Anda di halaman 1dari 13

MENUJU MASYARAKAT DAMAI SEJAHTERA

A. PEMAHAMAN ALKITAB TENTANG PERDAMAIAN

Kalau kita ingin secara serius berjuang untuk mewujudkan masyarakat damai, maka hal
pertama yang perlu kita pahami terlebih dahulu adalah arti kata “perdamaian” atau “damai” itu
sendiri; dimensi-dimensi apa saja yang tercakup dalam kata kunci tersebut dan apa
implikasiimplikasinya. Dalam kaitan dengan hal ini, ada dua cara untuk mendefinisikan
perdamaian. Yang pertama, perdamaian dapat didefinisikan dengan melihat ada atau tidak
adanya hal-hal tertentu yang dianggap mendukung atau mengancam perdamaian. Disinilah kita
berbicara tentang definisi negatif dan definisi positif. Dalam definisi negatif, perdamaian
dipahami sekedar sebagai situasi/keadaan dimana tidak ada perang (Barash 1991:7-8).
Pemahaman semacam ini kurang menguntungkan karena terlalu dangkal dan bisa dengan
mudah membutakan mata kita terhadap aspek-aspek struktural dari perdamaian yang tidak
kasad mata. Kita bisa dengan mudah merasa nyaman dan beranggapan bahwa kita berada
dalam situasi/keadaan damai hanya karena tidak ada perang di sekitar kita, padahal
sebenarnya perdamaian masih belumlah terwujud. Inilah yang menjelaskan mengapa
situasi/keadaan yang tampaknya sudah “damai” di Sulawesi Tengah atau Ambon bisa tiba-tiba
berubah menjadi khaos kembali. Masalahnya adalah karena banyak orang yang terlena ketika
tidak ada lagi peperangan yang terjadi di daerah-daerah tersebut sehingga muncullah anggapan
bahwa perdamaian sudah terwujud, padahal belum.

Untuk mengatasi kelemahan definisi negatif inilah maka kemudian muncul definisi tentang
perdamaian yang bersifat positif. Dalam definisi ini perdamaian dipandang bukan sekedar
sebagai suatu situasi/kondisi dimana tidak ada hal-hal tertentu yang dipandang sebagai lawan
dari perdamaian, tetapi suatu situasi/keadaan dimana hal-hal tertentu yang mendukung
perdamaian dengan sengaja diadakan. Perdamaian dengan demikian dipahami sebagai suatu
situasi/keadaan dimana segala bentuk penindasan dalam masyarakat dan kekerasan individual
maupun struktural ditekan dan bahkan dihapuskan sama sekali (Barash 1991:7-8). Dalam
pemahaman ini, kita tidak begitu saja merasa puas dan nyaman dengan situasi/keadaan di

1
sekitar kita bahkan jika seandainya tidak ada perang. Kita tetap melihat situasi/keadaan di
sekitar kita dengan mata kritis untuk menilai apakah ada hal-hal yang kasad mata maupun tidak
kasad mata, individual maupun struktural yang telah mengancam dan menghalangi
terwujudnya perdamaian, dan kemudian dengan sungguh-sungguh berusaha menghapuskan
hal-hal tersebut serta menciptakan hal-hal yang bisa menjamin terwujudnya perdamaian.

Yang kedua, perdamaian juga bisa didefinisikan dengan melihat apa yang menjadi fokus
perhatian kita. Dalam kaitan dengan hal ini, perdamaian bisa didefinisikan sebagai suatu
situasi/keadaan dimana semua jenis kekerasan dihapuskan. Definisi ini bisa juga digolongkan
sebagai definisi positif sebagaimana sudah dijelaskan di atas karena di dalamnya terkandung
satu sikap pro aktif untuk menghapuskan kendala-kendala yang menghambat terwujudnya
perdamaian, dalam hal ini adalah kekerasan, baik itu kekerasan individual maupun kekerasan
struktural. Tapi perdamaian juga bisa didefinisikan sebagai suatu situasi/keadaan dimana
konflik ditransformasi secara kreatif dan tanpa kekerasan. Jika definisi pertama terfokus pada
aspek kekerasan dari perdamaian, maka definisi kedua lebih terfokus pada aspek konflik dari
perdamaian. Artinya, untuk memahami perdamaian maka kita harus memahami anatomi dan
mekanisme konflik serta bagaimana konflik bisa ditransformasi secara kreatif dan tanpa
kekerasan (Galtung 1996:9).

