Anda di halaman 1dari 22

Sintesis Grafena Dari Limbah Pelepah Sawit (Elaeis Sp.

) Dengan Metode Reduksi Grafit


Oksida Menggunakan Perefuksi Zn yang Dikompositkan Dengan CuO Untuk
Penginderaan Gas dari Sensor Berbasis Grafena yang Difungsikan

Pendahuluan
Sekarang ini, untuk mensintesis grafena umumnya digunakan teknologi tinggi seperti
metode Mechanical Exfoliation, akan tetapi biaya yang cukup tinggi menjadi salah satu
permasalahan utamanya. Untuk itu perlu dilakukan sintesis grafena yang lebih sederhana dan
terjangkau yakni dengan menggunakan metode reduksi Grafit Oksida. Secara sederhana grafit
dioksidasi menjadi oksida grafit (GO), kemudian lembaran-lembaran oksida grafit tersebut
dikelupas (exfoliated) dalam air hingga terbentuk oksida grafena. Konsentrasi oksigen dalam
oksida grafena dapat direduksi hingga habis meninggalkan lapisan grafena (Syakir,et al., 2015).
Proses yang terjadi dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1 Skema pembuatan grafena dari grafit

Sintesis grafena menggunakan bahan baku alami telah dilakukan sebelumnya oleh
Sutayasa dan Sanjaya (2016) dari arang ampas tebu menggunakan metode kimia modifikasi
Improved Graphene Oxide (IGO). Hasil uji kristalinitas XRD menunjukkan puncak 2θ pada
26,343° dengan nilai d-spacing 0,338050 nm serta ukuran kristal sebesar 15,41 nm. Hasil uji
morfologi TEM menunjukkan adanya few-layer graphene (FLG) serta bagian layer grafena yang
sangat tipis dan transparan dimana menunjukkan hasil yang serupa dengan grafena alam

Limbah organik lain yang juga berpotensi sebagai bahan baku sintesis grafena yaitu limbah
pelepah sawit. Analisa kimia terhadap pelepah sawit menunjukkan terdapat komponen selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku karbon karena lignin dan
selulosa sebagian besar tersusun dari unsur karbon. Pelepah kelapa sawit termasuk bahan dengan
kandungan selulosa yang cukup tinggi dan memiliki massa jenis lebih daripada kayu yaitu sebesar
1,16 g/cm3 (Pope, 1999). Kandungan selulosa yang cukup tinggi tersebut lah yang berpotensi
dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baku (karbon) dalam sintesis grafena.
Hal ini didukung oleh fakta bahwa sawit merupakan hasil pertanian yang cukup melimpah.
Berdasarkan Angka Tetap Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2018
tercatat luas areal perkebunan di Kalimantan Tengah mencapai 2.005.711 hektare (Ha) meliputi
areal perkebunan kepala sawit mencapai 1.520.937 Ha yang terdiri atas Perkebunan Rakyat
166.926 Ha dan Perkebunan Besar Swasta 1.354.011 Ha.
Namun, pada kenyata-annya pelepah sawit selama ini hanya dibakar
menjadi arang dan abu yang sering menimbulkan polusi udara. Sehingga perlu dilakukan
pemanfaatan terhadap limbah pelepah sawit tersebut agar lebih bernilai dan menghasilkan suatu
senyawa yang bermanfaat. Penelitian sintesis grafena menggunakan limbah pelepah sawit ini
memiliki beberapa kelebihan seperti ketersediaan bahan baku yang sangat melimpah dan murah,
menggunakan metode kimia berupa Reduksi Grafit Oksida (GO) sehingga tidak memerlukan biaya
yang tinggi dan proses sintesis yang cukup sederhana dibandingkan metode kimia lain seperti
Improved Graphene Oxide (IGO) dan Chemical Vapor Deposition (CVD).

Sekarang ini dunia telah dihadapkan pada beban penyakit yang terkait dengan paparan polusi udara
yang telah berdampak besar pada kesehatan manusia. Efek yang disebabkan oleh paparan polusi
udara telah diperkirakan menyebabkan jutaan kematian dan kerugian tahunan dari gaya hidup
sehat. Beban ini telah dilaporkan setara dengan risiko kesehatan global utama lainnya, yaitu, pola
makan tidak sehat dan merokok tembakau. Polutan udara dapat diatribusikan sebagai satu-satunya
ancaman lingkungan utama bagi kesehatan manusia [1]. Polutan udara dapat dilepaskan ke
atmosfer, yang kemudian dapat disebut sebagai polutan udara primer, atau terbentuk di dalam
atmosfer sebagai polutan udara sekunder. Polutan udara primer terdiri dari sulfur dioksida (SO2),
oksida nitrogen, karbon monoksida (CO), senyawa organik volatil (VOC), dan partikel primer
karbon dan non-karbon. Polutan udara sekunder terbentuk dari reaksi kimia polutan udara primer,
yang seringkali melibatkan
komponen lingkungan alami seperti oksigen dan air. Ini termasuk ozon (O3), oksida nitrogen, dan
partikel sekunder/particular matter (PM) [2].
Paparan polusi udara dikatakan sangat ditentukan oleh konsentrasi polutan udara yang
dibuang dilingkungan tempat orang terpapar dan jumlah waktu yang dihabiskan di lingkungan itu
[2]. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejak tahun 1987, secara berkala mengeluarkan pedoman
kualitas udara (AQGs) berdasarkan kesehatan untuk lebih membantu pemerintah dan masyarakat
sipil dalam mengurangi paparan polusi udara dan efek buruknya. Pada tahun 2005, WHO
menerbitkan AQGs untuk PM, O3, NO2, dan SO2 [1]. Karbon monoksida dinilai
pada tahun 2000 dan kemudian, pada tahun 2010, sebagai polutan dalam ruangan [3]. Tabel 1
menunjukkan AQGs WHO yang ditetapkan untuk perlindungan kesehatan berdasarkan
konsentrasi polutan udara dan waktu rata-rata untuk paparan jangka pendek dan jangka panjang.
Ini kemudian diperbarui, dan data terbaru menunjukkan bahwa PM10 memiliki rata-rata tahunan
15 g/m3 dan rata-rata 24 g/m3 45 g/m3 ; PM2.5, rata-rata tahunan 5 g/m3 dan rata-rata 24 jam 15
g/m3 ; O3, maksimum harian 100 g/m3 8 jam dan rata-rata 60 g/m3 8-jam setiap enam bulan;
NO2, rata-rata tahunan 10 g/m3 dan 25 g/m3 produksi gas alam, sangat berbahaya bagi tubuh
manusia dengan efek kesehatan yang dilaporkan bahan fungsional yang beragam telah menjadi
fokus penelitian deteksi gas berbahaya [7]. waktu yang terbatas adalah yang paling penting.
rata-rata 24 jam; SO2, rata-rata 40 g/m3 24 jam [3].

