"SAMMY!"
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Dalam
hati aku berdoa supaya aku bisa melihatnya.
Aku menarik napas lega.
Ternyata Roxanne.
"Roxanne! Kau takkan percaya...," aku mulai berkata.
Kemudian aku terdiam.
Roxanne tampak cengar-cengir.
Ia menghampiriku lalu tertawa terbahak-bahak.
Anak-anak lain di lorong sekolah juga tergelak.
"Kau... kau beritaku semuanya?" aku tergagap-gagap.
"Kauberitahu semua orang tentang anak yang tak kelihatan di
kamarku?"
Roxanne hendak menyahut, tapi tidak sanggup berkata apa-apa.
Ia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk, dan hanya bisa mengangguk.
"Tega-teganya kau berbuat begini!" teriakku.
"Sudahlah." Roxanne menepuk pundakku. "Ini kan cuma
bercanda."
"Ha ha," aku menyahut dengan lesu. Menurutku, perbuatan
Roxanne sama sekali tidak lucu. Aku akan membuat perhitungan
dengannya, aku berjanji pada diriku sendiri. Entah bagaimana caranya,
tapi aku akan balas dendam.
Aku masuk ke ruang kelas dan segera duduk.
Anak-anak lain terus berdatangan. Beberapa di antara mereka
masih tertawa. Ketika melihatku, mereka berlagak bicara dengan
orang yang tidak kelihatan lagi.
Wajahku merah padam.
"Kalian gembira sekali pagi ini!" Ms. Starkling berkomentar.
"Baiklah, semuanya harap tenang. Keluarkan PR kalian."
"Oh, ya ampun," gumamku.
Aku belum mengerjakan PR semalam. Aku benar-benar lupa.
Aku memandang berkeliling.
Ternyata cuma aku yang tidak membuat PR.
"Kumpulkan tugas kalian ke depan," kata Ms. Starkling.
Claire duduk di hadapanku. Ia menunggu aku menyerahkan PR-
ku sebelum meneruskannya ke depan.
Aku menepuk pundaknya. "Aku tidak bawa," bisikku.
"Oh-oh," katanya. "Apakah PR-mu dimakan si anak yang tak
kelihatan?" Anak-anak di sekelilingku cekikikan.
"Jangan ribut, anak-anak," Ms. Starkling berkata. Ia
mengumpulkan semua lembaran tugas, lalu menyuruh kami membuka
buku matematika masing-masing.
Ms. Starkling menulis persamaan di papan tulis.
"Sammy, kau sudah sembuh hari ini?" ia bertanya setelah
selesai.
Aku mengangguk.
Habis—apa yang mesti kukatakan? Belum, Ms. Starkling, saya
belum sembuh. Semalam saya bertemu anak yang tidak kelihatan di
kamar saya—dan tak seorang pun mau percaya. Semuanya
menganggap saya tidak waras.
"Bagus," ujar Ms. Starkling. "Tolong ke depan dan tunjukkan
kepada teman-teman bagaimana cara menyelesaikan persamaan ini!"
Aku memang lagi sial.
Aku bangkit.
"Bukan kau, Sammy," ujar Ms. Starkling. "Saya bicara dengan
dia."
Ia menunjuk kursi di sebelahku.
Kursi di sebelahku yang kosong.
Aku menatap Ms. Starkling sambil mengerutkan kening.
"Temanmu yang tak kelihatan," katanya.
Seketika seluruh kelas kembali terbahak-bahak.
Ms. Starkling juga ikut tertawa. "Sori, Sammy. Tapi saya juga
ingin ambil bagian dalam lelucon ini."
Sori? Aku tahu ia cuma pura-pura menyesal. Tawanya terlalu
keras.
Aku benar-benar malu.
Padahal itu baru awal pelajaran. Sorenya lebih parah lagi.
**********
Pada waktu makan siang, aku pergi ke perpustakaan. Aku
duduk sendirian.
Aku sudah muak mendengar lelucon tentang orang yang tidak
kelihatan.
Aku tidak mau bicara dengan siapa pun.