Pemahaman Alkitab tentang perdamaian juga mencakup semua jenis definisi di atas, bahkan

melampauinya. Istilah ~Alv' (shalom) muncul sekitar 235 kali dalam Perjanjian Lama (Mauser
1992:13). Sayangnya, kita tidak pernah bisa menemukan definisi yang persis dari istilah ini
karena istilah ini dipergunakan dalam PL untuk merujuk pada banyak hal. Kadang istilah ini
dipergunakan dalam salam untuk menanyakan keadaan seseorang (Kej. 29:6; 43:23; 1 Sam.
29:7), sekelompok orang (Yer. 15:5), binatang (Kej. 37:14), dan bahkan situasi peperangan (2
Sam. 11:7). Tapi terkadang istilah ini juga dipergunakan dalam konteks yang lebih serius seperti
dalam ibadah, hukum-hukum, politik, dsb (Bil. 6:24-26; Im. 26:6). Oleh karena itu apa yang bisa
kita lakukan adalah melihat nuansa-nuansa makna dari istilah tersebut hingga kita bisa melihat

hal-hal seperti apa yang tercakup dalam istilah ~Alv'.

2
Perry Yoder (1987:10-16; lih. jg. Brueggemann 1982:18-20) menunjukkan bahwa dalam

Perjanjian Lama (PL), istilah ~Alv' mencakup setidaknya tiga dimensi. Pertama, ~Alv' menunjuk
pada kesejahteraan dan kemakmuran material yang ditandai dengan hadirnya kesejahteraan
fisik dan ketiadaan ancaman seperti perang, wabah ataupun kelaparan.

Kata Israel kepadanya: "Pergilah engkau melihat apakah baik keadaan


saudarasaudaramu dan keadaan kambing domba; dan bawalah kabar tentang itu
kepadaku" (Kej. 37:14a).

Sesungguhnya, Aku akan mendatangkan kepada mereka kesehatan dan kesembuhan,


dan Aku akan menyembuhkan mereka dan akan menyingkapkan kepada mereka
kesejahteraan dan keamanan yang berlimpah-limpah. … Dan kota ini akan menjadi
pokok kegirangan: ternama, terpuji dan terhormat bagi-Ku di depan segala bangsa di
bumi yang telah mendengar tentang segala kebajikan yang Kulakukan kepadanya;
mereka akan terkejut dan gemetar karena segala kebajikan dan segala kesejahteraan
yang Kulakukan kepadanya (Yer. 33:6, 9).

Ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai (Pengk. 3:8b).

Dan kota-kota yang diambil orang Filistin dari pada Israel, kembali pula kepada Israel,
mulai dari Ekron sampai Gat; dan orang Israel merebut daerah sekitarnya dari tangan
orang Filistin. Antara orang Israel dan orang Amori ada damai (1 Sam. 7:14).

Kedua, ~Alv' menunjuk pada keadilan yang menandai adanya hubungan baik, suatu keadaan

yang seharusnya terjadi, di antara manusia dan bangsa-bangsa. ~Alv' menunjuk pada
keteraturan atau harmoni sosial dimana tidak ada penindasan dalam bentuk apapun juga.
Semua anakmu akan menjadi murid TUHAN, dan besarlah kesejahteraan mereka;
engkau akan ditegakkan di atas kebenaran. Engkau akan jauh dari pemerasan, sebab
engkau tidak usah lagi takut, dan engkau akan jauh dari kekejutan (teror), sebab ia tidak
akan mendekat kepadamu (Yes. 54:13-14).

Di padang gurun selalu akan berlaku keadilan dan di kebun buah-buahan akan tetap ada
kebenaran. Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat
kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Yes. 32:16-17).

3
Biarlah bersorak-sorai dan bersukacita orang-orang yang ingin melihat aku dibenarkan!
Biarlah mereka tetap berkata: "TUHAN itu besar, Dia menginginkan keselamatan
hamba-Nya!" (Mzm. 35:27)

Aku murka karena kesalahan kelobaannya, Aku menghajar dia, menyembunyikan wajah-
Ku dan murka, tetapi dengan murtad ia menempuh jalan yang dipilih hatinya. … Aku

akan menciptakan puji-pujian. Damai, damai sejahtera bagi mereka yang jauh dan bagi
mereka yang dekat firman TUHAN. Aku akan menyembuhkan dia! Tetapi orang-orang
fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang, dan
arusnya menimbulkan sampah dan lumpur. Tiada damai bagi orang-orang fasik itu,"
firman Allahku (Yes. 57:17, 19-21).

