Anda di halaman 1dari 11

Etika Pelayanan Pastoral

DI SUSUN

Abraham Batmanlussy (20111001)

Imelda Jacqueline (201110)

Lois Manurung (20111032)

PROGRAM STUDI TEOLOGI KEPENDETAAN

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHEL INDONESIA

JAKARTA

2021
DASAR-DASAR TEOLOGI
  Dari sudut pandang teologis pelayanan moral terkait erat dengan pengalaman dan
keyakinan akan Tuhan. Tuhan adalah pusat tertinggi titik acuan bagi apa yang benar dan
salah secara moral sumber dan tujuan dari semua usaha moral. Keyakinan dasar tentang
hidup moral ini sering Diulangi oleh Paus Yohanes Paulus II pada bab pertama veritatis
Splendor 1993 ketika merefleksikan makna jawaban Yesus atas pertanyaan Pemuda kaya
“Guru, perbuatan baik apakah yang harus saya lakukan untuk memperoleh hidup abadi? (Mat
19:16), Yohanes Paulus II menegaskan :
Menanyakan apa yang baik sebetulnya pada akhirnya berarti  berpaling kepada
Tuhan,  kepenuhan  kebaikan. Yesus menunjukkan bahwa pertanyaan pemuda ini sungguh
sebuah pertanyaan rohani dan bahwa kebaikan itulah yang menarik dan pada waktu yang
sama mengharuskan manusia mempunyai sumbernya pada Tuhan dan sesungguhnya adalah
Tuhan sendiri. Tuhan sendiri layak untuk dicintai “Dengan segenap hati dan dengan segenap
jiwa dan dengan segenap pikiran” (Mat 22:37).  Dia adalah sumber kebahagiaan manusia
Yesus membawa kembali pertanyaan tentang tindakan-tindakan yang baik secara moral
kepada dasar-dasar religiusNya, kepada pengakuan akan Tuhan yang adalah kebaikan
kepenuhan hidup, tujuan akhir tindakan manusia dan kebahagiaan sempurna. Tanggung
jawab moral dalam pelayanan sebagai “manusia professional” tidak hanya dibenarkan oleh
pengakuan sosial dan aturan-aturan tingkah laku umum yang dipatuhi oleh masyarakat yang
berakal budi. Kacamata teologis, Tuhanlah yang membenarkan dan mengesahkan moralitas
akibatnya tanggung jawab moral dalam pelayanan profesional tidak hanya ditunjukkan
kepada diri kita atau kepada orang lain tanggung jawab moral itu pada akhirnya tertuju pada
Tuhan.
Mengenal Tuhan sebagai sumber dan tujuan hidup kita akan memberikan arah kepada
hidup moral. Kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan ini akan menuntun kita kepada
persekutuan yang lebih penuh dengan Tuhan sebagai tujuan hidup kita. Supaya ini dapat
diwujudkan kita harus dituntut oleh nilai-nilai yang dikehendaki Tuhan. Dikehendaki Tuhan
dan diminta oleh Tuhan melalui keterkaitan antara iman dan akal budi. Iman memberikan
kepada kita jalan masuk kepada Tuhan melalui Alkitab, bukan hanya dalam Kesaksian
tentang Israel, khususnya hidup mereka dalam perjanjian tetapi secara istimewa dalam Yesus
Iman juga memberikan kepada kita jalan masuk kepada Tuhan melalui keyakinan-keyakinan
rohani yang telah dibentuk oleh tradisi gereja, hidup doa, Kesaksian-kesaksian umum dan
permenungan teologis. Akal budi memberikan jalan masuk kepada Tuhan melalui pengertian
tentang makna menjadi manusia kedua sumber ini iman dan akal budi akan mendukung
pengembangan Kerangka kerja teologis etis atas tanggung jawab profesional dalam
pelayanan.

