ISLAM
Tentang :
LARANGAN BERBUAT KERUSAKAN DI BUMI
DAN
KEBURUKAN KAUM YANG BERBUAT
KERUSAKAN DI BUMI
Tak satu pun agama yang memberikan toleransi terhadap kekerasan, baik terhadap
diri sendiri ataupun orang lain. Bukan semata-mata ajaran agama itu yang melarang,
melainkan karena kekerasan bertentangan dengan fitrah manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan.
Orang yang menyatakan beriman kepada Allah dituntut mampu melaksanakan tiga
makna tersebut, yaitu: percaya, jujur, dan damai. Orang beriman yang hanya percaya
kepada Allah namun tidak bersikap jujur dan malah berbuat kerusakan dan kekerasan
berarti keimanannya tidak sempurna.
Manusia harus utuh dalam beragama, tidak setengah-setengah, serta tidak memilah
dan memilih dalam melaksanakan perintah agama. Allah dengan tegas menyatakan dalam
surat al-Baqarah ayat 208:
“Yang dikatakan orang Islam itu adalah orang di mana orang lain (muslim
lain) merasa selamat dari tangan dan lisannya”.
Sehingga, Islam ketika dalam peperangan pun mempunyai etika yang sangat
agung, misalnya dilarang membunuh wanita dan anak-anak, dilarang merusak tanaman
dan benda lain, serta tidak boleh membunuh masyarakat sipil. Islam menganjurkan agar
umatnya menjadi pihak yang bertahan bukan yang mulai melakukan kekerasan atau
peperangan. Banyak ayat yang mendukung perdamaian ini, misalnya kandungan surat an-
Nisâ: 90-91, al-Baqarah: 224, asy- Syûrâ: 40, dan lain-lain.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”.
Meskipun Allah pernah melarang umat Islam melakukan perdamaian seperti dalam
surah Muhammad ayat 35, “Janganlah kamu lemah dan minta damai, padahal kamulah
yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi
(pahala) amal-amalmu”, namun konteks larangan damai ini adalah tatkala musuh
menyerang dan tidak mau diajak damai. Sekali lagi, Islam menganjurkan agar melakukan
perdamaian dulu. Jika perdamaian itu tidak bisa dilakukan, maka Islam baru melarang
mengalah atau mundur dari peperangan. Inilah sikap lunak dan tegas dalam Islam.
Perdamaian dan kedamaian itu dapat bergasil apabila dimulai dari pribadi masing-
masing. Ibda’ bi nafsik (mulailah dari dirimu sendiri), demikian sabda Nabi. Memulai
perdamaian dari diri sendiri berarti harus mampu menghadirkan kedamaian dalam jiwa
dan menjauhkannya dari kerusakan dan kehancuran, Allah berfirman:
Diri kita pun harus dipenuhi hak-haknya, hak jasmani, hak rohani, serta harus
dijauhkan dari hal-hal yang merusak jasmani dan rohani itu.
Surah Ar Rum Ayat 41-42 tentang Larangan Berbuat Kerusakan di Muka Bumi
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan
manusia, Allah menghendaki supaya mereka merasakan sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah Muhammad,
adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-
orang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah).”
Selain untuk beribadah kepada Allah, manusia juga diciptakan sebagai khalifah di
muka bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk memanfaatkan, mengelola,
dan memelihara alam semesta. Allah telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan
dan kesejahteraan semua makhluk-Nya, khususnya manusia.
Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoanya kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa
berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah
membawa awan mendung, kami halau ke daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan
di daerah itu. Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-
buahan. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-
mudahan kamu engambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh
dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanam-tanamannya tumbuh merana.
Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang
bersyukur.”
Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan mahkluk Allah
lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat-Nya. Gunung-gunung, lembah-
lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu diciptakan Allah untuk
diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak
dan dibinasakan.
Hanya saja ada sebagian kaum yang berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka
tidak hanya merusak sesuatu yang berupa materi atau benda saja, melainkan juga berupa
sikap, perbuatan tercela atau maksiat serta perbuatan jahiliyah lainnya. Akan tetapi, untuk
menutupi keburukan tersebut sering kali merka menganggap diri mereka sebagai kaum
yang melakukan perbaikan di muka bumi, padahal justru merekalah yang berbuat
kerusakan di muka bumi.
Allah SWT melarang umat manusia berbuat kerusakan dimuka bumi karena Dia
telah menjadikan manusia sebagai khalifahnya. Larangan berbuat kerusakan ini
mencakup semua bidang, termasuk dalam hal muamalah, seperti mengganggu
penghidupan dan sumber-sumber penghidupan orang lain (lihat QS Al Qasas : 4).
