Anda di halaman 1dari 113

1

AKU duduk di depan meja makan sambil berharap diriku bisa


menjadi tidak kelihatan.
Kalau saja tidak kelihatan, aku bisa menyelinap dari meja
makan tanpa harus menghabiskan sayur buncis di piringku. Aku bisa
naik ke kamarku dan menyelesaikan buku cerita hantu yang tengah
kubaca.
Aku mulai melamun. Sammy Jacobs, si Invisible Boy, ujarku
dalam hati. Aku berusaha membayangkan bagaimana tampangku
seandainya aku tidak kelihatan.
Minggu lalu aku sempat menonton film tentang orang yang
seperti itu. Muka dan badannya tidak kelihatan. Tapi kalau ia makan,
kita bisa melihat makanan yang sedang dicerna dalam perutnya yang
tembus pandang.
Kesannya jorok sekali.
Heboh!
Aku menatap sayur buncisku, dan membayangkan bagaimana
semuanya bakal teraduk-aduk dalam perutku.
Suara orangtuaku terdengar tak jelas di latar belakang.
Keduanya ilmuwan peneliti. Mereka bekerja di laboratorium
universitas. Sepanjang hari mereka sibuk mengurus soal cahaya dan
sinar laser.
Lalu mereka pulang dan makan malam sambil membahas
pekerjaan mereka. Dan membahas pekerjaan. Dan membahas
pekerjaan.
Adikku Simon, yang berusia sepuluh tahun, dan aku tidak
sempat menyelipkan sepatah kata pun.
Kami cuma bisa duduk dan mendengarkan mereka bicara
tentang "refraksi cahaya" dan "hambatan okuler".
Aku penggemar fiksi ilmiah. Aku paling suka membaca buku
dan komik yang berbau ilmiah. Dan aku menyewa setiap video yang
menampilkan makhluk asing dari planet lain.
Tapi kalau orangtuaku sudah mulai bicara tentang pekerjaan
mereka, aku sendiri yang merasa seperti makhluk dari planet lain.
Habis, aku tidak mengerti sepatah kata pun yang mereka ucapkan!
"Hei, Mom dan Dad," aku berkata untuk menarik perhatian
mereka. "Coba tebak apa yang terjadi! Ekorku tumbuh hari ini."
Mom dan Dad tidak mendengarku. Mereka terlalu sibuk
berdebat tentang sesuatu yang disebut "morfologi".
"Sebenarnya, ekorku malah ada dua,” aku berkata lebih keras.
Mereka tidak menggubrisku. Dad menggambar semacam bagan
di serbetnya.
Aku benar-benar bosan. Aku menendang Simon di bawah meja.
Sekadar karena iseng.
"Aduh! Jangan macam-macam, Sammy!" serunya. Lalu ia
membalas dengan cara sama.
Aku menendangnya sekali lagi.
Dad terus menuliskan angka-angka pada serbetnya. Mom
mengamati bagan yang dibuat Dad.
Simon kembali menendangku. Terlalu keras.
"Aduh!" pekikku. Secara refleks aku mengangkat tangan—dan
piringku terbalik.
Dan jatuh ke pangkuanku.
Sepiring spageti dan sayur buncis mengotori celana jinsku—dan
berjatuhan ke lantai.
"Ini gara-gara Simon!" seruku.
"Kau yang mulai!" ia memprotes.
Mom menoleh. Paling tidak aku berhasil menarik perhatiannya.
Dan siapa tahu aku malah bisa membuat Simon dimarahi sekalian.
Simon tidak pernah dimarahi. Ia memang anak baik.
Pandangan Mom beralih dari aku ke adikku. "Simon," kata
Mom.
Ya! pikirku. Kali ini Simon kena getahnya!
"Bantu kakakmu yang kikuk membereskan semuanya ini," ujar
Mom. Ia menunjuk spageti yang berserakan di lantai. "Dan jangan
lupa dipel." Kemudian ia meraih pensil Dad dan menuliskan sederetan
angka di samping deretan angka yang ditulis Dad.
Simon hendak membantuku. Tapi aku mendorongnya ke
samping dan melakukannya sendiri.
Aku kesal sekali.
Oke. Oke. Soal spageti mungkin memang bukan salah Simon.
Tapi masalahnya, Simon tidak pernah salah.
Kenapa bisa begitu?
Aku kan sudah bilang—Simon anak baik. Ia tidak pernah
menunggu sampai saat terakhir untuk menyelesaikan PR. Ia tidak
perlu diingatkan untuk menaruh pakaian kotornya di tempat pakaian
kotor. Atau membuang sampah. Atau menyeka kaki dulu sebelum
masuk rumah.
Anak seperti apa itu?
Anak yang tidak normal. Anak mutan.
"Simon anak mutan," aku bergumam sambil membersihkan
makanan yang tumpah ke pangkuanku.
"Adikku—si Mutan." Aku tersenyum. Kedengarannya boleh
juga untuk judul film fiksi ilmiah, aku berkata dalam hati.
Kubuang serbet kertasku ke keranjang sampah dan kembali ke
meja.
Hmm, paling tidak aku tak perlu makan sayur buncis, pikirku
sambil menatap piringku yang kosong.
Ternyata aku keliru.
"Sammy, coba berikan piringmu biar bisa diisi lagi," kata Mom.
Ia berdiri, meraih piringku—dan tergelincir karena menginjak spageti
yang masih berserakan di lantai.
Oh-oh.
Mom kehilangan keseimbangan dan melintasi dapur sambil
terhuyung-huyung. Aku langsung tertawa. Habis, adegan itu memang
lucu.
"Siapa yang ketawa?" tanya Mom sambil berpaling kepada
kami. "Kau, Simon?"
"Tentu saja tidak," jawab Simon.
Tentu saja tidak. Itulah kata-kata favoritnya.
Simon—kau mau nonton TV? Tentu saja tidak. Mau main bola?
Tentu saja tidak. Mau dengar lelucon? Tentu saja tidak.
Simon tidak mungkin menertawakan Mom.
Simon selalu serius.
Simon—si Mutan Serius.
Mom menatapku sambil menghela napas panjang. Ia kembali ke
meja sambil membawa piringku yang sudah diisi lagi—dengan sayur
buncis. Huh.
Lenyap. Lenyap. Aku menatap sayur buncisku sambil komat-
kamit tanpa bersuara. Minggu lalu aku membaca cerita tentang anak
muda yang bisa menghilangkan segala macam benda hanya dengan
memusatkan pikirannya.
Tapi ternyata cara itu tidak berhasil untukku.
"Aku sudah tak sabar menunggu hari Sabtu," ujarku sambil
menyembunyikan sayur buncis di bawah spageti.
"Kenapa?" cuma Simon yang bertanya.
"Soalnya aku mau nonton School Spirit," jawabku.
"School spirit? Semangat sekolah?" Dad menoleh dari bagan
pada serbetnya. Akhirnya ia tertarik pada sesuatu yang kukatakan.
"Bagus itu! Siapa yang punya semangat sekolah?"
"Bukan begitu, Dad. School Spirit adalah judul film baru.
Ceritanya tentang arwah yang bergentayangan di sekolah asrama," aku
menjelaskan. "Aku mau nonton film itu Sabtu besok."
Dad meletakkan pensilnya. "Seharusnya kau lebih tertarik pada
ilmu pengetahuan betulan, Sammy. Rasanya ilmu pengetahuan sejati
justru lebih misterius daripada kisah-kisah khayalan yang kausukai."
"Tapi hantu benar-benar ada, Dad!"
"Sammy, Mom dan Dad sama-sama ilmuwan," Mom angkat
bicara. "Kami tak percaya hal-hal seperti hantu."
"Tapi Mom keliru," ujarku. "Kalau hantu sebenarnya tak ada,
kenapa cerita tentang hantu tetap ada selama ratusan tahun?
"Lagi pula, film ini bukan kisah khayalan," kuberitahu mereka.
"Ini kisah nyata. Film ini didasarkan atas wawancara dengan murid-
murid yang bersumpah melihat hantu di sekolah!"
Mom geleng-geleng.
Dad tertawa kecil. "Kau sedang belajar apa di sekolah, Simon?
Apakah kau melihat hantu belakangan ini?"
"Tentu saja tidak," sahut Simon. "Minggu ini aku akan mulai
dengan proyek ilmiahku. Aku memilih judul: Seberapa Pesat
Pertumbuhan Kita? Aku akan meneliti diriku sendiri selama enam
bulan. Dan aku akan membuat bagan pertumbuhan untuk setiap
bagian tubuhku."
"Bagus sekali!" kata Mom.
"Dan unik!" seru Dad. "Beritahu kami kalau ada yang bisa kami
bantu."
"Huh, sebal," aku bergumam. "Aku permisi dulu, ya?" ujarku
sambil mendorong kursi menjauhi meja. "Roxanne mau kemari untuk
mengerjakan PR matematika."
Roxanne Johnson dan aku sama-sama duduk di kelas tujuh.
Kami selalu bersaing. Sekadar iseng saja.
Paling tidak, menurutku sih begitu. Kadang-kadang aku tidak
yakin apa pendapat Roxanne.
Tapi yang jelas, ia termasuk sahabat karibku. Ia juga suka fiksi
ilmiah, dan kami sudah janjian untuk menonton School Spirit
bersama-sama.
Aku naik untuk mencari buku matematika.
Aku membuka pintu kamar.
Aku melangkah masuk—dan tersentak.
2

LEMBARAN-LEMBARAN soal PR-ku berserakan di lantai.


Aku memang bukan anak yang paling rapi di dunia—tapi aku
tidak melemparkan PR-ku ke lantai.
Ehm, biasanya aku tidak begitu.
Maksudnya, hari ini aku tidak berbuat begitu.
Brutus—kucingku yang berbulu jingga—duduk di tengah-
tengah kertas yang bertebaran. Kepalanya setengah tersembunyi di
bawah tumpukan kertas.
"Brutus... ini kelakuanmu, ya?" aku bertanya dengan nada
menuduh. Brutus mendongak. Menatapku sejenak—lalu kabur ke
kolong ranjang untuk sembunyi.
Hmm. Aneh, pikirku. Brutus seperti ketakutan. Ini benar-benar
aneh.
Brutus tidak pernah bersembunyi. Ia kucing tergalak di sekitar
sini. Semua anak tetangga pernah dicakar Brutus—paling tidak sekali.
Aku menatap jendela. Jendela itu terbuka. Gordenku yang biru
muda menggembung karena embusan angin.
Aku memungut kertas-kertas dari lantai. Mungkin tertiup angin,
aku berkata dalam hati.
Tunggu dulu. Rasanya ada sesuatu yang tidak beres.
Aku kembali menatap jendela.
Aku yakin tadi sudah kututup.
Tapi bagaimana mungkin? Buktinya, jendela itu terbentang
lebar sekarang.
"Hai! Sedang apa kau?" Roxanne masuk ke kamarku.
"Ada yang aneh di sini," ujarku sambil menutup jendela.
"Jendela ini sudah kututup sebelum makan malam, tapi sekarang
terbuka lagi."
"Mungkin dibuka ibumu," balas Roxanne. "Kenapa
memangnya? Masa soal jendela saja kau jadi sewot sih!"
"Bukan begitu," kataku. "Tapi bukan Mom yang membukanya.
Juga bukan Dad atau Simon. Kami semua di bawah."
Aku menggeleng. "Aku yakin jendelanya sudah kututup. Cuma
Brutus yang ada di sini—dan pasti bukan dia yang membukanya."
Aku mengintip ke kolong ranjang. Brutus berbaring merapat ke
sepatu ketsku. Ia gemetaran.
"Ayo keluar, Brutus. Kemari," aku berusaha membujuknya.
"Jangan takut. Aku tahu dia aneh—tapi dia kan cuma Roxanne."
"Lucu sekali, Sammy." Roxanne memutar-mutar bola matanya.
"Mau tahu apa yang aneh? Adikmu yang aneh."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku ketemu dia waktu mau naik tadi. Mau tahu apa yang
sedang dilakukannya?" ia bertanya.
"Tidak," sahutku.
"Dia lagi berbaring di lantai ruang duduk. Di atas selembar
karton. Sambil mengikuti lekuk badannya dengan spidol," kata
Roxanne.
Aku mengangkat bahu. "Rupanya dia sudah mulai dengan
proyek ilmiahnya. Dia meneliti dirinya sendiri."
"Adikmu benar-benar aneh," kata Roxanne. "Terus ada lagi
yang aneh—caramu berlari tadi. Sangat aneh sekali. Aku baru tahu
ada orang yang berlari selambat kau."
Roxanne mengalahkanku dalam lomba lari waktu pelajaran
olahraga tadi, dan ia memanfaatkan setiap kesempatan untuk
mengejekku.
"Kau bisa menang karena SATU alasan," ujarku.
"Dan apa SATU alasan itu?" ia meniruku.
Aku setengah menyelinap ke kolong ranjang dan menarik
Brutus dari tempat persembunyiannya. Aku perlu mengulur waktu.
Supaya bisa mencari alasan yang bagus.
"Kau menang karena... kau kubiarkan menang!" kataku
akhirnya.
"Ya, tentu, Sammy." Roxanne menyilangkan tangan di depan
dada.
"Sumpah, kau kubiarkan menang," aku berkeras.
Pipi Roxanne jadi merah. Kelihatan jelas ia mulai naik pitam.
Aku paling senang membuatnya kesal.
"Kau kubiarkan menang—supaya kau lebih percaya diri untuk
menghadapi Olimpiade sekolah," kataku.
Wah! Roxanne semakin jengkel. Ia paling tidak senang ada
orang lain yang menolongnya. Dan ia selalu menganggap dirinya
paling hebat dalam segala hal.
Minggu depan sekolah kami akan berlomba melawan sekolah-
sekolah lain dalam acara Olimpiade mini. Roxanne dan aku sama-
sama masuk tim. Sama seperti tahun lalu. Roxanne berlatih setiap hari
untuk memastikan bahwa ia yang terbaik.
Tapi tahun lalu kami kalah.
Bisa dibilang karena kesalahanku. Aku kaget karena kilatan
lampu blitz yang terarah ke wajahku. Akibatnya aku tersandung—dan
jatuh.ebukulawas.blogspot.com
"Kau memang kalah tadi, Sammy—jangan banyak alasan," kata
Roxanne ketus. "Dan awas saja kalau kau sampai tersandung lagi
minggu depan. Jangan sampai kita kalah lagi gara-gara kau."
"Kejadian tahun lalu bukan salahku!" aku berseru. Tapi
Roxanne langsung menyela.
"Hei... ada apa dengan si Brutus?" ia bertanya sambil
memandang ke belakangku.
Aku berbalik dan melihat Brutus meringkuk di pojok—
bagaikan bola bulu.
"Aku juga heran. Dari pagi dia sudah agak aneh," kataku.
"Memang," Roxanne membenarkan. "Sampai sekarang dia
belum berusaha mencakarku. Malahan sikapnya... manis."
Brutus berdiri. Ia menatap jendela—dan melengkungkan
punggung.
Kemudian ia berbalik dan duduk sambil menghadap dinding.
Aneh.
"Nah, apa yang mau kita kerjakan untuk tugas akhir semester?"
Roxanne bertanya sambil menjatuhkan diri ke tempat tidurku.
Tugas akhir semester untuk pelajaran bahasa Inggris harus
diserahkan bulan depan. Ms. Starkling, guru kami, minta agar kami
bekerja berpasangan. Menurut Ms. Starkling, bekerja berpasangan
merupakan cara baik untuk melatih kerja sama dalam kelompok.
"Aku punya ide bagus," kataku. "Bagaimana kalau kita bikin
laporan tentang tanaman? Maksudku— seberapa banyak air yang
diperlukan dan sebagainya."
"Itu memang ide bagus," sahut Roxanne. "Untuk anak TK."
"Oke, oke. Biarkan aku berpikir sebentar." Aku bangkit dan
mondar-mandir. "Ah, aku tahu! Bagaimana kalau kita membahas
siklus hidup ngengat? Kita tangkap beberapa ekor, lalu kita lihat
seberapa lama sampai mereka mati!"
Roxanne menatapku sambil mengerutkan kening. Ia
mengangguk-angguk. "Menurutku... itu benar-benar konyol," katanya.
Huh, mana yang namanya semangat kerja sama kelompok?
"Ya sudah!" Aku menyilangkan tangan di depan dada.
"Sekarang kau yang harus mencari ide."
"Aku sudah punya kok," sahut Roxanne. "Sebaiknya kita bikin
laporan tentang Rumah Hantu. Aku tahu di Middletown sini ada
rumah yang ada hantunya. Letaknya di dekat hutan. Di seberang
universitas. Kita pasti bisa ketemu hantu sungguhan di sana!"
"Mana ada rumah hantu di Middletown," ujarku. "Aku tahu
banyak soal rumah hantu—dan aku tahu di sekitar sini tak ada satu
pun."
"Rumah di dekat hutan ada hantunya," Roxanne berkeras. "Dan
itulah yang harus kita selidiki untuk laporan kita. Aku akan bicara
dengan si hantu dan mencatatnya. Kau harus merekamnya dengan
kamera video."
Roxanne memang pantang menyerah.
Kadang-kadang ada bagusnya.
Tapi kadang-kadang justru sifat itulah yang paling kubenci.
Seperti sekarang, misalnya.
"Kau cuma buang-buang waktu, Roxanne. Aku ahlinya untuk
urusan hantu. Dan kujamin rumah itu tak ada hantunya," aku berusaha
menjelaskan kepada Roxanne.
Tapi itu kesalahan besar.
"Ah, kau cuma tak mau merekam kami pakai kamera video.
Kau ingin kau yang bicara dengan si hantu dan mencatatnya,"
Roxanne menuduh.
Aku menghela napas.
"Tapi ini ideku—jadi aku yang boleh pilih tugas," kata
Roxanne. "Ms. Starkling pasti terkesan kalau kita bisa mendapatkan
hantu sungguhan untuk proyek kita. Kurasa kita bakal mendapatkan
semacam penghargaan."
"Di kota ini tak ada hantu." Aku menggeleng. "Tempat ini
terlalu membosankan. Tak pernah ada kejadian seru di sini...."
Aku terdiam.
Terdengar erangan mengerikan entah dari mana.
Roxanne melompat turun dari tempat tidur.
Ia setengah bersembunyi di belakangku.
Kami menghadap ke arah suara itu, yang sepertinya berasal dari
lorong di depan kamarku.
"A-apa itu?" Roxanne bertanya dengan suara bergetar. Ia
menunjuk ke pintu.
Dengan ngeri kami menatap cahaya seram di depan kamarku.
Cahaya seram berwarna putih.
Kami mundur selangkah.
Cahaya itu bertambah terang.
Dan semakin dekat.
Aku menahan napas.
"Sammy... apa itu?" Roxanne merengek.
"A-aku tak tahu."
Di depan mataku, cahaya putih itu mulai bergulung dan
meregang—sambil berusaha menjangkau kami.
3

KAMI mundur sampai merapat ke dinding.