Panggilan dan Profesi

Tren untuk lebih memprofesionalkan pelayanan bertujuan untuk memperbaiki mutu


karya pelayanan. Namun, makna pelayanan sebagai profesi dan bagaimana etika profesional
dapat membantu kita memahami tanggung jawab moral si pelayanan merupakan masalah
yang bertentangan dengan diri sendiri. Tampak lebih menguntungkan dengan
menggolongkan pelayanan pastoral sebagai suatu profesi dengan mengharapkan pelayanan
pelayanan pastoral bertindak secara profesional dan dengan menganggap para pelayan
pastoral sebagai tenaga profesional. Pelayanan pastoral sebagai profesi adalah pandangan
yang mengatakan bahwa pelayanan pastoral adalah suatu panggilan religius. Sebagai
panggilan demikian ada keberatan itu pelayanan pastoral menjadi kepemimpinan Kristiani
yang tidak bisa dibandingkan dengan profesi profesi lain. Pelayanan pastoral adalah suatu
panggilan religius maka kita harus lebih menghargai tanggungjawab sebagai mana terjadi
dengan seorang profesional. Mengatakan bahwa pelayanan pastoral panggilan berarti suatu
tanggapan bebas terhadap panggilan Tuhan di dalam dan melalui komunitas untuk
mengabaikan diri dalam cinta demi pelayanan kepada sesame. Dimensi komunal panggilan
berarti bahwa panggilan untuk pelayan itu didengarkan di dalam gereja, didukung oleh
gereja, dan untuk melayani misi gereja.
Sifat sukarela berarti bahwa kita harus dengan senang hati berdisiplin diri dan
menomor duakan kepentingan pribadi demi pelayanan kesejahteraan umum. Siapapun yang
telah melakukan pelayanan pastoral mengenai pengalaman masyarakat yang ditanggapi
dengan menunjukkan yang lebih daripada hanya mereka menanggapi sesuatu yang kita wakili
yaitu kehadiran Tuhan dalam penerimaan, penyembuhan atau penilaian yang mencintainya.
Sebagai suatu panggilan, pelayanan pastoral merupakan suatu tanggapan bebas atas
pengalaman kita akan Tuhan, di dalam melalui komunitas, melalui pelayanan, kita
menghayati hidup pelayanan yang memajukan misi gereja untuk membawa setiap orang ke
dalam persekutuan yang lebih penuh dengan Tuhan. Pelayanan pastoral merupakan sebuah
panggilan dan sebuah profesi itu berarti bahwa tanggung jawab moral menjadi seorang
pelayan pastoral muncul tidak hanya dari pengakuan-pengakuan sosial supaya menjadi
profesional tetapi lebih merupakan undangan dari Tuhan Untuk mencintai dengan cara-cara
yang memantulkan jawaban atas panggilan Tuhan dan mengikuti jalan murid Yesus.

Perjanjian  (Convenant)

Tuntutan-tuntutan yang diminta dari para pelayan profesional dan jenis-jenis kewajiban
yang harus menjadi tanggung jawab profesional mengandaikan adanya hubungan dengan
Tuhan dan mereka yang dilayani. Dari sudut pandangan teologis kita lebih menyukai
perjanjian kepada daripada kontrak sebagai model bagi hubungan-hubungan pelayanan
pastoral karena dengan jelas perjanjian menjadikan Tuhan sebagai pusat nilai, dan perjanjian
membuka kemampuan untuk melihat semua tindakan sebagai tindakan dalam hubungan
Tuhan yang di gunakan oleh apa yang kita ketahui tentang Tuhan. Sebagai contoh model
perjanjian  tidak mengakui keterbatasan- keterbatasan manusia seeksplisit yang dilakukan
oleh modal kontrak rumah dan itu dapat dengan mudah mendorong tingkah laku tidak
profesional seperti memberikan pelayanan yang tidak pantas atau tidak dilakukan dengan
baik. Model kontrak mengakui keterbatasan manusia dari pihak yang terkait dalam kontrak
karena dengan jelas kontrak membedakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kontrak
membatasi jenis-jenis dan jumlah pelayanan yang dicari dan diberikan. Sementara itu,
perjanjian-perjanjian juga mempunyai syarat-syarat yang ditafsirkan menurut tuntutan
kesetiaan yang sungguh mencintai. Dalam Injil Matius Yesus yang adalah perjanjian baru
mengajarkan bahwa seluruh hukum Musa dan ajaran para nabi dapat diringkas dalam Hukum
Cinta Kasih Matius 22 : 37-40. Dalam Alkitab, konteks perjanjian menyingkapkan apa yang
dikehendaki oleh Tuhan dan apa yang harus dilakukan sebagai anggota-anggota yang setia
dalam hubungan-hubungan perjanjian.
 Ciri-ciri dasar perjanjian adalah cara perjanjian itu dibentuk yaitu Rahmat adalah
langkah pertama. Allah yang memulai dari cinta kasih Kel 6:7, 19:4-5.Israel
mengakui bahwa perjanjian adalah suatu Anugerah Suatu kehormatan atas diri mereka
Im 26 : 9-12, Yer 32 : 38-41. 
 Ciri-ciri lain dari perjanjian Allah bahwa kelayakan dan keluhuran datang pertama-
tama dari cinta Tuhan atas diri kita Dan bukan dari hasil prestasi pribadi kita atau 
peran-peran sosial kita.
 Ciri-ciri lain dari perjanjian adalah kebebasan, bukan hanya kebebasan Allah untuk
mencintai kita tetapi juga kebebasan kita untuk menerima atau menolak cinta itu.
Allah membuat tawaran yang dapat kita tolak titik Cinta Ilahi yang mendukung kita
tidak menghancurkan kebebasan kita. Tawaran cinta Tuhan menantikan penerimaan
kita. 
Sifat lain dari Allah adalah cinta yang Teguh (hesed) sifat ini selalu dipasangkan dengan
kesetiaan (emeth) Kel 34:6 Menenkankan kan kesetiaan, ketaatan atau kepercayaan yang
tahan lama.