Allah menegaskan bahwa salah satu karunia besar yang dilimpahkan kepada
hambanya ialah Dia menggerakkan angin sebagai tanda kedatangan rahmat Nya. Angin
yang membawa awan tebal, di halau ke negeri yang kering dan telah rusak tanamannya
karena tidak ada air, sumur yang menjadi kering karena tidak ada hujan, dan kepada
penduduk yang menderita lapar dan haus. Lalu dia menurunkan hujan yang lebat di
negeri itu sehingga negeri yang hampir mati tersebut menajdi subur kembali dan penuh
berisi air. Dengan demikian, dia telah menghidupkan penduduk tersebut dengan penuh
kecukupan dan hasil tanaman-tanaman yang berlimpah ruah.
Surat Sad Ayat 27-28 tentang Perbedaan Amalan Orang Beriman dengan Orang
Kafir
Artinya : “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian adalah anggapan orang-orang kafir,
maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS Sad :
27 )
Allah SWT menjelaskan bahwa dia menjadilakn langit, bumi dan makhluk apa
saja yang berada diantaranya tidak sia-sia. Langit dengan segala bintang yang menghiasi,
matahari yang memancarkan sinarnya di waktu siang, dan bulan yang menampakkan
bentuknya yang berubah-ubah dari malam kemalam serta bumi tempat tinggal manusia,
baik yang tampak dipermukaannya maupun yang tersimpan didalamnya, sangat besar
artinya bgi kehidupan manusia. Kesemuanya itu diciptakan Allah atas kekuasaan dan
kehendaknya sebagai rahmat yang tak ternilai harganya.
Allah memberikan pertanyaan pada manusia. Apakha sama orang yang beriman
dan beramal saleh dengan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan juga apakah
sama antara orang yang bertakwa dengan orang yang berbuat maksiat? Allah SWT
menjelaskan bahwa diantara kebijakan Allah ialah tidak akan menganggap sama para
hambanya yang melakukan kebaikan dengan orang-orang yang terjerumus di lembah
kenistaan. Allah SWT menjelaskan bahwa tidak patutlah bagi zat Nya dengan segala
keagungan Nya, menganggap sama antara hamba-hambanya yang beriman dan
melakukan kebaikan dengan orang-orang yang mengingkari keesaannya lagi
memperturutkan hawa nafsu.
Mereka ini tidak mau mengikuti keesaan Allah, kebenaran wahyu, terjadinya hari
kebangkitan dan hari pembalasan. Oleh karena itu, mereka jauh dari rahmat Allah sebagai
akibat dari melanggar larangan-larangannya. Mereka tidak meyakini bahwa mereka akan
dibangkitkan kembali dari dalam kuburnya dan akan dihimpun dipadang mahsyar untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya sehingga mereka berani zalim terhadap
lingkungannya.
Contohnya:
Bumi semakin panas, pemanasan global, itulah isu yang kita rasakan sekarang ini,
dan isu ini sampai kapankah berakhir?. Nyatanya hari demi hari yang dirasakan memang
bumi semakin panas. Jam 8 pagi dirasakan panasnya sama dengan jam 12 siang masa
dekade 20 tahunan ke belakang. Bahkan di Amerika sana telah disimulasikan oleh
komputer, bagaimana jadinya jika pemanasan global ini mampu mencairkan kutub atau
benua Antartika, hasilnya permukaan laut akan meninggi sampai 60 meter tingginya,
bukankah jika terjadi maka bumi ini menjadi kiamat?.
Bumi semakin panas, persaingan hidup semakin keras. Bahkan setiap orang bagai
ada di dunia satwa hutan belantara dimana hukum rimba berlaku, si kuat memangsa si
lemah demi sekedar mengenyangkan perutnya. Berjuta problema kehidupan membayangi
silih berganti, terkadang problem yang satu belum tersolusi, datang pula problem lainnya,
hal ini terus bertumpuk dan tak pernah berujung dalam penyelesaian.
Bumi semakin panas, eksplorasi alam terus berlangsung, pemerkosaan hutan,
cuaca tak menentu, petani tidak bisa lagi melakukan jadwal tanamnya seperti dulu, banjir,
longsor ketika musin hujan, atau kekeringan ketika musim kemarau. Sementara itu, di
setiap jalanan atau gang sempit, becek kumuh berjubel ratusan orang dewasa dan anak-
anak memenuhi jalanan bak kelinci dikandangnya. Mereka melakukan aktivitas seharian
tanpa mengenal waktu berbaur satu sama lain tanpa mengindahkan norma-norma kaedah
dalam pergaulannya. Mereka mau jadi apa nantinya?
QS 2:60, "Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami
berfirman: 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu'. Lalu memancarlah daripadanya dua
belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-
masing). Makan dan minumlah rejeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu
berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan."
