MAKALAH
“HAZARD WASTE HEAVY METALS”
Disusun Oleh :
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anak-anak Zamara State yang ikut bekerja menjadi penambang ....... 13
Gambar 2. Flowchart Penentuan Limbah B3 sesuai Rules 2016 ........................... 21
Gambar 3. Flowchart Penetapan Impor dan Ekspor Limbah B3 Sesuai Rules
Tahun 2016 ............................................................................................ 22
Gambar 4. Kontaminasi ampas Cr di sungai Nanpan oleh Lvliang Chemical
Industry Co., Ltd ................................................................................... 23
Gambar 5. Faktor yang Berkontribusi Terhadap Tumpahan Merkuri .................... 34
Gambar 6. Sumber tumpahan merkuri ................................................................... 34
Gambar 7. Fasilitas dengan tumpahan merkuri ...................................................... 34
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Cr(III) tidak. Hal ini karena sifatnya yang berdaya larut dan mobilitas tinggi di lingkungan.
Cr(VI) diketahui menyebabkan kanker. Selain itu, menargetkan sistem pernapasan, ginjal, hati,
kulit dan mata. Senyawa Cr(VI) biasa digunakan sebagai pigmen dalam pewarna, cat, tinta, dan
plastik. Ini juga dapat digunakan sebagai agen anti korosi yang ditambahkan ke cat, primer, dan
pelapis permukaan lainnya (OSHA Fact Sheet).
Selanjutnya merkuri yang dianggap sebagai logam berat paling beracun di lingkungan.
Keracunan merkuri disebut sebagai acrodynia atau penyakit pink. Merkuri dilepaskan ke
lingkungan oleh kegiatan industri seperti farmasi, kertas dan pengawet pulp, industri pertanian,
dan klorin serta industry produksi soda kaustik (Morais et al.,2012). Merkuri memiliki kemampuan
untuk menggabungkan dengan unsur-unsur lain dan membentuk merkuri organik dan anorganik.
Paparan peningkatan kadar logam, merkuri organik dan anorganik dapat merusak otak, ginjal dan
janin yang sedang berkembang (Alina et al.,2012).
Keberadaan logam-logam berat dalam kadar berlebih dapat menimbulkan masalah bagi
kelangsungan hidup makhluk hidup, baik itu tanaman, hewan, maupun manusia. Hal ini
disebabkan oleh sifat logam berat yang tidak dapat terurai dan dapat terakumulasi di dalam organ
tubuh. Sehingga sangat di butuhkan pengetahuan lebih lanjut mengenai logam berat.
Dalam makalah ini, akan di bahas pengetahuan mengenai 3 jenis logam berat yaitu Timbal,
Chrom Hexavalent dan Merkuri yang berupa karakteristik dari logam berat, regulasi yang
mengatur, implementasi pengelolaannya baik di dalam negeri maupun luar negeri beserta kasus -
kasus kecelakaan yang berkaitan dengan logam berat tersebut.
1.2. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan karakteristik logam berat berbahaya Timbal (Pb), Chrom Hexavalent (Cr(VI))
dan Merkuri (Hg);
2. Menjelaskan dan Membandingkan regulasi yang mengatur tentang logam berat berbahaya
Timbal (Pb), Chrom Hexavalent (Cr(VI)) dan Merkuri (Hg) (dalam negeri maupun luar
negeri);
3. Menjelaskan dan Membandingkan bagaimana implementasi pengelolaan Timbal (Pb), Chrom
Hexavalent (Cr(VI)) dan Merkuri (Hg) di beberapa negara;
4. Mengidentifikasi kasus - kasus kecelakaan yang berkaitan dengan logam berat Timbal (Pb),
Chrom Hexavalent (Cr(VI)) dan Merkuri (Hg)
1.3. Metodologi
Pengambilan data dan informasi yang dituliskan pada makalah ini dilakukan dengan metode
studi pustaka dari berbagai literatur, seperti laporan instansi/badan terkait dan artikel publikasi
ilmiah. Jenis data yang dianalisis berupa data sekunder.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
• Sumber paparan tambahan adalah penggunaan jenis kosmetik dan obat-obatan tertentu yang
tidak diatur. Tingkat timbal yang tinggi, misalnya, telah dilaporkan pada jenis kohl tertentu,
serta pada beberapa obat tradisional yang digunakan di negara-negara seperti India, Meksiko,
dan Vietnam. Oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati hanya untuk membeli dan
menggunakan produk yang diatur.
5
A2263 133s-32-6 Timbal subasetat atau Timbal,
5 1
bis(asetato-O) tetrahidroksitri-
• Pada Lampiran XI PP 22 Tahun 2021 tentang Nilai Baku Karakteristik Beracun Melalui TCLP
Dan Total Konsentrasi Untuk Penetapan Pengelolaan Tanah Terkontaminasi Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun mengatur bahwa kadar timbal TCLP A dan TCLP B adalah berturut-
turut 3 mg/L dan 0.5 mg/L.
• Pada Lampiran XII PP 22 Tahun 2021 tentang Baku Mutu Karakteristik Beracun Melalui
TCLP Untuk Penetapan Standar Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Sebelum
Ditempatkan Di Fasilitas Penimbusan Akhir diketahui bahwa kadar maksimum timbal adalah
0.5 mg/L.
• Pada Lampiran XIII PP 22 Tahun 2021 tentang Nilai Baku Karakteristik Beracun Melalui
Tclp Dan Total Konsentrasi Untuk Penetapan Pengelolaan Tanah Terkontaminasi Limbah
Bahan Berbahaya Dan Beracun berisi informasi jika konsentrasi timbal pada tanah lebih besar
dari TCLP-A (3 mg/L) dan/atau total konsentrasi A (TK-A) yaitu 6000 mg/kg, tanah tersebut
wajib dikelola sesuai dengan Pengelolaan Limbah B3 kategori 1. Jika konsentrasi timbal pada
tanah sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-A (3 mg/L) dan/atau total konsentrasi A (TK-
A) yaitu 6000 mg/kg dan lebih besar dari TCLP-B (0.5 mg/L) dan/atau total konsentrasi B
(TK-B) yaitu 1500 mg/kg, maka tanah tersebut wajib dikelola sesuai dengan Pengelolaan
Limbah B3 kategori 2. Serta jika konsentrasi timbal sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-
B (0.5 mg/L) dan/atau total konsentrasi B (TK-B) yaitu 1500 mg/kg dan lebih besar dari
TCLP-C (0.2 mg/L) dan/atau total konsentrasi C (TK-C) yaitu 300 mg/kg, maka tanah tersebut
wajib dikelola sesuai dengan pengelolaan Limbah non B3.
• Sumber pencemaran lingkungan yang penting termasuk kegiatan penambangan, peleburan,
manufaktur dan daur ulang, dan, di beberapa negara, penggunaan cat bertimbal, bensin
bertimbal, dan bahan bakar penerbangan bertimbal secara terus-menerus. Lebih dari tiga
perempat konsumsi timbal global adalah untuk pembuatan baterai timbal-asam untuk
kendaraan bermotor. Namun, timbal juga digunakan dalam banyak produk lain, misalnya
pigmen, cat, solder, kaca patri, gelas kristal timbal, amunisi, glasir keramik, perhiasan,
mainan, dan dalam beberapa kosmetik dan obat-obatan tradisional. Air minum yang dialirkan
melalui pipa timbal atau pipa yang disambung dengan solder timbal mungkin mengandung
timbal. Sebagian besar timah dalam perdagangan global sekarang diperoleh dari daur ulang.
Sehingga pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Limbah B3 dimana diatur penggunanaan kembali
timbal dan AKI bekas bertimbal dengan kadar TCLP B sebagai produk infrastruktur sipil, bata
merah dan bata tahan api ataupun produk sejenis, pembuatan kertas low grade.
6
Kemudian untuk perbandingan, berikut merupakan regulasi-regulasi di negara lain yang
berkaitan dengan timbal sebagai limbah B3 ataupun tidak.
1. Amerika
Timbal adalah polutan yang diatur oleh banyak undang-undang yang diatur oleh EPA,
termasuk Toxic Substances Control Act (TSCA), Residential Lead-Based Paint Hazard
Reduction Act of 1992 (Title X), Clean Air Act (CAA), Clean Water Act (CWA) , Undang-
Undang Air Minum Aman (SDWA), Undang-Undang Konservasi dan Pemulihan Sumber
Daya (RCRA), dan Undang-Undang Tanggap, Kompensasi, dan Kewajiban Lingkungan
Komprehensif (CERCLA) antara lain. Timbal termasuk pre-classified hazardous waste
dengan baku mutu sebesar 5 mg/L. Regulasi mengenai timbal menurut EPA terbagi menjadi:
7
b. Timbal dalam Air
Timbal dalam air diatur di bawah Undang-Undang Air Bersih dan Undang-Undang
Air Minum yang Aman.
- UU AIR BERSIH (CLEAN WATER ACT/ CWA)
Pembuangan Langsung Timbal ke Air
CWA melarang siapa pun membuang polutan, termasuk timbal, melalui sumber
titik ke perairan Amerika Serikat kecuali jika mereka memiliki izin Sistem Penghapusan
Pelepasan Polutan Nasional (NPDES). Izin NPDES berisi batasan tentang apa yang
dapat dibuang, persyaratan pemantauan dan pelaporan, dan ketentuan lain untuk
memastikan bahwa pembuangan tidak merusak kualitas air atau kesehatan masyarakat.