Citra Allah

Pandangan moral tentang Perjanjian perlu ditampilkan dalam gambar manusia sebagai citra
Allah. Meneladani Tuhan yang senantiasa mencintai dan setia karena kita diciptakan menurut
citra Allah dan kita lambat laun disempurnakan dalam citranya. Pandangan teologis tentang
menjadi manusia merupakan pusat dari tradisi etis dalam perjanjian terdapat dasar teologis
untuk memahami posisi Allah dalam hidup moral  dan manusia sebagai pantulan wajah Allah
inisiatif Allah untuk mengadakan perjanjian dengan manusia mendukung keluhuran martabat
manusia dan kodrat sosial manusia yang merupakan kriteria kunci untuk menilai semua aspek
kehidupan moral. 
Kebenaran biblis lain tentang penciptaan menurut citra Allah adalah kita harus berbuah,
memperhatikan bumi Kej 2:15, dan menguasainya Kej 1:28. Menjadi pelayan pelayan yang
setia dalam meneladani Allah berarti dengan benar menggunakan kekuasaan kita untuk
mempengaruhi orang lain dan dunia. Pelayan melakukan karya keadilan dengan menata
secara tepat hubungan dengan diri kita dengan Tuhan dan dengan semua ciptaan. Kebenaran-
kebenaran alkitabiah telah menunjukkan tuntunan moral yang diminta sebagai citra Allah.
Sebagaimana telah ditunjukkan dalam tradisi perjanjian alkitabiah dan tradisi tentang
keadilan memiliki keluhuran sebagai anugerah Tuhan menuntut orang mengakui dan
menghargai setiap pribadi dalam setiap keadaan dan dalam setiap bentuk kegiatan sebagai
citra Allah dan bukan karena peran yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang dalam
masyarakat. Ini berarti bahwa bila kita berhubungan dengan orang lain, Seharusnya kita
melakukan dengan perasaan kagum yang timbul karena kehadiran seseorang yang suci titik
Karena itulah artinya pribadi manusia disebut sebagai citra Allah. 

Kemuridan

Komunitas Kristen mengalami kepenuhan Janji kasih Allah yang menjangkau kita
dalam diri Yesus sang Kristus. Yesus adalah Allah yang berwajah di dalamNya kita melihat
siapakah Allah itu dalam penjelmaanNya dan siapa kita sebagai citra Allah. Yesus adalah
norma terakhir untuk memahami apa artinya menjadi seorang pribadi dan menghidupi
kehidupan moral yang secara penuh berhubungan dengan Tuhan. Dia adalah kabar gembira
yang diproklamasikan dia menjadi demikian bukan karena apa yang dikatakan dan apa yang
dilakukan, tetapi karena dia dari dulu dan sekarang adalah pemwahyuan Allah yang paling
penuh bagi manusia dan sekaligus adalah tanggapan paling penuh dari manusia bagi Allah.
Siapapun yang ingin mengakui Yesus Kristus sebagai Allah seharusnya memandang sebagai
model dari siapa yang kita tuju dan apa yang harus kita lakukan dalam hidup dan pelayanan. 
Menerima Kristus sebagai norma pelayanan dan hidup moral berarti memasuki jalan
kemuridan. Ini bertujuan menanggapi undangan Yesus:” Datang ikutlah aku” Mat 19:21.
Secara umum kita berbicara tentang mengikuti Yesus sebagai meniru Kristus. Namun kita
harus menjadi hati-hati untuk tidak mencampur aduk istilah imitasi (meneladani) dengan
mimikri (tindakan meniru). 
Adapun tantangan kemuridan dimana cara hidup Yesus menjadi teladan  cara hidup
kita bukan titik demi titik tetapi dalam semangatnya dalam bantuan Roh Kudus. Tantangan
Panggilan kemuridan bagi hubungan dalam pelayanan pastoral untuk menjadikan cara hidup
Yesus sebagai milik kita. Kita tidak dipanggil untuk mencerminkan apa yang dilakukanNya,
tetapi kita dibentuk oleh Sabda dan perbuatanNya sehingga kita bisa setia kepada Tuhan dan
hadir di tengah-tengah orang lain dalam zaman sekarang ini.
Yesus adalah teladan utama kita sebagai citra Allah, dalam diriNya  kita bisa
memahami apa arti menjadi citra Allah. Keselarasan ini dibuat melalui kesetiaan untuk 
mewartakan kerajaan cinta ilahi yang terwujud dalam pembebasan umat manusia. Mukjizat-
mukjizat adalah tanda kuasa yang membebaskan dan perumpamaan-perumpamaanNya
merupakan keputusan-keputusan yang berlawan arah dengan pemikiran manusia. Hubungan-
hubungan pelayanan profesional yang dipengaruhi oleh semangat dan pandangan Yesus
adalah hubungan yang inklusif bagi semua orang yang berhubungan dengan sesama Sebagai
pribadi dan bukan sebagai pelanggan dan dalam melaksanakan kuasa yang membebaskan dan
memelihara, dan usaha mengimitasi cara-cara Allah bersama kita melalui Yesus. Dia
menyatakan dalam hidupNya pelayanan yang semestinya berpusat pada Allah mencakup
semua manusia dan berada dalam hubungan yang benar dengan setiap orang.