Menurut Umar Shihab, seseorang dalam pandangan Islam, tidak boleh hanya sibuk
dan mementingkan urusan dunianya, bekerja dan beramal untuk dunianya saja, dan
mengabaikan untuk akhiratnya. Atau sebaliknya, ia hanya beribadah terus-menerus,
melakukan salat terus menerus, melakukan puasa terus-menerus, bezikir terus-menerus
tanpa berhenti, dengan tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kebahagiaan dan
kemaslahatan hidupnya di dunia. Untuk kebahagiaan dunia kita dituntut untuk bekerja,
dan untuk kebhagiaan di akhirat, kita perlu bekerja.
Umar Shihab menjelaskan, Allah telah menciptakan bagi manusia kehidupan dan
kematian dengan maksud agar Allah dapat menilai siapa di antara manusia itu yang dapat
melakukan amal-amal yang terbaik. Kehidupan yang telah diciptakan bagi manusia di
dunia ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh Allah untuk berusaha dan
melakukan segala upaya yang hasilnya akan dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri,
tidak hanya sewaktu mereka masih hidup di dunia ini, tetapi juga dapat dirasakan di alam
nanti, yaitu alam akhirat.
Kehidupan sesudah mati yang diciptakan oleh Allah untuk manusia di akhirat nanti
merupakan kesempatan untuk menikmati dan merasakan hasil yang telah dilakukan
sewaktu berada di alam dunia. Oleh sebab itu, ajaran Islam menegaskan bahwa dunia ini
merupakan tempat untuk menanam tanaman yang hasilnya dipetik di akhirat kelak.
Dan carilah (kebahagiaan) negeri akhirat pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, dan janganlah engkau melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.
Ada 5 hal pokok yang terkandung di dalam ayat di atas, yaitu 1) perintah untuk
mencari dan meuntut kebahagiaan dunia akhirat pada apa yang telah dianugerahkan Allah
di dunia ini, 2) larangan Allah agar manusia tidak melupakan bahagiannya dari
kenikmatan dunia, 3) perintah Allah untuk berbuat ihsan (berbuat kebajikan) kepada
orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada manusia, 4) larangan Allah agar
manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi, dan 5) Allah menyatakan
ketidaksukaannya terhadap orang yang berbuat kerusakan.
"Di sini kita dituntut untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat dengan
menggunakan berbagai sarana dan kenikmatan yang diberikan Allah di dunia ini, tanpa
kita melupakan upaya-upaya untuk menuntut kebahagiaan hidup di dunia. Kita
diperintahkan untuk meraih dua kebahagian secara bersama-sama, kebahagiaan di dunia
dan kebahagiaan di akhirat," papar Umar Shihab.
Islam menuntut agar manusia selalu berupaya untuk meraih secara bersama-sama
dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Islam sebaliknya
mencela manusia yang hanya mementingkan satu aspek saja, tanpa memperhatikan aspek
lainnya. Orang-orang mukmin sejati akan selalu berupaya untuk memenuhi dan meraih
dua kebahagiaan itu dengan melakukan usaha dan ibadah sesuai dengan tuntunan ajaran
agama dan selalu mengharap agar dua kebahagiaan itu dapat diraihnya.
Maka dapat kita pahami adanya kekafiran di dalam diri manusia, bukan pada diri
golongan Kafirun saja, tetapi bisa jadi kekafiran tersebut hadir di
dalam diri orang yang mengaku dirinya beriman, yang menyatakan sebagai
pemeluk Islam, yang mempunyai cara dan ciri beribadat dan beramal seperti orang yang
telah mendapat ke-iman-an dari Allah, namun tidak memperhitungkan suci diri, bersih
dalam beragama, lurus di jalanNya dan adanya Ilmu Allah yang termiliki. Coba
perhatikan bagaimana orang-orang yang mengaku dirinya Islam, tetapi mereka
melakukan KKN, menghujat, memfitnah, sombong, suka bertengkar, ingkar janji,
mengikuti hawa nafsunya yang rendah, rakus terhadap duniawi, dan sebagainya.
Bagaimana pula dengan orang-orang yang berpenampilan bagai orang suci, bahkan
ucapan-ucapannya sangat menarik bahkan kadang-kadang membawa
ayat-ayat Allah, tetapi ternyata menurut Allah dalam kenyataannya adalah
orang-orang yang penentang terhadap Allah. Mereka senang sekali berbuat
kerusakan di bumi ini, kerusakan moral, suka mengobarkan peperangan,
perusak ciptaan Allah yang berupa tanaman, hewan, dan mahluk-mahluk Allah
lainnya, yang sebenarnya diciptakan Allah untuk kebaikan diri mereka.