Pada intinya, kita masing-masing dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam
kehidupan umat Allah. melibatkan diri berarti terlibat dalam hidup “menjemaat”. Artinya kita
bersama-sama terlibat dalam satu persekutuan yang dihidupi oleh kasih, bukan karena kuasa
dan wewenang. Kasih menjadi dasar dan sarana yang menyatukan kehidupan menjemaat.
Aktivitas dan tindakan kita harus selalu diperkaya oleh rupa-rupa roh dan karunia/karisma.
Ropa-rupa roh dan karunia saling melengkapi sehingga menjadi kebanggaan bersama dan bisa
menjadi milik bersama.
Setiap dari kita dipanggil untuk menghayati martabat yang sama, yaitu sebagai umat yang
dipilih oleh Allah. kita diajak untuk setia terhadap funngsi kita masing-masing tanpa harus
merasa lebih dari yang lain. Masing-masing dari kita harus membangun Gereja umat Allah dan
memberi kesaksian kepada masyarakat luas. Gereja yang bersaksi adalah gereja yang telah
disatukan oleh Roh Allah.
Gereja sebagai Umat Allah menjadikan Gereja kita terbuka, saling bekerja sama di antara
anggotanya, saling menghargai keberadaan, saling melengkapi atau berbagai potensi yang
ada. Hal ini yang menjadi konsekuensi, bagaimana Gereja mengelola keterlibatan anggota-
anggotanya serta peran sertanya. Oleh karena itu masing-masing dari kita baik yang tertabhis
maupun yang tidak tertabhis perlu menyadari dan menghayati panggilan hidupnya sesuai
dengan karunia dan karisma yang diterima akan pentingnya nilai persatuan dan kesatuan serta
kerja sama dengan seluruh anggota umat Allah. Keterlibatan dan kerjasama semua anggota
umat Allah dapat menjadi daya dorong yang penting untuk tumbuh dan berkembang membawa
Gereja sebagai sakramen keselamatan. Pahan Gereja sebagai Umat Allah ini membawa
konsekuensi dalam hubungan natara Hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan hanya
sebagai pelengkap melainkan partner hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang
sama, hanya fungsi keduanya berbeda. Keduanya saling melengkapi dan bekerja sama.
Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja kita dipahami dengan begitu piramidal, bahwa yang
sedikit berada di atas dan menguasai yang bawah. Walau sedikit tetapi menguasai. Dalam pola
pikir yang demikian, hierarki inilah yang berkuasa menentukan segala sesuatu bagi seluruh
Gereja, sedangkan kaum awam atau umat pada umumnya tinggal mengikuti. Seringkali, model
ini lebih cenderung “pastor sentris”. Hierarki atau pastor menjadi pusat semua gerak Gereja.
Gereja model piramidal ini sering disebut sebagai Gereja Institusional. Model Gereja ini
menonjol atau dikenal karena tertata rapi, dan para hierarki hampir identik atau disamakan
dengan Gereja itu sendiri. Mereka yang tertabhis memegang kepemimpinan dan
mengendalikan Gereja dengan cakupan wewenang yang luas. Biasanya karena lebih
mementingkan aturan. Gereja menjadi statis dan sarat aturan. Gereja sering meresa sebagai
satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan (Extra Eclesiam Nulla Salus), bahkan
bersikap triumfalistik. (memegahkan diri).
Pada Konsili Vatikan II, pandangan Gereja yang lebih piramidal ini akhirnya diperbaiki.
Ada keterbukaan dan pembaruan cara pandang. Gereja dipahami bukan lagi sebagai Gereja
Piramidal yang lebih “hierarki sentris”, tetapi diubah menjadi “Kristosentris”. Artinya, Kristuslah
pusat hidup Gereja. Kaum hierarki dan awam serta biarawan/biarawati mengambil bagian
dalam tugas Kristus dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan potebsi dan
kemampuannya. Hal inilah yang akhirnya membawa Gereja dipandang sebagai persekutuan
umat atau umat Allah. Dengan persekutuan umat sebenarnya mau mengungkapkan
persaudaraan yang dilandasi oleh kasi. Setiap anggota Gereja melibatkan diri dalam tugas
masing-masing untuk membangun Gereja. Tida ada yang merasa lebih hebat atau merasa
paling memiliki wewenang, tetapi seluruh umat terjun membangun persekutuan hidup. Tidak
hanya sekedar aturan dan hukum dalam hidup menggereja, tetapi yang lebih penting adalah
tumbuh dan berperannya hati nurani dan tanggung jawab atas perkembangan Gereja. Gereja
bersikap terbuka dan rela berdialog untuk semua orang. Gereja menyakini bahwa di luar Gereja
terdapat keselamatan.
