. Retensi
pelatihan ini menunjukkan kapasitas kemampuan seseorang dalam memahami dan
memelihara materi pelatihan yang telah diperolehnya. Velada, et al., (2007) menunjukkan
bahwa retensi pelatihan merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya transfer
pelatihan yang efektif. Intinya adalah bahwa desain pelatihan yang efektif akan mampu
meningkatkan kinerja individual apabila hasil pelatihan yang berupa keterampilan dan
pengetahuan baru itu benar-benar direalisasikan dalam pekerjaan.
C. Lingkungan Kerja
Suatu pola pikir mengenai pengaruh lingkungan kerja pada transfer pelatihan akan
mempengaruhi pemberian pelatihan secara keseluruhan. Transfer pelatihan bisa
ditingkatkan dengan menciptakan ikatan kerja diantara peserta pelatihan. Peserta pelatihan
bisa berbagi pengalaman sukses mereka dalam menggunakan keterampilan yang di dapat
dari pelatihan pada hasil kerja mereka, adanya kesempatan untuk menggunakan keahlian
yang dipelajari (kesempatan mempraktekkan) berarti kesempatan dimana peserta pelatihan
secara aktif mencari pengalaman dengan menggunakan ilmu keahlian dan sikap kerja yang
di dapat dari program pelatihan. Program pelatihan karyawan untuk bisa memimpin diri
mereka sendiri atas penggunaan keterampilan atau keahlian dan sikap yang mereka dapat
dari pelatihan pada pekerjaan mereka.
Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan suatu transfer adalah: iklim
organisasi yang mendukung, diskusi dengan atasan sebelum terlibat dalam pelatihan,
kesempatan menggunakan keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan serta
pasca pelatihan dan umpan balik (Broad & Newstrom) (dalam Suharsono & Raharso
2003). Menurut Noe, et al., dalam Kustini (2005) transfer pelatihan dipengaruhi oleh;
iklim untuk transfer, dukungan manajer, dukungan teman kerja, kesempatan menggunakan
keahlian secara cakap.
A. Kinerja Karyawan
1. Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-
pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan
dengan visi yang di emban suatu organisai serta mengetahui dampak positif dan negatif
suatu kebijakan operasional yang diambil. Adanya informasi mengenai kinerja suatu
instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas
kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk
perencanaan, menetukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan,
dan lain-lain.
Kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja dengan
standard yang diharapkan (Dessler, 2006). Definisi lain mengenai kinerja menurut Nawawi
(2006) adalah “kinerja dikatakan tinggi apabila suatu target kerja dapat diselesaikan pada
waktu yang tepat atau tidak melampaui batas waktu yang disediakan.” Artinya kinerja
akan menjadi rendah jika diselesaikan melampaui batas waktu yang disediakan atau sama
sekali tidak terselesaikan.
Sejalan dengan pendapat di atas BPKP memberikan pengertian tentang kinerja ini
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang tertuang dalam perumusan perencanaan
strategi suatu organisasi.
Menurut Hasibuan (2007) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu.
Sedangkan menurut Prawirosentono (2008:2) kinerja atau dalam bahasa inggris adalah
performance, yaitu:
“Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi,
sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-massing dalam rangka upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai
dengan moral maupun etika”.
2. Penilaian Kinerja
Melalui pengukuran kinerja diharapkan pola kerja dan pelaksanaan tugas
pembangunan dan tugas umum pemerintahan akan terlaksana secara efisien dan efektif
dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengukuran kinerja pegawai akan dapat berguna
untuk:
1) mendorong orang agar berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang
berada di bawah standard kinerja,
(2) sebagai bahan penilaian bagi pihak pimpinan apakah mereka telah bekerja dengan baik,
(3) memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan kebijakan untuk peningkatan organisasi
(Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah, 2009).
Gambar 1.2
Indikator Transfer of Training
Dalam Gambar 1.2 terlihat bahwa, para peneliti mengungkapkan transfer of training
memiliki beberapa indikator yang lebih luas dan subyektif, sehingga dapat dikompilasi
sebagai berikut:
1) Penggunaan selanjutnya adalah usaha karyawan untuk segera melakukan transfer of
training sehingga dapat meningkatkan kinerja. Karyawan yang telah mengikuti
pelatihan dapat menerapkan hasil pelatihan yang diterima untuk meningkatkan kinerja,
karyawan ini dapat dikatakan telah melakukan transfer of training (Velada et al., 2007;
Gegenfurtner, 2011; Maung, 2014
2) Penggunaan selanjutnya adalah usaha karyawan untuk segera melakukan transfer of
training sehingga dapat meningkatkan kinerja. Karyawan yang telah mengikuti pelatihan
dapat menerapkan hasil pelatihan yang diterima untuk meningkatkan kinerja, karyawan
ini dapat dikatakan telah melakukan transfer of training (Velada et al., 2007;
Gegenfurtner, 2011; Maung, 2014
3) Frekuensi penggunaan, adalah kemampuan karyawan untuk terus menerus melakukan
transfer of training di tempat kerja. Semakin sering hasil pelatihan digunakan akan dapat
meningkatkan transfer of training (Gegenfurtner, 2011).