Pembentukan gas beracun termasuk nitrogen oksida (NOx), oksida belerang (SOx),
amonia (NH3), dan CO telah dinyatakan sebagai bahaya utama bagi keamanan lingkungan dan
perlindungan kesehatan individu [5]. Deteksi NO2 telah menghasilkan perhatian besar karena
tidak hanya berbahaya bagi sistem pernapasan tetapi juga menyebabkan pembentukan hujan asam
[6]. Hidrogen sulfida (H2S), yang juga merupakan gas beracun yang dihasilkan dari proses minyak
dan produksi gas alam, sangat berbahaya bagi tubuh manusia dengan efek kesehatan yang
dilaporkan paparan berikut termasuk kematian dan pernapasan, mata, neurologis, kardiovaskular,
metabolisme, dan efek reproduksi [7]. Amonia (NH3) adalah gas yang mengiritasi dan korosif,
sedemikian rupa sehingga konsentrasinya yang rendah di udara atau cairan dapat menyebabkan
iritasi parah dan batuk jika terkena kulit atau mata [6]. Karbon monoksida (CO) juga sangat
beracun bagi manusia, di antara berbagai gas, karena merupakan gas yang tidak berbau, tidak
berwarna, dan tidak berasa yang tampaknya sedikit lebih padat daripada udara, oleh karena itu
membuatnya sulit untuk dikenali dalam cara biasa [8]. Oleh karena itu, deteksi gas beracun dan
uap kimia berbahaya di dalam waktu yang terbatas adalah yang paling penting.
Pentingnya sensor gas telah lama terlihat dalam berbagai aspek tertentu
bidang sejak penemuan pertama oleh Davy pada tahun 1815 [9,10] dan pembakaran katalitik
komersial detektor gas oleh Johnson pada tahun 1926 [11], yang studi substansial pertama dimulai
pada awal 1970-an dan kemudian berkembang pesat sejak 2002. Oleh karena itu, pendeteksian
yang sederhana dan akurat gas beracun telah menjadi vital dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak
hanya untuk industri tetapi untuk semua orang [7].
Teknik seperti kromatografi optik, akustik dan gas, kromatografi ion chemiluminescence,
dan spektrofotometri telah digunakan untuk mendeteksi gas beracun [12,13]. Namun, metode yang
disebutkan tidak hemat biaya, rumit, dan tidak cocok untuk implementasi untuk pemantauan yang
luas dan berkelanjutan dalam kondisi sekitar. Sebagai akibat, penginderaan elektrokimia adalah
metode yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi gas berbahaya. Deteksi elektrokimia
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pendekatan lain, termasuk kuat selektivitas dan
pengulangan, deteksi level ppm dengan presisi tinggi, linier energi rendah output dengan resolusi
tinggi, dan biaya lebih rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, sensor elektrokimia dibuat bahan
fungsional yang beragam telah menjadi fokus penelitian deteksi gas berbahaya [7].

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, tujuan penelitian ini adalah (1). Mengetahui
cara mensintesis grafena dari limbah pelepah sawit; (2). Mengetahui karakteristik grafena yang
dihasilkan dari pelepah sawit; dan (3) Untuk Penginderaan Gas dari Sensor Berbasis Grafena yang
Difungsikan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada instansi
penelitian dan ilmu pendidikan mengenai informasi bahwa limbah pelepah sawit dapat disintesis
menjadi material grafena, yang merupakan material yang memiliki banyak aplikasi, terutama
dalam bidang energi dan teknologi. Sintesis material grafena dapat di manfaatkan dalam
penginderaan gas. Hal ini kemudian dapat meningkatkan nilai ekonomi dari limbah pelepah sawit
itu sendiri.

LANDASAN TEORI

Grafena
Grafena merupakan alotrop karbon dengan bentuk dua dimensi dan berikatan secara
heksagonal. Grafena merupakan penyusun dasar dari alotrop karbon lainnya seperti grafit, arang,
carbon nanotubes dan fullerenes. Panjang ikatan C – C pada grafena sebesar 1,42 A, dengan ikatan
yang kuat dalam satu bidang lapisan tetapi lemah antar lapisan lain. Grafena merupakan senyawa
dua dimensi yang hanya terdiri dari satu lapisan, sedangkan untuk struktur ikatan yang terdapat
pada grafena sama seperti alotrop karbon yang berbentuk tiga dimensi (Royal Swedish Academy,
2010).

Pelepah Sawit
Pelepah kelapa sawit meru-pakan salah satu limbah padat pengolahan minyak sawit yang
belum banyak pemanfaatannya. Kandungan senyawa kimia penyusun pada pelepah kelapa sawit
terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin secara berurutan yaitu 31.7%, 33.9% dan 17.4%
(Pope, 1999). Bahan organik yang mengandung lignin, hemiselulosa, dan selulosa dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku karbon, karena lignin dan selulosa sebagian besar tersusun dari
unsur karbon. Pelepah kelapa sawit termasuk bahan dengan kandungan selulosa yang cukup tinggi
dan memiliki massa jenis lebih daripada kayu yaitu sebesar 1,16 g/cm3 (Pope, 1999).

Sensor Gas Berbasis Grafena


Graphene telah muncul sebagai pesaing yang mungkin untuk aplikasi penginderaan, di
antara aplikasi penginderaan lain. Penelitian eksperimental dan teoritis telah melaporkan graphene
monolayer yang didemonstrasikan sebagai kandidat yang menjanjikan untuk mendeteksi berbagai
molekul, termasuk gas, karena keunggulannya yang menarik [20]. Graphene oxide adalah
prekursor graphene yang populer karena kelarutannya dalam air yang tinggi, kemudahan
fungsionalisasi, dan pemrosesan yang sederhana [21]. Dalam keadaan teroksidasi, GO memiliki
konduktivitas yang buruk [22] karena dianggap terlalu terisolasi secara elektrik sebagai sensor
berbasis konduktansi karena gangguan sistem terkonjugasi p oleh bagian oksigen [20,23]. Reduksi
kimia mengembalikan sebagian konduktivitas dengan menghilangkan oksigen yang kemudian
memulihkan ikatan rangkap karbon aromatik. Namun, ini masih tidak memperbaiki graphene
murni, karena beberapa kelompok oksigen tetap berada di jaringan [24]. rGO memiliki
konduktivitas menengah dan situs cacat yang membuatnya menarik untuk aplikasi sensor [24]