Tugas-Tugas Professional

Ketika kita memerenkan peranan professional secara implicit terkadang secara


eksplisit kita berjanji untuk memenuhi tugas-tugas yang tidak ditandatangani orang-orang
lain dalam komunitas, atau setidaknya tugas-tugas itu tidak mengikat orang-orang lain secara
moral, seperti dalam diri para pelayan.
Ada empat langkah pemikiran tentang profesi yang menjadi tanda-tanda sosiologis
yang khas supaya menjadi professional.
1. Pengetahuan serta ketrampilan terspesialisasi
Pengetahuan tentang teori yang relevan dan ketrampilan-ketrampilan untuk menerapkan teori
itu memungkinkan kreatifitas, visi, dan penemuan yang kita dari seseorang yang kita
harapkan dari seorang professional. Lebih ahli dalam bidang tertentu membantu dalam
menjelaskan tenaga professional kepada komunitas.
Sebagai pelayan-pelayan pastoral, kita berusaha membuktikan bahwa kita bisa dan sanggup
menanggapi kebutuhan rohani itu, karena kita adalah sumber teologis untuk komunitas
beriman. Kepada kitalah masyrakat mengarahkan diri untuk meminta bantuan guna melihat
dimensi-dimensi yang kudus dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kita berbagi
ketrampilan-ketrampilan dengan profesi-profesi lain, kita unik dalam membawa suatu
pengertian teologis bagi pengalaman-pengalaman manusiawi. Keunikan tersebut seharusnya
mempengaruhi cara ketrampilan-ketrampilan tersebut dipakai untuk melayani visi gereja dan
mengungkapkan identitas kristiani. Tak ada orang lain dalam gereja ataupun masyarakat yang
dilatih untuk membawa cahaya pewahyuan Allah dalam Yesus dalam kesaksian hidup,
penyampaian firman Allah dan perenungan akan firman Allah sehingga kaum beriman dapat
menanggapi dan memahami apa yang sedang terjadi dari perspektif iman mereka, dan dengan
demikian, kita dapat memperoleh kembali, menjaga, memperkuat identitas mereka dalam
Kristus.
2. Pelayanan atas kebutuhan dasar manusiawi
Bagi kesejahteraan bersama, masyarakat perlu mempunyai orang-orang yang memiliki peran-
peran khusus. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pengobatan melayani kesehatan, hukum
melayani keadilan, pendidikan melayani pengetahuan, pelayanan memenuhi kebutuhan akan
keselamatan melalui pengembangan misi gereja. Kebutuhan yang dilayani oleh profesi
menentukan tujuan profesi dan sebaliknya membantu tingkah laku yang sesuai dengan
praktek professional. Mereka yang masuk memenuhi tuntutan dasar profesi itu dan
menempatkan diri pada hal-hal yang lebih jauh yang merupakan tujuan dari spesialisasi peran
profesi itu.
Kewajiban para pelayan pastoral adalah menghadirkan gereja dengan cara-cara yang setia
dan mencintai melalui aneka pelayanan, khususnya kepada setiap orang harus dan mampu
menghargai norma moral sehingga dia dapat taat kepada perintah kudus Tuhan. Untuk
membantu orang mencapai tujuan ini maka pelayan pastoral harus sanggup menghadirkan
dengan jelas norma-norma moral objektif sebagaimana tercermin dalam hukum Allah, hukum
kodrat, dan ajaran gereja, sambil mendorong perwujudan penuh kebenaran moral yang
terdapat di dalam norma-norma itu.
3. Komitmen terhadap komitmen orang lain
Komitmen pertama kita seherusnya adalah melayani keperluan-keperluan mereka yang
mencari pelayanan pastoral, bahkan sekalipun ini berarti kita menempatkan diri pada posisi
berbahaya atau bahkan mengorbankan diri kita sendiri. Tugas pelayanan pastoral adalah
mengesampingkan minat pribadi supaya dapat semakin memberikan pelayanan bagi mereka
yang membutuhkan. Sebagai pelayan-pelayan secara khusus kita diharapkan menjadi orang
yang siap sedia bagi orang-orang lain, dan mungkin kita lebih mudah dikritik karena tidak
begitu memerhatikan diri sendiri. Mungkin hal itu terjadi karena janji setia kita kepada umat
dan peran kita sebagai kehadiran simbolis dari cinta Tuhan yang tak bersyarat dan inklusif.
4. Tatanan yang bertanggung jawab
Adanya tatanan yang bertanggung jawab mengindikasikan adanya organisasi professional
khusus yang menetapkan kualifikasi dalam penerimaan anggota baru, kursus-kursus
persiapan, standar kompetensi untuk memberikan lisensi, struktur untuk meninjau dengan
cermat, langkah dan sanksi disipliner untuk mengontrol tingkah laku yang menyimpang.
Mengembangkan tatanan yang bertanggung jawab tidak berarti mengubah suatu komitmen
perjajian menjadi suatu kontrak belaka. Janji untuk memberikan pelayanan demi keuntungan
komunitas dan disiplin diri untuk bertanggung jawab sesuai dengan standar yang tinggi dalam
praktek pelayanan pastoral.
Hubungan Memimpin dan Melayani dalam Pelayanan Pastoral