Jika sesuai, izin NPDES harus memuat:
• Pedoman Pembatasan Efluen Berbasis Teknologi (Technology-Based Effluent
Limitation Guidelines): Pedoman Efluen adalah peraturan berbasis teknologi untuk
mengendalikan pembuangan air limbah industri. Pedoman ini didasarkan pada
kinerja teknologi pengobatan dan kontrol. Saat ini, EPA telah mengeluarkan 19
peraturan pedoman limbah industri yang memuat batas pembuangan timbal.
• Batasan Limbah Berbasis Kualitas Air (Water Quality-Based Effluent Limitations/
WQBEL): WQBEL adalah nilai yang ditentukan dengan memilih batas limbah yang
paling ketat yang dihitung menggunakan semua kriteria kualitas air ambien negara
bagian yang berlaku (misalnya, kehidupan air, kesehatan manusia, dan satwa liar)
untuk titik tertentu sumber ke air penerima tertentu untuk polutan tertentu. Sebagai
bagian dari peraturan standar kualitas air mereka, negara bagian dan suku yang
berwenang mengadopsi kriteria kualitas air ambien dengan cakupan parameter yang
memadai, seperti timbal, dan dengan keketatan yang memadai untuk melindungi
penggunaan yang ditentukan dari air permukaan mereka. Dalam mengadopsi kriteria,
negara bagian dan suku dapat:
▪ Mengadopsi kriteria yang diterbitkan EPA berdasarkan Bagian 304(a) dari
Undang-Undang Air Bersih
▪ Kriteria Bagian 304(a) hasil amandemen untuk mencerminkan kondisi spesifik
lokasi; atau
▪ Mengadopsi kriteria berdasarkan metode ilmiah-dipertahankan lainnya.
8
Biasanya standar pretreatment diterapkan untuk pengguna industri oleh POTW di
bawah izin pretreatment.
• Standar Pembuangan yang Dilarang: CWA mengharuskan EPA untuk
mengumumkan standar federal untuk pengolahan awal air limbah yang dimasukkan
ke POTW yang mengganggu, melewati, atau tidak sesuai dengan operasi POTW.
Bagian 307(d) dari CWA kemudian melarang pelepasan yang melanggar standar pra-
perlakuan apa pun. EPA telah mengumumkan peraturan yang menetapkan standar
pra-perlakuan nasional yang mencakup larangan umum dan khusus tentang
pengenalan polutan tertentu ke dalam POTW.
• Standar Pretreatment Kategoris: Standar Pretreatment Kategoris membatasi
pembuangan polutan ke POTW dari air limbah proses tertentu dari kategori industri
tertentu. Standar Pretreatment Kategoris adalah peraturan berbasis teknologi untuk
mengontrol pembuangan air limbah industri, yang berlaku terlepas dari apakah
POTW memiliki program pretreatment yang disetujui atau pengguna industri telah
diberikan mekanisme kontrol atau izin. Saat ini, EPA telah mengeluarkan 15 standar
pretreatment kategoris yang berisi batas untuk pembuangan timbal.
• Standard Peraturan Lokal: Selain standar pretreatment nasional EPA, program
pretreatment POTW harus mengembangkan batasan lokal atau menunjukkan bahwa
batasan tersebut tidak diperlukan. EPA telah mengidentifikasi timbal sebagai salah
satu dari 15 polutan yang sering ditemukan dalam lumpur dan limbah POTW yang
dianggap sebagai polutan potensial yang menjadi perhatian. EPA merekomendasikan
agar setiap POTW, minimal, menyaring keberadaan polutan ini. Untuk informasi
tambahan, silakan lihat Bab 3 Panduan Pengembangan Batas Lokal EPA, Juli 2004
(EPA-833-R-04-002A).
Selain dibuang melalui sistem saluran pembuangan yang terhubung ke POTW, air
limbah juga dapat dibuang di fasilitas pengolahan limbah terpusat. Standar berbasis
teknologi untuk fasilitas pengolahan limbah terpusat dapat ditemukan di 40 CFR Part
437.
c. Timbal di Udara
Timbal di udara diatur dalam dua cara di bawah Clean Air Act:
• Sebagai salah satu dari enam polutan umum yang EPA telah mengeluarkan standar
kualitas udara ambien nasional (NAAQS), dan
• Sebagai polutan udara beracun (juga disebut polutan udara berbahaya) yang emisi
fasilitas industrinya diatur.
9
Di bawah timbal NAAQS, EPA membatasi berapa banyak timbal yang ada di udara
ambien (luar ruangan). EPA menetapkan persyaratan untuk penempatan stasiun
pemantauan untuk memastikan kepatuhan terhadap NAAQS. EPA juga menerbitkan
pedoman untuk otoritas perizinan negara bagian, lokal dan suku untuk memandu
pengembangan rencana implementasi negara bagian (SIP) NAAQS. Selain itu, program
izin Tinjauan Sumber Baru EPA memerlukan sumber stasioner baru atau yang dimodifikasi
untuk mendapatkan izin sebelum memulai konstruksi.
EPA juga mengatur timbal sebagai polutan udara beracun dengan membatasi emisi
yang berasal dari beberapa sumber industri. Peraturan yang membatasi emisi polutan udara
beracun disebut Standar Emisi Nasional untuk Polutan Udara Berbahaya, atau NESHAPs.
Dua peraturan yang berfokus pada pembatasan emisi timbal adalah NESHAP untuk
Peleburan Timbal Primer dan Peleburan Timbal Sekunder. Timbal kontrol NESHAP
lainnya yang dipancarkan bersama dengan polutan udara beracun lainnya.
10
Agensi Media Level
EPA Air Minum 15 µg/L UU untuk suplai air minum public
0 µg/L Tujuan yang belum dapat tercapai
FDA Makanan Bervariasi Tingkat aksi untuk berbagai makanan;
contoh: kaleng makanan yang disolder
timah sekarang dilarang
FDA Air Minum 5 ppb Air minum kemasan
NIOSH Udara (Tempat 50 µg/m3 Tidak dapat diterapkan
Kerja)
OSHA Udara (Tempat 50 µg/m3 Tingkat tindakan (rata-rata selama
3
Kerja) 30 µg/m periode 8 jam)
OSHA Darah 40 µg/dL Peraturan; alasan untuk
50 µg/dL pemberitahuan tertulis dan
60 µg/dL pemeriksaan medis, dan kembali
bekerja setelah dipindahkan
Peraturan; penyebab penghapusan
medis dari paparan
Sumber : [ACCLPP, 2012]
Keterangan :
2. Singapura
Jika Amerika memilik EPA, maka Singapura memiliki NEA (National Environmental
Agency) yang menangani zat berbahaya yang memiliki potensi bencana massal, sangat
beracun dan mencemari, dan/atau menghasilkan limbah beracun yang sulit dibuang. Badan ini
mengendalikan bahan kimia berbahaya bagi lingkungan di bawah Undang-Undang
11
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (EPMA), Peraturan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan (Zat Berbahaya) dan Peraturan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (Zat
Perusak Ozon).
Setiap pihak yang ingin mengimpor, menjual atau mengekspor, setiap zat berbahaya yang
dikendalikan di bawah EPMA harus mendapatkan Lisensi Zat Berbahaya. Begitu pula dengan
pihak yang ingin mengangkut zat berbahaya dalam jumlah melebihi yang ditentukan dalam
Peraturan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (Zat Berbahaya) harus memiliki Lisensi
Zat Berbahaya yang sah sebelum mengajukan persetujuan pengangkutan. Singapura telah
menyediakan Permohonan Lisensi dan Izin Bahan Berbahaya secara online.
NEA telah mengatur kadar maksium senyawa berbahaya pada barang elektronik
Electrical and Electronic Equipment (EEE), salah satunya timbal, yaitu 0.1% berat. Untuk
lingkungan kerja telah diatur dalam Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yaitu :
12
Bensin Bertimbal (KPBB). Pada tahun 2011 dilakukan pengukuran kadar timbal pada anak-anak
yang tinggal di sekitar peleburan AKI di Tangerang dan Bogor.