METODOLOGI

Sintesis Grafena dari Limbah Pelepah Sawit

Peralatan yang digunakan adalah seperangkat gelas, oven, furnace, ayakan (270 mesh), mortal dan
alu, crucible keramik, spatula, neraca analitik, sentrifugasi, XRD (X-Ray Difraction), FTIR
(Fourier TransformInfra Red) dan SEM (Scanning Electron Microscope). Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pelepah dari pohon sawit yang berumur dewasa-tua (14-20 tahun)
sebanyak 1 kg. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah H2SO4 98%, NaNO3, KMnO4,
H2O2, akuademineral, HCl 5%, HCl 35% dan logam Zn

a. Karbonisasi Pelepah Sawit


Pelepah sawit yang telah dikumpulkan, disortasi dan dipotong kecil-kecil
memanjang sekitar 10-15 cm. Lalu dikeringkan selama 2 hari dengan bantuan sinar
matahari. Kemudian dimasukkan pelepah yang telah kering ke dalam crucible keramik dan
dioven pada suhu 1000C selama 60 menit. Lalu pelepah sawit tersebutdimasukkan kedalam
furnace padasuhu 300oC selama 90 menit. Pelepahhasil karbonisasi digerus dan diberikan
dua perlakuan: pengayakan berukuran 270 mesh dan tanpa pengayakan. Digunakan ayakan
dengan ukuran yang tidak terlalu kasar dan halus yaitu ukuran pertengahan (270 mesh).
Tujuannya untuk mengetahui pengaruh perbedaan ukuran sampel terhadap hasil sintesis
yang diperoleh.

b. Sintesis Grafit Oksida


Grafit oksida (GO) disintesis dengan metode Hummers melalui oksidasi bubuk
arang pelepah sawit (Taufantri, et al. 2016). Bubuk arang kelapa sawit (1 g) dan NaNO3
(1 g) dicampur 25 mL H2SO4 (98%) dalam erlenmeyer 100 mL dengan ice bath
dibawahnya (0-5°C) sambil diaduk terus menerus. Campuran diaduk selama 2 jam pada
suhu ini dan KMnO4 (3 g) ditambahkan pada suspensi dengan perlahan. Kecepatan
penambahan dikendalikan untuk menjaga suhu reaksi agar lebih rendah dari 15°C. Ice bath
lalu dialihkan dan campuran diaduk pada 35°C sampai menjadi kecoklatan pucat dan terus
diaduk selama 2 hari. Campuran kemudian diencerkan dengan penambahan 100 mL
akuademineral. Suhu reaksi akan cepat meningkat menjadi 98°C dengan gelembung dan
warna berubah menjadi warna coklat. Selanjutnya larutan ini diencerkan dengan
menambahkan 200 mL akuademineral dan diaduk terusmenerus. Larutan akhirnya
ditambahkan 10 mL H2O2 untuk mengakhiri reaksi ditandai dengan perubahan menjadi
warna kuning.
Untuk pemurnian, campuran tersebut dicuci dan disentrifugasi dengan 10% HCl
dan aquademineral beberapa kali. Hasil sentrifugasi disaring menggunakan kertas saring
whatman GF/D (berukuran 2,7 μm) dan dikeringkan dengan vakum pada suhu kamar.
Grafit oksida (GO) yang diperoleh sebagai bubuk.

c. Reduksi Grafit Oksida Menjadi Grafena


Sebanyak 40 mg grafit oksida ditambahkan 40 mL akuademineral dan diaduk
selama 1 jam kemudian dilakukan ultrasonikasi pada pancaran gelombang ultrasonik 50/60
Hz selama 90 menit untuk mendapatkan larutan yang homogen. Grafit oksida direduksi
dengan penambahan 0,8 g Zn dan 10 mL HCl 35%, kemudian diaduk selama 1 jam. Setelah
1 jam pengadukan, larutan ditambahkan lagi 10 mL HCl 35% dan diikuti proses
pengadukan selama 5-30 menit, kemudian dicuci dengan menggunakan akuademineral dan
HCl 5%. Proses pencucian dilakukan berulang kali menggunakan akuades sampai pH
campuran menjadi netral. Hasil endapan pada proses pencucian dimasukkan ke dalam
tabung stainless steel dan dipanaskan pada suhu 160°C selama 18 jam.

d. Karakterisasi Grafena
Karakterisasi grafena dari limbah pelepah sawit diuji menggunakan instrument
XRD (Xray Diffraction) untuk analisis struktur 2D, FTIR (Fourier Transform Infra Red)
untuk mengetahui konfigurasi ikatan pada grafena hasil sintesis (gugus fungsi), dan SEM
(Scanning Electron Microscope) untuk menentukan topografi (bentuk 3D) nanomaterial
grafena dari limbah pelepah sawit.

Pembahasan

Preparasi dan Karbonisasi Pelepah Sawit


Preparasi sampel dilakukan secara konvensional dengan menjemur pelepah sawit selama
2 hari untuk mengurangi kadar air. Kemudian disortasi berdasarkan tingkat kekerasannya
(Gambar 3) dan dipilih pelepah sawit yang bertekstur keras agar diperoleh senyawa dengan
ikatan antar karbon yang lebih kuat. Sampel hasil sortasi dipotong kecil-kecil dan memanjang
sekitar 10-15 cm untuk memperbesar luas permukaan sehingga dapat meningkatkan laju reaksi
nantinya.
Gambar 3. Hasil sortasi pelepah sawit

Selanjutnya pelepah sawit dikarbonisasi dengan cara pengeringan dalam oven pada suhu
100˚C selama 60 menit untuk penghilangan air secara total, dan dilanjutkan dengan
menggunakan furnace pada suhu 300˚C selama 60 menit hingga menjadi arang. Aranghasil
karbonisasi digerus untuk mendapatkan bubuk arang. Bubuk arang dibuat dalam dua variasi
ukuran yaitu 270 mesh dan tanpa ayakan yang bertujuan untuk melihat pengaruh luas permukaan
terhadap kualitas grafena yang akan dihasilkan. Berdasarkan hasil pengayakan, variasi ukuran
270 mesh memiliki tekstur yang lebih halus dibandingkan variasi tanpa pengayakan sehingga
dipilih untuk digunakan ke tahap sintesis. Dipilih ayakan dengan ukuran pertengahan yang tidak
terlalu kasar dan halus. Sampel dengan tekstur yang lebih halus (ukuran kecil) akan memberikan
luas permukaan yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan laju reaksi dalam proses aplikasi
grafena untuk tahap selanjutnya.

