Anda di halaman 1dari 6

Eksistensi Agit Membangun Bisnis Alas Kaki

Untuk memasuki bisnis berbasis kreativitas, ternyata tidak harus mumpuni di bidang desain atau
setidaknya lulusan sekolah seni. Buktinya, Agit Bambang Suswanto, pria kelahiran 29 tahun lalu,
“hanya” dari sekolah manajemen salah satu kampus swasta di Bandung. Namun berkat kegigihan
dan ketekunannya, disertai minat yang tinggi, ia berhasil membesarkan Amble Footwear. “Saya
memulai menjalankan bisnis ini saat kuliah semester V, berlanjut sampai sekarang. Jadi, saya
belum pernah mempunyai pengalaman bekerja di tempat lain,” ungkap Agit yang mulai
membangun Amble Footwear tahun 2009 ketika berusia 19 tahun.
Sejak muda Agit memang tidak suka tinggal diam. Masih di bangku SMA, ia sudah berjualan,
meskipun serabutan, seperti menjual barang atau makanan. Hal itu dilakukan selain karena
kebutuhan, juga pada dasarnya ia senang bisnis dan mencoba hal baru. Pernah suatu ketika,
karena menyukai sepatu, ia mencoba membuat sampel sepasang sepatu dan memakainya ke
kampus, ternyata banyak teman kampusnya yang tertarik dengan sepatu yang ia pakai. “Sejak
itu, saya terpikir ingin mengembangkan bisnis sepatu sendiri,” kata Agit mengenang peristiwa
sepuluh tahun lalu.
Kesempatan datang ketika ia mendapatkan beasiswa dari kampusnya sebesar Rp 1,5 juta per
tahun. Pucuk dicita ulam tiba. Uang sebesar itu serta-merta ia bawa ke Cibaduyut, pusat
penjualan sepatu di Bandung. Ia memesan 13 pasang sepatu yang desain dan bahannya seperti
sepatu mahal impiannya, Dockmart dan Clarks. Setelah itu, Agit memanfaatkan media Kaskus
untuk jualan. “Hanya dalam tiga hari penjualan, sepatu saya langsung habis terjual,” ujarnya
bangga.
Uang hasil penjualan sepatu ia gunakan untuk membuat sepatu yang diberi nama merek sendiri.
“Sejak saat itu, perputaran uang saya semakin besar. Saya mulai belajar manajemennya,
bagaimana caranya supaya makin bagus,” kata lulusan Manajemen Widyatama ini.
Nama merek itu adalah Amble Footwear. Dipilih nama Amble karena alasan unik dan menarik.
Agit mencoba mendesain ulang sepatu formal kulit menjadi lebih muda dengan mencampurkan
antara kenyamanan sneakers dan tampilan elegan sepatu kulit. Ia ingin agar orang-orang yang
memakai Amble akan mendapatkan penampilan tetap rapi dengan kesan leather, tetapi merasa
nyaman seperti memakai sneakers. Jadi, Amble merupakan gabungan konsep urban
boot dan casual shoes. Tampilannya seperti sepatu boot yang kuat dan tahan lama, tetapi tetap
ringan untuk dipakai sehari-hari layaknya sepatu kasual.
Hal itu dibenarkan Aldi, 28 tahun, yang sudah lebih dari setahun menggunakan sepatu Amble.
Menurutnya, Amble relatif nyaman. Dua kali membeli --seri Carter Black dan Jarvis yang
rajutan warna abu-abu-- ia mengaku puas, terutama terhadap kualitas sepatu. “Saya suka image
yang dibentuk Amble, cool kids aja kesannya. Cocok untuk anak muda yang workholic dan
santai,” ujarnya. Selain itu, harganya juga sangat cocok. Dengan kualitas dan look yang seperti
itu, menurutnya,  worth it.
Merek Amble menjadi salah satu brand lokal yang tergolong pionir bermain di e-commerce.
“Dulu, pada tahun 2009, ketika masih banyak brand yang menggunakan distribusi secara offline,
Amble sudah menggunakan cara online, seperti melalui forum jual-beli,” ungkap Agit. Ia merasa
bangga karena termasuk pelopor bisnis melalui online. “Tahun 2010 Amble sudah
membuat website sendiri, sampai sekarang,” lanjutnya. Alamat website-nya, www.amble.id.
Setelah sepuluh tahun berjalan, kini Amble rata-rata bisa menjual 1.000-1.500 pasang sepatu per
bulan. Amble telah memiliki produk all time favorit yang terus diproduksi, tidak pernah berhenti.
Di luar itu, Amble juga memiliki produk seasonal yang diproduksi hanya dalam kurun waktu
setahun, dan akan berganti lagi di tahun berikutnya.
Sejak 2011, Amble telah berekspansi melakukan penjualan ke pasar internasional. Produk ini ada
yang masuk ke berbagai department store, dan mal-mal. Penjualan terbanyak dari Instagram