Cahaya itu semakin terang, semakin putih.
Aku memejamkan mata karena silau.
Sekali lagi terdengar erangan—dan aku memekik tertahan.
"A-ada... hantu!" seruku. "Bukan, bukan hantu. Tapi... Dad?"
Dad masuk ke kamarku. Ia membawa semacam lampu yang
terang benderang.
"Ini hantunya!" ujar Dad sambil tertawa.
Jantungku langsung berhenti berdegup-degup.
Brutus mengeong keras-keras dan melesat keluar dari kamarku.
"Wah... tadinya Dad pikir kucing ini tak kenal takut!" Dad
kembali tertawa.
Mom menyusul ke kamarku. "Katamu laser ini dibawa pulang
untuk diperbaiki. Bukan untuk menakut-nakuti anak-anak," Mom
menegur Dad.
"Hei, aku cuma main-main," balas Dad. "Kalian juga
menganggapnya lucu—ya, kan? Sammy? Roxanne?"
"Ya... lucu sekali, Dad," ujarku sambil geleng-geleng. "Salah
satu lelucon Dad yang paling lucu. Haha."
"Aku tahu itu lampu laser." Roxanne kembali ke ranjang. Ia
duduk sambil berusaha pasang tampang tenang. "Aku cuma pura-pura
karena melihat betapa takutnya Sammy tadi. Triknya bagus sekali, Mr.
Jacobs. Kita benar-benar berhasil menipu Sammy."
Kita menipu Sammy? Kita?
Rasanya aku ingin mencekik Roxanne saja.
Kadang aku benci padanya. Benar-benar BENCI.
Simon masuk kamarku sambil menggendong Brutus. "Gambar
badanku diinjak-injak kucingmu yang konyol ini. Sekarang aku
terpaksa mulai dari awal lagi."
Simon melepaskan Brutus ke lantai. Ia menatap lampu yang
dipegang Dad. Kemudian ia menoleh padaku.
"Sammy tertipu trik lampu itu?" ia bertanya terheran-heran.
"Jangan ikut campur!" aku langsung membentak adikku.
"Bukan. Ini bukan tipuan lampu," ujar Dad sambil tersenyum.
Mom berdeham—peringatan untuk Dad.
"Sebenarnya, Simon, alat ini dinamakan Lampu Detektor
Molekul." Sikap Dad menjadi serius. "Coba kemari dan perhatikan
baik-baik." Ia menyerahkan alat itu kepada Simon.
Kelihatannya sih seperti senter biasa—tapi jelas-jelas bukan.
Senter biasa tidak mengeluarkan cahaya putih menyilaukan yang
berdenyut-denyut.
"Apa kegunaannya?" Simon bertanya sambil mengamati tabung
keperakan yang berisi peralatan laser.
"Ini semacam sinar-X," Dad menjelaskan. "Kalau diarahkan ke
udara, kita bisa melihat segala macam jenis serangga dan benda yang
biasanya tak kelihatan."
"Aku tahu apa gunanya." Simon mengarahkan laser itu padaku.
"Gunanya untuk melacak otak SAMMY!"
Semuanya tertawa. Termasuk Mom.
"Hei! Lucu sekali!" Roxanne menepuk-nepuk punggung Simon.
"Ini pertama kali aku mendengar kau menceritakan lelucon."
"Itu bukan lelucon," balas Simon serius.
Yang lainnya malah tertawa semakin keras.
"Keluar!" seruku. "Semuanya keluar!"
Mom, Dad, dan Simon keluar sambil terus tertawa.
"Bagaimana dengan PR matematika kita?" tanya Roxanne.
"Kita kan rencananya mau mengerjakannya bersama-sama."
"Aku lagi malas memikirkan matematika," aku menggerutu.
"Oke. Oke." Roxanne menuju ke pintu. "Terserah kalau kau tak
mau mengerjakannya. Tapi aku harus. Ms. Starkling bilang besok
giliranku maju ke papan tulis. Aku tak mau bikin kesalahan di depan
semua teman kita."
Roxanne pergi untuk mengerjakan PR.
Aku membuka buku matematika untuk melakukan hal yang
sama.
Kutatap angka-angka di hadapanku.
Tapi aku tidak bisa berkonsentrasi.
Besok aku bangun pagi-pagi saja, pikirku. PR-nya kuselesaikan
sebelum aku berangkat sekolah.
Aku bangkit untuk berganti pakaian.
Brutus melompat ke kursi belajarku—ia selalu tidur di situ.
Aku menghampiri lemari pakaian—dan terantuk sesuatu di
tengah-tengah ruangan.
"Hei... apa itu?" Serta-merta aku berbalik.
Aku menatap lantai.
"Hah?"
Ternyata tidak ada apa-apa.
4

AKU mengamati lantai.


Kugelengkan kepalaku.
Aku tersandung—padahal tidak ada apa-apa?
Untung saja Roxanne tidak melihat kejadian ini. Aku pasti akan
diejeknya. "Lagi latihan, Sammy— supaya kita kalah lagi minggu
depan?"
Aku naik ke tempat tidur.
Aku mengatur posisi bantal dan meraih buku cerita hantu yang
sedang kubaca. Aku menatap halaman yang kubuka, tapi tulisannya
tampak kabur.
Akhirnya kututup buku itu, dan tak lama kemudian aku sudah
tertidur. Tapi sepanjang malam aku terus berputar dan berbalik.
Dalam keadaan setengah tidur, setengah sadar, aku duduk tegak dan
menepuk-nepuk bantal. Aku menarik selimut ke atas dan tertidur
lagi—tapi kemudian terbangun karena mendengar sesuatu.
Ada bunyi berkepak-kepak.
Gordenku mengepak-ngepak karena tiupan angin malam.
Aku duduk tegak. Kugosok-gosok mataku.
Aku memandang ke jendela.
Jendela yang terbuka!
Aku langsung turun dari ranjang dan menutup jendela.
Siapa yang membuka jendela? SIAPA?
Mungkinkah daun jendelanya bergeser sendiri ke atas?
TIDAK.
Pasti Simon, aku berkata dalam hati. Ini pasti ulah Simon.
Tapi mana mungkin? Simon tidak pernah iseng. Ia selalu serius.
Aku kembali ke tempat tidur—dan terus memandang ke
jendela. Aku menunggu jendelanya membuka lagi.
Tapi mataku terlalu berat, dan aku pun kembali terlelap.
**********
Keesokan paginya aku terlambat bangun. Biasanya aku selalu
dibangunkan Brutus. Tapi hari ini tidak.
Aku turun dari tempat tidur untuk memeriksa jendela. Masih
tertutup.
Aku menatap kursi belajarku. Brutus sudah pergi.
Cepat-cepat aku berpakaian. Aku sempat melihat bayanganku di
cermin sebelum keluar kamar. Tampangku berantakan sekali.
"Sammy, tampangmu minta ampun," kata Mom. "Kau
begadang ya semalam?"
Aku duduk di depan meja dapur. Dad duduk di seberangku. Ia
sedang membaca koran.
"Tidak, aku tidur seperti biasa," jawabku.
Dad mengintip dari balik korannya. "Kau terlalu banyak
membaca cerita hantu, Sammy. Kau pasti tidur lebih enak kalau lebih
banyak membaca buku pengetahuan."
Dad kembali asyik dengan korannya.
Mom menuangkan sereal ke mangkukku. Aku baru makan
sesuap ketika Simon memanggilku.
"Sammy... coba kemari," ia berseru dari kamarnya. "Aku perlu
bantuanmu."
Aku tidak menggubrisnya.
Aku makan sesuap lagi.
"SAM-MY!" ia memekik.
"Sammy, coba lihat ada apa," Mom memerintahkan.
"SAM-MY! SAM-MY!"
"APA?" aku berseru sambil menyerbu ke kamarnya. "Ada apa
sih?"
"Tuh!" ia menyahut sambil menunjuk ke tempat tidur. "Coba
lihat itu!"
Brutus meringkuk di ranjang Simon.
"Semalam dia tidur di sini," kata Simon. "Dan sekarang dia tak
mau keluar. Dia tak mau pindah."
"Brutus tidur di sini?"
Ah, mana mungkin?
Brutus selalu tidur di kamarku. Selalu.
"Ya, dia tidur di sini," ujar Simon. "Dan sekarang dia harus
keluar!"
"Kenapa sih? Biarkan saja di sini." Aku berbalik dan menuju ke
pintu.
"Tunggu!" seru Simon. "Dia tidak bisa tetap di sini! Tidak
bisa!"
"Kenapa memangnya?" aku bertanya dengan heran.
"Karena aku harus membereskan tempat tidur," jawab Simon.
Aku menatap adikku sambil mengerutkan kening. "Kau ini
makhluk dari planet mana sih?"
"Sammy," Simon merengek. "Aku harus membereskan tempat
tidur. Mom bilang begitu."
"Tutupi saja Brutus dengan selimut. Mom takkan tahu ada yang
menggembung di tengah."
Beberapa detik kemudian aku sudah kembali ke dapur. Aku
kembali duduk di depan meja.
Mom melongok dari belakangku. "Sammy, cepat sekali kau
menghabiskan serealmu!"
"Hah?"
Aku menatap mangkuk di hadapanku.
Bersih. Habis. Licin.
5

"A-ADA yang makan serealku!" aku tergagap.


"Astaga, kau benar!" seru Mom. "Pasti ada hantu di sini!"
Mom dan Dad tertawa.
Aku menatap mangkuk yang kosong—dan sendok yang
tergeletak di sampingnya.
"Lihat!" aku berseru. "Ini buktinya! Sendoknya ada di kiri
mangkuk. Padahal aku selalu menaruhnya di kanan—sebab aku tidak
kidal. Ya, kan?"
Aku menunjuk sendok di meja.
Bukti yang kuandalkan.
"Jangan bercanda terus, Sammy. Nanti kau terlambat sekolah."
Mom berpaling kepada Dad. "Kita juga harus berangkat."
"Dad yang makan serealku, ya?" aku bertanya ketika Dad
meraih tas kantornya. "Lalu memindahkan sendoknya? Biar aku
bingung?"
"Kau terlalu banyak membaca cerita hantu," kata Dad. "Terlalu
banyak." Kemudian ia dan Mom berangkat kerja.
Selama beberapa menit aku duduk termenung di meja dapur.
Aku cuma duduk sambil menatap mangkuk kosong di hadapanku.
Ada yang makan serealku.
Aku tidak sinting, kataku dalam hati.
Ada yang makan serealku.
Tapi siapa?
************
"Sammy. Sammy."
Hah?
"Sammy, maukah kau menjelaskan pada kami semua apa yang
begitu menarik di luar?" Ms. Starkling berdiri di depan kelas sambil
menyilangkan tangan. Ia menunggu jawabanku.
Beberapa murid tertawa cekikikan.
Aku memang memandang ke luar jendela kelas tadi. Aku
sedang merenungkan—soal jendelaku. Jendela kamarku yang terbuka.
Dan juga tentang serealku yang mendadak lenyap.
"Ehm... tidak. Maksud saya, tidak ada apa-apa," ujarku.
"Maksud saya... tak ada yang menarik di luar."
Anak-anak kembali tertawa.
"Sammy, coba maju ke papan tulis, dan tunjukkan pada teman-
temanmu bagaimana cara menyelesaikan persamaan ini."
"Tapi sekarang giliran Roxanne," aku memprotes. "Maksud
saya, bukankah hari ini giliran Roxanne yang maju?"
"Ayo, Sammy." Ms. Starkling mengetuk-ngetuk papan tulis
dengan sepotong kapur. "Cepat."
Aku melirik ke arah Roxanne. Ia cuma mengangkat bahu.
Wah, kelihatannya aku bakal mendapat kesulitan.
Aku tidak mengerjakan PR matematika semalam. Dan aku juga
tidak sempat mengerjakannya tadi pagi—karena Brutus tidak
membangunkanku.
Pelipisku berdenyut-denyut ketika aku maju ke depan kelas.
Aku berjalan pelan-pelan. Sambil menatap persamaan yang tertulis di
papan tulis. Aku berusaha mencari cara mengerjakannya sebelum aku
sampai di depan.
Tapi aku sama sekali tidak tahu.
Ms. Starkling menyerahkan sepotong kapur padaku.
Suasana jadi hening.
Aku menatap deretan angka di hadapanku.
Telapak tanganku mulai basah karena keringat.
"Coba baca persamaan itu keras-keras," Ms. Starkling
menyarankan. Nada suaranya ramah, tapi aku tahu ia mulai tidak
sabar.
Aku membaca persamaan tersebut.
Tapi percuma saja.
Kuangkat kapur itu, walaupun aku tetap saja tidak tahu apa
yang mesti kulakukan.
Aku kembali menatap angka-angka itu.
Beberapa anak mulai tidak sabar dan menggeser-geser kursi
masing-masing.
Aku menempelkan kapur ke papan tulis—dan memekik
tertahan.
Aku merasa sesuatu meremas tanganku. Sesuatu yang dingin
dan lembap.
Lututku mulai gemetaran.
Aku merasakan embusan napas panas mengenai wajahku.
Aku berusaha mundur—tapi tidak bisa bergerak.
Ada sesuatu yang meremas jemariku, semakin lama semakin
kencang. Sampai terasa nyeri.
Aku berusaha membebaskan diri. Tapi kemudian tanganku
mulai bergerak melintasi papan tulis.
Tanganku bergerak—dan mulai menulis!
Seseorang menuliskan angka-angka untukku! Seseorang
memegang tanganku! Dan menggerakkannya! Dan memecahkan
persamaan itu!
Seseorang yang tidak kelihatan.
6