Gambar 1. Anak-anak Zamara State yang ikut bekerja menjadi penambang emas
Sumber : (CDC, 2016)
13
2.2 Chrom Hexavalent
2.2.1 Karakteristik Logam Berat Chrom Hexavalent
Kromium (Cr) merupakan logam berwarna abu yang biasanya digunakan dalam industri
electroplating. Menurut EPA’s Integrated Risk Informtion System (IRIS), keberadaan kromium di
lingkungan biasanya dalam 2 jenis atau 2 bentuk yaitu Kromium Trivalen (Cr3+) dan Kromium
Heksavalen (Cr6+). Paparan kromium sendiri dapat terjadi baik akibat paparan dari sumber alami
ataupun industri yang menggunakan zat kromium dalam prosesnya. Dalam hal ini dikatakan bahwa
Kromium Trivalen jauh lebih beracun dibandingkan dengan Kromium Heksavalen. Adapun
senyawa Kromium Heksavalen sendiri memiliki efek baik akut maupun kronis terutama kepada
bagian organ pernapasan. Gejala yang ditimbulkan diantaranya seperti sesak napas, batuk, bersin,
perforasi dan ulserasi septum, bronchitis, menurunnya fungsi paru-paru, pneumonia, hingga efek
pernapasan lainnya. Bebrapa penelitian menetapkan dengan jelas bahwa Kromium Heksavalen ini
bersifat karsinogen bagi manusia serta paparannya akan mengakibatkan peningkatan risiko kanker
paru-paru. Sedangkan untuk hewan, kromium heksavalen ini akan menyebabkan tumor paru
melalui papatan inhalasi. Dalam hal ini kromium memiliki beberapa ciri atau karakteristik fisik
dan kimia sebagai berikut:
Menurut sumber yang sama, sumber dan potensi paparan dari kromium sendiri terdiri dari
beberapa jenis sebagai berikut:
● Kromium secara natural berada pada beberapa elemen di alam seperti batu, hewan, tanaman,
tanah, debu ataupun gas vulkanik lainnya
● Kromium terjadi di lingkungan terutama di salah satu dari dua keadaan valensi: kromium
trivalen (Cr III), yang terjadi secara alami dan merupakan nutrisi penting, dan kromium
heksavalen (Cr VI), yang, bersama dengan Kromium logam yang kurang umum (Cr 0), paling
sering diproduksi oleh proses industri
● Emisi udara kromium sebagian besar dari kromium trivalen, dan dalam bentuk partikel kecil
atau Aerosol
● Sumber industri kromium yang paling penting di atmosfer adalah yang terkait dengan
produksi ferrochrome, pemurnian bijih, pengolahan kimia dan refrakter, pabrik penghasil
semen, lapisan dan katalitik untuk mobil, penyamakan kulit, dan pigmen krom juga
berkontribusi pada beban atmosfer kromium.
Beberapa karakteristik kromium berupa karakteristik fisik dan kimia adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik fisik :
● Logam keras, berwarna abu-abu, mengkilap, dan mudah pecah
● Titik leleh logam 1900˚C (3450˚F)
● Titik didih logam 2642˚C (4788˚F)
● Densitas logam 7,1 gr/cm3
● Jika dipoles, dapat bersinar terang
14
2. Karakteristik kimia :
● Tidak larut dalam air, namun larut dalam asam sulfat encer dan asam klorida
● Bergabung dengan oksigen pada suhu kamar untuk membentuk oksida kromium
(Cr2O3)
● Krom membentuk lapisan tipis pada permukaan logam dan melindungi dari korosi
● Dapat terbakar atau meledak secara spontan apabila terpapar di udara
Logam krom sendiri termasuk logam yang sering dijumpai di kehidupan sehari hari,
Penggunaan logam Krom banyak diaplikasikan dalam bidang manufaktur, berikut contoh
penggunaan logam krom:
● Chrome Plating
Chrome Plating adalah salah satu teknik Elektroplating, dimana logam krom dijadikan lapisan
untuk logam tertentu, dengan fungsi baik sebagai elemen dekoratif maupun perlindungan
korosi
● Pewarna dan Pigmen
Logam krom yang bersenyawa dengan logam lain, contohnya seperti PbCrO4, merupakan
salah satu senyawa krom yang digunakan sebagai lapisan pewarna, karena memiliki warna
kuning yang menyala dan tidak mudah pudar akibat terpaan sinar matahari. Selain itu,
penggunaan oksida krom yang menghasilkan warna hijau sering digunakan dalam industri
pembuatan kaca maupun keramik.
● Pengawet kayu
Senyawa krom tembaga arsenat yang memiliki sifat toksik, sering digunakan untuk pengawet
kayu, dimana kayu dapat terlindungi dari serangan jamur serta rayap guna menjaga kualitas
dan ketahanan kayu.
● Industri penyamakan Kulit
Penggunaan Krom (III), krom alum, dan krom (III) sulfat digunakan dalam industri
penyamakan kulit.
Adapun secara lebih rinci. sifat bahaya dari kromium sendiri dideskripsikan dalam tabel
sebagai berikut:
15
Tabel 4. Sifat Bahaya Kromium
No Bahaya Dampak Akut Dampak Kronis
1 Terhirup Iritasi dan borok (ulcerasi) dan berlobang (perforasi) pada
gangguan nasal septum dan iritasi pada tenggorokan dan
pernafasan saluran pernafasan bagian bawah
2 Kontak dengan Iritasi kulit dermatitis, termasuk eksim “Chrome holes”
kulit sensitisasi dan kerusakan kulit
3 Kontak dengan Iritasi mata radang selaput mata (konjungtivitis) dan lakrimasi.
mata
4 Tertelan pusing, haus berat, oliguria atau anuria dan uremia
sakit perut, muntah
Menurut Resource Recovery and Conservation Act (RCRA), kromium termasuk kedalam
logam berat yang berada pada daftar RCRA 8 Metals. RCRA 8 Metals sendiri merupakan daftar
logam berat yang memiliki tokisisitas tinggi walaupun pada konsentrasi yang tinggi. Sifat bahaya
inilah yang menyebabkan kromium dikategorikan sebagai logam berbahaya (B3). Menurut EPA
berikut merupakan daftar konsentrasi setiap logam dalam bentuk limbah yang diijinkan namun
tetap dikategorikan sebagai limbah B3
16
2.2.2 Regulasi yang Mengatur di Indonesia dan Negara Lain
Di Indonesia, pengaturan mengenai status apakah kromium khususnya kromium heksavalen
dikategorikan sebagai limbah B3 dan penangananya secara umum diatur pada PP No 22 Tahun
2021. Didalam peraturan ini, diatur mengenai zat kromium tidak hanya sebagai limbah b3 saja
namun juga bagaimana batas konsentrasi yang diperbolehkan pada beberapa media lingkungan
seperti sungai, danau, dan laut.
● Pada Lampiran VI, PP No 22 Tahun 2021 diatur mengenai baku mutu untuk krom heksavalen
di sungai dan danau. Dimana untuk sungai dan danau dengan jenis kelas I, II, III, dan IV
memiliki baku mutu krom heksavalen berturut-turut senilai 0,05 mg/L, 0,05 mg/L, 0,05 mg/L,
dan 1 mg/L
● Pada Lampiran VIII, PP No 22 Tahun 2021, diatur mengenai baku mutu krom heksavalen
untuk air laut dengan ketentuan yaitu untuk air laut dengan peruntukan wisata bahari dan biota
laut memiliki baku mutu berturut-turut yaitu 0,002 mg/L dan 0,005 mg/L
● Lampiran IX, PP No 22 Tahun 2021 mengatur tentang daftar limbah B3 dari sumber tidak
spesifik dan sumber spesifik umum. Dalam hal ini krom dalam bentuk Kalsium kromat atau
Asam kromat (H2CrO4) dikategorikan sebagai limbah B3 dari sumber tidak spesifik dengan
kategori bahaya yaitu limbah B3 kategori 1. Adapun krom juga dikategorikan sebagai limbah
B3 dari sumber spesifik umum dimana krom yang dimaksud dalam hal ini adalah Asam
kromat bekas dari industri penyamakan kulit dengan kategori bahaya limbah yaitu limbah B3
kategori 1.
● Pada Lampiran XI, PP No 22 Tahun 2021 mengatur tentang baku mutu karakteristik beracun
melalui TCLP untuk penetapan kategori limbah B3. Untuk Krom heksavalen, baku mutu
untuk uji TCLP-A adalah 15 mg/L dan TCLP-B yaitu 2,5 mg/L. Dalam hal ini jika limbah
memiliki konsentrasi zat pencemar krom lebih besar dari 15 mg/L (TCLP-A) maka limbah
tersebut dikategorikan sebagai limbah B3 kategori 1. Sedangkan jika limbah mengandung
konsentrasi krom lebih besar dari 2,5 mg/L (TCLP-B) dan lebih kecil dari 15 mg/L (TCLP-
A), maka limbah dikategorikan sebagai limbah B3 kategori 2.
● Pada Lampiran XII, PP No 22 Tahun 2021 diatur mengenai baku mutu karakteristik beracun
melalui TCLP untuk penetapan standar pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun
sebelum ditempatkan di fasilitas penimbusan akhir. Dalam hal ini, krom heksavalen memiliki
baku mutu untuk TCLP senilai 2,5 mg/L.
● Pada Lamporan XIII, PP No 22 Tahun 2021 diatur mengenai nilai baku karakteristik beracun
melalui TCLP dan total konsentrasi untuk penetapan pengelolaan tanah terkontaminasi limbah
bahan berbahaya dan beracun. Untuk krom heksavalen sendiri, berikut merupakan tabel
mengenai ketentuan yang diatur:
17
Tabel 6. Ketentuan Krom Heksavalent
TCLP-A TK-A TCLP-B TK-B TCLP-C TK-C
Zat pencemar
(mg/L) (mg/kg) (mg/L) (mg/kg) (mg/L) (mg/kg)
Arti dari data pada tabel diatas adalah pertama jika konsentrasi krom pada tanah lebih besar
dari TCLP-A (15 mg/L) dan/aau total konsentrasi A (TK-A) yaitu 2000 mg/kg, tanah tersebut
wajib dikelola sesuai dengan Pengelolaan Limbah B3 kategori 1. Kemudian yang kedua yaitu
jika konsentrasi krom pada tanah sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-A (15 mg/L)
dan/atau total konsentrasi A (TK-A) yaitu 2000 mg/kg dan lebih besar dari TCLP-B (2,5
mg/L) dan/atau total konsentrasi B (TK-B) yaitu 200 mg/kg, maka tanah tersebut wajib
dikelola sesuai dengan Pengelolaan Limbah B3 kategori 2. Kemudian kasus ketiga yaitu jika
konsentrasi krom sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-B (2,5 mg/L) dan/atau total
konsentrasi B (TK-B) yaitu 500 mg/kg dan lebih besar dari TCLP-C (1 mg/L) dan/atau total
konsentrasi C (TK-C) yaitu 1 mg/kg, maka tanah tersebut wajib dikelola sesuai dengan
pengelolaan Limbah non B3.
● Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 12 Tahun 2020 mengatur tentang
penyimpanan limbah bahan berbahaya dan beracun, pada Lampiran III diatur mengenai baku
mutu air limbah pada kolam penampung air di fasilitas penyimpanan limbah B3 berupa tempat
tumpukan limbah (waste pile) dan waste impoundment. Dalam hal ini untuk senyawa krom
diatur bahwa konsentrasi parameter maksimum yaitu 0,1 mg/L untuk krom heksavalen dan
0,5 mg/L untuk krom total.
Adapun sama halnya dengan logam berat jenis lainnya yang merupakan B3 ataupun limbah
B3 di Indonesia, tidak ada peraturan khusus yang mengatur tentang cara pengelolaan limbah yang
terkontaminasi atau mengandung kromium baik krom total maupun krom heksavalen. Namun,
pengelolaan limbah yang terkontaminasi atau mengandung merkuri dapat disesuaikan berdasarkan
kategori (1 atau 2) dan sumbernya (tidak spesifik dan spesifik umum). Penjelasan pengelolaan
limbah kategori 1 dan 2 dari sumber tidak spesifik dan spesifik umum yang lebih rinci diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan No.6 Tahun 2021. Kedua peraturan ini mengatur tentang penyimpanan limbah B3
baik itu lokasi penyimpanan, fasilitas penyimpanan, simbol dan label pada setiap kemasan limbah
B3, lama penyimpanan. Kemudian diatur pula mengenai pengumpulan limbah B3 sesuai dengan
kategori limbah, Pengangkutan limbah, Pemanfaatan limbah, Pengolahan limbah, serta
Penimbunan limbah. Khusus untuk pemanfaatan limbah, kromium heksavalen dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam persyaratan teknis untuk setiap kegiatan dalam pemanfaatan limbah B3.
Hal ini lebih rinci tercantum dalam Permen LHK No.6 Tahun 2021.
18
Kemudian untuk perbandingan, berikut merupakan regulasi-regulasi di negara lain yang
berkaitan dengan kromium sebagai limbah B3 ataupun tidak.
1. Amerika Serikat
Berdasarkan US-EPA terkait Hazardous Waste Regulation and the Metal Finishing
Industry yang diatur secara khusus oleh RCRA (Resource Conservation and Recovery Act),
salah satu karakteristik untuk menentukan apakah suatu limbah tergolong berbahaya atau tidak
adalah pertama dengan melihat apakah limbah tersebut berada pada daftar 20 CFR 261
Subpart D atau tidak. Jika iya, maka limbah tersebut dikategorikan sebagai limbah B3, namun
jika tidak maka selanjutnya dilihat apakah limbah tersebut memiliki karakteristik yang
termasuk kedalam daftar 40 CFR 261 Subpart C atau tidak. Karakteristik tersebut diantaranya
adalah ignitable, corrosive, dan reactive. Jika iya, maka limbah dikategorikan sebagai limbah
B3, namun jika tidak maka limbah selanjutnya dicek apakah limbah memiliki karakteristik
toksisitas seperti yang tercantum pada 40 CFR 261 Subpart C atau tidak. Adapun toksisitas
ini diukur dengan TCLP dengan berbagai variasi logam dan senyawa kimia seperti Kadmium,
Kromium, Timbal, Merkuri, Selenium, dan lain sebagainya. Dari sini sudah jelas bahwa
kromium diatur secara khusus sebagai limbah B3.
Selain itu pula, pada tahun 1969, Chicago Metropolitan Sanitary District mengeluarkan
undang-undang yang mengatur pelepasan bahan kimia terkonsentrasi, termasuk limbah Cr dan
Cr dari proses finishing ke sistem saluran pembuangan dan ke perairan permukaan. Resource
Conservation and Recovery Act (RCRA) pada tahun 1976 juga mensyaratkan pelapisan Cr
dan industri manufaktur untuk mengolah dan membuang limbah yang dihasilkan dari operasi
finishing permukaan dan sistem perlakuan awal dengan cara yang ramah lingkungan dan
sesuai. Sebagai tanggapan atas meningkatnya biaya penanganan dan pembuangan limbah,
industri pelapisan Cr dan industri manufaktur menanggapi dengan mengembangkan proses
alternatif yang menghasilkan sedikit limbah atau limbah beracun. Sistem pretreatment
dikembangkan sehingga daur ulang/pemulihan kromium atau konservasi air yang digunakan
dengan Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act
(CERCLA), lebih banyak peraturan dan tanggung jawab keuangan ditempatkan pada
generator kromium, pengangkut dan pengangkut barang. Superfund Amendments and
Reauthorization Act tahun 1986 (SARA) menyediakan lebih banyak dana untuk pembersihan
properti yang paling tercemar di negara ini, 306 di antaranya mengandung Cr sebagai
kontaminan utama.
Di Amerika Serikat ada beberapa kelompok pemerintah yang bertanggung jawab untuk
menetapkan peraturan untuk melindungi pekerja dan masyarakat umum. Ada juga departemen
pemerintah yang mengembangkan rekomendasi atau pedoman:
• Occupational Safety and Health Administration (OSHA) (tempat kerja, peraturan)
• National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) (tempat kerja, penasihat)
• American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH)
• US Environmental Protection Agency (USEPA) (masyarakat umum, peraturan)
19
Secara umum regulasi di U.S hampir sama dengan di Indonesia mengingat acuan regulasi
Indonesia adalah berasal dari U.S EPA. EPA mengatur kromium dan senyawanya di bawah
berbagai undang-undang yang mencakup Clean Air Act; UU Air Bersih; Undang-undang
Tanggapan, Kompensasi, dan Tanggung Jawab Lingkungan yang Komprehensif; Undang-
undang Konservasi dan Pemulihan Sumber Daya; Perencanaan Darurat dan Undang-Undang
Hak-Untuk-Tahu Masyarakat tahun 1986; Undang-Undang Insektisida, Fungisida, dan
Rodentisida Federal; UU Air Minum yang Aman; dan Undang-Undang Pengendalian Zat
Beracun.
• UU Udara Bersih Dibawah 40 CFR BAGIAN 61 tentang Standar Emisi Nasional untuk
Polutan Udara Berbahaya. Dalam hal ini kromium adalah polutan udara berbahaya yang
ditetapkan. Izin emisi udara yang diperoleh untuk desorpsi termal dan penghancuran
konstituen organik yang mengkontaminasi bersama juga harus mengatasi potensi
kromium di dalam tanah untuk menguap.
• UU Air Bersih 🡪 Sejumlah senyawa kromium telah ditetapkan sebagai zat berbahaya oleh
peraturan 40 CFR Bagian 116 tentang Penetapan Zat Berbahaya.
• Undang-undang Konservasi dan Pemulihan Sumber Daya. RCRA mengatur pengolahan,
penyimpanan, dan pembuangan bahan kimia atau limbah proses yang telah ditetapkan
oleh pemerintah sebagai bahan berbahaya. Ada sekitar 23 aliran limbah atau limbah
proses yang diberi nama khusus (40 CFR 261.31 dan 40 CFR 261.32A) sebagai berbahaya
menurut RCRA karena potensi kandungan kromium total atau heksavalen. Selain itu,
setiap bahan yang mengandung kromium yang akan melarutkan 5 mg/L total kromium di
bawah Prosedur Pelindian Karakteristik Toksisitas (40 CFR 191) dianggap sebagai
karakteristik limbah berbahaya RCRA. Bagian RCRA ini adalah Superfund ARAR dan
memiliki potensi untuk mengatur persyaratan pengolahan di lokasi dan pembuangan
limbah yang mengandung kromium dan tanah yang terkontaminasi di luar lokasi.
• Berdasarkan Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act.
Senyawa kromium terdaftar sebagai zat berbahaya di bawah CERCLA (40 CFR 302) dan
terkait dengan jumlah pelepasan yang dapat dilaporkan. Selain itu, semua limbah kode
RCRA D, F, dan K termasuk dalam daftar zat berbahaya CERCLA.
2. India
Di India, peraturan mengenai pengelolaan limbah B3 yang didalamnya termasuk adalah
limbah kromium diatur oleh beberapa Lembaga sebagai berikut.