Pada umumnya di dalam sebuah gereja terdapat yang namanya struktur organisasi
yang dibentuk guna mengatur sistem, mencapai target, dan membina jemaat. Hal ini
nampaknya dialami oleh semua gereja tanpa terkecuali. Gereja yang memilki struktur
organisasi kepengurusan tentu punya yang namanya pembina atau penanggung jawab
tertinggi, dalam hal ini pasti diwakilkan oleh Gembala Sidang gereja tersebut. Struktur
organisasi itu kemudian membentuk bidang-bidang kecil atau divisi yang tugasnya
membentuk program gereja dan menjalankannya bersama dengan jemaat.

Cenderung jemaat memandang setiap orang-orang yang ada di dalam struktur


organisasi ini sebagai pengurus jemaat, atau pemimpin jemaat atau yang bertanggung jawab
terhadap pelayanan gerejawi walaupun semuanya harus bertanggung jawab terhadap
pelayanan gerejawi. Namun sekali lagi mereka dipandang sebagai orang-orang yang punya
wewenang di dalam sebuah gereja.

Hal yang sering kali terjadi adalah masih banyak jemaat yang ememiliki konsep
pemahaman yang salah mengenai pemimpin jemaat atau pembina jemaat. Mereka
menganggap bahwa pemimpin jemaat adalah mereka yang berkuasa penuh atas gereja dan
jemaat, menentukan segala aturan untuk ditaati. Sehingga jemaat seakan-akan hanya sebagai
robot yang mengikuti perintah yang telah di tetapkan. Tentu ini adalah paham yang keliru
mengenai “Pemimpin Jemaat”.

Gembala dalam memimpin jemaatnya tentu ada banyak cara atau startegi yang
dipakai. Ada anggapan atau pandangan yang dinamakan dengan “paternalistis”. Hal ini
disesuakan dengan etimologinya yaitu Pater yang artinya dalam bahasa Latin: Bapak.
Paternalisitis ini menggambarkan bahwa kepemimpinan itu seperti seorang ayah yang
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kehidupan anakanya selama anak itu masih kecil.
Baik kehidupan secara jasmani maupun secara rohani. Seorang bapak haruslah mengajarkan
sesuatu yang baik kepada anaknya. Disini tentu anak patut untuk tunduk sepenuhnya kepada
bapaknya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, diri seorang anak tentunya terus mengalami
pertumbuhan baik secara jasmani maupun secara kognitif, mental, spiritual, dan lain-lain.
Ketika anak sudah bertumbuh menjadi dewasa tentu pola pembinaan seorang bapak harus
berbeda. Sebab anak sudah mulai dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Ia dapat
menentukan pilihannya yang baik dan yang buruk.

Secara tidak langsung bapaknya tak lagi dapat memperlakukan anaknya dengan cara
yang sama ketika si anak masih kecil. Hal ini yang kadang kali menimbulkan pemahaman
yang salah dalam diri orangtua. Masih banyak yang menyamakan pengertian “hormati orang
tua” dengan “taat kepada orangtua”. Ketika anak telah memilih keputusanya sendiri dan tidak
lagi bergantung kepada orang tua maka ini dianggap sebagai sebuah ketidak-taatan atau tidak
menghormati orang tua. Padahal hal itu belum tentu benar. Semakin berkembangnya seorang
anak ia makin lebih tau apa yang menjadi kebutuhan dan keputusan yang tepat, orang tua
hanya dapat berperan sebagai penuntun yang mengarahkan anak. Keputusan terbesar tetap
ada di tangan anak itu.