Sintesis Grafit Oksida dari Grafit


Sintesis Grafit Oksida (GO) dilakukan dengan menggunakan metode Hummers melalui
oksidasi bubuk arang pelepah sawit. Bubuk arang distirrer dengan NaNO3, KMnO4 dan H2SO4
98% dengan pengaturan suhu 0-5˚C. Untuk mempertahankan keadaan pada suhu tersebut
digunakan pendingin termostat dari campuran es batu dan garam. Pengadukan dengan stirrer
dilakukan selama 2 hari untuk mengoptimalkan reaksi oksidasi pada sampel. Pada perlakuan ini
berlangsung reaksi oksidasi grafit menjadi grafit oksida (GO) dengan oksidator berupa KMnO4
dalam suasana asam yang menghasilkan campuran berwarna coklat tua (pengamatan secara
kualitatif). Grafit dioksida menjadi grafit oksida yang memiliki atom Oksigen. Menurut
penelitian Taufantri, et al (2016) adanya perubahan warna dari hijau tua pekat menjadi coklat tua
yang terjadi akibat reaksi antara karbon, H2SO4, dan KMnO4 menunjukkan indikasi bahwa
proses oksidasi karbon telah dimulai. Selama proses oksidasi, beberapa gugus fungsi seperti
gugus fenol, gugus epoksi, gugus keton, gugus karboksil dan gugus karbonil terbentuk pada
karbon (Shao, et al, 2012).
Gugus fungsi ini menyebabkan material bersifat sangat hidrofilik dan mudah terkelupas
dalam air menjadi grafit oksida.
Tahapan akhir berupa pengenceran larutan grafit oksida dengan akuademineral disertai proses
pengadukan terus-menerus agar proses penghomogenan terjadi secara optimal. Larutan
ditambahkan H2O2 untuk mengakhiri reaksi oksidasi yang ditandai dengan perubahan menjadi
warna kuning. Untuk pemurniannya, campuran dicuci dan disentrifugasi dengan HCl 5% dan
aquademineral selama beberapa kali. HCl berfungsi untuk melarutkan logam pengotor dan
aquademineral yang befungsi untuk menetralkannya. Hasil sentrifugasi disaring dan endapan
dikeringkan dengan vakum pada suhu kamar. Grafit oksida (GO) hasil sintesis penelitian ini
diperoleh berupa bubuk.

Reduksi Grafit Oksida menjadi Grafena


Berdasarkan hasil penelitian Taufantri, et al (2016) grafit oksida yang dihasilkan
selanjutnya direduksi menjadi grafena. Grafit oksida direduksi oleh reduktor Zn dan dilakukan
dalam suasana asam (menggunakan HCl). Reduktor Zn dalam reaksi reduksi grafit oksida
berfungsi untuk mengembalikan cacat struktural pada kisi karbon dengan mengembalikan
konjugasi π dan untuk menghilangkan gugus fungsi. Gugus epoksi membentuk gugus hidroksi
akibat reaksi Zn dengan HCl. Gugus hidroksi juga dihasilkan pada saat reduksi gugus karbonil.
Adanya gugus hidroksi pada kondisi asam menyebabkan terlepasnya hidrogen dan menghasilkan
olefin (Taufantri, et al, 2016). Gambar 4 menunjukkan reaksi sintesis grafena secara
keseluruhan.

Gambar 4
Reaksi Oksidasi Grafit Menjadi Grafit Oksida dan Reduksi Menjadi Grafena

Digunakan juga sonifikasi untuk membantu pelepasanlembaran-lembaran grafena. Kemudian


dicuci dengan menggunakan HCl 5% dan akuades sampai pH campuran menjadi netral. Hasil
endapan dikeringkan pada suhu 160°C selama 18 jam.

Karakterisasi Grafena
Berdasarkan penelitian oleh Taufantri, et al (2016) dan Syakir, et al (2015).

XRD
Pengamatan hasil uji sintesis grafena dilakukan menggunakan XRD dengan difraksi sinar x pada
sudut 2θ = 50-900 dan λ Cu-Kα 1.54060 Å. Gambar 4 menunjukkan difraktogram grafit, grafit
oksida dan grafena berdasarkan penelitian Taufantri, et al (2016).
Gambar 5. Hasil XRD (a) Grafit; (b) Grafit Oksida; dan (c) Grafena

Pada gambar (5a) dapat diamati puncak grafit yang muncul adalah 26.5872 dengan d-
spacing 3.3527Å. Pada grafit oksida (5b) membentuk puncak baru yaitu 11.2055 dengan d-
spacing 7.8965 Å. Adanya perubahan pola sudut XRD yang bergeser ke arah kiri lebih rendah
menunjukkan terjadinya perubahan material sifat kristalinitas grafit oksida menjadi berkurang.
Pelebaran jarak antar lapisan darigrafit sebesar 3.3527 Å menjadi grafit oksida sebesar 7.8965 Å
terjadi karena terbentuknya gugus fenol, gugus epoksi, gugus keton, gugus karboksil dan gugus
karbonil. Penambahan molekul H2O dan gugus oksigen juga menyebabkan grafit oksida
memiliki d-spacing yang lebih lebar.
Pola XRD grafena (Gambar 4c) hasil proses reduksi menunjukkan puncak yang muncul
adalah 23.9369 dengan d-spacing 3.7176 Å. Perubahan jarak d-spacing ini menunjukkan bahwa
proses reduksi grafit oksida telah berjalan dengan baik. Pergeseran sudut 2θ ke arah kanan terjadi
pada saat transformasi grafit oksida menjadi grafena yang disebabkan oleh hilangnya gugus
fenol, gugus epoksi, gugus keton, gugus karboksil dan gugus karbonil pada grafit oksida karena
proses reduksi (Taufantri, et al, 2016). Sedangkan grafik XRD grafena dari arang ampas tebu,
muncul puncak pada sudut 2θ 26,427o dengan nilai d-spacing 0,336993 nm (Sutayasa dan
Sanjaya, 2016).
Hasil difraktogram grafena menunjukkan bahwa material cenderung berubah menjadi
amorf atau tingkat kristalinitasnya berkurang. Dari pola XRD pada grafena dapat diamati bahwa
terdapat puncak lain di sebelah puncak grafena yang teridentifikasi sebagai puncak grafit.
Puncak grafit ini memiliki sudut 26.6644 dengan dspacing 3.3432 Å. Pola puncak grafit muncul
dise-babkan karena grafit oksida pada saat proses reduksi tidak bereaksi dan menjadi pengotor
pada material grafena (Taufantri, et al, 2016).