Dan TUHAN memberikan hikmat kepada Salomo seperti yang dijanjikan-Nya kepadanya;
maka damaipun ada antara Hiram dan Salomo, lalu mereka berdua mengadakan
perjanjian (1 Raj. 5:12; lih. jg. 1 Sam. 7:14).

Sebaliknya, ketiadaan ~Alv' ditandai dengan adanya kesenjangan ekonomi, penjungkir-balikan


keadilan, penindasan politik, maupun penyingkiran manusia. Itu sebabnya anjuran yang
diberikan oleh PL adalah supaya kita menjauhi kejahatan dan mengupayakan perdamaian
dimanapun kita berada, bahkan sekalipun kita berada di tempat orang yang kita anggap sebagai

musuh kita. Orang yang dipenuhi oleh ~Alv' adalah seorang yang tidak mengejar kepentingan
dirinya sendiri, tetapi yang hidupnya senantiasa diwarnai oleh perhatian pada dan
pemeliharaan orang lain dalam komunitas.
Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah
mendapatkannya! (Mzm. 34:14).

Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota
itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Yer. 29:7).

Ketiga, ~Alv' menunjuk pada integritas moral dimana tidak ada kelicikan, penipuan,
kemunafikan, ataupun kutuk.
Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang
menipu; jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan
berusahalah mendapatkannya! (Mzm. 34:13-14)

4
Sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB) istilah ei vr h,n h (eirene) juga mempunyai nuansa yang
sama. Satu-satunya perbedaan dari pemahaman PL adalah bahwa eivrh,nh dalam PB juga
dipergunakan secara teologis dalam kaitannya dengan Allah dan kabar baik dari Allah. Allah
disebut sebagai “Allah perdamaian” (LAI “Allah sumber damai sejahtera”) (Rm. 15:33; 16:20; 2
Kor. 13:11; 1 Tes. 5:23; 2 Tes. 3:16; Ibr. 13:20). Itu sebabnya eivrh,nh mendapatkan maknanya
secara penuh dalam peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus. Disini ei vr h,n h
dipahami sebagai akibat dari pembenaran hubungan antara Allah dan manusia, dan
transformasi hubungan di antara manusia. Kedua dimensi ini tidak bisa dipisahkan. Ketiadaan ei
vr h,n h yang terwujud dalam ketidak-adilan dan penindasan, dipahami dalam PB tidak
saja sebagai masalah sosial politik, tetapi juga masalah teologis (Yoder 1987:19-21).

Dengan pemahaman tentang perdamaian yang demikian luas ini maka pelayanan perdamaian
pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan keutuhan kehidupan manusia, baik itu
menyangkut dimensi fisik, relasional, moral, maupun spiritual.

B. TINGKATAN-TINGKATAN PERDAMAIAN

Dengan melihat berbagai dimensi dalam definisi perdamaian sebagaimana diuraikan di atas,
maka jelaslah bagi kita bahwa ada berbagai macam tingkatan dalam perdamaian. Kesadaran
tentang berbagai tingkatan perdamaian ini akan membantu kita untuk terlibat dalam pelayanan
perdamaian dengan komitmen penuh karena masing-masing kita bisa menilai dirinya sendiri
dalam tingkatan yang mana kita sudah bisa merasa nyaman dan kemudian setapak demi
setapak naik ke tingkatan berikutnya. Singkatnya, berbagai macam bentuk perdamaian bisa kita
tempatkan dalam sebuah continuum yang mencakup berbagai tingkatan atau dimensi
kehidupan (Peace Council 2003). Secara sederhana continuum itu bisa digambarkan sebagai
berikut:

Damai dengan Allah Damai dengan musuh

5
Continuum di atas menunjukkan kepada kita bahwa perdamaian senantiasa diawali dengan
situasi/keadaan damai dengan Allah. Tanpa situasi/keadaan damai dengan Allah maka kita tidak
bisa berbicara sedikitpun juga tentang perdamaian, apalagi melakukan pelayanan perdamaian.
Perdamaian bukanlah sesuatu yang tercipta di luar diri kita dan baru kemudian masuk ke
dalam. Sebaliknya, perdamaian senantiasa dimulai dari dalam, bersumber pada hubungan
damai antara kita dengan Allah yang adalah sumber segala damai.