• Ministry of Environment, Forest and Climate Change, Government of India
• Central Pollution Control Board
• State Pollution Control Boards
• Pollution Control Committees
20
Berdasarkan Hazardous and Others Wastes (Management and Transboundary
Movement) Rules, 2016, limbah B3 dibagi kedalam kelas A, kelas B, dan kelas C. Berikut
merupakan bagan dari bagaimana peraturan di India menetapkan kategori limbah B3
Untuk pengelolaan limbah B3nya sendiri dilakukan beberapa tahapan yang harus
terpenuhi sebagai berikut:
• Responsibilities of Occupier meliputi pollution prevention, waste minimization, dan 3R
• Storage Requirement
• Labelling requirement
• Hazardous Waste Accumulation/Storage Area
• Hazardous Waste Compatibility
• Container Management
• Management of Empty Container
Untuk ekspor dan impor limbah, meskipun limbah berbahaya dilarang untuk diimpor
untuk dibuang di negara ini, namun tetap diperbolehkan untuk mendaur ulang limbah,
menggunakan kembali, ataupun pemulihan dan tujuan pemrosesan bersama. Untuk mengatur
impor dan ekspor limbah berbahaya dan lainnya, Kementerian Lingkungan Hidup, Hutan dan
Perubahan Iklim telah membuat ketentuan dalam regulasi dibawah BAB III pasal 11, 12, 13,
14, dan 15 dari Hazardous Waste Rules, 2016. Tipe limbah yang boleh di impor dan ekspor
harus sesuai dengan daftar pada Part A sampai D Schedule III. Berikut merupakan bagan untuk
menentukan ekspor dan impor limbah di India
21
Gambar 3. Flowchart Penetapan Impor dan Ekspor Limbah B3 Sesuai Rules Tahun 2016
22
lipat. Pemerintah melakukan investigasi dan menemukan 288.400 ton ampas Cr di belakang lahan
perusahaan kimia tersebut dan tidak diolah sama sekali yang jaraknya hanya satu meter dari sungai
Nanpan. Pedesaan Xinrong merupakan wilayah yang paling terdampak karena jaraknya sangat
dekat dengan perusahaan kimia tersebut. Terdapat enam hingga tujuh orang meninggal karena
kanker dan 77 hewan ternak, sapi dan domba, mati karena mengonsumsi air yang telah
terkontaminasi Cr (Gao & Xia, 2011).
Gambar 4. Kontaminasi ampas Cr di sungai Nanpan oleh Lvliang Chemical Industry Co., Ltd.,
Sumber : (Gao & Xia, 2011)
2.3 Merkuri
2.3.1 Karakteristik Logam Berat Merkuri
Merkuri (Hg) adalah suatu unsur yang dapat ditemukan di alam. Unsur ini merupakan suatu
logam berwarna putih keperakan yang berbentuk cair pada temperatur ruang dan memiliki tekanan
uap yang sangat rendah sehingga mudah menguap pada udara ambien. Di alam, merkuri berada
dalam berbagai bentuk yakni merkuri anorganik, termasuk logam merkuri dan uap merkuri (Hg0)
dan garam mercurous (Hg22+) atau mercuric (Hg2+), serta merkuri organik dimana merkuri
berikatan dengan struktur yang mengandung atom karbon seperti metil, etil, dan lain-lain.
Metilmerkuri merupakan bentuk merkuri yang paling umum ditemukan di alam. (Bernhoft, 2012;
UNEP, 2015).
Merkuri yang ada di alam dapat berasal dari sumber alami maupun dari hasil kegiatan
manusia. Saat merkuri terlepas ke lingkungan, merkuri akan bertahan dan mengalami perpindahan
dari satu media ke media lain. Merkuri yang masuk ke perairan akan diubah menjadi metilmerkuri
oleh mikroorganisme dan mengalami bioakumulasi di rantai makanan. Bioakumulasi ini
disebabkan karena metilmerkuri memiliki kelarutan yang rendah di dalam air tetapi mudah larut
di dalam lemak. Secara umum, merkuri dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
23
• limbah pertambangan
• produksi logam
• plant penghasil klorin
• sampah (baterai, thermometer, lampu, dan bahan elektronik)
• limbah laboratorium
• lumpur IPAL
• residu dan abu dari insenerator
• cat
• pestisida
• TPA (tempat pemrosesan akhir)
• produksi semen
• industri pulp dan kertas
• produksi fosfat
• kremasi
(UNEP, 2015; Mukherjee et al., 2004)
Sebagai sampah atau waste, merkuri dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan
Basel Technical Guidelines dan Minamata Convention yakni sampah yang terdiri dari merkuri
atau senyawa merkuri, sampah yang mengandung merkuri atau senyawa merkuri, dan sampah
yang terkontaminasi merkuri atau senyawa merkuri. Berikut adalah penjelasan untuk masing-
masing jenis sampah tersebut:
• Sampah yang terdiri dari merkuri atau senyawa merkuri berasal dari suatu proses produksi
yang menggunakan merkuri, ekstraksi merkuri dari sampah yang mengandung merkuri atau
senyawa merkuri, dan dari pemisahan pengotor pada suatu bahan baku. Suplai merkuri yang
tidak digunakan juga dapat dianggap sebagai sampah jenis ini.
• Sampah yang mengandung merkuri atau senyawa merkuri adalah termometer, lampu, baterai,
dan produk lain yang mengalami penambahan merkuri pada proses prdouksinya. Produk-
produk ini berpotensi menyebabkan lepasnya merkuri ke lingkungan pada saat sudah tidak
digunakan atau menjadi sampah.
• Sampah yang terkontaminasi merkuri atau senyawa merkuri umumnya berasal dari proses
industri yang menggunakan bahan baku mengandung pengotor berupa merkuri (contoh : gas
alam) atau proses industri yang memang menggunakan merkuri pada prosesnya. Sampah jenis
ini juga dapat berasal dari fasilitas pengolahan sampah, fasilitas pengolahan air limbah, dan
TPA.
Meskipun umumnya sampah yang mengandung merkuri atau senyawa merkuri dan sampah
yang terkontaminasi merkuri atau senyawa merkuri memiliki konsentrasi merkuri yang rendah,
namun karena volumenya yang besar kedua jenis sampah merkuri tersebut harus tetap dikelola
dengan baik agar tidak mencemari lingkungan. (UNEP, 2015).
24
Merkuri bersifat sangat beracun bagi manusia dan dapat menyebabkan lebih dari 250 gejala
setelah paparan. Pada saat masuk ke dalam tubuh, merkuri secara cepat terikat pada jaringan-
jaringan yang ada di otak, tulang belakang, ganglion, dan peripheral motor neuron. Meskipun
secara umum merkuri terakumulasi di sistem syaraf, gejala yang disebabkan oleh paparan merkuri
juga dapat terjadi pada berbagai organ. Merkuri dengan bentuk yang berbeda dapat menyebabkan
gejala yang berbeda pula. Berikut adalah penjelasan dampak yang ditimbulkan oleh masing-
masing bentuk merkuri :
a. Uap merkuri
Paparan uap merkuri pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan bronkitis dan
bronkiolitis yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan pernafasan. Kegagalan pernafasan
ini dapat juga diikuti dengan tremor dan eretisme. Sedangkan pada paparan dengan
konsentrasi yang rendah, uap merkuri dapat menyebabkan gejala seperti kelelahan, anoreksia,
kehilangan berat badan, dan gangguan pencernaan.
b. Mercurous dan Mercuric Merkuri
Paparan mercurous dan mercuric merkuri pada konsentrasi yang tinggi umumnya
menyebabkan masalah pada ginjal dan saluran pencernaan. Gejala seperti sakit perut, mual-
mual, dan diare dapat terjadi.
c. Merkuri Organik
Metilmerkuri akan bereaksi dengan sulfihidril yang ada di dalam tubuh menyebabkan
gangguan pada kinerja sel maupun sub sel. Metilmerkuri juga menyebabkan berkurangnya
aktivitas sel imun dan dapat berpotensi menyebabkan autoimun. Selain itu, merkuri juga
mempengaruhi proses transkripsi dan perbaikan DNA serta sintesis protein di dalam tubuh.
Karena sifatnya yang sangat beracun, merkuri dikelompokkan sebagai salah satu bahan
berbahaya dan beracun (B3) berdasarkan Basel Convention. Merkuri juga menjadi salah satu
parameter yang digunakan pada pengujian toksisitas limbah B3 dengan metode TCLP (EPA, 2005;
Bernhoft, 2012; Rice et al.,2014; UNEP, 2014).
25
Berdasarkan peraturang yang berlaku di Indonesia, tidak ada peraturan khusus yang mengatur
tentang cara pengelolaan limbah yang terkontaminasi atau mengandung merkuri. Namun,
pengelolaan limbah yang terkontaminasi atau mengandung merkuri dapat disesuaikan berdasarkan
kategori (1 atau 2) dan sumbernya (tidak spesifik dan spesifik umum). Berikut adalah penjelasan
pengelolaan limbah kategori 1 dan 2 dari sumber tidak sepsifik dan spesifik umum berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No.6 Tahun 2021 :
• Penyimpanan
Lokasi penyimpanan limbah B3 harus bebas banjir dan tidak rawan bencana alam lain.
Jika persyaratan tersebut tidak memungkinkan, maka harus diterapkan suatu teknologi untuk
merekayasa lokasi penyimpanan limbah B3 tersebut agar tidak terjadi pencemaran
lingkungan. Fasilitas penyimpanan khusus untuk limbah B3 kategori 1 dan 2 dari sumber tidak
spesifik dan spesifik umum terdiri dari bangunan, tangki/container, silo, dan bentuk lainnya
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penjelasan secara detail
mengenai persyaratan teknis masing-masing fasilitas penyimpanan dapat dilihat pada
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.6 Tahun 2021. Namun, secara umum
standar penyimpanan limbah B3 adalah sebagai berikut :
a. Limbah B3 yang disimpan terlindung dari hujan dan tertutup;
b. memiliki lantai kedap air;
c. dilengkapi dengan simbol dan label limbah B3;
d. Limbah B3 dikemas dengan menggunakan kemasan dari bahan logam atau plastik;
e. Kemasan mampu mengungkung limbah B3 untuk tetap berada di dalam kemasan;
f. Memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan pada saat dilakukan
pemindahan dan/atau pengangkutan; dan
g. Kondisi kemasan tidak bocor, tidak berkarat, dan tidak rusak.