FTIR
Gambar 6 menunjukkan spektrum serapan infra merah Grafit dan Grafit Oksida berdasarkan
penelitian Syakir, et al (2015).
Gambar 6. Spektrum FTIR Grafit dan Grafit Oksida (GO)

Spektrum FTIR dari grafit dan grafit oksida memunculkan puncakpuncak transmitansi
sekitar bilangan gelombang 3400 cm-1 yang menunjukkan adanya ikatan O-H. Hal ini
menandakan adanya molekul air dan gugus fungsi hidroksil pada sampel. Vibrasi pada sekitar
bilangan gelombang 1700 cm-1 berkaitan dengan ikatan C=O yang berkaitan dengan gugus
karboksil yang terletak pada tepi lapisan GO.
Selain itu tampak pula adanya gugus fungsi keton dan kuinon. Selanjutnya vibrasi pada
bilangan gelombang 1200 cm-1 dan 1050 cm-1berkaitan dengan kehadiran ikatan C–OH dan C–
O (Syakir, et al, 2015).

SEM

Gambar 6 menunjukkan pengamatan morfologi grafena yang diuji dengan SEM berdasarkan
penelitian Taufantri, et al (2016).
Gambar 7
Hasil SEM Grafena Perbesaran (a) 500 kali; (b) 2500 kali; (c) 5000 kali dan (d) 10000 kali

Hasil SEM dari penelitian Taufantri, et al (2016) menunjukkan grafena berbentuk lembaran yang
lebih tipis dari grafit oksida. Lembaran grafena terdiri dari satu lapis struktur heksagonal planar
sehingga tampak agak transparan yang terdiri atas single layer dan multi layer. Pengamatan
grafena pada perbesaran 10000 kali (gambar 6D) menunjukkan lembaran grafena yang menekuk
ke dalam dan pada per-besaran 500 kali (gambar 6A) tampak adanya pola bintik atau pengotor.
Pola bintik yang muncul ini menan-dakan adanya kelemahan dari hasil penelitian ini yaitu proses
pencucian pada tahap reduksi grafit oksida masih kurang bersih yang menga-kibatkan masih
tersisanya grafit yang tidak bereaksi saat direduksi (Taufantri, et al, 2016).

Principles of Graphene-Based Gas Sensors


Grafena digambarkan sebagai monolayer datar satu atom tebal atom karbon hibridisasi sp2 yang
ditumpuk rapat ke dalam kisi sarang lebah (honeycumb) dua dimensi. Sifat semimetalnya
memungkinkan pembawa muatan berperilaku seperti fermion Dirac yang menghasilkan efek luar
biasa seperti peningkatan mobilitas intrinsik hingga ~200,000 cm 2 V-1 s-1, dengan sifat unik seperti
konduktivitas termal yang lebih tinggi ~5000 W m -1 k-1, kekakuan mekanik tinggi ~1060 GPa,
transmisi optik yang sangat baik ~97,7%, dan luas permukaan spesifik yang besar 2630 m 2 g-1.
Grafena adalah blok bangunan dasar untuk bahan grafit dari semua dimensi lain.

Graphene oxide (GO) adalah bentuk oksida dari graphene yang ditutupi oleh kepadatan
tinggi gugus fungsi oksigen seperti hidroksil, epoksi, dan karboksil pada bidang dasarnya dan
karboksil pada tepinya, sehingga mudah tersuspensi dalam air dan kutub lainnya. Atom karbonnya
sebagian terhibridisasi sp3 dan mereka dapat bergerak di atas atau di bawah bidang graphene.
Kemampuan konduksi GO tergantung pada derajat oksidasi dalam senyawa dan rute sintetik yang
diusulkan. Lembaran seperti graphene diproduksi dengan reduksi GO di mana gugus fungsi
oksigen dihilangkan sambil memulihkan jaringan terkonjugasi p, yang merupakan properti GO
yang paling menarik.
Bahan yang terkait dengan GO adalah grafena oksida tereduksi (rGO), yang memiliki
lembaran yang dianggap sebagai grafena yang diturunkan secara kimia. Pengukuran analisis unsur
(rasio atom C/O, ~10) untuk rGO yang dilakukan dengan pembakaran mengungkapkan bahwa
sejumlah besar oksigen ada dalam struktur, yang menunjukkan bahwa rGO tidak sama dengan
graphene murni (Park dan Ruoff, 2009). Selain itu, konduktansinya menurun sebesar tiga orde
ketika didinginkan ke suhu yang lebih rendah, yang membuatnya menunjukkan perilaku non-
logam sementara hampir metalik.
Graphene telah muncul sebagai pesaing yang mungkin untuk aplikasi penginderaan, di
antara aplikasi penginderaan lain. Penelitian eksperimental dan teoritis telah melaporkan graphene
monolayer yang didemonstrasikan sebagai kandidat yang menjanjikan untuk mendeteksi berbagai
molekul, termasuk gas, karena keunggulannya yang menarik. Graphene oxide adalah prekursor
graphene yang populer karena kelarutannya dalam air yang tinggi, kemudahan fungsionalisasi, dan
pemrosesan yang sederhana. Dalam keadaan teroksidasi, GO memiliki konduktivitas yang buruk
karena dianggap terlalu terisolasi secara elektrik sebagai sensor berbasis konduktansi karena
gangguan sistem terkonjugasi p oleh bagian oksigen. Reduksi kimia mengembalikan sebagian
konduktivitas dengan menghilangkan oksigen yang kemudian memulihkan ikatan rangkap karbon
aromatik. Namun, ini masih tidak memperbaiki graphene murni, karena beberapa kelompok
oksigen tetap berada di jaringan. rGO memiliki konduktivitas menengah dan situs cacat yang
membuatnya menarik untuk aplikasi sensor.
Bahan fungsional telah dilaporkan digunakan dalam sensor gas chemiresistive. Volanti
dkk. melaporkan pengembangan sensor gas chemiresistive berstrukturnano berbasis CuO dengan
morfologi yang berbeda, yang terkena oksidasi dan reduksi gas di ruang uji yang sama pada
rentang suhu dan konsentrasi gas yang diukur secara bersamaan. Namun, sensor gas chemiresistive
telah dilaporkan memiliki kelemahan seperti kurangnya selektivitas, fleksibilitas, konsumsi daya
yang tinggi, risiko keamanan, dan suhu operasi yang tinggi. Bahan berstrukturnano, seperti
polimer konduktif (CPs), telah dipelajari secara ekstensif di seluruh dunia karena memiliki sifat
unik dan menarik seperti kemudahan sintesis, keragaman struktural, stabilitas lingkungan, biaya
rendah, fleksibilitas, dan respons sensitif terhadap molekul kimia di suhu kamar. Polimer
konduktor memiliki potensi kuat untuk menghasilkan kinerja sensor yang ditingkatkan
dibandingkan dengan kebalikannya yang besar. Namun, mereka tidak memiliki stabilitas pada
skala nano yang dikaitkan dengan sifat ikatan kovalen, juga menghasilkan struktur nano yang tidak
stabil. Karena faktor ini, kemajuan dalam sintesis CP telah dilaporkan relatif lambat dengan
penelitian terbatas bila dibandingkan dengan nanomaterial anorganik.
Oksida logam telah digunakan sebagai bahan penginderaan dalam sensor murah. Karena
kemampuan penginderaan yang baik, respons yang cepat, dan pemulihan, perangkat penginderaan
gas berdasarkan sensor oksida logam telah diselidiki secara menyeluruh. Sensor ini,
bagaimanapun, memiliki batasan operasional karena kegagalan mereka untuk bekerja pada suhu
yang jauh lebih tinggi daripada suhu kamar. Sirkuit yang kompleks dan konsumsi daya yang tinggi
diperlukan untuk operasi atau respons yang optimal pada suhu yang lebih tinggi. Ada beberapa
metode yang telah berhasil digunakan untuk meningkatkan selektivitas sensor oksida logam seperti
optimalisasi suhu, doping bulk/permukaan, dan penggunaan filter molekuler. Sifat luar biasa dari
grafena, GO, dan rGO menjadikanya sebagai bahan yang sangat berguna untuk aplikasi dengan
fungsionalitas/doping permukaan dalam berbagai cara dan karenanya diselidiki secara luas oleh
para peneliti. Dalam sintesis dan fabrikasi, nanokomposit oksida logam skala nano GO/rGO/nano
dan menilai kinerjanya untuk aplikasi penginderaan gas/uap yang di tinjau.