KUTARIK tanganku. Aku membebaskan diri dari cengkeraman


lembap yang tidak kelihatan itu.
Kemudian aku melepaskan kapur itu—dan mulai menjerit.
Dan kabur dari kelas.
Aku berlari ke lorong. Aku bersandar ke dinding di luar
kelasku. Tanganku gemetaran. Lututku bergoyang-goyang.
Aku masih bisa merasakan jari dingin yang mencengkeram
tanganku tadi.
Aku mendengar Roxanne di dalam—ia menawarkan diri untuk
menyelesaikan persamaan tadi.
"Sammy." Ms. Starkling menyusulku ke lorong. "Ada apa? Kau
sakit? Kau perlu ke ruang P3K?"
"S-saya tidak sakit," sahutku tergagap.
Aku enggan menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Kau yakin tak apa-apa? Kau kelihatan kurang sehat." Ms.
Starkling menempelkan tangan ke keningku.
"Saya tidak apa-apa," aku berbohong. "S-saya cuma agak
pening—karena tak sempat sarapan tadi pagi."
Ms. Starkling percaya. Ia menyuruhku ke kantin untuk makan
sesuatu.
Ketika menyusuri lorong, aku tetap bisa merasakan tangan
dingin yang memegang tanganku tadi.
Aku masih bisa merasakan embusan napas panas yang menerpa
wajahku.
Aku masih bisa merasakan kekuatan yang menggerakkan
tanganku di papan tulis.
Aku merinding.
Mungkin Dad benar. Mungkin aku memang terlalu banyak
membaca cerita hantu.
**********
Aku pulang sekolah seorang diri. Aku memang ingin sendirian
karena perlu berpikir.
Tiba-tiba terdengar langkah di belakangku. Langkah berdebam-
debam yang menuju ke arahku.
"Sammy... tunggu!" Ternyata Roxanne.
Aku berlagak tidak mendengarnya, dan terus saja berjalan.
"Sammy!" Roxanne menyusulku sambil terengah-engah. "Ada
apa sih tadi?"
"Tak ada apa-apa."
"Jangan berlagak bodoh," ia berkeras. "Pasti ada apa-apa waktu
pelajaran matematika tadi."
"Aku tak mau bicara tentang itu," ujarku.
"Aku jago matematika," Roxanne berkata sambil tersenyum.
"Aku mau membantumu—kalau ada yang belum kau mengerti."
"Aku... tidak... butuh... bantuan," ujarku sambil mengertakkan
gigi. Aku mulai mempercepat langkahku—tapi Roxanne juga berjalan
lebih cepat.
Kami sama-sama membisu.
Akhirnya Roxanne angkat bicara, "Bagaimana kalau kita ke
rumah hantu malam Minggu nanti? Untuk proyek kita. Oke?"
"Lihat nanti saja. Sekarang aku harus pulang dulu. Nanti
kutelepon."
Aku mulai berlari—dan meninggalkan Roxanne terbengong-
bengong di belakangku.
Aku ingin pulang.
Aku ingin memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi.
Aku ingin memikirkannya—seorang diri.
Aku masuk ke rumah sambil memikirkan jendela kamarku.
Apakah jendela itu bakal terbuka lagi? Aku sudah memastikan jendela
tertutup rapat sebelum berangkat sekolah tadi.
Aku mulai menaiki tangga. Tapi aku berhenti ketika mendengar
Brutus mengeong di dapur. Ia selalu mengeong seperti itu kalau minta
keluar.
"Oke, oke. Tunggu sebentar."
Brutus mulai meraung-raung.
"Sabar dong, Brutus. Aku..."
Aku berhenti di pintu dapur. Brutus duduk di salah satu kursi.
Bulunya berdiri tegak. Ia memperlihatkan giginya dan mendesis-desis.
Aku mengikuti arah pandangannya—dan memekik kaget.
Di meja makan ada piza.
Dan sepotong piza tampak melayang di atas piring—tanpa ada
yang memegangnya.
Mataku terbelalak lebar ketika potongan piza itu melayang
semakin tinggi.
"S-siapa itu?" tanyaku tergagap. "Aku tahu ada orang di sini.
Siapa kau?"
7

"SIAPA kau?" aku bertanya sekali lagi.


Tak ada jawaban.
Aku menatap potongan piza yang melayang-layang di
hadapanku.
Aku melihatnya digerogoti segigit demi segigit. "Hei, siapa
kau?" seruku. "Jangan menakut-nakuti orang!"
Satu gigitan lagi lenyap dari potongan piza itu. Lalu satu lagi.
"Mustahil, ini tak mungkin," aku berbisik.
Hmm, mataku akan kupejamkan. Dan kalau kubuka lagi—aku
akan sadar semuanya ini cuma khayalan, aku berkata dalam hati.
Mulai sekarang aku takkan pernah lagi membaca cerita hantu,
janjiku pada diriku sendiri.
Atau menonton film fiksi ilmiah.
Satu gigitan piza lagi lenyap.
Kupejamkan mataku.
Lalu kubuka lagi.
Potongan piza itu telah lenyap.
Aku menarik napas lega.
Kemudian aku sadar piza itu hilang karena... HABIS
DIMAKAN.
"SIAPA KAU?" seruku. "Ayo, mengakulah. Atau aku..."
"Sammy... kau bicara dengan siapa?" Mom berdiri di ambang
pintu dapur sambil menatapku.
"Ada orang di sini!" seruku. "Orang yang lagi makan piza!"
"Mom juga tahu," ujar Mom. "Mom tahu ada yang
menghabiskan setengah piza—sebelum makan malam. Sammy, kau
kan tahu kau tak boleh jajan sebelum makan malam!"
"Bukan! Bukan aku!" seruku.
"Tentu saja bukan kau," kata Mom. "Pasti hantu tadi pagi—ya,
kan? Hantu yang menghabiskan serealmu. Yang benar saja, Sammy.
Ini serius. Kau kan sudah sering diberi tahu—jangan jajan sebelum
makan malam. Kau sudah cukup besar untuk mengerti, kan?"
"Tapi, Mom..."
"Tak ada tapi! Sekarang kau naik ke kamarmu. Bereskan
kamarmu sebelum kita makan," Mom memerintahkan. "Kamarmu
masih berantakan. Masukkan semua baju kotor ke tempat pakaian
kotor, lalu rapikan tempat tidur."
"Tapi sekarang kan masih siang. Apa gunanya merapikan
tempat tidur sekarang," aku mencoba berkelit.
"Sam-my!" Mom menatapku sambil memicingkan mata. Mom
selalu memicingkan mata kalau sedang marah. Dan sekarang ini
matanya benar-benar sipit. "CEPAT!"
Mom membuka lemari es untuk mengambil minuman.
Aku berbalik—dan berhenti seperti patung.
Tepat di belakang Mom, Brutus mulai bergerak naik dari kursi
dapur. Ia mengambang. Semakin lama semakin tinggi.
Bulunya berdiri tegak. Ia memandang ke lantai dan mengeong
keras-keras. Ia mengeluarkan cakarnya untuk melompat....
"Mom, lihat!" teriakku. "Lihat Brutus!"
Mom segera berbalik—tapi terlambat. Brutus sudah mendarat
dengan selamat di kursi makan.
Kedua mata Mom semakin sipit. "Naiklah ke kamarmu,
Sammy! Sekarang juga!"
Apa lagi yang bisa kulakukan?
Aku keluar dari dapur dan menuju ke tangga. Aku masuk ke
kamarku—dan berseru tertahan.
Kamarku!
Kamarku kelihatan seperti tempat sampah.
Kotak-kotal sereal bertebaran di lantai. Bungkus-bungkus
makanan yang berminyak dan kotak-kotak bekas jus berserakan di
meja belajarku, lemari pakaianku, kursiku—di mana-mana.
Aku maju selangkah dan mendengar bunyi berderak. Aku
menoleh ke bawah—dan mengerang. Lantai kamarku penuh kotak
Frosted Flakes dan Corn Pops.
"Siapa yang melakukan ini?" teriakku. "Siapa yang membuat
kamarku jadi berantakan?"
Aku menjatuhkan diri ke ranjang—dan merasakan sesuatu yang
lengket di pantat celanaku. "Ihhh, jijik!" erangku. "Selai kacang
campur jeli."
Aku menyibakkan selimut agar mendapatkan tempat bersih
untuk duduk—dan menemukan sisa spageti tadi malam ditambah
tulang-tulang paha ayam.
"Perbuatan siapa ini?" Aku menggeleng. "SIAPA?"
Jangan-jangan kamar Simon juga begini? aku bertanya dalam
hati. Dan kamar Mom dan Dad? Aku bergegas ke ujung lorong untuk
memeriksanya.
Kamar Simon tampak bersih tanpa cela. Kamar Mom dan Dad
juga rapi sekali.
Aku kembali ke kamarku—dan terbelalak.
"Sammy!" ujar Mom sambil bertolak pinggang. Wajahnya
merah karena marah. "Apa yang kaulakukan?"
8

"B-BUKAN aku yang melakukannya, Mom!" seruku. "Bukan


aku yang membuat kamarku jadi berantakan!"
"Jangan berdalih," balas Mom sambil menghela napas. "Siapa
lagi kalau bukan kau? Bukan Mom! Bukan Dad! Juga bukan Simon!
Jadi siapa kalau bukan kau sendiri, Sammy?"
"M-mungkin memang Simon," sahutku. Aku tidak tahu apa lagi
yang mesti kukatakan. Tapi seharusnya aku tidak bilang begitu.
"Kaubuat kamarmu jadi berantakan. Lalu kausalahkan adikmu!
Sammy... apa-apaan ini? Kau baru boleh turun setelah kamarmu
bersih berkilau. Mom akan bicara dengan Dad untuk menentukan
ganjaran yang akan kauterima."
Mom berbalik. "Dan jangan turun untuk makan malam. Kau
sudah makan terlalu banyak!"
Aku berdiri di tengah kamar dan mendengarkan Mom menuruni
tangga.
"Bagaimana aku bisa membereskan semuanya ini?" tanyaku.
"Bisa-bisa aku baru selesai tahun depan."
"Aku akan membantumu."
Hei... suara siapa itu?
Aku berbalik dan memandang ke pintu.
Tak ada siapa-siapa.
"Ayo, Sammy," suara itu mendesak. Sepertinya suara anak
cowok. "Kita mulai saja, atau tugas ini takkan pernah selesai."
Dengan mata terbelalak aku melihat sebuah kotak sereal mulai
mengambang di atas tempat tidurku. Kotak sereal itu melayang ke
seberang kamar, lalu jatuh ke keranjang sampah.
"S-siapa kau?" tanyaku tergagap. "Dari mana kau tahu
namaku?"
Kotak sereal lain mulai melayang. Lalu satu lagi. Semuanya
jatuh ke keranjang sampah.
Aku menunggu jawaban anak cowok itu.
Tapi ia diam saja.
Aku menatap kotak sereal terakhir—kupikir kotak itu pun akan
melayang.
Tapi ternyata kotak tersebut tetap tergeletak.
"Di mana kau?" aku berbisik.
Tak ada jawaban.
Aku memandang berkeliling—siapa tahu ada sesuatu yang
mencurigakan. Ke mana dia?
Aku mendengar bunyi gemeresak dan langsung berbalik.
Bantalku melayang di udara. Aku melihat sarung bantal itu
terlepas—tanpa ada yang mencopotnya!
"Di mana tempat seprai bersih, Sammy? Seharusnya kau
merapikan tempat tidur setelah bangun— seperti Simon."
"Dari mana kau kenal aku?" Suaraku mulai meninggi. "Dari
mana kau tahu namaku? Siapa kau?"
"Tenang saja" sahut anak cowok itu. "Jangan tegang. Aku baru
tiba tadi malam. Aku tahu namamu dari Roxanne."
"Kau... kau kenal Roxanne?"
"Tidak. Aku tidak kenal Roxanne. Tapi tadi malam aku
mendengar dia menyebut namamu," ia menjelaskan. "Waktu dia
datang untuk mengerjakan PR bersamamu."
"Kau... sebenarnya... apa?" tanyaku pelan-pelan.
Jantungku berdegup kencang ketika aku menunggu jawaban
anak cowok itu. Namun ia hanya membisu.
"KAU SEBENARNYA APA?" seruku. "Ayo, jangan diam saja!
Apakah kau... HANTU?"
9

"HANTU!" Anak itu langsung tergelak-gelak.


"Kau tak percaya hantu, kan?" ia bertanya padaku.
"Tentu saja tidak," sahutku. "Aku tak percaya hantu. Aku cuma
tak tahu apa istilah yang tepat untuk anak yang tak kelihatan."
"Oke, oke. Kau ada benarnya," ia berkata. "Bukan—aku bukan
hantu. Aku masih hidup."
Sekonyong-konyong terdengar bunyi gesekan.
Aku tersentak—dan melihat kursi belajarku ditarik menjauhi
meja.
"Kau tak keberatan kalau aku duduk, kan?" ujarnya. "Wow...
panas sekali di sini." Lembaran PR matematikaku dari semalam mulai
melayang dan melambai-lambai.
"Kau yang selalu membuka jendelaku?" aku bertanya.
"Ya. Habis di sini panas sekali. Kenapa kau membiarkan
kamarmu sepanas ini?" tanyanya.
"Sudahlah, masa bodoh dengan jendela itu!" kataku.
"Sebenarnya kau mau apa? Kenapa kau ada di sini? Apakah kau yang
membuat kamarku jadi berantakan?"
"Ehm... ya, memang aku. Sori. Habis aku lapar sekali."
Suaranya menjadi lebih pelan. "Aku cuma mau menjadi sahabatmu,
Sammy."
"Ini tidak masuk akal!" balasku. "Bagaimana mungkin kau
bersahabat denganku? Melihatmu saja aku tak bisa! Kau tembus
pandang!"
"Aku tahu," katanya pelan-pelan. Nada suaranya agak sedih.
"Sepanjang yang kuingat, aku sudah tak kelihatan. Karena itulah aku
sulit mendapat teman."
"Ehm... di mana orangtuamu?" aku bertanya.
"Entahlah. Aku tak tahu. Mereka meninggalkanku. Aku tak tahu
kenapa, dan aku juga tidak tahu ke mana mereka pergi. Aku cuma
tahu namaku. Aku Brent Green, dan umurku dua belas."
Brent Green. Anak cowok yang tembus pandang. Di sini, di
kamarku.
Wah, rasanya sulit dipercaya.
Aku sudah membaca setumpuk buku fiksi ilmiah. Dan aku
percaya sebagian besar yang kubaca. Tapi anak yang tembus pandang
di kamarku? Nanti dulu!
"Brent, aku tak tahu apakah aku bisa bersahabat denganmu.
Ini... ini terlalu aneh."
"Sammy, kau bicara dengan siapa sih?" Simon muncul di
kamarku. Ia memandang berkeliling. "Hei! Tak ada siapa-siapa di sini.
Kau bicara dengan dirimu sendiri?"
Aku berpaling dari kursi belajarku. "Ya, Simon. Aku cuma
bicara dengan diriku."
Aku enggan memberitahu Simon soal Brent. Paling tidak, untuk
sementara waktu. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang Brent.
Aku harus menjadi ahli dulu dalam hal manusia tembus pandang
sebelum aku menceritakannya kepada keluargaku!
"Kau sudah sinting, Sammy. Benar-benar sinting." Simon
kembali memandang berkeliling. "Wah, kamarmu berantakan sekali.
Bisa-bisanya kau membuat kamarmu berantakan seperti ini. Pantas
saja Mom marah. Kau bakal dapat masalah. Masalah besar."
Simon meraih tulang paha ayam yang tergeletak di tempat
tidurku. "Idih!" Ia memegangnya dengan dua jari, lalu
menjatuhkannya kembali ke tempat tidur. Jorok sekali!"
Dengan hati-hati ia melangkahi sereal yang bertebaran di lantai.
Perlahan-lahan ia menuju ke kursi belajarku. Kursi yang
diduduki Brent.
"Jangan..." Aku berusaha memperingatkan Simon.
Tapi terlambat.
10

AKU melihat kursinya bergeser sebelum diduduki Simon.