Fasilitas penyimpanan limbah B3 juga harus dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat,
peralatan penanganan tumpahan, dan fasilitas penanggulangan keadaan darurat. Fasilitas
penanggulangan keadaan darurat ini dapat berupa alat pendeteksi dan pemadam kebakaran,
P3K, maupun alat penanggulangan keadaan darurat lain yang sesuai.
Simbol dan label pada kemasan limbah B3 harus disesuaikan untuk setiap limbah B3.
Label pada setiap kemasan limbah B3 harus memuat informasi yang relevan. Informasi
tersebut paling sedikit memuat tentang :
a. Nama limbah B3
b. Identitas penghasil limbah
c. Tanggal dihasilkan limbah
d. Tanggal pengemasan limbah
Lama penyimpanan limbah B3 pada fasilitas penyimpanan juga harus diperhatikan. Jika
limbah B3 yang dihasilkan per hari sebesar 50kg atau lebih maka waktu penyimpanan limbah
26
paling lama adalah 90 hari. Sedangkan jika limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50kg /hari
maka lama penyimpanan limbah paling lama adalah 180 hari untuk limbah B3 kategori 1 dan
365 hari untuk limbah B3 kategori 2 dari sumber tidak spesifik dan spesifik umum. Jika
melebihi dari jangka waktu yang ditentukan tersebut, maka penghasil limbah B3 wajib
melakukan pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah B3 dan /atau
menyerahkan limbah B3 kepada pihak lain yang memiliki izin usaha pengelolaan limbah B3.
Penghasil limbah B3 yang melakukan penyimpanan limbah juga wajib membuat laporan
tertulis terkait kegiatan penyimpanan limbah B3. Laporan ini harus memuat informasi tentang
sumber, nama, dan jumlah limbah B3 dan kategori/karkateristik limbah B3. Laporan ini
disampaikan kepada pejabat penerbit persetujuan lingkungan paling sedikit 1 kali dalam 6
bulan.
• Pengumpulan
Pengumpulan limbah B3 dilakukan oleh pihak yang sudah memiliki persetujuan
lingkungan dan izin usaha pengelolaan limbah B3. Pengumpul limbah wajib melakukan
penyimpanan dan segregasi limbah B3 sesuai dengan lampiran IX Peraturan Pemerintah
No.22 Tahun 2021. Berdasarkan peraturan tersebut, limbah yang terkontaminasi atau
mengandung merkuri dari sumber tidak spesifik dikelompokkan menggunakan kode A105d
(kategori 1) dan kode b101d (kategori 2). Sedangkan limbah yang terkontaminasi atau
mengandung merkuri dari sumber spesifik khusus dikelompokkan sebagai berikut :
• Pengangkutan
Pengangkut limbah B3 wajib memiliki rekomendasi pengangkutan limbah B3 dan
perizinan berusaha di bidang pengangkutan limbah B3. Pengangkutan limbah yang
27
terkontaminasi atau mengandung merkuri dapat dilakukan dengan alat angkut terutup untuk
limbah B3 kategori 1 dan alat angkut terbuka atau tertutup untuk limbah B3 kategori 2. Alat
pengangkut yang dapat digunakan meliputi angkutan jalan, kereta api, dan alat angkutan laut,
sungai, danau, dan penyebrangan. Seluruh alat angkut tersebut harus memenuhi spesifikasi
umum dan khusus. Spesifikasi umum yang dimaksud meliputi:
a. Dilengkapi dengan prosedur bongkar muat;
b. Dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan limbah b3 yang diangkut;
c. Dilengkapi dengan prosedur penanganan limbah b3 pada kondisi darurat; dan
d. Dilengkapi dengan gps tracking.
Sedangkan spesifikasi khusus yang dimaksud meliputi :
a. Alat angkut berupa angkutan jalan:
- Menggunakan alat angkut kendaraan roda 4 (empat) atau lebih;
- Mencantumkan nama perusahan pada keempat sisi kendaraan;
- Mencantumkan nomor telepon perusahaan pada sisi kanan, kiri, dan belakang
kendaraan;
- Dilekati simbol limbah b3 pada keempat sisi kendaraan sesuai dengan karakteristik
limbah b3 yang diangkut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
b. Alat angkut berupa angkutan perkeretaapian, menggunakan gerbong datar yang
disesuaikan dengan karakteristik Limbah B3; dan
c. Alat angkut berupa angkutan laut, sungai, dan penyeberangan dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang– undangan
• Pemanfaatan
Pemanfaatan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 atau pihak ketiga
dengan catatan setiap pemanfaat limbah B3 harus memiliki persetujuan teknis pengelolaan
limbah B3. Pemanfaatan limbah B3 meliputi pemanfaatan limbah B3 sebagai substitusi bahan
baku, sebagai substitusi sumber energi, sebagai bahan baku, dan pemanfaatan lain sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap kegiatan pemanfaatan limbah B3 harus
memenuhi standar teknis sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.6
Tahun 2021.
Merkuri merupakan salah satu parameter yang penting dalam pengujian suatu limbah
sebelum dapat dimafaatkan. Berdasarkan lampiran XII Peraturan Pemerintah No.22 Tahun
2021 konsentrasi merkuri hasil pengujian dengan metode TCLP harus lebih rendah dari 0,05
mg/L atau 0,05 ppm. Selain itu jika suatu material akan digunakan sebagai substitusi bahan
baku pembuatan semen dan substitusi sumber energi pada teknologi termal, konsentrasi
merkuri harus lebih rendah dari 5mg/kg berat kering dan kurang dari atau sama degan 1,2
ppm.
28
• Pengolahan
Pengolahan limbah B3 wajib dilakukan oleh penghasil limbah B3. Jika tidak dapat
melakukan pengolahan sendiri maka pengolahan limbah B3 dapat diserahkan kepada pihak
ketiga yang memiliki izin pengolahan limbah B3. Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan
dengan beberapa cara yakni secara termal. stabilisasi dan solidifikasi, bioremediasi,
elektrokoagulasi, dan pencucian. Khusus pada limbah yang mengandung atau terkontaminasi
merkuri tidak boleh dilakukan pengolahan secara termal. Limbah yang mengandung atau
terkontaminasi merkuri dapat diolah dengan proses stabilisasi dan solidifikasi. Namun, limbah
merkuri tersebut harus memenuhi baku mutu uji TCLP-B sesuai lampiran XIII Peraturan
Pemerintah No.22 Tahun 2021.
• Penimbunan
Setiap penghasil limbah B3 wajib melaksanakan penimbunan limbah B3. Jika tidak dapat
melakukan penimbunan sendiri maka penimbunan limbah B3 dapat diserahkan kepada pihak
ketiga yang memiliki izin penimbunan limbah B3. Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan
pada fasilitas penimbunan berupa penimbunan akhir, sumur injeksi, penempatan kembali di
area bekas tambang, bendungan penampung limbah tambang, dan/atau fasilitas penimbunan
limbah B3 lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebelum
dilakukan penimbunan, harus dilakukan pengujian total konsentrasi zat pencemar untuk
menentukan kelas fasilitas penimbunan akhir. Fasilitas penimbunan akhir terdiri dari kelas
I,II, dan III. Fasilitas penimbunan akhir kelas I digunakan untuk menimbun limbah B3 yang
total konsentrasinya lebih besar daripada konsentrasi zat pencemar pada kolom A lampiran
XVII Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.6 Tahun 2021. Limbah yang
memiliki konsentrasi zat pencemar lebih kecil dari pada konsentrasi zat pencemar pada kolom
A dan lebih besar atau sama dengan konsentrasi zar pencemar pada kolom B lampiran XVII
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.6 Tahun 2021 ditimbun pada
fasilitas penimbunan kelas II atau kelas I. Sedangkan limbah yang memiliki konsentrasi zat
pencemar lebih kecil dari pada konsentrasi zat pencemar pada kolom B lampiran XVII
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.6 Tahun 2021 dilakukan
penimbunan pada fasilitas penimbunan kelas III, kelas II, atau kelas I. Khusus merkuri, total
konsentrasinya pada kolom A adalah sebesar 300 mg/kg dan total konsentrasinya pada kolom
B adalah sebesar 75mg/kg.
Limbah yang mengandung atau terkontaminasi merkuri umumnya ditimbun pada fasilitas
penimbunan akhir. Penimbunan dengan cara penempatan kembali di area bekas tambang
hanya dilakukan terhadap limbah B3 spesifik khusus dari kegiatan peleburan dan pemurnian
bijih mineral. Sedangkan fasilitas bendungan penampung limbah tambang diperuntukkan
bagi limbah tambang berupa tailing.
29
Sebagai pembanding, berikut adalah ketentuan mengenai pengelolaan limbah merkuri yang
diatur di dalam peraturan di beberapa negara menurut UNEP, 2017:
1. Amerika Serikat
Pengelolaan limbah B3 dan non B3 dilakukan oleh EPA berdasarkan Undang-undang
Konservasi dan Restorasi Sumberdaya. Sebagai regulator, EPA menentukan standar terkait
pengelolaan limbah B3 termasuk kriteria untuk klasifikasi, pengangkutan, pengolahan, dan
penimbunan.