Setelah Grafena di karakterisasi, dilakukan tahap selanjutnya yaitu pembuatan sensor gas
berbasis hibrida grafena CuO/rGO diselidiki untuk kemampuan
penginderaan gas CO2 pada suhu kamar.

a. Sintesis Hibrida Grafena CuO/Fungsional dan Pengembangan Film Tipis


Selanjutnya dilakukan sintesis hibrida CuO/Grafena dan pengembangan film tipis
yang dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 2

Representasi skematis dari (a) bahan penginderaan dan pengembangan film tipis
dan (b) pengaturan penginderaan gas ditunjukkan pada Skema 1 di atas. Awalnya, 4 g
tembaga asetat ditambahkan ke 60 mL IPA dan dicampur di bawah kondisi pengadukan
pada 80 C selama 20 menit. Kemudian, 4 mL etanolamin (MEA) ditambahkan dengan
hati-hati ke dalam larutan dan diaduk dengan kuat selama 2 jam. Solusi yang disiapkan
dibiarkan selama 24 jam untuk penuaan. Larutan selanjutnya dicuci dengan air dan
produk padat dipisahkan menggunakan sentrifugasi. Selanjutnya, 30 mL grafena oksida
(0,5 mg/mL) dilarutkan dalam 100 mL air DI dan diaduk dengan kuat selama 10 menit
untuk membentuk suspensi yang tercampur dengan baik. Kemudian, 100 mg asam
askorbat (AA) ditambahkan dengan hati-hati ke dalam suspensi. Setelah itu, 0,02 g bubuk
CuO yang diperoleh ditambahkan segera ke suspensi GO ini diikuti dengan pengadukan
kuat pada 80 C selama 4 jam. Suspensi selanjutnya dicuci dengan etanol dan air (rasio
1:1). Produk padat kemudian dikumpulkan setelah sentrifugasi diikuti dengan
pengeringan dalam oven pada suhu 60 C.
Sebagai perbandingan, rGO disintesis menurut penelitian kami sebelumnya.
Singkatnya, 15 mL GO ditambahkan ke 30 mL air DI diikuti dengan ultrasonikasi selama
15 menit untuk memperoleh dispersi berair yang seragam. Kemudian, 100 mg asam
askorbat ditambahkan secara hati-hati ke dalam suspensi GO, kemudian diaduk selama 1
jam pada suhu 65 C dalam kondisi RT. Perubahan warna suspensi GO dari coklat
menjadi hitam menunjukkan bahwa oksida graphene yang difungsikan telah diperoleh.
Lapisan tipis suspensi rGO yang disintesis dan hibrida CuO/rGO dikembangkan dengan
metode drop-casting. Sebelum pengembangan film tipis, substrat target seperti kaca dan
SiO2 (300 nm)/Si dicuci dalam aseton, isopropil alkohol, air DI, dan etanol menggunakan
ultrasonikasi selama 15 menit untuk setiap pelarut.
Untuk fabrikasi sensor penginderaan film tipis dari hibrida CuO/rGO dan material
rGO adalah dropcast pada elektroda perak (Ag) 10 MHz QCM (WTL International
China, Shenzen, Cina. Sebelum itu, resonator QCM di bersihkan dengan benar
menggunakan aseton, isopropil alkohol (IPA), air deionisasi dan etanol. Penganturan
sensor gas berbasis QCM yang dibuat khusus digunakan untuk mendapatkan kinerja
penginderaan. Sebelum penginderaan, rGO dan CuO/Rgo yang dilapisi QCM,
dikeringkan pada suhu kamar.