Gereja Katolik memiliki dua model Gereja, yaitu model Gereja institusional hierarkis
piramidal dan model Gereja sebagai Persekutuan Umat.
Ø Gereja Institusional Hierarkis piramidal sangat menonjol dalam hal-hal berikut.
Model Gereja institusional hierarkis piramidal sangat menonjol dalam hal-hal berikut.
a. Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal tertata rapi
b. Kepemimpinan tetahbis atau hierarki hampir identik Gereja Khatolik, tentu membutuhkan
kepemimpinan yang kuat.
c. Hukum dan peraturan digunakan untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu
institusi. Suatu institusi, apalagi yang berskala besar, tentu saja membutuhkan hukum
dan peraturan
d. Sikap yang agak triumfalistik dan tertutup. Gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin
kebenaran dan keselamatan/ Extra Eclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada
keselamatan)
Lebih rinci untuk dapat menghayati konsekuensi Gereja sebagai umat Allah dan
pesekutuan yang terbuka, kita juga perlu melihat lebih detil atas konsekuensi yang harus
dihadiapi dari setiap anggota umat Allah.
a. Hierarki Gereja.
Adalah orang yag ditabhiskan untuk tugas kegembalaan. 2 tugas hierarki adalah; pertama,
menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hierarki mempersatukan umat
beriman, tidak hanya petunjuk, nasehat dan teladan tetapi juga dengan kewibawaan dan
kekuasaan kudus. Kedua, Hirarki menjalankan tugas-tugas gerejani, seperti merayakan
sakramen, mewartakan sabda, serta memberi ruang dan tempat bagi umat untuk berperan aktif
dalam ikut membangun Gereja dengan kharisma dan karunia yang mereka miliki.
Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat,
lebih khusus lagi sebagai suatu “serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis” (Lumen
Gentium 8). Menurut ajaran resmi Gereja, struktur hierarkis termasuk hakikat kehidupannya
juga. Maka Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para Uskup menggantikan para
Rasul sebagai gembala Gereja” (Lumen Gentium 20). “Konsili suci ini mengajarkan dan
menyatakan, bahwa Yesus Kristus, Gembala Kekal, telah mendirikan Gereja kudus, dengan
mengutus para Rasul seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti
mereka, yakni para Uskup, dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam Gereja-Nya hingga akhir
zaman” (Lumen Gentium 18).
b. Biarawan-biarawati
Seorang biarawan/biawarati adalah anggota umat yang dengan mengucapkan kaul
kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan ingin selalu bersatu dengan Kristus dan menerima
pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal, dan dengan demikian mereka menjadi tanda
nyata dari hidup dalam Kerajaan Allah kelak. Jadi, kaul-kaul itu adalah sesuatu yang khas
dalam kehidupan membiara. Kekhasan itu terletak dalam radikalitetnya menghayati kemiskinan,
ketaatan, dan hidup wadat. Harta dan kekayaan, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan
kehidupan keluarga adalah sesuatu yang baik dan sangat bernilai dalam hidup ini. Tetapi
hendaknya diingat bahwa semua nilai-nilai itu adalah relatif, tidak absolut dan abadi sifatnya.
Dengan menghayati kaul-kaul kebiaraan itu, para biarawan atau biarawati menjadi
“tanda” Pertama; Yang mengingatkan kita bahwa kekayaan, kekuasaan, dan hidup keluarga
walaupun sangat bernilai, tetapi tidak absolut dan abadi, maka kita tidak boleh mendewa-
dewakannya; Kedua; Yang mengarahkan kita pada Kerajaan Allah dalam kepenuhannya kelak.
Kita adalah umat musafir
c. Kaum Awam
Kaum Awam; adalah: semua orang beriman sebagai warga gereja yang tidak ditahbiskan Jadi
awam meliputi biarawan, biarawati seperti suster, bruder (definisi teologis) . Kaum awam adalah
semua warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan- biarawati (definisi
tipologis)
yang dengan rahmat pembaptisannya mereka menjadi anggota gereja dan dengan caranya
sendiri mengambil bagian dalam tugas kristus sebagi imam, nabi dan raja. Kaum awam
berperan dalam dalam dua tugas kesarusal, baik kerasulan dalam membangun jemaat serta
kerasulan dalam tata dunia. Gereja tidak hadir di dunia untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk
dunia yang menjadi peranan kaum awam. Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas
mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai
dengan kehendak Allah. Mereka hidup di dunia, yakni dalam semua dan setiap jabatan serta
kegiatan dunia. Mereka dipanggil untuk menjalankan tugasnya dan dibimbing oleh semangat
injil, mereka dapat menguduskan dunia laksana ragi. Medan tugas mereka adalah tata dunia,
hidup berkeluarga dan bermasyarakat serta hidup dalam segala bidang keduniawian
ipoleksosbuhankamnas.