Bergeser sendiri—tanpa ada yang menyentuhnya.
Simon terduduk di lantai! Ia menduduki gumpalan jeli.
Mulutnya ternganga lebar karena kaget.
"Kau keterlaluan, Sammy! Awas, aku akan memberitahu
Mom!"
"Aku tidak melakukan apa-apa!" aku memprotes. "Kau saja
yang kurang hati-hati. Salahmu sendiri!"
Simon berdiri dan langsung meninggalkan kamarku.
"Ha! Ha!" Brent tertawa. "Seru, kan? Kutarik kursinya—dan dia
langsung jatuh!"
Simon-sudah ada di bawah—untuk mengadukan perbuatanku
pada Mom. Tapi aku toh bakal dihukum. Jadi apa pengaruhnya? Dan
terus terang saja—melihat Simon jatuh seperti tadi memang lucu.
Mungkin ada bagusnya juga kalau aku punya sahabat yang
tidak kelihatan. Sepertinya cukup mengasyikkan.
"Brent, bagaimana rasanya kalau kita tak kelihatan? Apakah
kau bisa—menerobos dinding, misalnya?" aku bertanya.
"Tidak," jawab Brent. "Aku tak bisa menerobos apa pun."
"Apakah kau... ehm... pakai baju?" tanyaku.
Brent tertawa. "Jangan takut, Sammy. Aku pakai baju,"
sahutnya. Kemudian ia menghela napas. "Se-benarnya aku anak biasa.
Aku sama saja denganmu—hanya saja aku tidak bisa dilihat."
Aku sama saja denganmu—hanya saja aku tidak bisa dilihat.
Tiba-tiba aku mendapat ide.
"Brent, apakah kau bisa membuatku tidak kelihatan? Untuk
sementara saja. Biar aku tahu bagaimana rasanya."
"Coba kalau aku bisa. Pasti asyik deh. Tapi aku tak tahu
bagaimana caranya. Sori," ia minta maaf. "Hei! Kita harus mulai
bekerja nih. Tempat ini masih berantakan sekali."
Brent dan aku selesai membereskan kamar tepat ketika bel pintu
depan berdering.
Aku mendengar Mom membuka pintu. Sedetik kemudian
Roxanne menyerbu ke kamarku sambil membawa sekitar seribu buku.
Semuanya dilemparkannya ke lantai. Gubrak!
"Hai, Sammy!" Ia tersenyum. "Aku kemari untuk membantumu
mengerjakan PR matematika. Kubawa semua buku matematika yang
kupunyai."
"Wah, aku senang sekali kau datang!" ujarku.
Roxanne tersenyum. "Sudah kuduga kau butuh bantuanku."
"Tapi bukan untuk PR matematika," aku menyahut sambil
menyingkirkan buku-bukunya. "Aku mau memperkenalkanmu pada
seseorang. Namanya Brent. Dia tak bisa dilihat, tapi ada di sini! Di
kamarku!"
Roxanne membelalakkan mata. "Cowok yang tidak kelihatan?"
ia berbisik.
"Ya!" sahutku. "Dia di sini!"
Roxanne memandang berkeliling—lalu memekik. "A-aku
melihatnya!"
"O ya?" tanyaku.
"Ya!" ia menegaskan sambil menunjuk meja belajarku. "Aku
melihatnya! Dia berdiri di situ!"
11

"KAU bisa melihatnya?" aku bertanya sambil terheran-heran.


Aku menghadap meja belajarku.
Aku memicingkan mata.
Tapi aku tidak melihat apa-apa.
Roxanne tertawa. "Ketipu!"
Ia mendorongku dari belakang, dan aku nyaris terjerembap.
"Sudahlah, permainan konyol ini mulai membosankan," Roxanne
bergumam. "Kau mau mengerjakan PR matematika atau tidak?"
"Tapi—aku serius," aku berkeras. "Ini bukan lelucon."
Roxanne duduk di tepi tempat tidurku. Ia menghela napas.
"Biar kubuktikan," aku berkata padanya. "Nih, coba perhatikan
baik-baik."
Aku memandang berkeliling sambil menduga-duga di mana
Brent berdiri. "Brent... coba angkat salah satu buku Roxanne," ujarku.
"Tunjukkan bahwa kau ada di sini."
Aku menatap buku-buku di lantai. Tunggu sampai Roxanne
melihat ini! pikirku. Dia pasti kaget sekali!
Pandanganku terus tertuju pada tumpukan buku di hadapanku.
Aku sudah tak sabar menunggu salah satunya mulai melayang.
Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa.
"AYO DONG, Brent," aku memohon.
Aku mengambil pensil dari meja dan menyodorkannya ke
depan. "Ambil pensil ini. Bikin pensil ini melayang-layang di udara!"
Tetap tidak terjadi apa-apa.
Roxanne geleng-geleng. "Aduh! Aku tak punya waktu untuk
lelucon konyol ini, Sammy. Lagi pula, ini tidak lucu."
"Brent? Hei... Brent?"
Percuma saja. Brent tidak mau bekerja sama.
Aku duduk di kursi belajar dan mengangkat tangan. "Terima
kasih, Brent. Terima kasih banyak."
"Siap untuk matematika?" tanya Roxanne.
"Belum, aku belum siap," hardikku.
"Jangan marah-marah dong," kata Roxanne. "Sebenarnya—ada
alasan lain kenapa aku kemari." Ia turun dari tempat tidur dan mulai
memunguti buku-buku matematikanya dari lantai.
"Aku kemari karena aku mau tanya. Kita jadi pergi ke rumah
hantu malam Minggu besok?"
"Kita tak perlu ke rumah hantu," seruku. "Laporan kita bisa kita
bikin di sini. Di kamarku. Kita bisa bikin laporan tentang Brent.
Brent—si Invisible Kid!"
"Ya. Ya. Ya." Roxanne mulai mengangkat tumpukan bukunya.
"Si Invisible Kid."
Aku menghela napas panjang.
"Begini, Sammy. Kita sudah harus mulai dengan proyek kita.
Laporan kita harus yang terbaik. Dan bukan cuma di kelas kita, tapi
dalam sejarah seluruh sekolah."
"Bagaimana kalau besok saja kita bahas semuanya ini,
Roxanne? Aku lagi malas bicara soal sekolah."
Aku capek—dan lapar. Aku belum makan apa-apa sejak makan
siang. Dan aku ingin mencoba sekali lagi untuk berbicara dengan
Brent.
"Tidak. Ini tidak bisa ditunda sampai besok!" Kelihatan jelas
bahwa kesabaran Roxanne sudah mulai menipis. "Kita harus mulai
menyusun rencana dari sekarang. Malam minggu aku mau ke Hedge
House."
"Hedge House? Apa itu?" tanyaku.
Roxanne menghela napas. "Itu rumah hantu yang kumaksud.
Rumah di dekat universitas. Itu namanya. Aku sempat baca-baca
tentang rumah itu."
Roxanne memeriksa tumpukan bukunya. "Ah, ini dia! Buku
tentang Hedge House. Mau dengar sebagian?"
Memangnya ada pilihan lain? aku bertanya dalam hati. Aku
menyandarkan punggung dan berusaha memusatkan perhatian.
Roxanne berdiri di tengah ruangan. Ia mulai membaca.
"Sudah banyak kisah tentang horor di Hedge House," ia
berkata. "Tapi horor sesungguhnya mulai waktu keluarga Stilson
pindah ke rumah tersebut. Sudah bertahun-tahun rumah itu tidak
dihuni— karena semua orang tahu ada hantunya.
"Rumah itu dikelilingi pagar tanaman yang tinggi dan gelap,
segelap malam yang pekat.
"Orang-orang setempat tahu kenapa pagar tanamannya tumbuh
seperti itu. 'Ini kehendak sang arwah,' begitu mereka selalu berkata.
'Supaya rumahnya tetap dingin dan gelap—sedingin dan segelap
arwah itu sendiri.'
"Semua orang tahu itu—kecuali keluarga Stilson.
"Sejak hari pertama mereka tinggal di situ, hantu Hedge House
berkunjung ke kamar Jeffrey Stilson yang berumur sepuluh tahun. Si
hantu datang setiap malam."
"Jef-frey," dia mengerang-erang. 'Jef-frey... kau sudah
kutunggu.'
"Setiap malam Jeffrey terbangun sambil gemetaran karena
takut. Ia memandang kegelapan di kamarnya, mencari-cari orang di
balik suara itu. Tapi ia tak pernah melihat siapa pun.
"Ia menceritakan semua kunjungan itu pada orangtuanya.
Berulang-ulang. Tapi mereka tak mau percaya.
"'Jef-frey, kau sudah kutunggu,' suara si hantu kembali
terdengar pada suatu malam yang dingin sekali. 'Aku
membutuhkanmu.'
"'Mau apa kau?' pekik Jeffrey. 'Ayo, katakan apa maumu....'
"Begitu mendengar suara Jeffrey, si hantu pun menampakkan
diri.
"Hantu itu ternyata arwah pria muda. Dari zaman dulu. Jeffrey
mengetahuinya dari pakaian yang dikenakan si hantu—celana pendek
hitam dan berpotongan gombrong, dengan ujung di bawah lutut. Kaus
kaki panjang yang ditarik sampai bertemu dengan ujung celana. Dan
sepatu bot hitam dengan gesper perak yang mengilap.
"Jeffrey menatap si hantu.
"Ditatapnya baju hitam itu. Dengan terbelalak dia mengamati
lengan baju kanan yang terayun-ayun. Lengan baju tanpa lengan di
dalamnya.
"'Ikut aku, Jeffrey,' si hantu mengerang. 'Ikut aku— agar kau
tahu rahasia rumah mengerikan ini."’
Roxanne menutup bukunya dan meletakkannya di ranjang.
"Terus bagaimana?" tanyaku. "Apa rahasia Hedge Ho.use?"
"Aku tak tahu. Aku belum sampai ke bagian itu," jawab
Roxanne. "Tapi aku kenal beberapa orang yang pernah masuk ke
Hedge House. Dan mereka bilang mereka mengalami bermacam-
macam kejadian seram di sana."
"Apa, misalnya?" tanyaku.
"Ehm, mereka bilang pintu-pintu bisa membuka dan menutup
sendiri," jawab Roxanne.
Aku menahan napas—ketika pintu di belakang Roxanne
membuka dan menutup sendiri.
"Ya, Sammy," ujar Roxanne. "Kita memang bakal tahan napas
kalau kita membayangkannya."
Pintu kembali membuka dan menutup.
Lucu sekali, Brent! pikirku.
"Lalu ada buku-buku yang melayang dari rak buku," Roxanne
melanjutkan.
Brent mulai melempar-lemparkan tiga buku pelajaranku di
belakang Roxanne, persis seperti akrobat di sirkus. Berputar terus, dan
buku di tengah selalu membuka—tepat di atas kepala Roxanne!
Mau tidak mau aku tertawa.
"Apa yang lucu, Sammy?" Roxanne menatapku sambil
mengerutkan kening.
Aku mengangkat tangan dan menunjuk ke belakang Roxanrie.
Tapi ketiga buku itu segera melayang ke tempat asal.
Aku menghela napas. "Tak ada apa-apa."
"Oke. Ini memang tidak lucu. Aku serius sekali tentang laporan
ini. Kita harus membuat laporan terbaik yang pernah ada. Dan
kuminta kau membuat rekaman video yang bagus untuk membuktikan
hantu di Hedge House benar-benar ada!"
Kamera videoku mulai melayang-layang di belakang
Roxanne—dan aku kembali tertawa.
"SAMMY!" seru Roxanne gusar. "Sudah dong! Kau akan
kucekik kalau kau tak berhenti ketawa! Laporan ini penting sekali
bagiku. Bukan cuma nilainya yang kupikirkan. Aku bakal terkenal
kalau berhasil melacak hantu itu!"
"Hah?" Aku terbengong-bengong.
Roxanne menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia
melanjutkan, "Kata orang, hantu itu benci cahaya terang. Kata mereka,
dia langsung marah besar kalau sampai terkena cahaya—dan
menghancurkan segala sesuatu yang menghalanginya."
Aku mendengar bunyi berderit.
Aku memandang berkeliling—dan melihat bohlam di langit-
langit berputar pelan. Berputar sendiri.
Brent berdiri di atas lemari pakaianku, aku tahu. Dia mau
mencabut bohlam!
"Roxanne, cepat!" pekikku. "Coba lihat ke langit-langit!
Kaulihat itu? Sekarang kau percaya, kan?"
12

"KAULIHAT itu, Roxanne?" Saking bersemangatnya, aku


sampai melompat turun dari kursiku. Sekarang Roxanne harus percaya
padaku!
Aku menunjuk bohlam yang berputar sendiri— tanpa ada yang
memegangnya!
"Tuh!" seruku. "Betul, kan? Itu si anak yang tak kelihatan!"
Aku berbalik. Aku sudah tidak sabar untuk melihat Roxanne
terbengong-bengong!
Tapi ternyata ia tidak terbengong-bengong.
Aku malah tidak bisa melihat tampangnya.
Ia sedang berlutut sambil membungkuk untuk memunguti buku-
bukunya.
Aku kembali menoleh ke atas. Bohlam itu sudah tidak berputar.
"Roxanne! Kenapa kau tak menengok?" seruku. "Sekarang
sudah terlambat. Seharusnya kau menengok tadi!"
"Seharusnya kupilih pasangan yang lain," sahut Roxanne. "Aku
sudah muak dengan segala leluconmu, Sammy!"
Aku menjatuhkan diri ke kursi belajar.
Roxanne menggotong tumpukan bukunya dan menuju ke pintu.
"Oh, sekarang aku mengerti!" Ia berbalik dan menatapku. "Sekarang
aku tahu apa maksudmu!"
"Hah?"
"Kalau kau tak mau ikut ke rumah hantu, kenapa kau tak bilang
saja?" ujar Roxanne. "Kau tak perlu mengarang segala cerita ajaib
ini."
Roxanne mulai marah.
Biasanya aku senang kalau bisa membuatnya marah, tapi kali
ini tidak.
"Tolol," gerutunya. "Kaupikir aku tolol, ya? Aku mau pergi
sekarang, Sammy. Biar kau punya lebih banyak waktu untuk temanmu
yang tak kelihatan."
Kemudian ia bergegas keluar dari kamarku.
"Kau masih di sini, Brent?" aku bertanya sambil memandang
berkeliling.
Tidak ada jawaban.
Aku turun dari kursiku.
"Aku tahu kau di sini, Brent. Kenapa kau diam saja tadi?"
Kedua tanganku kukepalkan keras-keras. "Kenapa kau tak
memperlihatkan pada Roxanne bahwa kau ada di sini?" aku berseru
dengan gusar.
Hening.
"Oke. Oke. Aku minta maaf karena membentakmu. Aku tak
bermaksud begitu, Brent. Aku cuma ingin Roxanne percaya padaku."
Aku kembali duduk di kursi belajar.
"Brent? Aku mau minta maaf."
Tak ada jawaban.
"Jawablah," aku memohon. "Aku perlu bicara denganmu. Aku
ingin tahu lebih banyak tentang dirimu!"
Kamarku tetap sunyi.
Brent telah pergi.
Untuk selama-lamanya?
13

BETULKAH Brent pergi?


Jangan-jangan dia pergi karena kubentak, ujarku dalam hati.
Apakah dia akan kembali?
Pertanyaan-pertanyaan itu masih saja mengusik pikiranku
ketika aku berangkat sekolah keesokan paginya.
Anak yang tak kelihatan.
Aku didatangi anak yang tak kelihatan.
Wow!
Ini memang sulit dipercaya.
Sebenarnya aku ingin memberitahu Mom dan Dad soal Brent
semalam. Tapi aku dilarang keluar kamar. Biarpun aku sudah
membereskannya.
Itu gara-gara Simon. Ia mengadu pada Mom dan Dad bahwa
aku membuatnya jatuh. Dan karena itu mereka menyuruhku tinggal di
kamar sepanjang malam—supaya aku bisa merenung betapa
beruntungnya aku karena punya adik.
Tugas itu selesai dalam sedetik saja.
Selebihnya aku memikirkan Brent.
Apa sebenarnya yang dikehendakinya? aku bertanya-tanya
ketika naik bus sekolah. Katanya dia mau berteman denganku. Tapi
apakah dia bisa dipercaya?
Habis, coba pikir. Seorang anak tiba-tiba muncul di kamar kita.
Seorang anak yang tidak kelihatan. Itu saja sudah aneh. Lalu ia bilang
bahwa ia sekadar ingin berteman.
Sekonyong-konyong aku mendapat firasat buruk.
Brent menginginkan sesuatu dariku. Tidak mungkin tidak. Aku
sudah membaca setumpuk buku tentang hantu... monster... dan segala
macam makhluk gaib lainnya.
Dan satu hal sudah pasti. Mereka selalu mengincar sesuatu.
Tubuh kita. Otak kita. Darah kita. Pokoknya pasti ada deh.
Tubuhku. Itu dia. ËBÜKÜLÄWÄS.BLÖGSPÖT.CÖM
Pasti itu yang diincarnya.
Brent adalah hantu yang berlagak mau berteman denganku—
supaya bisa merampas tubuhku!
Pikiran itu membuatku merinding.
Semalam aku terlalu kaget—dan terlalu heran— untuk merasa
takut. Tapi sekarang aku punya waktu untuk berpikir. Dan aku mulai
ngeri.
Kenapa Brent datang ke rumah kami? Ke kamarku?
Barangkali dia mau diajak berunding, pikirku. Jangan ganggu
aku—tapi kau boleh mengambil adikku!
Aku tahu Brent takkan setuju—tapi aku tetap tersenyum.
Namun senyumku tidak bertahan lama.
Aku masuk ke sekolah dan berhenti di pintu. Aku melihat
Claire, anak cewek teman sekelasku, berdiri di tempat minum.
"Pasti. Pulang sekolah nanti aku ikut denganmu," aku
mendengarnya berkata. "Jangan—aku pasti datang."
Aku terbengong-bengong.
Claire bicara dengan—udara.
Perlahan-lahan aku menuju ke lemariku.
Anak cowok yang kukenal dari pelajaran seni sedang
mengutak-atik gemboknya. "Huh, kenapa tak bisa dibuka?" ia
mengomel. "Sebelum ini tak pernah macet."
Ia berpaling ke kirinya dan berkata, "Oke—kau saja yang
coba."
Padahal tidak ada siapa-siapa di sampingnya.
Ia bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan!
Aku memandang ke lorong yang panjang.
Lorong itu penuh anak-anak. Anak-anak yang sedang bicara.
Anak-anak yang sedang bicara dengan anak-anak yang tidak
kelihatan!
Mereka ada di mana-mana! aku menyadari.
Sekolahku penuh orang yang tak kelihatan!
14