Hal ini tak jarang terjadi di dalam gereja khususnya diantara gembala dan anggota
jemaat. Gembala kerap kali memperlakukan anggota jemaat sebagai anak-anak yang harus
terus “disuap” dan tidak mengetahui keadaan mereka secara detail, apa yang mereka
inginkan, apa yang mereka harus kembangkan,dll. Gembala hanya berfokus memberi makan
apa yang menurutnya baik dan tepat bagi jemaat. Tak heran ini hanya akan memanjakan
jemaat, sehingga jemaat tidak mau bergerak sendiri dan tidak mandiri dalam menyikapi
persoalan hidup.

Lalu, timbul pertanyaan bagaimana memimpin yang baik dan benar terhadap jemaat?
Sekali lagi, dalam memimpin kita perlu menjadikan Yesus sebagai role model dalam
memimpin.
1. Yesus mengasihi orang-orang yang Ia bimbing; Dia mempunyai waktu bagi mereka
(Yoh 2:1-11, Yoh 4:4-27; Luk 20:45-47). Memberikan waktu kita artinya kita ada
buat mereka dan mendengarkan mereka. Ketika seorang gembala menyediakan waktu
kepada jemaatnya maka secara tidak langsung ia membuka ruang untuk masuk
kedalam kehidupan jemaat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan
permasalahan mereka. Maka dengan itu gembala merasa terbantu dalam ememnuhi
dan menjawab kebutuhan jemaatnya. Bukan hanya itu saja, ketika seorang gembala
menyediakan waktunya buat jemaatnya, itu juga akan memberikan sebuah rasa
kebahagiaan kepada jemaat bahwa mereka diperhatikan oleh gembalanya.
2. Yesus tidak mementingkan kuasa dan pangkat-Nya sebagai Tuhan atau anak Allah,
tetapi dia menunjuk serta mengerjakan apa yang Bapa mau (Yoh 5:19-47). Seorang
Gembala tentunya tidak boleh menjadikan gelarnya sebagai sesuatu yang
dibanggakan kepada jemaatnya. Hal itu nantinya hanya akan menimbulkan
kesenjangan sosial diantara jemaat dan gembala. Melainkan seorang gembala harus
tetap menunjukkan Yesus dalam pelayanan Pastoralnya.
3. Yesus selalu mengorientasikan tujuannya kepada pimpinan-Nya, yakni soal kerajaan
Allah. Tujuan itulah yang mewarnai perilaku dan perkataan Yesus. Seorang gembala
pun dalam pelayanan Pastoralnya haruslah demikian. Menjadikan Alkitab sebagai
dasar dan Yesus sentralnya dalam pelayanan pastoral. Seorang gembala tidak dapat
memaksakan kehendaknya sendiri melainkan perlu berdoa dan mengamati jemaat
secara keseluruhan.
4. Seorang Gembala hendaknya terbuka kepada setiap jemaat nya serta memanggil
mereka untuk bersama-sama terlibat dalam pekerjaan Allah.

Dari ke-empat poin diatas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa memimpin
tidaklah bertentangan dengan penggembalaan. Kita tidak boleh mendikotomikan antara
memimpin dan menggembalakan. Memimpin itu sendiri tak selalu berbicara mengenai
keadaan duniawi seperti kepemimpinan organisasi sekuler yang ada di benak kita.
Memimpin itu sendiri dapat kita arahkan kepada konsep kekristenan dengan syarat Alkitab
dan Yesus lah yang menjadi dasar serta pusatnya. Kepemimpinan kristen nantinya akan
mengarahkan kepada pemenuhan tugas penggembalaan yaitu Menjadi penuh, Menjadi
Kudus, dan Membangun Jemaat.

Usulan Kode Etik

Dalam Pelayanan Pastoral tentu diperlukan aturan-aturan baik tertulis maupun tidak
tertulis guna menjadi landasan dalam melakukan Pelayanan Pastoral. Sehingga pelayanan
pastoral seorang gembala itu tidak dilakukan secara asal-asalan yang nantinya dapat
mencelakakan jemaat yang di layani. Aturan, norma, asas yang dapat mengatur sebuah
tingkah laku itu adalah Kode Etik. Kode Etik inilah yang harus dimiliki oleh seorang gembala
dalam sebuah pelayanan pastoral.

Aspek pelayanan pastoral yang cukup kompleks membuat Kode Etik ini hanya
dibatasi kepada suatu kerangka kerja teologis-etis serta penjelasan komperhensif mengenai
kasus-kasus yang dialami dalam pelayan pastoral konseling. Maka denga ini kode etik dapat
menjadi perluasan komentar dari topik-topik yang telah dibahas. Ini menolong kita semakin
memahami dan mengerti etika dalam pelayanan Pastoral.