Aku mengeluarkan roti isi ikan tuna dari ransel. Aku
menaruhnya di pangkuanku supaya Ms. Pinsky, si petugas
perpustakaan, tidak melihatnya. Kami tidak boleh membawa makanan
ke perpustakaan, dan aku tidak ingin tepergok.
Semua murid tahu, jangan sekali-kali mencari gara-gara dengan
petugas perpustakaan. Claire pernah membuat Ms. Pinsky marah. Dan
sebagai hukuman, ia lalu disuruh menulis ringkasan seratus buku,
masing-masing sepanjang tiga halaman! Itu terjadi tahun lalu—tapi
sampai sekarang Claire belum selesai juga. Kurasa ia baru sampai
buku kedua puluh.
Aku membuka kertas pembungkus roti isi—dan memekik
tertahan.
Roti isiku mulai melayang.
"Brent... jangan macam-macam!" bisikku. "Mau apa kau di
sini?"
Roti isiku berkurang satu gigitan.
"Aku kesepian di kamarmu," ujar Brent. "Dan kelaparan." Roti
isiku berkurang satu gigitan lagi. Kurebut roti isi itu dari tangannya.
Kemudian aku memandang berkeliling dengan gugup. "Kau tak bisa
tinggal di sini. Kau harus pergi!"
"Jangan usir aku," Brent memohon. "Aku bosan di rumah. Aku
butuh teman."
"Semua orang pikir aku sudah gila!" Suaraku mulai meninggi.
"Semua anak di sekolah menertawakanku. Aku bahkan diolok-olok
guruku! Kau tak bisa tinggal di sini, Brent. Kau tak bisa..."
Sesosok bayangan melintas di hadapanku.
Aku menoleh.
Si petugas perpustakaan menatapku sambil mengerutkan kening
dan menggelengkan kepala.
15
APA rencananya?
Apakah ia mau mendorongku ke luar jendela?
"Stop! Lepaskan aku! Hei... lepaskan aku!" Aku menyentakkan
kedua tanganku ke atas—dan berhasil melepaskan diri.
"Sori," Brent bergumam. "Aku cuma bercanda. Biasa, kan?
Sahabat karib suka bergulat, kan? Sekadar main-main?"
"Main-main?" jeritku. Jantungku masih berdegup kencang.
Aku tahu dia berbahaya.
Aku tidak percaya Brent cuma main-main. Aku rasa ia memang
ingin mendorongku ke luar jendela.
Karena ngeri, aku langsung berbalik dan berlari ke arah pintu.
Tapi aku terantuk kakinya yang tidak terlihat dan terempas ke lantai.
Sebelum aku sempat berdiri, ia sudah kembali meraihku dengan
tangannya yang kuat.
"Lepaskan aku!" jeritku dengan suara melengking tinggi karena
panik.
"Aku cuma mau membantumu berdiri," kata Brent.
Ia melepaskanku.
Aku mengusap-usap pergelangan tanganku yang terasa pegal.
"Sungguh. Aku cuma mau membantumu berdiri," Brent
berkeras. "Kau percaya, kan? Katakan kau percaya."
"Oke. Oke," aku bergumam. "Aku percaya."
"Nah, begitu dong!" seru Brent dengan gembira.
"Tapi kau tetap harus pergi," aku memberitahunya. "Semua
orang menganggap aku sudah terlalu aneh. Aku tak mau selalu diikuti
anak yang tak kelihatan. Pergilah. Aku serius."
"Tapi aku bisa membantumu!" seru Brent. "Aku sudah pernah
membantumu—dengan persamaan matematika waktu itu."
"Hah! Itu yang kausebut membantu?" Aku kembali mondar-
mandir. "Gara-gara itu aku kelihatan seperti orang tolol di depan
semua temanku—dan guruku." Sekadar mengingat kejadian itu saja
sudah membuatku meringis.
"Oke. Aku memang membuat kesalahan. Satu kesalahan kecil,"
ujar Brent.
"SATU kesalahan kecil!" Suaraku mulai meninggi. "Bagaimana
dengan kejadian di perpustakaan tadi? Gara-gara kau, si petugas
perpustakaan menyangka aku sudah gila. Dia menyuruhku menemui
guru pembimbing!"