Namun Allah yang merupakan sumber damai itu juga adalah Allah yang menghendaki
situasi/keadaan damai (~Alv' atau e i vr h,n h) bagi seluruh ciptaanNya. Allah tidak ingin
kita berhenti dan merasa puas hanya pada tingkatan pertama. Allah ingin kita bergerak ke
tingkatan berikutnya, perdamaian dengan sesama kita dan pada akhirnya perdamaian dengan
musuh kita. Kehendak Allah ini bisa kita lihat dalam diri Yesus Kristus yang telah
mendemonstrasikan jalan hidup damai melalui kehidupan dan pelayananNya, dan juga resiko,
pengharapan, serta kesuka-citaan dari jalan hidup tersebut melalui kematian dan
kebangkitanNya. Oleh karena itu situasi/keadaan damai dengan Allah yang merupakan sumber
damai tersebut seharusnyalah menjadi landasan bagi upaya kita untuk menciptakan
situasi/keadaan damai di antara kita dengan anggota keluarga, saudara seiman, orang lain, dan
bahkan musuh kita.

Jika di kutub yang satu pada continuum perdamaian kita bisa mendapati situasi/keadaan damai
dengan Allah, maka di kutub yang lain kita mendapati adanya situasi/keadaan damai dengan
musuh. Kutub ini harus diakui merupakan situasi/keadaan yang paling sulit diwujudkan oleh
manusia. Kita bisa saja berada dalam situasi/keadaan damai dengan Allah, tapi belum tentu kita
juga bisa berada dalam situasi/keadaan damai dengan musuh kita, apalagi musuh yang kita
anggap telah menyakiti dan melukai kita. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak orang,
termasuk orang-orang Kristen, yang terlibat dalam konflik-konflik yang telah menimbulkan
banyak luka sebagaimana terjadi di Ambon, Sulawesi Tengah, Israel, Irlandia, dsb. sangat sulit
berdamai dengan orang atau kelompok yang dianggap sebagai musuh mereka.

Namun demikian, realita semacam ini tidak perlu menepiskan harapan kita akan perdamaian.
Tidak pula hal ini harus menjadi penghalang bagi kita untuk terlibat dalam pelayanan

6
perdamaian. Di antara kedua kutub tersebut ada berbagai bentuk perdamaian yang perlu dan
bisa kita upayakan dan ciptakan, baik secara pribadi maupun bersama-sama sebagai gereja. Kita
bisa saja belum siap untuk berdamai dengan musuh kita pada saat ini, tapi itu tidak berarti kita
harus berpangku tangan dan merasa tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan untuk
mewujudkan perdamaian. Di antara damai dengan Allah dan damai dengan musuh masih ada
banyak bentuk perdamaian lainnya yang perlu dan bisa kita upayakan, misalnya:
• Damai dengan anggota keluarga (keluarga inti maupun sanak saudara kita lainnya)
• Damai dengan saudara seiman di dalam gereja lokal
• Damai dengan saudara seiman dari gereja lain
• Damai dengan orang-orang beragama lain

• Damai dengan sesama (tetangga, rekan sekerja, dll.)


• Damai dengan sesama warga negara (damai di dalam negeri) • Damai dengan warga
negara lain (damai di antara bangsa-bangsa)
• Dsb.

C. PEMBERDAYAAN UNTUK PERDAMAIAN DI DALAM GEREJA

Setelah kita melihat bahwa perdamaian ternyata mempunyai banyak dimensi dan bentuk yang
tercakup dalam sebuah continuum, maka persoalan terakhir yang perlu kita jawab adalah
bagaimana kita bisa memberdayakan orang-orang Kristen dalam pelayanan perdamaian ini.
Ulrich Mauser mengatakan bahwa ada dua disiplin utama yang perlu kita perhatikan apabila
kita ingin mewujudkan perdamaian, yaitu: penilaian dan kehidupan yang radikal (1992:173181).