Kode Etik Pelayanan Profesional

Gereja merupakan lembaga atau komunitas orang percaya yang telah dipersatukan
melalui iman kepercayaan terhadap Yesus Kristus. Seluruh warga gereja memiliki tanggung
jawab untuk ikut serta dalam mencapai Visi dan Misi gereja. Secara umum kehadiran gereja
ada untuk melayani orang. Pemahaman ini juga sesuai dengan arti kata gereja dari bahasa
yunaninya yaitu “ekklesia” yang artinya dipanggil keluar. Maka dari itu eksistensi warga
gereja harus menjadi perwujudan dari Visi Misi Gereja, artinya adalah hidup yang membawa
perubahan positif bagi sekitar.

Semua pelayanan pastoral didasarkan kepada Kasih. Baik kasih kepada Allah maupun
kepada sesama. Dalam menjalankan pelayanan pastoral ini tentunya perlu memiliki sebuah
tanggung jawab sebagai bentuk profesionalitas dalam melayani. Seyogiayanya tanggung
jawab itu dibuktikan dengan penerimaan rangkaian tanggung jawab dari kode etik ini.

Perlu diketahui bahwa kode etik ini tidak memiliki kedudukan resmi di dalam sebuah
gereja, namun bukan berarti hal ini dianggap sebagai hal yang tidak penting. Kode Etik pada
umumnya dikeluarkan oleh lembag tertinggi dalam hal ini tentunya adalah badan sinode dari
gereja tersebut. Namun bagi gereja-gereja lokal kode etik itu biasanya tergbung dalam
peraturan tertulis dalam gereja. Kode etik ini hadir untuk menjunjung keluhuran pelayanan
pastoral serta penegasan terhadap sebuah keyakinan etis secara umum yang kita yakini di
dalam gereja dan masyarakat sesuai denga parameter dan mutu yang tinggi dari pelayanan
profesional.

Kode etik ini juga perlu disadari tidak dapat kita paksakan sebagai sebuah cara satu-
satunya dalam menjawab permasalahan etis yang terjadi di dalam gereja. Melainkan kode
etik hanya mampu memperjelas gambaran permasalahan etis yang ada. Sehingga dengan itu
kita bisa melihat lebih luas mengenai permasalahan yang ada dan menentukan sikap yang
tepat. Kode etik lebih menyajikan tujuan-tujuan yang bersifat aspirasional untuk menuntun
Gembala dan jemaat mencapai cita-cita tertinggi dari sebuah pelayanan pastoral.

Kerangka Teologis

Dalam sebuah pelayanan Pastoral kita perlu bahkan harus menjadikan Yesus sebagai
pusat pelayanan kita. Hal ini juga yang membuat kita harus bertanggung jawab kepada-Nya
dalam menjalankan sebuah pelayanan Pastoral. Bukan hanya memikirkan bagaimana jemaat
bisa merasa nyaman dan bertumbuh namun perlu memikirkan bagaimana agar Tuhan di
kenal, di muliakan oleh jemaat.
Pelayanan pastoral merupakan suatu panggilan dan profesi. Sebagai sebuah panggilan
maka ini menjadi sebuah ruang bagi kita untuk mengabdikan diri kita di dalam kasih terhadap
sesama sebagai bentuk respon dari panggilan Tuhan. Sebagai sebuah profesi, maka ini
sebagai komitmen khusus untuk menjadi pribadi yang harus memilki standard moral yang
baik dan benar serta pengetahuan akan keadaan jemaat yang hendak dilayani khusunya dalam
hal spiritual mereka.

Pemahaman kita bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei)
dapat menjadi sebuah hal mendasar dalam kehidupan kita bahwa kehidupan kita haruslah
merupakan cerminan dari citra Allah di dalam diri kita sebagai manusia ciptaanya. Ini tentu
menuntun kita dalam berperilaku dengan orientasi sepenuhnya kepada Allah. Diciptakan
menurut rupa dan gambar Allah dapat membangun perilaku moral serta kodrat sosial yang
sesuai degan kriteria perilaku etis ketika berhadapan dengan aspek-aspek moral dalam
kehidupan pelayanan pastoral. Kriteria perilaku etis ini yang membuat manusia untuk tidak
memperlakukan sesamanya berdasarkan nilai fungsional atau sebagai instrumen yang dipakai
untuk mencapai keuntungan pribadi. Melainkan, meneguhkan mereka bahwa setiap karunia,
potensi yang dimiliki dipergunakan untuk membangun kepentingan bersama.