Aku semakin sengit. "Dan bagaimana dengan soal lomba lari?
Gara-gara kau, semuanya jadi kacau! Gara-gara kau, aku jatuh, dan
kami kalah. Gara-gara kau, aku mengecewakan semua orang."
"Sori," Brent berkata pelan-pelan. "Kupikir aku bisa
membantumu menang. Aku cuma ingin mendorongmu sedikit."
"Mendorong?" teriakku. "Kau... kau..."
Pintu lemariku membuka.
Jaket bisbolku yang baru melayang keluar. "Hei... jaket
Yankees!" seru Brent. "Tapi kelihatannya lengannya terlalu panjang
untukku."
Jaket itu terlepas dari gantungannya.
"Kembalikan padaku." Jaket itu kurebut kembali. "Sekarang—
pergi! Aku tak mau kau tetap di sini!"
"Sammy... siapa yang kaubentak-bentak?" Rupanya Mom sudah
berdiri di ambang pintu kamarku.
"Anak yang tak kelihatan itu!" sahutku. "Dia ada di sini! Mom
harus percaya! Brent... bicaralah!"
Hening.
"AYOLAH, Brent!" aku memohon.
Tak ada jawaban.
Mom menghampiriku sambil menggeleng. Ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm, rasanya kau tak demam."
"Aku tidak sakit, Mom. Aku tak apa-apa. Sungguh. Dan aku tak
mengada-ada."
"Hmm, mungkin..." Mom terdiam. Ia mengamatiku dengan
saksama. "Kau mau ke mana?" ia lalu bertanya.
"Aku tidak mau ke mana-mana," sahutku.
"Kalau begitu kenapa kau membawa jaket?"
Aku menatap jaket yang masih kupegang. "Oh, aku cuma ingin
tahu apakah jaket ini masih pas," aku berdalih. Habis, apa lagi yang
bisa kukatakan?
"Tentu saja masih pas. Jaket itu baru kita beli minggu lalu."
Mom menatapku dengan tajam. Sekali lagi ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm," ia bergumam. "Belakangan ini kau
agak lain dari biasanya."
Ia kembali melirik jaketku. Kemudian menggeleng lagi.
"Sekarang coba katakan—siapa yang kaubentak-bentak tadi?"
"Ehm... bukan siapa-siapa. Aku cuma berlatih dialog... untuk
sandiwara sekolah."
"Kau ikut sandiwara sekolah?" tanya Mom.
"Ehm... tidak juga," jawabku. "Aku berlatih... kalau-kalau aku
diminta ikut main."
"Sammy, kalau ada sesuatu yang membebani pikiranmu—kau
selalu bisa membicarakannya dengan Mom. Oke?"
"Oke," sahutku.
Untuk ketiga kalinya Mom meraba keningku. Dan sekali lagi ia
menggeleng. Ia menuju ke pintu—lalu berhenti.
"Mom dan Dad sibuk sekali belakangan ini. Kami kurang
memperhatikanmu. Tapi mulai sekarang itu akan berubah. Kami akan
menyediakan waktu lebih banyak untukmu. Kami malah akan
memperhatikanmu dengan saksama."
Huh.
Mom dan Dad akan mulai menelitiku—seakan-akan aku salah
satu proyek ilmiah mereka.
"Kamarmu terlalu dingin, Sammy." Mom menghampiri jendela
dan menutupnya. Kemudian ia meninggalkan kamarku.
"Kau masih di sini, Brent?" aku bertanya dengan ketus.
"Masih."
"Kenapa kau diam saja tadi? Kenapa kau tak mau bicara dengan
ibuku?" aku mendesak.
"Sori," sahut Brent. "Aku tak mau orang lain tahu tentang aku.
Aku cuma ingin tinggal di sini dan menjadi sahabatmu."
"Hmm, itu takkan terjadi," balasku dengan sengit.
Tiba-tiba saja aku punya harapan lagi. Sebab dari percakapanku
dengan Mom, aku mendapat ide yang hebat!
Sekarang aku tahu persis apa yang harus kulakukan—untuk
mengusir si anak yang tidak kelihatan.