Ketika kita bertekad untuk terlibat dalam pelayanan perdamaian, maka disiplin pertama yang
perlu kita pelajari adalah disiplin penilaian. Artinya, kita perlu dengan kritis menilai
situasi/keadaan di sekitar kita untuk melihat apakah perdamaian sudah terwujud dan apa yang
dibutuhkan untuk mewujudkannya. Sebagai orang-orang Kristen kita perlu menyadari bahwa
pengakuan kita tentang Kristus sebagai satu-satunya Tuhan senantiasa lebih daripada sekedar
klaim tentang pilihan pribadi atau klaim sektarian. Pengakuan tersebut merupakan klaim
tentang kosmos itu sendiri. Dalam pengakuan tersebut kita menyatakan bahwa tidak ada

7
wilayah di dunia ini yang tidak berada di bawah keTuhanan Kristus; tidak ada dikotomi
substansial antara Kristus dan kebudayaan, penciptaan dan penebusan, dst.; tidak ada wilayah
politik yang dapat dihindari oleh gereja dan harus dibiarkan diatur oleh nilai-nilai dan
normanormanya sendiri. Seisi dunia dan segenap aspek kehidupan manusia ada di bawah
keTuhanan
Yesus Kristus. Tidak ada yang terkecuali (Yoder 1997:24-25, 35, 235; 1994b:56, 131; 1994a:75).

Hal ini berarti bahwa sekalipun orang-orang Kristen memang harus bersikap positif terhadap
sejarah dunia, tetapi kita membutuhkan kriteria yang jelas untuk menilai apakah sebuah
peristiwa sejarah merupakan karya Allah atau karya iblis. Dan di dalam kehidupan, kematian,
serta kebangkitan Kristus itulah kita mendapatkan kriteria yang kita butuhkan. Itu berarti, kita
harus senantiasa menguji apakah sebuah peristiwa sejarah mencerminkan “makna Kristus” (I
Kor. 12:3; 14:29; I Yoh. 4:1; II Pet. 1:20) (Yoder 1997:241; 1994b:132). Jika kita bisa menemukan
makna Kristus dalam peristiwa tersebut maka kita bisa mengkonfirmasinya. Sebaliknya, jika kita
tidak bisa menemukan makna Kristus di dalamnya maka kitapun harus mengkonfrontasinya.
Inkarnasi Yesus tidak berarti persetujuan buta atas semua aktifitas manusiawi; bahwa Allah
masuk ke dalam dunia untuk menyetujui semua hal di dalamnya atau menyetujui apapun juga
pekerjaan yang disandang manusia. Inkarnasi senantiasa berarti bahwa Allah telah masuk ke
dalam dunia untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan
oleh manusia (Yoder 1994b:172). Inilah prinsip “mengikat dan melepas” sebagaimana dikatakan
Yesus dalam Injil Matius 18:18:
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di
sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa gereja harus bisa menjadi komunitas pencarian
kehendak Allah. Di dalam dan melalui gereja kita berupaya untuk menemukan karya Allah
dalam sejarah karena tidak semua peristiwa dalam sejarah bersifat ilahi dan berasal dari Allah.
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak semua hal yang tidak berlabel Kristen karena
pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan Kristus bisa diterima dan
ditundukkan di bawah keTuhanan Kristus. Namun demikian, dunia harus bersumber dari visi
injil, bukan sebaliknya, dan kesaksian Kristen harus dimulai dari pemahaman tentang karakter

8
dan kehendak Kristus, bukan dari deskripsi tentang realitas dunia dan kemudian kita mencoba
mencocokkan injil dengan realitas tersebut.

Disiplin kedua yang perlu kita pelajari adalah disiplin kehidupan yang radikal seperti Kristus. Kita
perlu menyadari bahwa dalam diri setiap manusia senantiasa terdapat kemampuan dan
keterbatasan. Karena kita memiliki kemampuan, maka kita bisa mengembangkan diri dan
menjadi kreatif. Tapi pada saat yang sama kita juga memiliki keterbatasan, dan oleh karenanya
kita harus rendah hati. Dengan kemampuan yang kita miliki, kita bisa bertumbuh menjadi
seorang yang cinta damai kalau kita mau. Tapi karena kita memiliki keterbatasan maka kita
harus berjuang mendisiplin hawa nafsu kita yang senantiasa membawa kita pada hal-hal yang
bertentangan dengan perdamaian. Kita perlu dengan sengaja dan terencana serta penuh

disiplin mengupayakan pembentukan karakter Kristen agar makin lama kita bisa menjadi serupa
dengan Kristus (Rm. 8:29; 12:2; Gal. 4:19; Fil. 2:5; 2 Kor. 3:17-18).