dan website. “Saya juga menjual ke Malaysia, Singapura, Jepang, dan beberapa negara Eropa,”
ujar Agit. Dengan mencetak tegas pada setiap pasang sepatu kulitnya: “Made with proud in
Indonesia”, Agit ingin mengibarkan kebanggaan dan kepercayaan bahwa orang Indonesia punya
kemampuan memproduksi sepatu berkualitas.
Karena performanya, beberapa kali Agit menerima penghargaan di bidang kewirausahaan. Di
antaranya, menjadi finalis International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award tahun 2012.
Menurutnya, tiap tahun Amble mengalami kenaikan penjualan rata-rata 10-15 persen. Namun, ia
mengaku belum puas. Ke depan, ia telah menyiapkan langkah-langkah memperkuat produk dan
jajaran pemasaran agar terus meningkatkan penetrasi dan penjualan. Agit terus mengikuti
perkembangan tren dan mengeluarkan desain yang lebih segar dan inovatif, serta membuat
desain yang timeless yang menjadi signature model Amble.
Untuk pelayanan online, walaupun konsumen tidak bertatap muka dengan shop assistant dan
tidak melihat barangnya secara langsung, Amble sengaja menghadirkan customer
service sebagai personal assistant yang membantu konsumen berkonsultasi tentang produk
Amble secara online. Targetnya, konsumen dapat percaya dan mendapatkan barang yang sesuai
dengan yang diharapkan.
“Selain itu, kami juga memudahkan pembayaran melalui beberapa pilihan dan memberikan
garansi penukaran bagi konsumen,” kata Agit yang mencoba melakukan story telling dalam
setiap kampanye produknya. “Menurut kami, Amble bisa bertahan hingga sekarang bukan hanya
karena kekuatan produk, tetapi juga kekuatan cerita yang kami tanamkan di setiap produk
Amble,” katanya bangga.
Pihaknya memanfaatkan database konsumen, dengan melakukan re-marketing untuk konsumen
lama dengan memberikan promo. Juga, banyak melakukan kerjasama dengan figur publik untuk
memperkenalkan merek Amble kepada orang banyak. Dan yang terpenting, sampai saat ini
Amble masih konsisten melakukan iklan secara digital.
Agit memang paham betul tentang tren dunia teknologi yang semakin luas dengan beribu
manfaatnya. Maka, branding  produknya hanya dilakukan melalui media sosial. Gaya
pemasarannya pun kekinian, yakni melalui endorsement para selebgram. “Saya sama sekali tidak
menyebar flyer untuk membuat orang-orang datang ke toko saya,” ujarnya.
Intinya, Agit tidak mau gegabah dalam melakukan branding? Mengapa? Pengalaman empat
tahun pertama Amble mengajarkan prinsip kehati-hatian. Pasalnya, saat itu ia sempat terlena
karena mendapat respons positif dari pasar, sementara di sisi operasional, produksi, dan material
masih terkendala. “Membuat sepatu tidak semudah membuat produk fashion lain karena begitu
kompleks, proses produksi yang tidak singkat, dan banyak part yang harus dihadirkan,“ katanya
menjelaskan. Itu sebabnya, untuk membuat sebuah produk yang berkualitas, harus
dibatasi Minimum Order Quantity  (MOQ) yang cukup besar.
Bagi Agit, di antara banyak tantangan, yang terbesar adalah mengedukasi konsumen agar
percaya bahwa produk lokal juga berkualitas dan tidak kalah dengan produk luar. “Pada 2009,
saat kami baru mulai, banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap produk lokal.
Maka, Amble tidak akan pernah berhenti melakukan digital marketing secara simultan untuk
menambah titik persebaran dan new visitor website, serta mengelola konsumen lama agar terus
loyal hingga akhirnya area persebaran Amble meluas dari kota besar sampai kota-kota lainnya,”
Agit memaparkan.
Didukung kurang-lebih 15 karyawan, target Amble tahun 2019 ini adalah mengeluarkan line-
up produk terbaru dengan teknologi yang lebih mutakhir, memberikan pengalaman berbelanja
yang lebih menarik, dan memperluas cakupan pasar di beberapa kota. “Amble juga akan
bereksperimen dengan membuat strategi digital marketing yang dikombinasikan dengan konten
kreatif untuk menarik perhatian pasar milenial,” kata Agit tandas. (*)
Sumber:
https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/eksistensi-agit-membangun-bisnis-
alas-kaki