b. Karakterisasi
Sifat struktural dan morfologi bahan sintesis di selidiki dengan spektroskopi
Fourier Transform Infrared (FTIR) (Bruker Instruments, Model Aquinox 55, Stuttgart,
Jerman), spektroskopi Raman (Horiba Jobin Yvon HR800, Yvon, Prancis, eksitasi laser
514 nm) untuk daerah spektrum 200 hingga 400 cm-1 dan transmisi mikroskop elektron
(TEM, Zeiss Libra 200FE, Jena, Jerman) masing-masing. Lembaran resistensi film tipis
dari bahan yang disiapkan diukur dengan metode four-point probe measurement system
(Lucas Lab 302) dengan Keithley 2400 source meter.
Untuk penyelidikan sifat penginderaan gas, digunakan pengaturan khusus pada
penginderaan gas berbasis QCM yang digunakan untuk percobaan pada suhu kamar.
Untuk percobaan penginderaan gas, rGO dan QCM berlapis CuO/rGO-bibrida
ditempatkan dalam dudukan QCM. Dalam pengaturan khusus, dudukan QCM terhubung
ke penghitung frekuensi. Pertama-tama udara dibersihkan di sensor QCM berlapis rGO
dan CuO/rGO selama 50 detik, kemudian gas dibersihkan ke sensor QCM berlapis rGO
dan CuO/rGO selama 50 detik pada suhu kamar. Gas analit di serap oleh material di
permukaan dan frekuensi QCM berubah. Penghitung frekuensi mengukur perubahan
frekuensi. Sensor QCM rGO dan lapisan hibrida kembali terkena udara untuk menyerap
molekul gas analit dari permukaannya. Kurva respon dan pemulihan di amati secara real-
time yang terhubung pada komputer. Sensitivitas massa Sm (Hz/μg) dinilai dengan
pergeseran frekuensi/jumlah bahan pelapis, untuk membandingkan kinerja material.
Sensitivitas sensor Sg (Hz/ppm), dihitung sebagai pergeseran frekuensi/gas dalam ppm.

Selanjutnya pada percobaan Sintesis Hibrida Grafena CuO/Fungsional digunakan beberapa


anlisa yaitu analisa spektroskopi FTIR, analisa spektroskopi Raman, analisa SEM dan TEM, dan
analisa kelistrikan.

Analisa Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR)


Spektrum FTIR digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi dan senyawa
kimia. Spektrum FTIR GO, rGO, dan hibrida CuO/rGO ditunjukkan pada Gambar 1.
Spektrum FTIR dari GO menunjukan puncak yang kuat pada 3182 cm-1, dan 1044 cm-
1, yang dikaitkan dengan peregangan dan deformasi gugus fungsi -OH dan -COOH,
serta molekul air yang teradsorbsi dan menghambat kelembapan atmosfer. Puncak
pada 1724 cm-1 dan 1620 cm-1 merupakan vibrasi dari gugus alkena C=O dan C=C.
Beberapa puncak lainnya pada 1225 cm-1 dan 1044 cm-1 yang juga diamati
menunjukan adanya vibrasi getaran C-O dari -masing-masing kelompok epoksi dan
alkoksi. Juga, di spektrum rGO, puncak lemah pada 2322 cm-1 dan 1391 cm-1
diamati, mungkin karena peregangan dan deformasi kelompok O-H dan molekul air
yang teradsorpsi, masing-masing. Spektrum rGO juga menunjukkan adanya pita
vibrasi regangan untuk C=O pada 1717 cm-1 dan C–O untuk masing-masing epoksi
dan alkoksi pada 1219 cm-1 dan 1007 cm-1.

Setelah pembentukan hibrid CuO/rGO, puncak untuk gugus fungsi adalah ditemuka
bergeser ke 3198 cm-1 (hidroksil), 1570 cm-1 (karboksil), dan 1023 cm-1 (epoksi). Ini
menunjukkan bahwa gugus fungsi oksigen (OFGs), khususnya hidroksil, muncul
selama pembentukan struktur nano hibrida. Namun, puncak lemah untuk hidroksil
ditemukan dalam struktur nano rGO. Dalam spektrum hibrid CuO/rGO, beberapa
tambahan puncak pada 560 cm-1, 576 cm-1, dan 607 cm-1 juga diamati,
mengidentifikasi getaran ikatan Cu-O. Kehadiran puncak ini juga dikaitkan dengan
stabilisasi nanopartikel CuO melalui sisa OFG yang ada di rGO dan menunjukkan
keberadaannya nanopartikel tembaga bersama dengan rGO.

Analisa Spektroskopi Raman


Berikut ini merupakan hasil analisis dari Spektroskopi Raman:
Posisi bilangan gelombang yang lebih tinggi dan ketinggian puncak yang lebih rendah
dari pita 2D dari hibrida CuO / rGO menunjukkan keberadaan lebih banyak lapisan
graphene dibandingkan dengan rGO. Selain itu, ini menunjukkan bahwa nanopartikel
CuO yang terletak di antara lapisan graphene bekerja sebagai spacer untuk
menghalangi aglomerasi lapisan graphene.

Rasio intensitas ID/IG (lihat Gambar 3b) ditemukan 0,97, 1,21, dan 1,35 untuk GO,
rGO, dan hibrida CuO/rGO, masing-masing. Rasio ID/IG mewakili kualitas atau tingkat
gangguan graphen. Nilai ID/IG yang relatif tinggi untuk hibrida CuO/rGO
menyarankan pembentukan domain grafit yang lebih tinggi (dimensi spasial yang
lebih kecil)]. Ini menunjukkan penurunan ukuran rata-rata domain karbon sp2 pada
pengurangan GO. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Cheng et al. Intensitas D-peak
yang lebih tinggi menunjukkan adanya sejumlah besar OFG yang menguntungkan
untuk fisisorpsi molekul gas analit. Grafena oksida tereduksi terdiri dari lapisan
graphene dan OFGs melekat pada bidang basal dan tepinya [39]. Rasio I2D/IG untuk
GO, rGO, dan CuO/rGO hibrida ditemukan 0,093, 0,18, dan 0,13 menunjukkan
adanya beberapa lapisan graphene dalam hibrida CuO / rGO.
Analisis SEM dan TEM
Struktur dan morfologi bahan yang disintesis dapat dipelajari menggunakan SEM
dan TEM. Gambar 5a menunjukan citra SEM dari rGO yang terdiri dari kerutan pada
permukaannya. Gambar 5b menunjukan permukaan hibrida CuO/rGO dimana NPs
CuO di distribusikan ke seluruh lembaran graphene.
Gambar 5c menunjukan morfologi rGO berbasis TEM. Permukaan rGO di
identifikasi sebagai lapisan tipis yang kontinu dengan beberapa lipatan dan kerutan
di tepi lembaran rGO. Gambar 5d menunjukan morfologi permukaan hibrida
CuO/rGO dimana CuO dalam bentuk nanopartikel tercampur dengan baik dengan rGO. Ukuran
(diameter) partikel CuO diamati dalam kisaran 10-40 nm. Nanopartikel
CuO diamati terdistribusi secara acak pada bidang basal lembaran rGO, memberikan
kontak permukaan yang cukup untuk transportasi muatan. Sisipan menunjukan
gambar resolusi tinggi dari hibrida CuO/rGO menampilkan nanopartikel CuO 35 nm
pada lembaran rGO.