Mengingat hal inilah maka kita perlu memberi perhatian pada jalan hidup yang kita tempuh
sebagaimana yang dilakukan oleh jemaat Kristen purba. Sayangnya hal ini mulai berubah pada
jaman Konstantinus Agung dimana perhatian gereja dan orang-orang Kristen bergeser dari jalan
hidup yang konkrit dan nyata ke hal-hal doktriner (metafisik). Itulah sebabnya kita perlu
kembali menyadari bahwa iman bukanlah gnosis (pengetahuan) melainkan jalan hidup, yaitu
jalan hidup bersama Tuhan.

Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka
yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh. Karena keinginan daging
adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera (Rm. 8:5-6).

Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu
mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa,
melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Sebab seluruh hukum Taurat
tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri!" Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya
jangan kamu saling membinasakan. Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu
tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan
keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging karena

9
keduanya bertentangan sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu
kehendaki (Gal. 5:13-17).

Jalan hidup dengan demikian menyangkut segenap aspek dalam kehidupan kita seperti
kepercayaan, nilai-nilai, komitmen, orientasi, pola hidup, praktek iman, dsb. Jalan hidup
tersebut mencerminkan makna eksistensial yg mewujud dalam tindakan & perilaku yg
membentuk jalan hidup kita hingga terdapat konsistensi antara kesadaran internal dan
pewujudan eksternal dari kesadaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, kalau kita
menjadikan perdamaian sebagai jalan hidup kita, maka seluruh aspek hidup kita juga akan
berorientasi pada perdamaian dan ada konsistensi antara apa yang kita percayai tentang
perdamaian dan perilaku konkrit yang kita nampakkan sehari-hari.

Satu hal lagi. Jalan hidup bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan dari luar, tidak pula bisa terjadi
dengan sendirinya secara otomatis. Jika kita memilih perdamaian sebagai jalan hidup kita, maka
kita harus melakukannya secara sukarela tanpa paksaan. Jalan hidup perdamaian bukanlah
sebuah tugas/kewajiban yang harus kita penuhi karena ada paksaan dari luar. Pada saat yang
sama, kita juga harus mendisiplin dan melatih diri kita agar makin lama kita makin dimampukan
untuk memberlakukan dan mewujudkan perdamaian dimanapun dan kapanpun juga sebagai
kebiasaan kita yang terjadi secara spontan, tanpa komando. Kita tidak bisa menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah dengan harapan bahwa anugerahNya bisa serta merta mengubah diri
kita menjadi orang-orang yang cinta damai. Anugerah Allah senantiasa membutuhkan
kerjasama kita agar anugerah tersebut bisa berfungsi.

Dalam rangka itulah maka ada sedikitnya dua hal penting yang perlu kita lakukan sebagai gereja
agar kita bisa membentuk diri kita dan saudara-saudara seiman kita menjadi orang-orang yang
cinta damai, yaitu pemberdayaan manusia dan pemberdayaan struktur (Peace Council 2003).
Dalam rangka pemberdayaan manusia, maka kita perlu secara serius memikirkan bagaimana
kita bisa membentuk karakter kita menjadi orang-orang yang cinta damai melalui
praktekpraktek sosial yang diberlakukan di gereja. Kita, misalnya, perlu merenungkan kembali
apakah bahan-bahan katekisasi (persiapan sidi) yang selama ini kita pergunakan sudah cukup

10
membekali katekisan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk menjadi
agen-agen perdamaian dimanapun mereka berada.

Demikian pula halnya dengan peribadahan kita. Kita perlu merenungkan dan menilai kembali
apakah kita sudah cukup menempatkan perdamaian pada pusat peribadahan kita. Jika kita
memiliki agenda untuk Bulan Misi, Bulan Keluarga, Minggu Oikoumene, dsb., sudahkah kita juga
mengagendakan Bulan atau Minggu Perdamaian di gereja kita? Sudah jugakah kita
memperhatikan bahan-bahan Sekolah Minggu kita untuk melihat apakah anak-anak kita sudah
cukup dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai agar mereka bisa memiliki
jalan hidup perdamaian? Bagaimana dengan acara doa dan puasa untuk perdamaian? Napak
tilas perdamaian?