Dalam Konsili Vatikan II, ada 3 hal penting dan menjadi dasar persekutuan umat Allah yang
terbuka, “fraternitas” (persaudaraan), solidaritas (kesetiakawanan) dan komunikasi
(persekutuan). Dasar persekutuan tersebut adalah iman. Gereja sebagai persekutuan dalam
iman, harapan dan kasih (Lumen Gentium art 8). Gereja juga disebut sebagai persekutuan
orang-orang yang sudah dikuduskan oleh Kristus dengan misteri salib-Nya, sehingga umat
Allah mewujudkan sebuah komunitas keselamatan bagi dunia.
“Semua orang, yang dilahirkan kembali dalam Kristus, dijadikan raja oleh tanda salib,
sementara urapan Roh Kudus mentahbiskan mereka menjadi imam. Karena itu, semua orang
Kristen yang rohani dan berakal budi harus yakin bahwa mereka – terlepas dari tugas-tugas
khusus jabatan kami – berasal dari turunan rajawi dan mengambil bagian dalam tugas-tugas
seorang imam. Apa yang lebih rajawi daripada jiwa yang dalam ketaatan terhadap Allah
menguasai badannya? Dan apa yang lebih sesuai dengan tugas-tugas imam daripada
menyerahkan kepada Tuhan hati nurani yang murni dan di atas altar hati mempersembahkan
kepada Tuhan kurban tak bercela yakni kesalehan?” (Leo Agung, serm. 4,1).
Sifat-sifat Gereja
da ungkapan mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”. Ternyata ungkapan ini juga
A
berlaku untuk masalah pokok-pokok iman baik yang terdapat pada agamanya sendiri
maupun yang terdapat di agama lain. Paparan berikut adalah sepotong kecil dari pokok
iman yang dipegang oleh Gereja Katolik.
Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan dalam Kredo (credere = percaya). Ada dua
rumusan kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan
pendek disebut Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para
rasul.Yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili Nikea (325) yang
menekankan keilahian Yesus. Dikemudian hari lazim disebut sebagai Syadat Nikea-
Konstantinopel karena berhubungan dengan Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini
ditekankan keilahian Roh Kudus yang harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan
Putera. Syahadat inilah yang lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik. Di
dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan ke empat sifat atau ciri
gereja katolik : satu, kudus, katolik dan apostolik.
Namun demikian, kita patut ingat bahwa masing-masing kita, sebagai anggota Gereja, telah
dipanggil kepada kekudusan. Melalui Sakramen Baptis, kita telah dibebaskan dari dosa asal,
dipenuhi dengan rahmat pengudusan, dibenamkan ke dalam misteri sengsara, wafat dan
kebangkitan Tuhan, dan dipersatukan ke dalam Gereja, “umat kudus Allah”. Dengan rahmat
Tuhan, kita berjuang mencapai kekudusan. Konsili Vatican Kedua mendesak, “Segenap umat
Katolik wajib menuju kesempurnaan Kristen, dan menurut situasi masing-masing
mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus dalam
tubuhnya, dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus
menempatkannya di hadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut” (Dekrit tentang
Ekumenisme, #4).
Gereja kita telah ditandai dengan teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup
para kudus sepanjang masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita, selalu ada
para kudus besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Ya, kita manusia yang rapuh, dan
terkadang kita jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat dari dosa kita dan sekali lagi kita
melanjutkan perjalanan di jalan kekudusan. Dalam arti tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum
pendosa, bukan kaum yang merasa diri benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri.
Salah satu doa terindah dalam Misa dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus,
jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski individu-
individu warga Gereja rapuh dan malang, jatuh dan berdosa, Gereja terus menjadi tanda dan
sarana kekudusan.
Singkatnya, Gereja yang kudus karena sumber (darimana ia berasal), tujuan (ke mana ia
diarahkan), dan unsur-unsur ilahi yang otentik yang di dalamnya adalah Kudus.
1. Sumber dari mana Gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus, Gereja
menerima kekudusannya dari Kristus dan doa-Nya. “Ya Bapa yang kudus,.....kuduskanlah
mereka dalam kebenaran.....” (yoh 17:11)
2. Tujuan dan arah Gereja adalah kudus. Gereja ditujukan untuk kemuliaan Allah dan
penyelamatan umat manusia.
3. Jiwa Gereja adalah Kudus, sebab jiwa Gereja adalah Roh Kudus itu sendiri.
4. Unsur-unsur ilahi yang otentik yang ada di dalam Gereja adalah kudus, misalnya ajaran-
ajaran dan sakremen.
5. Anggota-anggota Gereja adalah kudus, karena ditandaai oleh Kristus melalui pembaptisan
dan diserahkan kepada Kristus serta dipersatukan melalui iman, harapan, dan cinta yang
kudus.