Pribadi Yesus merupakan norma tertinggi dalam pelayanan pastoral kita. Sebagai
gembala tentu itu aturan gereja atau aturan badan sinode bukanlah jadi yang tertinggi. Sebab
hal itu tidak dapat menjamin sepenuhnya kita untuk dapat melayani sesuai yang Yesus
kehendaki. Peraturan yang dibuat manusia bisa bersifat subjektif sewaktu-waktu, namun
pirbadi Yesus serta hukum-hukumnya yang tertulis di dalam Alkitab merupakan hukum yang
absolut atau aturan yang absolut dalam melakukan pelayanan pastoral.

Kekhasan Ideal Para Pelayan Pastoral

Watak adalah kumpulan perilaku yang mengarahkan hidup kita kepada sebuah tujuan.
Watak tentunya sudah menjadi hal yang sangat disorot oleh jemaat ketika gembala atau para
pemimpin jemaat melakukan pelayanan pastoral. Sebab watak dapat menunjukkan siapa diri
kita. Biasanya kecenderungan yang terjadi di dalam jemaat adalah jemaat mengharapakan
bahkan tak sedikit yang menuntut para pemimpin jemaat yaitu gembala untuk memiliki watak
yang lebih baik dibanding jemaatnya. Hal in dikarenakan gembala dan para pemimpin jemaat
lainnya dibebankan dengan sebuah tanggung jawab yang lebih dalam pelayanan pastoral
terhadap jemaat.

1. Kesucian
Kesucian ini merupakan gaya hidup yang harus dimiliki oleh gembala dalam
melakukan pelayanan pastoral terhadap jemaat. Kesucian ini merupakan aspek
penting dalam kriteria kode etik pelayanan pastoral. Pelayanan pastoral merupakan
jembatan dari kehadiran ilahi atau hadirat Allah yang harus dirasakan oleh jemaat
serta memajukan Gerej untuk mencapai visinya sesuai dengan yang Allah kehendaki
yaitu melayani semua umatnya dengan perubahan pola pikir dan pola hidup yang
makin serupa dengan Kristus.
2. Cinta Kasih
Cinta kasih merupakan sebuah perasaan yang harus dimiliki dalam melakukan
pelayanan pastoral jemaat. Cinta kasih juga merupakan bagian dari kriteria kode etik
dalam melakukan pelayanan pastoral. Cinta kasih membuat kita untuk bertindak
dengan belas kasih terhadap jemaat. Cinta kasih gembala terhadap jemaat tentunya
harus didasari dengan cinta kasih kepada Allah terlebih dahulu. Maka dengan itu
gembala perlu membereskan dan mengasihi Allah serta dirinya terlebih dahulu
sebelum melakukannya kepada jemaat.
3. Kelayakan untuk dipercayai.
Ini merupakan aspek yang cukup krusial di dalam diri seorang gembala selaku
pemimpin jemaat dalam melakukan pelayanan pastoral. Kelayakan untuk dipercaya
menuntut kita untuk memiliki kejujuran, kesabaran, serta kepedulian terhadap
keadaan jemaat. Jemaat yang dihadapi tentunya jemaat dengan berbagai macam
karakteristik serta permasalahan yang berbeda. Sebagai seorang pemimpin jemaat
tentunya kita harus mampu menjadi figur yang dapat menjadi sebuah pelabuhan yang
nyaman bagi jemaat sehingga jemaat merasa aman dan tidak khawatir ketika
menyampaikan sesuatu hal kepada kita. Kelayakan untuk dipercayai itu dapat dilihat
ketika kita memperhatikan mereka, berkata-kata selayaknya, menjaga kehidupan
pribadi jemaat, jujur, rendah hati, mengerti dan menghargai kondisi mereka, dll.
Konsekuensi terbesar ketika jemaat sudah kehilangan rasa percaya terhadap
gembalanya adalah ia akan pergi meninggalkan gereja itu.
4. Alturisme
Alturisme merupakan keutamaan moral berkaitan dengan sifat murah hati. Alturisme
ini menolong kita untuk mampu mementingkan kepentingan jemaat ditengah
kepentingan pribadi kita.
5. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan sikap yang harus kita miliki dalam melakukan pelayanan
pastroal kepada jemaat. Kebijaksanaan inilah yang nantinya menuntun kita mampu
melihat situasi keadaan dengan detail sehingga mampu memberikan respon yang tepat
sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku. Sebagai seorang pemimpin jemaat tentu
tidak selalu berjalan mulus setiap pelayanan yang dilakukan. Ada kalanya hambatan-
hambatan atau permasalahan-permasalahan etis yang membuat pemimpin jemaat
harus jeli dalam melihat keadaan tersebut sehingga tidak memberikan respon yang
mencelakakan jemaat. Kebijaksanaan diperlukan dalam hal ini.

Anda mungkin juga menyukai