"SAMMY!"
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Dalam
hati aku berdoa supaya aku bisa melihatnya.
Aku menarik napas lega.
Ternyata Roxanne.
"Roxanne! Kau takkan percaya...," aku mulai berkata.
Kemudian aku terdiam.
Roxanne tampak cengar-cengir.
Ia menghampiriku lalu tertawa terbahak-bahak.
Anak-anak lain di lorong sekolah juga tergelak.
"Kau... kau beritaku semuanya?" aku tergagap-gagap.
"Kauberitahu semua orang tentang anak yang tak kelihatan di
kamarku?"
Roxanne hendak menyahut, tapi tidak sanggup berkata apa-apa.
Ia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk, dan hanya bisa mengangguk.
"Tega-teganya kau berbuat begini!" teriakku.
"Sudahlah." Roxanne menepuk pundakku. "Ini kan cuma
bercanda."
"Ha ha," aku menyahut dengan lesu. Menurutku, perbuatan
Roxanne sama sekali tidak lucu. Aku akan membuat perhitungan
dengannya, aku berjanji pada diriku sendiri. Entah bagaimana caranya,
tapi aku akan balas dendam.
Aku masuk ke ruang kelas dan segera duduk.
Anak-anak lain terus berdatangan. Beberapa di antara mereka
masih tertawa. Ketika melihatku, mereka berlagak bicara dengan
orang yang tidak kelihatan lagi.
Wajahku merah padam.
"Kalian gembira sekali pagi ini!" Ms. Starkling berkomentar.
"Baiklah, semuanya harap tenang. Keluarkan PR kalian."
"Oh, ya ampun," gumamku.
Aku belum mengerjakan PR semalam. Aku benar-benar lupa.
Aku memandang berkeliling.
Ternyata cuma aku yang tidak membuat PR.
"Kumpulkan tugas kalian ke depan," kata Ms. Starkling.
Claire duduk di hadapanku. Ia menunggu aku menyerahkan PR-
ku sebelum meneruskannya ke depan.
Aku menepuk pundaknya. "Aku tidak bawa," bisikku.
"Oh-oh," katanya. "Apakah PR-mu dimakan si anak yang tak
kelihatan?" Anak-anak di sekelilingku cekikikan.
"Jangan ribut, anak-anak," Ms. Starkling berkata. Ia
mengumpulkan semua lembaran tugas, lalu menyuruh kami membuka
buku matematika masing-masing.
Ms. Starkling menulis persamaan di papan tulis.
"Sammy, kau sudah sembuh hari ini?" ia bertanya setelah
selesai.
Aku mengangguk.
Habis—apa yang mesti kukatakan? Belum, Ms. Starkling, saya
belum sembuh. Semalam saya bertemu anak yang tidak kelihatan di
kamar saya—dan tak seorang pun mau percaya. Semuanya
menganggap saya tidak waras.
"Bagus," ujar Ms. Starkling. "Tolong ke depan dan tunjukkan
kepada teman-teman bagaimana cara menyelesaikan persamaan ini!"
Aku memang lagi sial.
Aku bangkit.
"Bukan kau, Sammy," ujar Ms. Starkling. "Saya bicara dengan
dia."
Ia menunjuk kursi di sebelahku.
Kursi di sebelahku yang kosong.
Aku menatap Ms. Starkling sambil mengerutkan kening.
"Temanmu yang tak kelihatan," katanya.
Seketika seluruh kelas kembali terbahak-bahak.
Ms. Starkling juga ikut tertawa. "Sori, Sammy. Tapi saya juga
ingin ambil bagian dalam lelucon ini."
Sori? Aku tahu ia cuma pura-pura menyesal. Tawanya terlalu
keras.
Aku benar-benar malu.
Padahal itu baru awal pelajaran. Sorenya lebih parah lagi.
**********
Pada waktu makan siang, aku pergi ke perpustakaan. Aku
duduk sendirian.
Aku sudah muak mendengar lelucon tentang orang yang tidak
kelihatan.
Aku tidak mau bicara dengan siapa pun.
Aku mengeluarkan roti isi ikan tuna dari ransel. Aku
menaruhnya di pangkuanku supaya Ms. Pinsky, si petugas
perpustakaan, tidak melihatnya. Kami tidak boleh membawa makanan
ke perpustakaan, dan aku tidak ingin tepergok.
Semua murid tahu, jangan sekali-kali mencari gara-gara dengan
petugas perpustakaan. Claire pernah membuat Ms. Pinsky marah. Dan
sebagai hukuman, ia lalu disuruh menulis ringkasan seratus buku,
masing-masing sepanjang tiga halaman! Itu terjadi tahun lalu—tapi
sampai sekarang Claire belum selesai juga. Kurasa ia baru sampai
buku kedua puluh.
Aku membuka kertas pembungkus roti isi—dan memekik
tertahan.
Roti isiku mulai melayang.
"Brent... jangan macam-macam!" bisikku. "Mau apa kau di
sini?"
Roti isiku berkurang satu gigitan.
"Aku kesepian di kamarmu," ujar Brent. "Dan kelaparan." Roti
isiku berkurang satu gigitan lagi. Kurebut roti isi itu dari tangannya.
Kemudian aku memandang berkeliling dengan gugup. "Kau tak bisa
tinggal di sini. Kau harus pergi!"
"Jangan usir aku," Brent memohon. "Aku bosan di rumah. Aku
butuh teman."
"Semua orang pikir aku sudah gila!" Suaraku mulai meninggi.
"Semua anak di sekolah menertawakanku. Aku bahkan diolok-olok
guruku! Kau tak bisa tinggal di sini, Brent. Kau tak bisa..."
Sesosok bayangan melintas di hadapanku.
Aku menoleh.
Si petugas perpustakaan menatapku sambil mengerutkan kening
dan menggelengkan kepala.
15

"SSSAMMY!" ia mendesis. "Kau bicara dengan siapa? Dan


kenapa kau bicara di perpustakaan?"
Aku menelan ludah.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. Bibirnya
dikatupkannya rapat-rapat.
Kemudian ia memandang ke pangkuanku dan menahan napas.
"Itu... MAKANAN?"
Celaka, aku berkata dalam hati. Aku bakal menulis ringkasan
buku sepanjang sisa hidupku. Dan semuanya gara-gara Brent.
"Sammy! Ada apa ini?" seru si petugas perpustakaan. "Kau
telah melanggar kedua peraturan saya yang paling penting!"
Aku bersiap-siap untuk dimarahi habis-habisan. Tapi ternyata
sikap Ms. Pinsky malah melunak.
"Biasanya kau tak seperti ini," katanya. Nada suaranya menjadi
lebih ramah. "Mungkin sebaiknya kau menemui guru pembimbing
sepulang sekolah nanti. Bicara dengan diri sendiri merupakan tanda
ada sesuatu yang mengusikmu."
Aku memandang berkeliling—dan bertatapan dengan semua
orang yang melihat ke arahku. Wajahku terasa panas membara.
"Saya tidak apa-apa," ujarku.
"Kalau memang ada sesuatu yang membebanimu—kau tak
perlu malu." Si petugas perpustakaan mengambil tempat di
sampingku.
Sekarang semua anak mulai berbisik-bisik.
Rasanya aku ingin ditelan bumi saja.
"Saya tidak apa-apa. Sungguh," aku berkeras sambil
memasukkan roti isiku ke ransel.
"Tapi tetap tak ada salahnya kalau kautemui guru pembimbing,"
ia melanjutkan. "Ms. Turnbull sangat enak diajak bicara. Saya akan
memberitahunya bahwa kau akan mampir ke sana nanti."
Si petugas perpustakaan tidak mau menyerah.
"Saya tidak bisa menemui Ms. Turnbull sepulang sekolah nanti.
Saya ikut lomba lari estafet Olimpiade," kataku. "Saya harus ikut
berlomba. Seluruh tim tergantung pada saya!"
"Oke." Si petugas perpustakaan berdiri. "Tapi kau harus
berjanji."
Beres, pikirku. Aku mau berjanji apa saja—asal kau segera
pergi.
"Kau harus menemui saya kalau memang ada yang membebani
pikiranmu. Maukah kau melakukannya?" Ia menepuk-nepuk
punggungku.
Aku mengangguk lagi—dan ia kembali ke meja kerjanya.
Aku melirik ke kiri-kanan—untuk melihat apakah anak-anak
lain masih menoleh ke arahku.
Ternyata tidak.
Mereka sibuk bicara. Bicara dengan teman-teman yang tidak
kelihatan. Sambil tertawa-tawa.
***********
Aku melindungi mataku dari cahaya matahari yang terang
benderang di lapangan atletik.
Langit tampak biru bersih.
Udaranya hangat. Nyaman. Tidak terlalu panas.
Cuaca yang sempurna untuk lomba lari.
Aku memandang ke arah tribun yang dipadati anak-anak dari
semua sekolah di kotaku.
Semakin banyak penonton berdatangan dan mencari tempat
duduk. Tapi tidak ada tempat kosong yang tersisa. Di mana-mana
terlihat anak-anak yang berseru-seru dan dorong-mendorong dan
tertawa dan bercanda. Semuanya tampak gembira sekali.
Timku berkumpul di ujung lapangan. Aku berlari menghampiri
mereka.
"Hei! Sammy!" Roxanne menyambutku dengan mengajakku
ber-high five. "Hari ini cocok sekali untuk lomba lari! Aku yakin kita
bakal menang—yakin sekali!" Kemudian ia menambahkan, "Kecuali
kalau kau bikin kesalahan lagi."
"Jangan kuatirkan aku, Roxanne. Sampai kapan pun aku tetap
bisa mengalahkanmu!" sahutku.
Aku berlari satu kali keliling lapangan sebagai pemanasan.
Langkahku mantap. Aku telah siap berlomba dan penuh percaya diri.
Masing-masing tim estafet terdiri atas tiga pelari.
Pelari pertama di timku adalah Jed. Ia pelari yang hebat. Ia
jangkung dan kurus, dan langkahnya lebar-lebar.
Aku mendapat giliran berikutnya. Dan Roxanne bertindak
sebagai pelari terakhir.
Kami adalah ketiga pelari paling kencang di seluruh kelas tujuh.
Kami tidak mungkin kalah.
Lomba sudah akan diiyiulai. Aku melompat-lompat di tempat
agar otot-ototku tetap hangat.
Aku menoleh ke tribun—dan melihat beberapa anak menunjuk
ke arahku. Beberapa di antara mereka tampak tertawa.
"Oh, brengsek," gumamku. Aku tahu apa yang mereka
bicarakan. Temanku yang tidak kelihatan.
Sehabis lomba lari ini, kau harus memenuhi janji yang kaubuat
tadi pagi, aku berkata dalam hati. Kau akan balas dendam pada
Roxanne—dengan segala cara.
Semua ototku menegang.
"Tenang. Tenang," ujarku berulang-ulang sambil membungkuk
ke depan dan menggosok-gosok otot kaki.
"Siap, Sammy?" tanya Jed. "Kita semua tergantung padamu!"
"Siap!" sahutku.
Tapi aku terus memikirkan anak-anak di tribun— yang tertawa
setiap kali memandang ke arahku.
Aku juga teringat Ms. Starkling—dan bagaimana ia mengolok-
olokku di depan kelas.
Belum lagi soal si petugas perpustakaan—yang menyangka aku
sudah gila.
Otot-ototku semakin tegang.
Aku memusatkan pikiran. Aku berkonsentrasi untuk
menyingkirkan segala pikiran itu dari benakku.
Aku melakukan serangkaian gerakan pemanasan. Otot-ototku
mulai mengendur. Aku mulai merasa lebih enak.
Petugas start mengambil tempat di lapangan.
Jed, Roxanne, dan aku bersiap-siap sesuai urutan lari.
Keenam tim dari sekolah-sekolah lain juga telah siap.
Semuanya menunggu aba-aba start. Begitu petugas start meniup
peluit, pelari pertama berlari mengelilingi lapangan—lalu
mengoperkan tongkat kepada pelari berikutnya.
Aku menatap si petugas start. Jantungku berdegup kencang.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Aba-aba start berbunyi.
Lomba sudah dimulai.
Sorak-sorai membahana ketika Jed melesat! Belum pernah aku
melihatnya berlari sekencang ini. Betul-betul hebat!
Roxanne dan aku berseru-seru untuk memberi semangat
padanya. "Ayo, Jed! Ayooo!"
Jed meninggalkan semua saingannya.
Ia berlari ke garis finish. Langkahnya seakan-akan tidak
menyentuh lintasan. Ia menyodorkan tongkat—supaya aku bisa
meraihnya dan berlari.
Aku mendengar sepatu ketsnya berdebam-debam.
Ia dikelilingi awan debu. Wajahnya merah. Matanya terbelalak
lebar.
Sedikit lagi.
Aku mengambil posisi start dengan menekuk lutut.
Aku mengulurkan tangan ke belakang.
Jed meluruskan tangannya ke depan.
Aku meraih tongkat yang disodorkannya. Sorak-sorai dari
tribun semakin riuh.
Ini dia! pikirku. LARI!
16

SEPATUKU berdebum-debum di lintasan. Aku mengayunkan


kedua lenganku sambil mencengkeram tongkat dengan tangan kanan.
Aku berlari dengan langkah lebar, sambil mencondongkan
badan ke depan. Aku pun berlari lebih kencang daripada yang pernah
kulakukan sebelumnya.
Sorak-sorai membahana dari tribun. "Ayo, Sammy! Ayo! Ayo!"
Seruan itu semakin memacu semangatku.
Aku menoleh ke belakang, tanpa mengurangi kecepatan.
Aku berada jauh di depan para pelari lainnya.
Aku sampai di tanda setengah putaran—dan melesat dengan
kencang. Kami akan menang! Yes!
Aku melewati tanda tiga perempat putaran—dan napasku masih
teratur. Para pelari lainnya tertinggal jauh di belakangku.
Badanku condong ke depan. Langkahku berderap dengan
mantap.
Dan aku memekik tertahan ketika merasa ada tangan memegang
pundakku.
Tangan lainnya meraih pinggangku.
"Hei...," seruku.
Sekonyong-konyong aku mengerti.
"Brent... jangan macam-macam! Mau apa kau!" raungku.
"Aku akan membantumu menang!" sahutnya sambil tersengal-
sengal. "Aku akan membuktikan aku temanmu! Lihat saja!"
Sebelum aku sadar apa yang terjadi...
Sebelum aku sempat mencegahnya...
Kakiku terangkat dari, lintasan—dan aku mulai terbang.
17

"JANGAN! Stop! Turunkan aku! Turunkan aku!" jeritku.