Limbah merkuri berupa kelebihan suplai merkuri, merkuri hasil proses produksi klor, dan
limbah lain yang mengandung merkuri dikategorikan sebagai limbah B3. Suatu limbah yang
konsentrasi merkurinya berdasarkan uji TCLP lebih besar atau sama dengan 0,2 mg/L juga
dikategorikan sebagai limbah B3. Jika limbah merkuri memiliki konsentrasi 260 mg/kg atau
lebih, limbah tersebut harus dikirim ke fasilitas recovery merkuri sedangkan limbah merkuri
yang konsentrasinya lebih rendah dapat dilakukan stabilisasi dan ditimbun di tempat
penimbunan akhir.
Amerika Serikat melarang ekspor merkuri berdasarkan Undang-undang Pelarangan
Ekspor Merkuri yang disahkan pada 14 Oktober 2008. Tujuan dari disahkannya undang-
undang ini adalah untuk mengurangi ketersediaan merkuri di pasar domestik dan
internasional. Dengan berkurangnya ketersediaan merkuri, maka diharapkan penggunaan
merkuri dapat ditekan.
2. Jepang
Di Jepang, limbah yang terdiri dari merkuri atau senyawanya dan limbah industri yang
terkontaminasi merkuri atau senyawanya dengan konsentrasi lindi lebih besar dari 0,005 mg
Hg/L dikelompokkan sebagai limbah B3. Pengelolaan limbah B3 diatur dalam Undang-
undang Manajemen Limbah dan Kebersihan Publik dimana dalam pelaksanaannya harus
mendapat persetujuan distrik/prefektur terkait.
Jika limbah merkuri mengandung setidaknya 1000 mg Hg/kg diperjual belikan sebagai
komoditas, maka limbah tersebut dikategorikan sebagai sumber daya yang dapat didaur ulang
yang mengandung merkuri dan diatur oleh Undang-undang Pencegahan Pencemaran
Lingkungan dan harus dikelola dengan aman. Sedangkan ketentuan eksport dan import limbah
merkuri diatur dalam undang-undang terkait kontrol ekspor dan impor limbah B3 spesifik dan
limbah lain.
3. Singapura
Merkuri dan senyawanya merupakan salah satu dari banyak daftar limbah berbahaya dan
beracun yang diatur dalam Undang-undang Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan di
Singapura. Peraturan tersebut mengatur tentang impor, penjualan, pengangkutan, pengolahan,
dan pembuangan/penimbunan limbah B3. Peraturan tersebut juga mengatur beberapa strategi
dalam pengelolaan limbah B3 di Singapura yakni :
30
• menghindari terbentuknya limbah yang sulit diolah
• mengutamakan minimasi limbah, reuse, recovery, dan daur ulang
• mengatur dan memonitor pengumpulan, pengolahan, dan pembuangan limbah
• mempromosikan program pelatihan dan edukasi terkait limbah
4. Thailand
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian No.2548 tahun 2005, suatu limbah
merkuri dikategorikan sebagai limbah B3 jika konsentrasi merkuri dan/atau senyawanya sama
atau lebih besar dari 20 mg/kg (konsentrasi total) atau 0,2 mg/l (konsentrasi terlarut).
Keputusan Menteri ini juga berhubungan dengan peraturan tentang pembuangan limbah.
Berdasarkan peraturan tersebut, diperlukan izin dalam proses penyimpanan, pengangkutan
penanganan, dan pembuangan limbah B3. Impor, ekspor, atau kepemilikan limbah merkuri
juga wajib mendapatkan izin dari Departemen Perindustrian.
31
Sebagai pembanding, berikut adalah implementasi pengelolaan limbah merkuri di beberapa
negara menurut UNEP, 2017 :
1. Amerika Serikat
Penghasil limbah diperbolehkan menyimpan limbah B3 yang dihasilkan untuk jangka
waktu tertentu. Setelah itu limbah diserahkan kepada pihak pengangkut untuk dipindahkan ke
fasilitas pengolahan atau penimbunan. Setiap peroindahan limbah B3 harus dilengkapi
manifest agar limbah B3 dapat dilacak dan dipastikan dikelola dengan baik.
Merkuri berlebih sebagai hasil dari larangan ekspor merkuri dan recovery merkuri
disimpan di fasilitas penyimpanan khusus yang disediakan oleh Departemen Energi. Hal ini
disebabkan berdasarkan peraturan yang ada saat ini, limbah yang memiliki konsentrasi yang
tinggi (>260 mg/kg) tidak boleh ditimbun di tempat penimbunan akhir. Sedangkan limbah
merkuri yang konsentrasinya <260 mg/kg akan diolah dengan menggunakan metode
stabilisasi dan solidifikasi sebelum ditimbun di tempat penimbunan akhir. Selain itu, sebagian
limbah merkuri akan dikirim ke Kanada untuk ditimbun setelah distabilisasi menjadi merkuri-
sulfida. Pengiriman limbah merkuri ke Kanada ini merupakan salah satu pengeculian
peraturan terkait ekspor merkuri.
2. Jepang
Pada fasilitas pengolahan limbah merkuri, limbah yang mengandung setidaknya 1000
mgHg/kg atau merupakan sampah dari produk dengan penambahan merkuri harus melalui
proses recovery sebelum diolah lebih lanjut. Merkuri yang diperoleh dari hasil recovery
digunakan untuk produksi produk tertentu atau diekspor sebagai komoditas. Limbah
mengandung atau terkontaminasi merkuri kemudian disolidifikasi dengan menggunakan
sulfur sebelum ditimbun di tempat penimbunan akhir.
3. Singapura
Sejak 1992, Singapura telah melarang impor baterai yang memiliki kandungan merkuri
melebihi batas tertentu. Pada tahun 2009, Singapura menetapkan larangan impor thermometer
raksa dan pada tahun 2012 menetapkan lampu fluorescent yang memiliki kandungan merkuri
melebihi batas tertentu sebagai limbah B3. Penetapan ini berhasil mengurangi secara
signifikan masuknya sampah rumah tangga yang mengandung merkuri ke fasilitas insenerasi
sampah.
Fasilitas insenerasi sampah domestik di Singapura dilengkapi dengan teknologi
pengendalian pencemaran untuk memastikan residu yang dihasilkan dari sisa pembakaran
tidak menghasilkan lindi yang melebihi batas konsentrasi merkuri yakni 0,2 mg/L dan
memastikan konsentrasi merkuri di emisi yang dihasilkan tidak melebihi baku mutu yakni
0,05 mg/Nm3.
Teknologi yang umum diterapkan di Singapura untuk mengolahan limbah merkuri adalah
stabilisasi dan pengolahan termal. Hasil pengolahan ini harus memenuhi baku mutu yang
ditentukan dan harus dilengkapi dengan sistem pencegahan pencemaran lingkungan.
32
Bagi lingkup rumah tangga, program swadaya untuk mengumpulkan limbah yang
mengandung merkuri seperti lampur fluorescent telah dilakukan. Pengumpulan ini dilakukan
dengan cara menyediakan titik pengumpulan limbah tersebut di pusat perbelanjaan atau
pengumpulan melalui komunitas daur ulang. Limbah yang telah terkumpul kemudian akan
dikirimkan ke fasilitas daur ulang dimana merkuri akan direcovery dan digunakan untuk
memproduksi produk baru.
4. Thailand
Di Thailand, limbah rumah tangga yang mengandung merkuri akan dikumpulkan melalui
sistem door to door , penyediaan titkk pengumpulan, dan pengadaan hari khusus untuk
pengumpulan limbah. Limbah yang sudah terkumpul akan diangkut menuju tempat
penimbunan akhir untuk ditimbun.
Sedangkan pada limbah merkuri yang dihasilkan oleh industri, limbah akan diolah
terlebih dahulu sebelum ditimbun di tempat penimbusan akhir. Proses pengolahan dan baku
mutu yang digunakan merujuk pada standar lingkungan internasional.
Secara keseluruhan, impelementasi pengelolaan limbah merkuri di Indonesia sama dengan
pengelolaan di negara lain. Beberapa kesamaan pengelolaan limbah merkuri antara lain adalah
pengolahan limbah merkuri dengan proses stabilisasi dan solidifikasi sebelum ditimbun di tempat
penimbunan akhir, larangan impor dan ekspor produk yang mengandung merkuri, dan penggunaan
manifest untuk melacak limbah B3 yang akan ditimbun.
Namun jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia belum melaksanakan
pengelolaan limbah yang mengandung merkuri yang dihasilkan oleh rumah tangga. Selain itu,
Indonesia juga belum melaksanakan recovery terhadap limbah merkuri yang terkumpul.
33
Gambar 5. Faktor yang Berkontribusi Terhadap Tumpahan Merkuri
(Health NewYork Gov, 2018)
34
BAB III
PENUTUP
2. Regulasi (Dalam Negeri dan Luar Negeri) yang mengatur tentang logam berat berbahaya :
a. Timbal (Pb)
- Di Indonesia : Mengacu PP 22 Tahun 2021 (Lampiran VI, VII, VIII, IX, XI, XII dan
Lampiran XII)
- Di Amerika : Diatur oleh EPA termasuk Toxic Substances Control Act (TSCA),
Residential Lead-Based Paint Hazard Reduction Act of 1992 (Title X), Clean Air Act
(CAA), Clean Water Act (CWA) , Undang-Undang Air Minum Aman (SDWA),
Undang-Undang Konservasi dan Pemulihan Sumber Daya (RCRA), dan Undang-
Undang Tanggap, Kompensasi, dan Kewajiban Lingkungan Komprehensif (CERCLA).