21
"ADA apa sih? Itu kan cuma baju," sebuah suara berkata
dengan tenang. "Kenapa kau menjerit-jerit?"
Aku langsung berdiri—dan melihat piring melayang di udara.
Di piring itu ada roti isi yang lenyap segigit demi segigit.
Brent!
"Bagaimana penampilanku?" tanya Brent sambil mengunyah.
"Aku hebat sekali sebagai hantu, kan?"
Aku melihat kursi belajarku ditarik mundur. "Wah, aku sudah
bekerja keras!" ia mendesah. "Dan sekarang aku capek sekali!"
"Kau?" aku memekik. "Kau yang ada di rumah tua itu?"
"Aku tahu. Aku tahu. Penampilanku memang luar biasa,"
katanya. "Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" Kemudian ia
terbahak-bahak.
"A-a-aku..."
"Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih," kata Brent.
"Sungguh. Tak perlu. Sekarang kau bisa membuat laporan terbaik di
sekolahmu. Aku kan sudah bilang aku bisa membantumu. Aku kan
sudah bilang aku bisa menjadi sahabatmu."
"Oh, ya ampun!" seruku. "Brent! Tega-teganya kau berbuat
begitu. Aku hampir mati ketakutan tadi! Roxanne juga! Kau benar-
benar membuatnya kesakitan! Dan aku hampir tercekik!"
"Sudahlah," ulang Brent. "Aku cuma ingin membuktikan aku
bisa membantu."
"Keluar dari rumahku! Keluar—sekarang juga!" bentakku.
"Aku serius!"
"KELUAR!" teriakku begitu keras sehingga suaraku nyaris
putus. "Keluar, dasar tolol! Kau nyaris membuat kami celaka! Enyah
dari sini! Sekarang juga!"
Aku berpaling ke pintu. "Cepat...!"
Dad berdiri di ambang pintu. Ia menatapku sambil mengerutkan
kening karena prihatin. "Sammy, rasanya kau sudah terlalu besar
untuk mempunyai teman khayalan," kata Dad lembut.
"Bukan begitu, Dad. Dia bukan temanku!" protesku. "Dia bukan
temanku! Bukan!"
Dad segera memelukku. "Tenang saja. Tidak perlu panik."
Ia menggiringku ke tempat tidur, lalu menyuruhku duduk.
Kemudian Dad menarik kursi belajarku.
"Jangan duduk di situ!" jeritku. "Dia sedang duduk di kursi itu!"
Dad tetap duduk. "Coba tarik napas dalam-dalam," ia
menganjurkan. "Tenangkan dirimu. Nah... sekarang kita bisa bicara
tentang temanmu itu."
"Dad! Dia bukan temanku. Dia mau bersahabat denganku, tapi
aku tidak mau. Dan sekarang dia terus menggangguku."
Aku menyingkirkan kemeja hitam tadi, lalu merebahkan kepala
di bantal. Dan tiba-tiba aku mendapat ide. "Aku tahu! Kita pasti bisa
mengusirnya kalau kita bekerja sama! Dad... maukah Dad
membantuku? Maukah Dad membantuku mengusir Brent?"
"Tentu saja aku mau membantu," sahut Dad sambil menatapku.
Ia bangkit. Meraih tanganku. Lalu mengajakku ke pintu.
"Thanks, Dad! Aku senang sekali Dad mau membantuku.
Terima kasih banyak."
Tiba-tiba aku merasa lega sekali. Begitu Dad bilang akan
membantuku, otot-ototku yang tegang langsung mengendur
semuanya.
"Semuanya akan beres," kata Dad dengan lembut.
"Aku tahu," kataku. "Sekarang saja aku sudah merasa lebih
enak."
"Syukurlah, Sammy. Tapi tolong beritahu Dad— sebenarnya
ada apa sih? Kenapa kau sampai menciptakan teman yang tidak
kelihatan—Brent?"
Aku langsung mengeluh.
Ternyata Dad tidak percaya. Ia membawaku ke bawah.
"Mau ke mana kita?" tanyaku.
Dad diam saja.
"Dad!" seruku. "Aku mau dibawa ke mana?"
27