Ia tidak menghiraukan teriakanku. Aku tetap diangkatnya.
Aku terbang sekitar setengah langkah. Kemudian Brent
kehilangan keseimbangan.
"Lepaskan! Lepaskan!" teriakku.
Aku mengayun-ayunkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Aku menendang-nendang untuk membebaskan diri dari cengkeraman
Brent.
Sambil berteriak kesal aku terjatuh ke lintasan.
Aku mendarat dengan siku dan lutut. Kemudian kepalaku
terbentur.
Tongkat estafet terlepas dari tanganku. Aku menoleh—dan
melihatnya menggelinding di lapangan.
"Ohhh." ebukulawas.blogspot.com
"Sori, Sammy," Brent berseru dari suatu tempat di dekatku.
"Aku cuma mau membantu. Tapi aku tersandung."
Aku menoleh—dan melihat para pelari lain melesat
melewatiku.
Timku bakal kalah. Kami bakal berada di urutan paling
belakang.
Aku memandang ke arah Roxanne dan Jed. Mereka menatapku
sambil melotot. Keduanya mengacung-acungkan kepalan tangan.
Aku duduk di lintasan. Kedua sikuku tergores. Kedua lututku
berdarah.
"Brent! Kenapa kau berbuat begini padaku?" aku meratap.
"Aku cuma mau membantu!" ia berkata sekali lagi.
Satu pelari lagi melewatiku. Sepatu ketsnya menendang
segumpal lumpur. CEPROT—tepat ke mataku.
Aku merasakan sebuah tangan berusaha menyeka lumpur itu.
Aku mengayunkan tangan dan mendorong Brent keras-keras.
"Aduh!" ia memekik. "Hei... ada apa sih? Menang bukan
segala-galanya, tahu?!"
Aku melintasi lapangan sambil menunduk. Ketika aku lewat di
depan tribun, beberapa anak dari sekolahku menyoraki aku.
Tapi ada juga yang malah bertepuk tangan untukku—terutama
para pendukung tim-tim lain.
Jed dan Roxanne melotot ketika aku berjalan menghampiri
mereka.
Jed tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia terlalu kesal untuk
berbicara.
Roxanne tidak menghadapi masalah itu.
"Aduh, kenapa kau jatuh lagi? Huh, dasar manusia kikuk!"
serunya. "Seharusnya kita bisa menang! Tapi gara-gara kau kita gagal.
Gara-gara kau!"
"Ini bukan salahku!" aku berusaha membela diri. "Ini salah anak
yang tak kelihatan itu!"
Oh-oh. Lagi-lagi lidahku keseleo.
"Mestinya kau yang tak kelihatan!" seru Roxanne dengan kesal.
Aku pun berharap aku bisa lenyap dari pandangan semua orang.
Ini adalah hari paling kacau sepanjang usiaku.
Brent sedang menghancurkan hidupku.
Berteman dengan anak yang tidak kelihatan mungkin
menyenangkan bagi orang lain. Tapi aku sama sekali tidak senang.
Aku harus melakukan sesuatu untuk mengusir Brent, aku
berkata dalam hati.
Secepatnya.
18

"AYO dong, Sammy. Tolong ukur aku." Simon menyodorkan


pita meteran ke hadapanku.
"Aku kan sudah bilang, Simon. Kau belum bertambah tinggi
dari kemarin! Sekarang—jangan ganggu aku!"
Aku baru pulang setelah tertimpa musibah paling memalukan
seumur hidupku. Aku benar-benar tidak berminat mengukur tinggi
badan Simon.
"Proyekku bakal gagal." Simon menunduk. "Gagal total."
Bagaimana aku tidak merasa kasihan padanya? Ia begitu serius
dengan proyek ilmiahnya.
Aku berusaha menghiburnya. "Simon, manusia memang tidak
tumbuh secepat itu," kataku. "Barangkali sebaiknya meneliti sesuatu
yang lain. Anak anjing tumbuh lebih cepat dari kita. Jauh lebih cepat."
"Tapi kita tak punya anak anjing," balas Simon.
"Bagaimana kalau Brutus? Kau bisa mengukur Brutus," ujarku
sambil menggiring Simon keluar kamarku.
"Brutus sudah tidak tumbuh lagi," Simon merengek. "Dia sudah
terlalu tua. Kau tahu itu."
"Nanti kupikirkan deh," kataku. "Aku akan mencari sesuatu
yang bisa kauteliti. Tapi untuk itu aku perlu berpikir—sendirian."
Aku mendorong Simon keluar. Kemudian aku menutup pintu.
Aku merebahkan diri di tempat tidur. Dan menarik selimut
sampai menutupi kepala.
Rasanya aku ingin lenyap saja.
Aku tidak sanggup menghadapi semua orang— Roxanne,
guruku, si petugas perpustakaan. Seluruh kelas tujuh.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Aku menyingkirkan selimut—dan melihat jendelaku
membentang sendiri. "Aduh, panasnya minta ampun di sini!" ujar
suara yang cukup kukenal.
"Ya ampun," erangku. "Kau datang lagi?"
"Jangan sedih terus, Sammy. Bagaimana kalau kita keluar dan
main lempar-lemparan bola? Aku lumayan jago lho."
"Brent... kau harus pergi."
"Ide bagus. Aku memang kepanasan di sini. Kita beli piza saja.
Aku lapar sekali," katanya. "Kau juga, kan?"
"Aku serius. Kau harus pergi," ujarku pelan. Aku tidak mau
menyinggung perasaannya. Aku cuma ingin ia pergi.
"Tapi aku tak mau pergi," sahut Brent. "Aku ingin jadi
sahabatmu. Sungguh."
"Aku tak bisa bersahabat denganmu," aku menegaskan.
"Coba dulu dong," Brent berkeras. "Kita bakal bersenang-
senang. Lihat saja nanti...."
"Sammy! Sudah waktunya makan malam!" Mom memanggil
dari tangga.
"Aku mau ke bawah untuk makan," kataku kepada Brent. "Dan
kalau aku kembali..."
"Jangan kuatir, aku pasti masih di sini," Brent menyambung
dengan riang.
Brent takkan pernah pergi, kusadari ketika aku turun. Apa yang
harus kulakukan? Bagaimana caranya supaya aku bisa mengusirnya?
Hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.
Aku mengambil tempat di meja makan. "Mom. Dad. Ada
urusan penting yang perlu kubicarakan."
Orangtuaku menoleh.
Aku menarik napas dalam-dalam, sementara mereka menunggu
penjelasanku selanjutnya.
"Di kamarku ada anak yang tak kelihatan—dan aku butuh
bantuan Mom dan Dad. Aku harus mengusirnya!"
Aku terpaksa memberitahu Mom dan Dad.
Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan.
Mom dan Dad sangat pintar—untuk ukuran orangtua,
maksudku. Bagaimanapun, mereka ilmuwan. Mereka pasti tahu
bagaimana cara mengusir Brent.
"Jangan sekarang, Sammy," Mom berkata dengan nada gusar.
"Mom dan Dad sedang letih sekali. Berjam-jam kami mengutak-atik
Lampu Detektor Molekul—tapi alat itu belum juga berfungsi seperti
seharusnya."
Ia menghela napas. "Sehabis makan malam Mom dan Dad akan
meneruskan pekerjaan di ruang bawah tanah. Jadi habiskanlah
makanan kalian. Kami tak punya waktu untuk cerita yang bukan-
bukan."
Kakiku ditendang di bawah meja. "Jangan macam-macam,
Simon." Aku mendelik ke arah adikku.
"Bukan aku kok," ujar Simon sambil nyengir. "Itu si anak yang
tak kelihatan."
Aduh. Simon, si Mutan Serius, berusaha melucu.
Aku menendang kaki Simon.
"Hei... aduh!" rengeknya.
"Bukan salahku. Kau yang salah taruh kaki. Atau mungkin
kakimu sudah bertambah panjang. Cepat! Ukur kakimu!" aku berkata
sambil tertawa.
"Ha ha." Simon menggelengkan kepala. "Apakah anak yang tak
kelihatan itu sama lucunya seperti kau?" Ia kembali menendangku.
"Simon...," aku menggerutu.
"Cukup!" seru Dad.
Aku berpaling pada Dad. "Tapi anak yang tak kelihatan itu
memang ada. Kenapa tidak ada yang mau percaya? Aku butuh
bantuan Dad!"
"Jangan malam ini," sahut Dad. "Sudahlah. Mom dan Dad
capek sekali."
Aku mencoba sekali lagi. "Bisa jadi dia berbahaya. Dia ada di
atas dan..."
"Sammy... Dad tak mau mendengar satu patah kata pun lagi!"
Dad memotong dengan tegas.
Huh, kalau begini, apa gunanya punya orangtua yang pintar?
Apa yang harus kulakukan sekarang? aku bertanya-tanya ketika
Mom mulai menghidangkan makan malam. Aku harus mengusir
Brent. Tapi bagaimana caranya?
Sepanjang makan malam aku terus memutar otak. Dan ketika
Mom menyajikan makanan pencuci mulut, aku sudah mendapatkan
ide!
19

"BRENT? Kau di sini?"


Aku menyodorkan beberapa potong daging ayam yang
terbungkus serbet. Makanan itu diam-diam kubawa dari ruang makan.
Sepanjang makan malam Mom dan Dad terus berbicara tentang
pekerjaan mereka. Refraksi cahaya. Gelombang frekuensi. Hal-hal
seperti biasa. Mereka tidak memperhatikanku.
Dan Simon terlalu sibuk memikirkan proyek ilmiahnya. Ia
masih berukuran sama. Ia bahkan sampai mengukur kukunya, tapi
kukunya pun belum bertambah panjang.
Aku menunggu saat yang tepat, lalu membungkus daging ayam
di piringku dengan serbet, dan menaruhnya di pangkuanku. Brutus
langsung ribut.
Brutus paling suka daging ayam.
Ia berusaha melompat ke pangkuanku.
Ia mencakar-cakar serbet.
Ia kembali mengeong.
"Apakah kucing itu tak bisa diatur sedikit?" tanya Mom. "Mom
dan Dad tak bisa berpikir kalau begini."
"Ayo, Brutus." Kuselipkan serbet itu ke bawah T-shirt-ku. "Kita
ke atas saja."
Aku turun dari kursi dan memberi isyarat agar Brutus
mengikutiku. Tapi Brutus malah meraung— lalu kabur ke arah
berlawanan.
Wow! Brutus tahu! aku menyadari. Brutus tahu bahwa ada yang
tidak beres di kamarku.
Pasti itu sebabnya Brutus tidak mau lagi tidur di kamarku!
Aku bergegas ke kamar dan menyodorkan daging ayam.
"Brent... kau tidak lapar?" Aku berdiri di tengah ruangan. Aku
berputar di tempat sambil menyodorkan potongan daging ayam.
"Aku lapar sekali. Terima kasih. Terima kasih banyak."
Tanganku tertarik sedikit ketika Brent mengambil makanan itu.
Gulungan serbet membuka sendiri.
"Mmmm. Ayam goreng." Satu gigitan besar lenyap. "Ini lezat
sekali! Ibumu pintar masak! Thanks."
"Ibu Roxanne juga jago masak," kataku. "Dia malah lebih hebat
dari ibuku. Jauh lebih hebat. Aku sering makan di rumah Roxanne.
Setiap kali ada kesempatan."
Brent terus makan dengan lahap.
"Mestinya kau makan di tempat Roxanne saja. Nanti kau
mengerti sendiri apa yang kumaksud."
Brent terus saja menyikat ayam goreng yang kubawakan
untuknya.
"Hei! Aku baru saja dapat ide bagus!" kataku.
"Mestinya kau jadi sahabat Roxanne. Roxanne perlu hantu
untuk proyek sekolah. Kau bisa jadi hantunya! Roxanne pasti senang
sekali. Dia bakal punya hantu di rumahnya sendiri. Dan kau juga
untung— selalu bisa makan enak! Ayolah! Biar kuantar kau ke sana—
sekarang juga!"
Brent berhenti makan.
"Aku tidak mau ke rumah Roxanne," katanya. "Dia cewek. Aku
tak mau jadi sahabat anak cewek. Aku ingin bersahabat denganmu.
Dan aku sudah bilang—aku bukan hantu."
Serbet yang telah kosong melayang mendekatiku. "Ayam
gorengnya masih ada?" tanya Brent. "Aku masih lapar! Dan
bagaimana dengan makanan pencuci mulut?"
Aku duduk di tempat tidur sambil menunggu Brent
menghabiskan ayam goreng porsi kedua serta es krim yang
kubawakan untuknya.
Kemudian aku mencoba lagi. "Brent. Kau harus pergi. Harus."
"Tapi aku mau jadi sahabatmu!" ia berkeras. "Aku takkan pergi.
SAMPAI KAPAN PUN!"
"Kenapa sih kau tak mau mengerti? Aku tak mau bersahabat
denganmu," ujarku. "Aku punya banyak teman—paling tidak dulu,
sebelum kau muncul."
Aku bangkit dan mondar-mandir. "Kau menghancurkan
hidupku," kataku. "Aku minta kau pergi. Aku minta kau keluar dari
rumah ini dan tidak kembali lagi!"
Hening.
"Kaudengar apa yang kukatakan?"
Tak ada jawaban.
"Aku tahu kau di sini, Brent. Jangan diam saja!"
"Ehm... apakah ini tak bisa ditunda?" ia akhirnya menyahut.
"Aku capek sekali. Aku perlu istirahat."
Selimut di ranjangku mulai ditarik ke bawah. Kemudian
bantalku ditepuk-tepuk tangan yang tidak kelihatan.
"Ahhh," Brent mendesah. "Ranjangmu nyaman sekali."
Habislah sudah kesabaranku. "Ini tidak bisa ditunda. Kita harus
bicara sekarang juga. Aku minta kau pergi!" teriakku. "SEKARANG
JUGA!"
"Betul?" Suara Brent berubah. Lebih berat—dan lebih bengis.
Jauh lebih bengis.
"Y-ya. Betul," sahutku terbata-bata.
"Bagaimana kalau aku tak mau pergi?" ia bertanya.
Aku mundur selangkah, menjauhi tempat tidur.
Nada suara Brent membuatku curiga. Terdengar seperti
mengancam.
"Ayo, Sammy... bagaimana kalau aku tak mau pergi?" ia
mengulangi.
Aku kembali mundur selangkah—dan merasa ada tangan
mencengkeram pundakku.
Aku berusaha membebaskan diri—tapi tidak berhasil. Ia terlalu
kuat.
Brent meraih lenganku. Memegangnya kuat-kuat.
"Jangan ganggu aku!" seruku. "Lepaskan tanganku!"
Tapi ia malah menyeretku—ke arah jendela yang terbuka!
20

APA rencananya?
Apakah ia mau mendorongku ke luar jendela?
"Stop! Lepaskan aku! Hei... lepaskan aku!" Aku menyentakkan
kedua tanganku ke atas—dan berhasil melepaskan diri.
"Sori," Brent bergumam. "Aku cuma bercanda. Biasa, kan?
Sahabat karib suka bergulat, kan? Sekadar main-main?"
"Main-main?" jeritku. Jantungku masih berdegup kencang.
Aku tahu dia berbahaya.
Aku tidak percaya Brent cuma main-main. Aku rasa ia memang
ingin mendorongku ke luar jendela.
Karena ngeri, aku langsung berbalik dan berlari ke arah pintu.
Tapi aku terantuk kakinya yang tidak terlihat dan terempas ke lantai.
Sebelum aku sempat berdiri, ia sudah kembali meraihku dengan
tangannya yang kuat.
"Lepaskan aku!" jeritku dengan suara melengking tinggi karena
panik.
"Aku cuma mau membantumu berdiri," kata Brent.
Ia melepaskanku.
Aku mengusap-usap pergelangan tanganku yang terasa pegal.
"Sungguh. Aku cuma mau membantumu berdiri," Brent
berkeras. "Kau percaya, kan? Katakan kau percaya."
"Oke. Oke," aku bergumam. "Aku percaya."
"Nah, begitu dong!" seru Brent dengan gembira.
"Tapi kau tetap harus pergi," aku memberitahunya. "Semua
orang menganggap aku sudah terlalu aneh. Aku tak mau selalu diikuti
anak yang tak kelihatan. Pergilah. Aku serius."
"Tapi aku bisa membantumu!" seru Brent. "Aku sudah pernah
membantumu—dengan persamaan matematika waktu itu."
"Hah! Itu yang kausebut membantu?" Aku kembali mondar-
mandir. "Gara-gara itu aku kelihatan seperti orang tolol di depan
semua temanku—dan guruku." Sekadar mengingat kejadian itu saja
sudah membuatku meringis.
"Oke. Aku memang membuat kesalahan. Satu kesalahan kecil,"
ujar Brent.
"SATU kesalahan kecil!" Suaraku mulai meninggi. "Bagaimana
dengan kejadian di perpustakaan tadi? Gara-gara kau, si petugas
perpustakaan menyangka aku sudah gila. Dia menyuruhku menemui
guru pembimbing!"
Aku semakin sengit. "Dan bagaimana dengan soal lomba lari?
Gara-gara kau, semuanya jadi kacau! Gara-gara kau, aku jatuh, dan
kami kalah. Gara-gara kau, aku mengecewakan semua orang."
"Sori," Brent berkata pelan-pelan. "Kupikir aku bisa
membantumu menang. Aku cuma ingin mendorongmu sedikit."
"Mendorong?" teriakku. "Kau... kau..."
Pintu lemariku membuka.
Jaket bisbolku yang baru melayang keluar. "Hei... jaket
Yankees!" seru Brent. "Tapi kelihatannya lengannya terlalu panjang
untukku."
Jaket itu terlepas dari gantungannya.
"Kembalikan padaku." Jaket itu kurebut kembali. "Sekarang—
pergi! Aku tak mau kau tetap di sini!"
"Sammy... siapa yang kaubentak-bentak?" Rupanya Mom sudah
berdiri di ambang pintu kamarku.
"Anak yang tak kelihatan itu!" sahutku. "Dia ada di sini! Mom
harus percaya! Brent... bicaralah!"
Hening.
"AYOLAH, Brent!" aku memohon.
Tak ada jawaban.
Mom menghampiriku sambil menggeleng. Ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm, rasanya kau tak demam."
"Aku tidak sakit, Mom. Aku tak apa-apa. Sungguh. Dan aku tak
mengada-ada."
"Hmm, mungkin..." Mom terdiam. Ia mengamatiku dengan
saksama. "Kau mau ke mana?" ia lalu bertanya.
"Aku tidak mau ke mana-mana," sahutku.
"Kalau begitu kenapa kau membawa jaket?"
Aku menatap jaket yang masih kupegang. "Oh, aku cuma ingin
tahu apakah jaket ini masih pas," aku berdalih. Habis, apa lagi yang
bisa kukatakan?
"Tentu saja masih pas. Jaket itu baru kita beli minggu lalu."
Mom menatapku dengan tajam. Sekali lagi ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm," ia bergumam. "Belakangan ini kau
agak lain dari biasanya."
Ia kembali melirik jaketku. Kemudian menggeleng lagi.
"Sekarang coba katakan—siapa yang kaubentak-bentak tadi?"
"Ehm... bukan siapa-siapa. Aku cuma berlatih dialog... untuk
sandiwara sekolah."
"Kau ikut sandiwara sekolah?" tanya Mom.
"Ehm... tidak juga," jawabku. "Aku berlatih... kalau-kalau aku
diminta ikut main."
"Sammy, kalau ada sesuatu yang membebani pikiranmu—kau
selalu bisa membicarakannya dengan Mom. Oke?"
"Oke," sahutku.
Untuk ketiga kalinya Mom meraba keningku. Dan sekali lagi ia
menggeleng. Ia menuju ke pintu—lalu berhenti.
"Mom dan Dad sibuk sekali belakangan ini. Kami kurang
memperhatikanmu. Tapi mulai sekarang itu akan berubah. Kami akan
menyediakan waktu lebih banyak untukmu. Kami malah akan
memperhatikanmu dengan saksama."
Huh.
Mom dan Dad akan mulai menelitiku—seakan-akan aku salah
satu proyek ilmiah mereka.
"Kamarmu terlalu dingin, Sammy." Mom menghampiri jendela
dan menutupnya. Kemudian ia meninggalkan kamarku.
"Kau masih di sini, Brent?" aku bertanya dengan ketus.
"Masih."
"Kenapa kau diam saja tadi? Kenapa kau tak mau bicara dengan
ibuku?" aku mendesak.
"Sori," sahut Brent. "Aku tak mau orang lain tahu tentang aku.
Aku cuma ingin tinggal di sini dan menjadi sahabatmu."
"Hmm, itu takkan terjadi," balasku dengan sengit.
Tiba-tiba saja aku punya harapan lagi. Sebab dari percakapanku
dengan Mom, aku mendapat ide yang hebat!
Sekarang aku tahu persis apa yang harus kulakukan—untuk
mengusir si anak yang tidak kelihatan.
21