Hal lain lagi yang perlu mendapat perhatian serius jika kita benar-benar ingin menjadikan
perdamaian sebagai jalan hidup kita adalah pendidikan perdamaian di gereja dan
sekolahsekolah Kristen. Kita perlu dengan serius melatih para pemimpin gereja (pendeta,
majelis jemaat, pengurus komisi, dsb.) bahkan anggota jemaat awam dengan pengetahuan dan
ketrampilan transformasi konflik tanpa kekerasan, menggumuli teks-teks Alkitab yang
berhubungan dengan perdamaian dalam Pemahaman Alkitab, menyusun kurikulum
perdamaian, dsb.

Hal lain yang tidak kalah penting selain pemberdayaan manusia adalah pemberdayaan struktur.
Disini kita perlu merenungkan dan menilai gereja kita sendiri sehubungan dengan apakah kita
sudah dengan sengaja dan terencana menciptakan mekanisme penyelesaian konflik di dalam
gereja. Banyak gereja yang tidak mempunyai mekanisme semacam itu hingga konflik yang
terjadi di gereja hanya menumpuk sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu meledak dan
memecah belah gereja. Kita juga perlu melihat kembali struktur organisasi gereja kita. Kalau
kita memiliki komisi-komisi kategorial dan komisi-komisi fungsional seperti Komisi Pekabaran
Injil, Komisi Ibadah, Komisi Pelayanan Masyarakat, dsb., sudahkah kita juga memiliki Komisi
Perdamaian yang bertanggung-jawab untuk melakukan pendidikan perdamaian dalam gereja
dan praktek-praktek konkrit untuk membentuk karakter segenap anggota jemaat menjadi

11
agenagen perdamaian, bahkan juga bisa berfungsi sebagai tim mediator untuk mentransformasi
konflik dalam gereja dan masyarakat?

Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan. Sebagian dari pekerjaan tersebut
memang sulit dan membutuhkan komitmen tinggi, sebagian lagi merupakan hal-hal sederhana
yang sebenarnya bisa kita lakukan. Namun apapun juga situasi yang kita hadapi, perdamaian
bukanlah sebuah impian, tapi sebuah visi konkrit yang patut kita perjuangkan selama kita masih
mengaku diri kita sebagai orang-orang Kristen hingga apa yang menjadi cita-cita pemazmur juga
menjadi cita-cita kita juga. Cita-cita tentang situasi/keadaan dimana,
Kasih dan kesetiaan (kebenaran) akan bertemu,
keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman
(Mzm. 85:10)
Sarasehan dalam rangka Lustrum IV GKJ Condongcatur
Jogjakarta, 16 Juni 2004
Pdt. Paulus S. Widjaja
DAFTAR PUSTAKA

Barash, David P. 1991. Introduction to Peace Studies. Belmont, California: Wadsworth Publishing
Company.

Brueggemann, Walter. 1982. Living Toward A Vision: Biblical Reflections on Shalom. New York:
United Church Press, 1976. Second printing.

Galtung, Johan. 1996. Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and
Civilization. Oslo: PRIO International Peace Research Institute and London: SAGE
Publications.

Mauser, Ulrich. 1992. The Gospel of Peace: A Scriptural Message For Today’s World. Louisville,
Kentucky: Westminster/John Knox Press.

Peace Council. 2003. Report of Peace Council in the General Council of Mennonite World
Conference. Bulawayo, Zimbabwe.

Yoder, John Howard. 1994a. Body Politics: five practices of the Christian community before the
watching world. Discipleship Resources. Nashville, Tennessee: 1992. Reprinting.

12
______ . 1994b. The Royal Priesthood: Essays Ecclesiological and Ecumenical. Edited by Michael
G. Cartwright. Grand Rapids: William B. Eerdsmans.

______ . 1997. For The Nations: Essays Public & Evangelical. Grand Rapids: William B.
Eerdmans.

Yoder, Perry B. 1987. Shalom: The Bible’s Word for Salvation, Justice, and Peace. Newton,
Kansas: Faith and Life Press.

13

Anda mungkin juga menyukai