Ananlisis Kelistrikan
Gambar 6 menunjukan resistansi lembaran (Rs) dari rGO dan film tipis hibrida
CuO/rGO. Untuk menyelidiki sifat listrik bahan, teknik penyelidikan empat titik
digunakan. Karakterisasi listrik dilakukan pada suhum kamar. Resistansi
lembaran rGO dan hibrida CuO/rGO ditemukan masing-masing 1,85 ± 0,12
kΩ/m2 dan 1,665 ± 0,11 kΩ/m2. Resistansi lembaran hibrida yang lebih rendah
mungkin karena adanya nanopartikel CuO.
Performa Penginderaan Gas
Gambar 7a dan 7b menunjukan kurva respons dan pemulihan rGO dan sensor
gas QCM berbasis film tipis CuO/rGO untuk 50 dan 500 ppm CO2 pada suhu kamar.
Pergeseran frekuensi (Δf) 438 Hz di tunjukan oleh sensor gas dengan film tipis
penginderaan hibrida rGO/CuO sedangkan Δf 193 Hz di tunjukan oleh sensor
berbasis film tipis rGO. Respon yang lebih tinggi dari film penginderaan hibrida
mungkin karena adanya banyak OFGs di permukaannya seperti yang di tunjukan
oleh spektrum FTIR. Juga karena penggabungan nanopartikel CuO antara lapisan
graphene sehingga luas permukaan meningkat yang menghasilkan respon yang lebih
baik untuk hibrida. Sensor QCM berlapis Graphene Oxide (GO) yang disiapkan tidak
menunjukan respon terhadap paparan gas CO2 kemungkinan karena tidak
tersedianya situs aktif pada permukaannya. GO terutama memiliki gugu hidroksil
dan epoksida pada bidang dasarnya dan kehilangan hibridisasi selama proses
oksidasi yang membuat GO menjadi bahan isolasi pada suhu kamar.
Perbandingan antara waktu respon (Tres) dan waktu pemulihan (Trec) dari sensor
gas rGO dan hibrida CuO/rGO diperlihatkan pada gambar 7c. Sensitivitas sensor di
tunjukan pada gambar 7d.
Selektivitas sensor QCM berlapis CuO/rGO terhadap beberapa senyawa organik
volatil (VOC), seperti etanol, aseton, dan toluena, diselidiki. Semua VOC diukur pada
500 ppm pada suhu kamar. Besarnya respon VOC ditunjukkan pada Gambar 8.

Mekanisme yang mungkin dari penginderaan gas oleh sensor QCM berlapis CuO/rGO
adalah diilustrasikan pada Gambar 9. Pertama, udara dibersihkan ke QCM berlapis
CuO / rGO di kamar suhu. Molekul oksigen diadsorpsi pada permukaan hibrid
CuO/rGO dengan
proses fisisorpsi. Karena nanopartikel CuO, luas permukaan hibrida meningkat yang
mengakibatkan penyerapan molekul oksigen lebih banyak. konsentrasi dari molekul
oksigen meningkat karena ionisasi ion oksigen pada permukaan hibrida. Proses
reaksi ditunjukkan di bawah ini:

Kemudian gas analit (CO2) dialirkan di atas permukaan sensor QCM berlapis hybrid,
ion oksigen berinteraksi dengan molekul gas analit dan membentuk ion karbonat.

permukaan hibrida. Oleh karena itu resistansi permukaan berubah, yang bergantung
pada bahan penginderaan dan gas analit (gas pengoksidasi/pereduksi).

Perbandingan kinerja pada sensor QCM dari berbagai bahan berlapis lainnya
diberikan pada tabel
Dalam tulisan ini dilakukan sintesis bahan hibrida graphene
CuO/functionalize. Bahan film tipis di kembangkan dengan metode drop-casting
pada substrat. Sifat material diperiksa menggunakan spektroskopi dan mikroskop
canggih. Dalam struktur nanostuktur hibrida, permukaan graphene yang berkerut
dan terlipat dengan NPs CuO terdistribusi secara acak dengan ukuran 10-40 nm
diamati. Bahan hibrida juga ditemukan memiliki sejumlah besar OFGs dan cacat di
permukaannya. Sensor QCM berlapis hibrida juga menunjukan selektivitas yang
sangat baik terhadap gas CO2.

Kesimpulan
Sintesis grafena dari limbah pelepah sawit menggunakan metode Reduksi Grafit Oksida
(GO) dengan Reduktor Zn. Grafit Oksida disintesis menggunakan metode Hummers melalui
oksidasi bubuk arang pelepah sawit dengan ukuran 270 mesh. Diberikan variasi ukuran bubuk
arang pelepah sawit yaitu dengan pengayakan ukuran pertengahan (270 mesh) dan tanpa
pengayakan. Karakterisasi Grafena menggunakan analisis XRD, FTIR dan SEM. XRD untuk
menganalisis struktur 2D; FTIR untuk mengetahui konfigurasi ikatan pada grafena hasil sintesis
(gugus fungsi); dan SEM untuk menen-tukan topografi (bentuk 3D) nanomaterial grafena dari
limbah pelepah sawit.
DAFTAR PUSTAKA

Chen, J., Yao, B., Li, C., & Shi, G. (2013). An improved Hummers method for eco-friendly
synthesis of graphene oxide. Carbon, 64(1), 225–229.
https://doi.org/10.1016/j.carbon.2013.07.055
Gupta, M., Hawari, H. F., Kumar, P., & Burhanudin, Z. A. (2022). Copper Oxide/Functionalized
Graphene Hybrid Nanostructures for Room Temperature Gas Sensing Applications.
Crystals, 12(2). https://doi.org/10.3390/cryst12020264
Leve, Z. D., Iwuoha, E. I., & Ross, N. (2022). The Synergistic Properties and Gas Sensing
Performance of Functionalized Graphene-Based Sensors. Materials, 15(4).
https://doi.org/10.3390/ma15041326
Thebora, M. E., Kurnia Nastira Ningsih, & Muhammad Irhash Shalihin. (2020). SINTESIS
GRAFENA DARI LIMBAH PELEPAH SAWIT (Elaeis Sp.) DENGAN METODE
REDUKSI GRAFIT OKSIDA MENGGUNAKAN PEREDUKSI Zn. Jurnal Khazanah
Intelektual, 3(2), 462–476. https://doi.org/10.37250/newkiki.v3i2.48

Anda mungkin juga menyukai