TANPA buang-buang waktu aku berlari ke kamar mandi. Keran


air panas di pancuran kubuka penuh.
Yes! Dalam beberapa detik saja cermin di kamar mandi sudah
mulai berembun. Kemudian aku membuka keran air panas di tempat
cuci tangan—dan juga di bak mandi.
Wow. Panasnya bukan main! Lebih panas daripada di hutan
tropis, pikirku.
Bagus!
Aku menyeka keringat yang membasahi keningku dan kembali
ke kamar. Kupastikan jendelanya tertutup rapat-rapat. Kemudian aku
menyalakan alat pemanas kamar.
Keringat menetes-netes dari wajahku ketika udara yang lembap
dan hangat dari kamar mandi masuk ke kamarku.
"Sammy, sedang apa kau?" Brent mengeluh. "Di sini terlalu
panas."
Aku tertawa. "Sori. Tapi memang beginilah suasana yang
kusukai."
Aku berlari keluar dan menyalakan alat pemanas di kamar Mom
dan Dad, lalu di kamar Simon. Kupastikan jendela mereka juga
tertutup rapat.
"Sammy, berhenti!" Brent memohon. "Ini terlalu panas! Panas
sekali!"
Aku duduk di ranjang—dan menunggu.
Aku bermandikan keringat.
Persis seperti yang kuinginkan!
"A-aku tak tahan lagi." Suara Brent mulai melemah. "A-aku tak
bisa tinggal di sini. Terlalu... panas."
Aku menoleh dan melihat jendelaku membentang sendiri.
Dan seketika aku tahu rencanaku berhasil. Brent sudah angkat
kaki—untuk selama-lamanya.
22

SEBENARNYA aku dan Roxanne mempunyai rencana


menonton School Spirit di bioskop pada malam Minggu. Tapi rencana
itu telah berubah. Roxanne mengancam takkan pernah lagi mau bicara
denganku kalau aku tidak ikut ke Hedge House dengannya.
Dan aku percaya.
"Kau bisa berjalan lebih cepat?" tanya Roxanne. "Aku mulai
kedinginan nih."
Ia benar. Kabut tebal telah mulai turun. Dan angin kencang pun
mulai bertiup.
Aku menggigil.
Kami berjalan cepat-cepat. "Kita sudah hampir sampai,"
Roxanne berkata. "Kau sudah siap?"
Aku mengangkat bahu. "Tentu."
"Bagus." Roxanne berhenti. "Ini dia."
Wow! Aku menoleh—dan menatap pagar tanaman tertinggi dan
tergelap yang pernah kulihat.
"A-aku belum pernah melihat pagar tanaman setinggi ini,"
kataku tergagap.
"'Ini kehendak sang arwah. Supaya rumahnya tetap dingin dan
gelap—sedingin dan segelap arwah itu sendiri.'" Roxanne tersenyum.
"Bagian itu kuhafalkan dari buku yang kubacakan untukmu."
"Bagaimana caranya masuk?" aku bertanya sambil mencari-cari
jalan masuk.
"Untung saja kau berpasangan dengan aku," ujar Roxanne
sambil menghela napas. "Kau memang tak tahu apa-apa."
Kami menyusuri pagar tanaman yang gelap sampai ke sebuah
celah. Aku mengintip—dan melihat Hedge House. Bangunannya
berlantai tiga, tinggi dan sempit, dengan banyak jendela—sebagian
besar telah pecah.
Wow! Pagar tanamannya memang setinggi jendela teratas—
persis seperti yang ditulis di dalam buku. Papan-papan kayu dinding
rumah itu sudah hitam dan lapuk karena usia.
Angin bertiup kencang.
Pucuk pagar tanaman membentur-bentur atap— dan
merontokkan sebuah genting.
Roxanne dan aku langsung melompat mundur. Uih, hampir
saja!
Aku melihat Roxanne gemetaran.
Rumah ini benar-benar seram!
"Kita tak perlu masuk kalau kau ngeri," kataku. "Kalau mau,
kita masih sempat pergi ke bioskop."
"Aku? Ngeri? Yang benar saja!" sahut Roxanne dengan ketus.
"Ayo, kita masuk!"
Roxanne berjalan ke pintu depan. Aku menyusul tepat di
belakangnya.
Ia naik ke teras yang berlantai kayu. "Hati-hati," katanya sambil
menoleh ke belakang. "Papan-papan ini sudah lapuk."
Ia meraih pegangan pintu dan memutarnya pelan-pelan.
Pintu membentang sambil berderak—dan kami melangkah
masuk.
23

KAMI berdiri di ruangan besar.


Sebuah lampu kristal yang indah tergantung dari langit-langit,
tepat di atas kepala kami. Hiasan-hiasan kristalnya berbentuk butiran
air mata. Tapi semuanya sudah tidak berkilauan karena tertutup debu.
Udaranya sedingin es di sini. Jauh lebih dingin dibandingkan
dengan di luar. Aku mencium bau apak yang menyengat.
Aku merinding. Tanganku meraba-raba dinding untuk mencari
sakelar lampu, dan menemukannya di samping pintu.
Sakelar kujentikkan—tapi tidak terjadi apa-apa.
"Mana mungkin menyala!" bisik Roxanne. "Sudah bertahun-
tahun tak pernah ada orang yang tinggal di sini! Nyalakan senter
dong."
"Senter apa?" tanyaku.
"Kau tidak bawa senter? Seharusnya kau bawa senter," bisik
Roxanne.
"Aku lupa," aku mengakui.
Roxanne menghela napas. "Tapi kamera videonya tidak lupa,
kan?" ia bertanya.
"Tenang saja, ada di sini." Kameranya kukeluarkan dari ransel.
"Paling tidak, ada yang kauingat," Roxanne bergumam. Ia
hendak mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya ia malah memekik
tertahan.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kau tak dengar? Tadi kedengarannya ada erangan," sahut
Roxanne.
"Tidak," kataku. "Aku tak dengar apa-apa."
"Oh," ujar Roxanne. "Hmm, kita memang baru sampai.
Sebentar lagi kita pasti akan mendengar erangan. Pastikan kameramu
siap merekam."
Kami melangkah maju—memasuki ruang tamu. Menerobos ke
dalam kabut putih yang dingin.
"Aku tak bisa lihat apa-apa," bisikku. "Bagaimana mungkin
ruang tamu bisa berkabut setebal ini?"
"Lihat!" Roxanne menunjuk salah satu dinding, tempat kabut
menyembur dari beberapa celah. Kabut itu bergulung-gulung, sampai
memenuhi seluruh ruangan.
Aku maju selangkah lagi—sementara angin berderu-deru di
luar.
Aku diterjang sesuatu berwarna putih.
Seketika aku melompat mundur—tapi kemudian aku sadar
bahwa itu cuma tirai jendela depan. Tirai putih yang berkepak-kepak
karena tertiup angin.
"Di sini tak ada apa-apa," kataku. "Kita ke atas saja."
Roxanne mengajakku melewati ruang makan dan dapur
sebelum menuju ke tangga. Kedua ruangan itu kosong. Dingin dan
kosong.
Kami menyusuri lorong panjang. Di ujungnya kami
menemukan tangga ke atas. Sebagian pagar tangga yang terbuat dari
kayu sudah hancur.
"Siap?" Roxanne berpegangan pada dinding ketika ia mulai
naik.
Aku berbisik, "Ya," tapi sebenarnya aku tidak yakin. Aku
bukannya percaya rumah itu ada hantunya. Tapi semuanya begitu
gelap, dan lembap, dan berkabut, dan sepi.... Siapa pun akan merasa
agak ngeri di sini.
Kami mulai naik. Tangga itu berderak-derak setiap kali kami
melangkah. Udara semakin dingin.
Di puncak tangga kami menemukan tiga pintu. Ketiganya kami
buka. Masing-masing pintu menuju ke ruangan kecil yang gelap.
Aku menarik napas lega setelah tahu semuanya kosong.
Lalu kami menaiki tangga ke lantai tiga. Kami sampai di
ruangan besar. Dan yang ini tidak kosong.
Baju dan selimut yang terkoyak-koyak berserakan di lantai.
Tiga bantal disandarkan ke dinding— semuanya robek, dan isinya
berhamburan.
Sebuah kursi kayu tergeletak di depan peti tua.
Roxanne segera menghampiri peti itu.
Aku jongkok dan mengamati secabik kain hitam di lantai. Aku
memungutnya—dan menahan napas.
Yang kulihat ternyata kemeja hitam—kemeja hitam tanpa
lengan kanan! Persis seperti dalam kisah hantu itu!
"Coba kita periksa peti ini," bisik Roxanne.
"Jangan. Coba lihat ini...," aku mulai berkata. Tapi kemudian
aku terdiam—karena mendengar erangan mengerikan yang datang
dari arah tangga.
Kami segera berbalik. Tangga itu berderak-derak.
Ada suara langkah!
Roxanne sampai melongo.
Jantungku mulai berdegup kencang.
Roxanne berpaling padaku, tapi aku langsung mengalihkan
pandangan supaya ia tidak melihat betapa ngerinya aku.
"Si... hantu... ada di sini," kata Roxanne terbata-bata. "Dia
datang! Siapkan kamera!"
Aku mengutak-atik kamera videoku untuk menyalakannya.
Suara langkah itu sudah sampai di puncak tangga.
Roxanne berdiri di tengah ruangan—diam bagaikan patung,
saking takutnya.
Kami mendengar erangan mengerikan. Diikuti tawa
melengking.
Lalu kursi tadi terbang melintasi ruangan. Dan tutup peti
terangkat sendiri.
Roxanne melompat mundur. Ia mengeluarkan buku notes dan
mulai mencatat. Ia benar-benar bersemangat—tapi sekaligus ngeri.
Pensilnya bergetar ketika ia menulis.
Tutup peti terbanting dengan keras. Kami berdua tersentak
kaget.
Dengan ngeri aku memperhatikan kursi tadi terangkat dari
lantai. Kursi itu melayang-layang, lalu terempas keras-keras.
"Jangan bengong saja!" Roxanne menghardikku. "Kameranya!
Kameranya! Kau harus merekam semuanya ini!"
Aku membidikkan kamera—dan merekam ketiga bantal yang
melayang-layang di udara.
Selimut-selimut seperti bernyawa, dan seakan-akan menyerang
kami, membungkus tubuh kami.
"Iiih!" pekikku. Baunya begitu apak.
Selimut-selimut itu berputar-putar di sekeliling kami, lalu
tergeletak di lantai.
Tutup peti terangkat dan terbanting—berulang kali.
Semua jendela membuka dan menutup.
"Ini pasti ulah hantu!" seru Roxanne dengan gembira. "Hantu
betulan! Kita pasti dapat nilai A! Ayo, mana kameranya?"
Roxanne meraih kamera videoku. Ia mengintip melalui lubang
bidik.
"Waaaaaaaa!" ia menjerit. Kameraku terlepas dari tangannya
dan terbanting ke lantai.
"Aku ditangkap hantu itu, Sammy!" teriaknya. "Aku
ditangkap!"
24

"LEPASKAN aku!" pekik Roxanne. "Sammy... tolong! Aku


ditangkap! Hantu itu... dia menarikku!"
Dengan ngeri aku melihat bagian belakang jaket Roxanne
terangkat tinggi-tinggi karena ditarik tangan hantu yang tidak
kelihatan.
Roxanne terhuyung-huyung.
Ia tersandung dan jatuh berlutut.
"Aduuuh!" serunya. Cepat-cepat ia berdiri lagi. Matanya
terbelalak lebar karena ngeri.
Tiba-tiba aku teringat kamera videoku. Wah, ini harus kurekam!
aku berkata dalam hati. Serta-merta aku membidikkan kamera.
Jaketnya kembali terangkat. "Ohhh... tolong!" ia memekik.
Ia mulai berputar-putar. Semakin lama, semakin kencang. Ia
berputar-putar tanpa mampu berbuat apa-apa.
Aku berusaha memegang kameraku agar tidak goyang, namun
tidak berhasil.
"Taruh kamera itu—dan tolong aku!" Roxanne menjerit
sementara ia berputar-putar mengelilingi ruangan.
"Lepaskan dia!" seruku. "Jangan ganggu dia!"
Di luar dugaanku, Roxanne langsung berhenti berputar.
Lututnya gemetaran, dan ia pun menabrak dinding.
"Oh." Ia menggeleng, seakan-akan hendak mengusir rasa takut.
"Hantu Penghuni Hedge House...," ia mulai berkata.
Tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, ia sudah
terangkat dari lantai.
"Oh... jangan!" Roxanne memohon sambil mengayun-ayunkan
tangan dan kakinya. "TURUNKAN AKU! TURUNKAN AKU!"
Rupanya si hantu memenuhi permintaannya, sebab Roxanne
jatuh berlutut di lantai.
Sebelum ia sempat berdiri, sebuah bantal terangkat dari lantai.
Aku hanya bisa membelalakkan mata ketika bantal itu mulai menutupi
wajah Roxanne.
Teriakan Roxanne terdengar sayup-sayup. "Tolong... aku tak
bisa bernapas! Aku mau dicekik!"
"Jangaaan!" Teriakan parau keluar dari mulutku saat aku
melesat untuk menolong Roxanne.
"Jangaaan!" Langsung saja kutarik bantal yang menutupi wajah
temanku itu. "Ganggu orang lain saja!" seruku.
Roxanne ambruk ke lantai.
Aku mencampakkan bantal itu dan menghampiri Roxanne. Tapi
ada tangan dingin mencengkeram lenganku. "Jeffrey... kau sudah
kutunggu begitu lama," bisik sebuah suara serak.
Si Hantu Penghuni Hedge House!
Hantu itu bicara! Bicara denganku!
"A-aku bukan Jeffrey," aku tergagap.
"Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" hantu itu kembali
mengerang.
Kemudian aku merasa diriku terangkat dari lantai.
Sebelum aku sempat membebaskan diri, si hantu sudah
mengguncangku ke depan dan ke belakang— berulang kali. Saking
kerasnya, aku sudah ngeri leherku bakalan patah.
Rasanya aku ingin berteriak. Rasanya aku ingin melawan.
Tapi cengkeramannya terlalu kuat. Aku merasa begitu tidak
berdaya....
Selembar selimut apak mulai melayang dan membungkus
tubuhku rapat-rapat. Aku tidak bisa menggerakkan tangan maupun
kaki!
Aku menendang-nendang dan meronta-ronta, dan akhirnya
terjerembap di lantai.
Aku mendengar tawa melengking.
Aku dan Roxanne bangkit dengan susah payah, lalu menuju ke
tangga.
Si hantu mengejar kami sambil mengerang-erang. "Jef-frey...
kau sudah kutunggu-tunggu. Jeffrey, kembalilah! Kau sudah kutunggu
begitu lama!"
Kami sampai di lantai dua—dan si hantu menangkapku dari
belakang. "Kau tak bisa lolos, Jef-frey!" aku mendengar bisikannya
yang parau. "Kau sudah kutunggu begitu lama di rumah tua ini. Begitu
lama...."
Tangannya yang dingin mencekik leherku.
Cekikannya semakin keras. Aku tidak bisa bernapas!
"Aku... bukan... Jeffrey!" ujarku terputus-putus. Dan itulah
ucapanku yang terakhir.
25

KUPIKIR itulah ucapanku yang terakhir.