- Di Singapura : Mengacu pada NEA (National Environmental Agency). Badan ini
mengendalikan bahan kimia berbahaya bagi lingkungan di bawah Undang-Undang
35
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (EPMA), Peraturan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan (Zat Berbahaya) dan Peraturan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan (Zat Perusak Ozon).
b. Chrom Hexavalent
- Di Indonesia : Mengacu PP 22 Tahun 2021 (Lampiran VI, VIII, IX, XI, XII dan
Lampiran XIII) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 12 Tahun
2020 (Lampiran 3)
- Di Amerika : Diatur EPA terkait Hazardous Waste Regulation and the Metal Finishing
Industry yang diatur secara khusus oleh RCRA.
- India : Kementerian Lingkungan Hidup, Hutan dan Perubahan Iklim telah membuat
ketentuan dalam regulasi dibawah BAB III pasal 11, 12, 13, 14, dan 15 dari Hazardous
Waste Rules, 2016.
c. Merkuri
- Indonesia : Merkuri ditetapkan sebagai salah satu limbah B3 kategori 1 dan 2 sesuai
Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No.6 Tahun 2021 untuk tata cara pengelolaan limbah B3.
- Amerika Serikat : Pengelolaan dilakukan oleh EPA berdasarkan Undang-undang
Konservasi dan Restorasi Sumberdaya. Dan pelarangan ekspor merkuri berdasarkan
Undang-undang Pelarangan Ekspor Merkuri yang disahkan pada 14 Oktober 2008.
- Jepang : Pengelolaan limbah B3 diatur dalam Undang-undang Manajemen Limbah dan
Kebersihan Publik dimana dalam pelaksanaannya harus mendapat persetujuan
distrik/prefektur terkait.
- Thailand : Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian No.2548 tahun 2005.
36
- Amerika : Merkuri berlebih sebagai hasil dari larangan ekspor merkuri dan recovery
merkuri disimpan di fasilitas penyimpanan khusus yang disediakan oleh Departemen
Energi. Lalu limbah merkuri yang konsentrasinya <260 mg/kg akan diolah dengan
menggunakan metode stabilisasi dan solidifikasi sebelum ditimbun di tempat
penimbunan akhir.
- Jepang : Limbah merkuri di solidifikasi dengan bantuan sulfur
- Singapura : mengolah limbah merkuri dengan stabilisasi dan pengolahan termal.
- Thailand : limbah merkuri domestik di olah dengan penimbunan. Sedangkan di industri,
diolah lebih dahulu
37
DAFTAR PUSTAKA
Adhani, R., Husaini. (2017). Logam Berat Sekitar Manusia. Lambung Mangkurat
University Press. Banjarmasin.
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). (2007). A Toxicological Profile for
Lead. Gorgia: ATSDR
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). (2019). Case Studies In
Environmental Medicine (CSEM): Lead Toxicity.US: ATSDR
Alina M, Azrina A, Mohd Yunus AS, Mohd Zakiuddin S, Mohd Izuan Ef endi H, Muhammad
Rizal R. (2012). Heavy metals (mercury, arsenic, cadmium, plumbum) in selected marine f sh
and shellf sh along the Straits of Malacca. Int Food Res J., 19(1): 135–140.
Antara. (2020). KLHK Paparkan Capaian Penghapusan Merkuri di Indonesia [Online]
https://www.antaranews.com/berita/2318142/klhk-paparkan-capaian-penghapusan-merkuri-
di-indonesia. Diakses pada 12 September 2021.
Banunaek, Z.A dan Trihadiningrum, Y., (2016). Pencemaran Merkuri di Lahan Pertambangan
Emas Rakyat dan Strategi Pengendaliannya. Surabaya : ITS.
Bernhoft, R.A. (2012). Mercury Toxicity and Treatment : A Review of the Literature. Journal of
Environmental and Public Health. 2012 : 1-10
Budiastuti,P; Raharjo, M; dan Dewanti, N.A.Y. 2016. Analisis Pencemaran Logam Berat Timbal
Di Badan Sungai Babon Ecamatan Genuk Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-
Journal). 4: 119-124
CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Lead Poisoning Investigation in Northern
Nigeria [Online]. https://www.cdc.gov/onehealth/in-action/lead-poisoning.html. Diakses pada
12 September 2021.
Cotton, S. (2003). "Dimethylmercury and Mercury Poisoning: The Karen Wetterhahn story".
Molecule of the Month. Bristol University School of Chemistry.
doi:10.6084/m9.figshare.5245807. Archived from the original on April 17, 2012. Retrieved
January 6, 2021
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Hidup Makhluk Hidup. Jakarta : UIPress.
Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. (2010). Mengenal Logam
Beracun [Online]. http://www.kelair.bppt.go.id/sib3pop/Iptek/LogamBerat/logamberat.htm,
Diakses 12 September 2021.
Ed Gilbert. (2021). Chromium VI, Policy and Guidance. Https://Clu
In.Org/Contaminantfocus/Default.Focus/Sec/Chromium_VI/Cat/Policy_And_Guidance/.
Diakses Pada 13 September 2021.
38
EPA. (2005). Introduction to Hazardous Waste Identification. Washington D.C. : EPA
Franklin,B. (1786). Letter on lead poisoning to Benjamin Vaughan, 31 July 1786
(http://www.ledizolv.com/LearnAbout/LeadHazards/benfranklin.asp, accessed 19 November
2009).
Gao, Y., & Xia, J. (2011). Chromium Contamination Accident in China: Viewing Environment
Policy of China. Environmental Science & Technology, 45(20), 8605–8606.
doi:10.1021/es203101f
Health NewYork Gov, (2018). Mercury Spill Incidents [Online].
https://www.health.ny.gov/environmental/chemicals/mercury/docs/spill_incidents.htm,
Diakses pada 12 September 2021.
Hutagalung, H. P. (1997). Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Jakarta.
K. D. Bhardawaj. (2019). Hazardous & Other Wastes (Management and Transboundary
Movement) Rules, 2016. Delhi: Regional Director, National Productivity Council.
Katadata. (2020). RI Masuk Tiga Besar Penghasil Merkuri Dunia, KLHK Awasi Penambang Emas
[Online] https://katadata.co.id/febrinaiskana/berita/5ee868790d43f/ri-masuk-tiga-besar-
penghasil-merkuri-dunia-klhk-awasi-penambang-emas Diakses pada 12 September 2021
Kompas. (2020). Polda Maluku Tutup Sumber Merkuri Terbesar di Indonesia [Online]
https://www-beta.kompas.id/baca/utama/2020/01/14/polda-maluku-tutup-sumber-merkuri-
terbesar-di-indonesia/ diakses pada 12 September 2021
Ministry Of Environment, Forest And Climate Change, Government of India. 2019. Handbook on
Chemicals And Hazardous Waste Management And Handling In India.
Ministry of Manpower. 2019. Workplace Safety And Health Act 2007 ed. (online).
https://sso.agc.gov.sg/SL/WSHA2006-RG1. Diakses pada 14 Septermber 2021.
Morais S, Costa FG, Pereira ML. (2012). Heavy metals and human health, in Environmental health
– emerging issues and practice (Oosthuizen J ed), pp. 227–246, InTech.
Mukherjee, A.B., Zevenhoven, R., Brodersen, J., Hylander, L.D., Bhattacharya, P. (2004).
Mercury in Waste in the European Union : Sources, Disposal Methods and Risks, Resources,
convervastion, and recycling. 42 : 155-182.
NEA. 2020. Hazardous Waste (Control Of Export, Import And Transit) Act. Singapura : EPA
OSHA. Hexavalent Chromium [Online]. https://www.osha.gov/hexavalent-chromium, Diakses
pada 12 September 2021
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Pengelolaan Limbah B3
39
Peraturan Menteri Perdagangan No.75 tahun 2014 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan
Bahan Berbahaya
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Rice, M.K., Blough, E., Gillette C. Environmental Mercury and Its Toxic Effect. Journal of
Preventive Medicine and Public Health. 47 : 74-83.
Robert Winlow. (1986). Chromium Waste: Trivalent and Hexavalent, Chromium in Tennery
Waste. Western Australia.
Suksmerri. (2008). Dampak Pencemaran Logam Timah Hitam (Pb) Terhadap Kesehatan. Journal
Kesehatan Masyarakat. 2008 : II(2).
Tempo. 2011. 80 Anak Terpapar Timbal dari Pabrik Aki Bekas (online).
https://metro.tempo.co/read/331569/80-anak-terpapar-timbal-dari-pabrik-aki-
bekas/full&view=ok. Diakses pada tanggal 14 September 2021
Tempo. (2019). Kemendag Siapkan Aturan Larangan Ekspor Merkuri [Online]
https://bisnis.tempo.co/read/1284396/kemendag-siapkan-aturan-larangan-ekspor-
merkuri/full&view=ok Diakses pada 12 September 2021
Thackrah, C.T. (1832). The effects of arts, trades, and professions, and of civic states and habits
of living, on health and longevity: with suggestions for the removal of many of the agents
which produce disease, and shorten the duration of life, 2nd ed. London, Longman
UNEP. (2015). Practical Sourcebook on Mercury Waste Storage and Disposal. Nairobi : UNEP.
UNEP. (2017). Global Mercury Waste Assessment. Nairobi : UNEP
Undang-undang No.11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury
WHO. (2010). ChildhoodLead Poisoning. Geneva. World Health Organization, Press
40