4) Peningkatan efektifitas adalah keadaan di mana pelatihan yang diikuti mampu membantu
karyawan mengerjakan pekerjaan dengan lebih efektif. Hal ini berarti telah terjadi
transfer of training ke tempat kerja (Gegenfurtner, 2011; Maung, 2014).
5) Faster, setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menyelesaikan pekerjaan dengan
cepat dari biasanya (Maung, 2014).
6) Fewer mistakes, setelah selesai pelatihan peserta mampu untuk meminimalisir terjadinya
kesalahan di tempat kerja akibat transfer of training (Maung, 2014).
Motivation to Transfer
1. Konsep Motivation to Transfer
Beberapa ahli telah mengemukan pengertian motivation to transfer diantaranya, motivasi
untuk melakukan transfer (yang selanjutnya disebut dengan motivation to transfer)
didefinisikan sebagai keinginan individu untuk memanfaatkan dan menghubungkan
pengetahuan serta keterampilan yang diperoleh dalam program pelatihan ke tempat kerja.
(Noe dan Schmiit, 1986; Wexley dan Latham, 1991). Pengertian motivation to transfer
berikutnya menurut Gegenfurtner et al., (2009), adalah suatu sikap terhadap konten pelatihan,
keterkaitan dan kepuasan instruksional.
Penjelasan sebelumnya menggambarkan bahwa motivation to transfer sebagai keinginan
karyawan untuk melakukan transfer of training ke tempat kerja. Untuk mendukung terjadinya
transfer of training adalah penting memahami mengapa individu memilih untuk melakukan
transfer of training dalam lingkungan kerja mereka. Pengertian motivation to transfer yang
dipaparkan tersebut adalah pengertian yang berlaku umum, namun akan terdapat perbedaan
cukup signifikan ketika pembahasan bergeser ke arah yang lebih spesifik, yaitu konsep
motivation to transfer yang muncul dari diri sendiri (autonomous motivation to transfer) dan
motivation to transfer karena keharusan atau dorongan dari luar untuk melakukan (controlled
motivation to transfer). Autonomous motivation to transfer sangat terkait dengan sikap
peserta terhadap konten pelatihan, sedangkan controlled motivation to transfer terkait dengan
faktor-faktor yang berasal dari luar peserta yang memotivasi hal yang harus dilakukan oleh
karyawan di tempat kerja Gegenfurtner et al., (2009). Autonomous motivation to transfer
dapat didefinisikan sebagai keinginan dari dalam diri sendiri untuk melakukan transfer of
training di tempat kerja karena sesuai dengan nilai yang dianut seseorang.
Controlled motivation to transfer dapat didefinisikan sebagai keinginan untuk melakukan
transfer of training yang disebabkan oleh suatu stimuli yang diatur oleh lingkungan ekternal
karyawan yang mengikuti pelatihan. Stimuli itu misalnya penghargaan atau sanksi eksternal
(Larose & Senécal, 2007).
Konsep motivation to transfer secara umum menggunakan teori harapan (expectancy
theory) yang dikemukanan oleh Vroom (1964). Vroom (1964) menjelaskan expectancy
merupakan sebuah momen keyakinan mengarahkan para pegawai untuk melakukan suatu
tindakan, dan tindakan tersebut akan memberikan hasil bagi pegawai. Expectancy theory
merupakan suatu yang mengkondisikan seseorang dalam hal ini pegawai dalam sebuah
kondisi atau melakukan sesuatu dalam jalur yang pasti karena mereka memiliki ekspektasi
atau hasil yang sesuai dengan perilaku mereka. Mereka akan termotivasi untuk memilih
perilaku spesifik atas berbagai perilaku, hal ini sebagai sebuah jalan keluar untuk menentukan
perilakunya yang sangat mempengaruhi pencapaian ekspektasinya. Seorang pegawai
memiliki harapan atas imbalan uang atau hal lain yang bernilai atas kinerja yang dicapainya,
atau kinerja yang tinggi akan meningkatkan kepuasan kerja atau peningkatan karier. Hal
tersebut dapat dimaklumi sebagai tujuan pegawai. Dengan adanya penghargaan dapat
diharapkan mereka akan melakukan transfer of training di lingkungan kerjanya. Karyawan
akan melakukan transfer of training, karena hal tersebut akan meningkatkan hasil dalam
bentuk penghargaaan, kepuasan kerja, promosi dan sebagainya.
Controlled motivation to transfer didukung oleh teori X yang dikemukakan Mc.Gregor
(1960) yaitu dorongan faktor ekternal yang mampu mempengaruhi karyawan untuk
melakukan transfer of training. Faktor-faktor ekternal itu dapat berupa hukuman, imbalan,
bimbingan maupun arahan untuk memotivasi karyawan agar melakukan transfer of training.
Mc Clelland (1961) sebagai tokoh teori motivasi (otonom) menyatakan bahwa seseorang
memiliki motivasi apabila yang bersangkutan memiliki keinginan untuk lebih berprestasi
daripada yang lainnya. Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli
prestasi karyawan lainnya. Faktor-faktor internal itu dapat berupa kesediaan menerima resiko
yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja, keinginan
mendapatkan tanggung jawab dalam memecahkan masalah.