Segala sesuatu menjadi merah terang. Ruangan yang gelap
tampak berputar dan oleng di balik tirai merah.
Mataku berkunang-kunang.
Dan kemudian semuanya menjadi gelap.
Hantu Penghuni Hedge House kembali menelan korban.
Tapi... tunggu dulu!
Sebuah tangan meraih tanganku. Menarikku. Menarikku dari
kegelapan.
"Sammy... ayo!" Roxanne memohon sambil berbisik ketakutan.
"Ayo dong! Kau tak apa-apa! Tak apa-apa!"
Dan tahu-tahu ia sudah berhasil mengeluarkanku dari kegelapan
yang mencekam. Kami kembali berlari. Menuruni tangga. Melewati
ruang tamu yang berkabut. Keluar lewat pintu depan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Udara malam terasa begitu
sejuk dan nyaman.
Aku bernapas dan berlari.
Aku masih hidup!
Ya! Masih hidup! Aku berhasil lolos dari cengkeraman Hantu
Penghuni Hedge House.
Belum pernah udara terasa seharum sekarang. Belum pernah
langit malam tampak lebih indah.
Roxanne langsung berlari pulang. Aku memperhatikannya
masuk lewat pintu depan rumahnya.
Aku sendiri juga pulang. Sambil terengah-engah aku menyerbu
masuk. Dua kali aku memeriksa pintu depan untuk memastikan sudah
kukunci.
Seluruh tubuhku bergetar waktu aku berlari naik ke kamarku.
Aku duduk di tempat tidur—dan menjerit kaget. Aku menjerit
karena melihat kemeja hitam yang tergeletak di atas bantalku.
Kemeja hitam si hantu berlengan satu!
26

"ADA apa sih? Itu kan cuma baju," sebuah suara berkata
dengan tenang. "Kenapa kau menjerit-jerit?"
Aku langsung berdiri—dan melihat piring melayang di udara.
Di piring itu ada roti isi yang lenyap segigit demi segigit.
Brent!
"Bagaimana penampilanku?" tanya Brent sambil mengunyah.
"Aku hebat sekali sebagai hantu, kan?"
Aku melihat kursi belajarku ditarik mundur. "Wah, aku sudah
bekerja keras!" ia mendesah. "Dan sekarang aku capek sekali!"
"Kau?" aku memekik. "Kau yang ada di rumah tua itu?"
"Aku tahu. Aku tahu. Penampilanku memang luar biasa,"
katanya. "Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" Kemudian ia
terbahak-bahak.
"A-a-aku..."
"Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih," kata Brent.
"Sungguh. Tak perlu. Sekarang kau bisa membuat laporan terbaik di
sekolahmu. Aku kan sudah bilang aku bisa membantumu. Aku kan
sudah bilang aku bisa menjadi sahabatmu."
"Oh, ya ampun!" seruku. "Brent! Tega-teganya kau berbuat
begitu. Aku hampir mati ketakutan tadi! Roxanne juga! Kau benar-
benar membuatnya kesakitan! Dan aku hampir tercekik!"
"Sudahlah," ulang Brent. "Aku cuma ingin membuktikan aku
bisa membantu."
"Keluar dari rumahku! Keluar—sekarang juga!" bentakku.
"Aku serius!"
"KELUAR!" teriakku begitu keras sehingga suaraku nyaris
putus. "Keluar, dasar tolol! Kau nyaris membuat kami celaka! Enyah
dari sini! Sekarang juga!"
Aku berpaling ke pintu. "Cepat...!"
Dad berdiri di ambang pintu. Ia menatapku sambil mengerutkan
kening karena prihatin. "Sammy, rasanya kau sudah terlalu besar
untuk mempunyai teman khayalan," kata Dad lembut.
"Bukan begitu, Dad. Dia bukan temanku!" protesku. "Dia bukan
temanku! Bukan!"
Dad segera memelukku. "Tenang saja. Tidak perlu panik."
Ia menggiringku ke tempat tidur, lalu menyuruhku duduk.
Kemudian Dad menarik kursi belajarku.
"Jangan duduk di situ!" jeritku. "Dia sedang duduk di kursi itu!"
Dad tetap duduk. "Coba tarik napas dalam-dalam," ia
menganjurkan. "Tenangkan dirimu. Nah... sekarang kita bisa bicara
tentang temanmu itu."
"Dad! Dia bukan temanku. Dia mau bersahabat denganku, tapi
aku tidak mau. Dan sekarang dia terus menggangguku."
Aku menyingkirkan kemeja hitam tadi, lalu merebahkan kepala
di bantal. Dan tiba-tiba aku mendapat ide. "Aku tahu! Kita pasti bisa
mengusirnya kalau kita bekerja sama! Dad... maukah Dad
membantuku? Maukah Dad membantuku mengusir Brent?"
"Tentu saja aku mau membantu," sahut Dad sambil menatapku.
Ia bangkit. Meraih tanganku. Lalu mengajakku ke pintu.
"Thanks, Dad! Aku senang sekali Dad mau membantuku.
Terima kasih banyak."
Tiba-tiba aku merasa lega sekali. Begitu Dad bilang akan
membantuku, otot-ototku yang tegang langsung mengendur
semuanya.
"Semuanya akan beres," kata Dad dengan lembut.
"Aku tahu," kataku. "Sekarang saja aku sudah merasa lebih
enak."
"Syukurlah, Sammy. Tapi tolong beritahu Dad— sebenarnya
ada apa sih? Kenapa kau sampai menciptakan teman yang tidak
kelihatan—Brent?"
Aku langsung mengeluh.
Ternyata Dad tidak percaya. Ia membawaku ke bawah.
"Mau ke mana kita?" tanyaku.
Dad diam saja.
"Dad!" seruku. "Aku mau dibawa ke mana?"
27

"KITA mau ke mana Dad? JANGAN DIAM SAJA!"


"Tenang saja, Sammy. Kita ada janji dengan seseorang yang
bisa membantumu," kata Dad akhirnya. "Mom dan Dad telah
membahas masalahmu dengan Dr. Krandall—dan sekarang kau akan
diperiksanya."
"A-aku tak mau ke dokter!" teriakku. "Aku tak butuh dokter!"
"Jangan kuatir." Dad menepuk-nepuk punggungku. "Kau pasti
senang ngobrol dengan Dr. Krandall. Dia baik sekali. Dan penuh
pengertian."
Dad bergegas ke dapur untuk mengambil kunci mobil.
Aku tahu Dad mengira aku sudah tidak waras. Dipikirnya aku
sudah sinting.
Semua orang berpikiran begitu.
Aku tidak bisa meyakinkan siapa pun bahwa Brent benar-benar
ada.
Dia bakal terus mengusikku—untuk selama-lamanya.
Dia bakal menghancurkan seluruh hidupku.
Seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya.
"Hai, Sammy." Ternyata Roxanne. "Aku tak tahan di rumah.
Aku harus kemari untuk ngobrol soal hantu itu. Hebat sekali, ya?"
"Ya, hebat," gumamku.
"Hei, kenapa kau malahan lesu? Ada apa sih?" Ia menuju ke
ruang duduk dan mengambil tempat di sofa.
"Tak ada apa-apa. Cuma semua orang menyangka aku sudah
gila." Aku duduk di sebelahnya.
Brutus melompat ke pangkuanku.
"Kau sudah memberitahu orangtuamu tentang hantu itu? Itukah
sebabnya mereka menyangkamu sudah gila? Jangan kuatir! Aku akan
meyakinkan mereka bahwa semuanya benar," Roxanne berjanji. "Aku
akan menceritakan apa yang kita lihat tadi!"
"Ini bukan karena hantu itu..."
"Oke, Sammy. Kita berangkat." Dad masuk ke ruang duduk
sambil membawa kunci mobilnya.
Mom dan Simon menyusul. Tampang keduanya serius sekali.
"Kalian mau ke mana sih?" tanya Roxanne. "Apakah aku juga
boleh ikut?"
"Tidak, Roxanne. Lebih baik jangan," ujar Dad. "Kami akan
mengantar Sammy ke dokter. Belakangan ini dia sering berkhayal."
"Tapi mulai hari ini semuanya akan kembali normal," Mom
angkat bicara. Ia menatapku sambil tersenyum simpul. "Para dokter
tahu bagaimana cara menangani hal-hal seperti ini."
"Sammy tak perlu dibawa ke dokter," kata Roxanne. "Hantu
itu..."
"Jadi, temanmu yang tak kelihatan itu hantu, ya?" Mom
bertanya padaku. "Kau belum cerita soal itu."
"Temanmu yang tak kelihatan?" Roxanne mengulangi sambil
mengerutkan kening. "Dia masih ada di kamarmu?"
"Tunggu, Dad... jangan bawa Sammy ke dokter!" seru Simon.
Hei! Ada apa ini? Aku sendiri nyaris tidak percaya, tapi kali ini
Simon berada di pihakku.
"Jangan bawa dia malam ini," Simon menambahkan. "Besok
saja. Besok dia masih gila kok. Malam ini aku perlu bantuan Mom dan
Dad untuk memikirkan proyek ilmiah yang baru. Pertumbuhanku
terlalu lamban. Aku harus ganti proyek."
"Tunggu sampai kami pulang, Simon. Kakakmu butuh
bantuan," Dad berkata tegas.
"Aku tak mau ke dokter!" aku berseru. "Tunggu dulu.
Bagaimana kalau aku bisa membuktikan Brent benar-benar ada?"
Mereka tidak kuberi kesempatan untuk menjawab. Aku telah
menyusun rencana. Rencana yang hebat. Kalau berhasil, mereka akan
percaya bahwa aku tidak mengada-ada. Mereka harus percaya.
Aku turun ke ruang bawah tanah. Lalu menggeledah tempat
kerja Dad.
Mana dia? Mana dia? Aku mencari-cari kalang kabut. Pasti ada
di sekitar sini!
Aku mengayunkan tangan untuk menyingkirkan semua barang
yang tergeletak di atas meja. Semuanya jatuh ke lantai. Tapi aku
berhasil menemukan barang yang kucari!
Lampu Detektor Molekul.
Aku kembali ke atas. "Dengan lampu ini kita bisa melihat hal-
hal yang sebenarnya tak kelihatan—ya, kan?" Lampu itu kugoyang-
goyangkan di depan wajah Dad. "Jadi kalau aku mengarahkannya
pada Brent, kita semua bakal bisa melihatnya. Betul kan, Dad? Betul,
kan?"
"Mungkin," Dad menyahut ragu-ragu. "Tapi, Sammy..."
Aku berlari ke tangga.
Semuanya mengikutiku.
Apakah rencanaku akan berhasil? aku bertanya-tanya dalam
hati.
28

"Di mana kau, Brent? Aku tahu kau ada di sini."


Semuanya berdesakan di kamarku.
Mereka terus memperhatikanku ketika aku berputar di tempat,
sambil mencari-cari tanda keberadaan Brent.
"Brent!" aku memanggil namanya.
Ia tidak menyahut.
Aku menyalakan lampu detektor.
Lalu kuarahkan ke sekelilingku.
Brent tetap tidak kelihatan.
"Sammy, ini tidak masuk akal," ujar Mom. Ia berpaling kepada
Dad untuk minta dukungan, tapi Dad hanya mengangkat bahu.
Aku berlutut dan mengarahkan lampu ke kolong tempat tidur.
Tidak ada Brent.
"Tolong letakkan lampu itu," Mom memohon. "Ini hanya
buang-buang waktu. Kita ada janji dengan dokter."
Aku tidak menghiraukannya.
"Di mana kau, Brent? Aku tahu kau ada di sini!" kataku. "Ayo,
keluarlah!" ebukulawas.blogspot.com
Dan kemudian, akhirnya, Brent angkat bicara. "Jangan. Jangan,
Sammy. Aku tak ingin kau melihatku."
Mom, Dad, Simon, dan Roxanne memekik tertahan.
"Nah!" seruku. "Apa kubilang! Ini buktinya bahwa aku tidak
gila!"
Aku mengarahkan lampu ke kursi belajar. Ke tempat tidur. Ke
lemari pakaian. Tapi Brent tetap belum terlihat.
"Di mana kau, Brent? Ayo, beritahu aku. Aku harus
menunjukkanmu pada mereka."
"Jangan. JANGAN!" Brent merengek. "Aku tak mau!"
Aku membuka pintu lemari.
Aku mengarahkan lampu—dan kemudian aku melihatnya!
"YA AMPUN! Bagaimana mungkin!" seruku. "Ternyata... kau
MONSTER!"
29

"KAU monster!" seruku sekali lagi.


Lampu Detektor Molekul di tanganku sampai ikut bergetar.
"Karena itulah aku dibuat tidak kelihatan oleh orangtuaku," ujar
Brent pelan. "Mereka kira aku bisa selamat seandainya tak ada yang
bisa melihatku."
Brent berjalan menghampiriku.
Aku segera melompat mundur. "Mau apa kau?"
"Uhh... dia benar-benar JELEK!" seru Simon. "Iiih. Kepalanya
cuma satu!"
"Lihat! Tangannya cuma dua—dan pendek-pendek, lagi!"
Roxanne menimpali. "Tangannya tak bisa dipakai untuk melilit
badannya. Bagaimana caranya supaya dia tak kedinginan?"
"Dan apa itu yang tumbuh di ujung kepalanya?" tanya Simon
sambil menunjuk. "Kenapa dia tak punya sulur dan pengisap seperti
kita? Di mana antenanya? Dan bagaimana dia bisa melihat dengan dua
mata saja?"
"Tenang dulu, semuanya," kata Dad. "Kau tak bermaksud
jahat—ya kan, Brent?"
"Tentu saja tidak," sahut Brent. "Aku cuma ingin bersahabat
dengan Sammy."
"Jangan. Lebih baik berteman denganku saja!" seru Simon.
"Aku membutuhkanmu untuk proyek ilmiah."
Simon berpaling kepada Dad. "Dia untukku saja, ya? Boleh ya,
Dad? Aku butuh dia untuk proyek ilmiahku."
"Tapi itu tak adil," Roxanne angkat bicara. "Sammy yang lebih
dulu menemukannya!"
"Semuanya diam!" kata Mom dengan tegas. "Brent... aku
pernah melihat gambar spesiesmu di buku pelajaran. Ehm... apa nama
spesiesmu?"
"Aku dinamakan manusia," Brent menjawab malu-malu.
"O ya!" ujar Mom sambil menjentikkan jari. "Sekarang aku
ingat. Manusia."
"Idih," Roxanne bergumam sambil meringis.
"Aku tahu aku jelek," Brent berkata dengan sedih. "Karena
itulah aku tak mau kalian melihatku..." Suaranya terputus.
Aku menatap Brent sambil menggelengkan kepala. Ternyata ia
manusia. Baru sekarang aku tahu ada makhluk seperti itu.
Aku mengalihkan kelima mataku dan berpaling kepada Dad.
"Aku tahu dia jelek, Dad. Tapi aku ingin memeliharanya," kataku.
"Boleh, ya? Aku akan mengurusnya baik-baik. Aku berjanji!"
"Jangan, Sammy." Dad mengamati Brent dengan saksama.
"Rasanya lebih baik Brent kita bawa ke kebun binatang saja."
"Hah? Kebun binatang?" aku memekik. "Untuk apa, Dad?
Kenapa dia harus tinggal di kebun binatang?"
"Yang jelas, di sana dia bisa diurus jauh lebih baik," jawab Dad.
"Bagaimanapun, manusia termasuk spesies yang terancam
punah!"END

Anda mungkin juga menyukai