Pertanyaan
Berdasarkan kasus di atas, maka analisalah:
Skor
1. Menurut Anda, bagaimana eksistensi Agit dalam membangun bisnis alas kaki? 35
Berikan Analisa dan kaitkan jawaban Anda dengan teori.
2. Berikan analisa Anda mengenai kreativitas dan inovasi yang dilakukan Agit 30
dalam
membangun Amble Footwear. Kaitkan jawaban Anda dengan teori.
3. Berikan analisa Anda terkait dengan langkah-langkah Amble untuk memperkuat 35
produk dan pemasarannya.
Jawaban

1. Menurut saya eksistensi Agit dalam membangun bisnis alas kaki sangat menarik karena
Agit yang mengawali bisnis dengan membuat 13 sepatu, sekarang mampu menjual 1000-
1.500 pasang sepatu per bulan.
Eksistensi tersebut juga ditunjukan sejak 2011, Amble telah berekspansi melakukan
penjualan ke pasar internasional. Produk ini ada yang masuk ke berbagai department
store, dan mal-mal. Penjualan terbanyak dari Instagram dan website. “Saya juga menjual
ke Malaysia, Singapura, Jepang, dan beberapa negara Eropa,” ujar Agit. Dengan
mencetak tegas pada setiap pasang sepatu kulitnya: “Made with proud in Indonesia”, Agit
ingin mengibarkan kebanggaan dan kepercayaan bahwa orang Indonesia punya
kemampuan memproduksi sepatu berkualitas.
Karena performanya, beberapa kali Agit menerima penghargaan di bidang
kewirausahaan. Di antaranya, menjadi finalis International Young Creative Entrepreneur
(IYCE) Award tahun 2012. Menurutnya, tiap tahun Amble mengalami kenaikan
penjualan rata-rata 10-15 persen.

Dari hal diatas kita bisa melihat bahwa Agit sebagai seorang entrepreneur
menggabungkan pikiran imajinatif yang mirip mimpi, dengan pikiran kreatif, yang
disertai kemampuan memproses secara logis dan teratur secara sistematis. Kombinasi
tersebut yang dianggap akan mampu mengantarkan Agit sebagai seorang entrepreneur
yang sukses dan eksistensinya di akui.

2. Kreativitas dan inovasi yang dilakukan Agit dalam membangun Amble Footwear.

Kreativitas dalam hal ini di definisikan sebagai pengumpulan ataupun penumpukan


gagasan yang dapat membuat suatu sistem menjadi lebih efektif dan efisien menurut
Timothy A.Matherly and Ronald E.Goldsmith (1988). Seprti halnya yang dilakukan Agit
dimana ketika kesempatan datang ia mendapatkan beasiswa dari kampusnya sebesar Rp
1,5 juta per tahun. Pucuk dicita ulam tiba. Uang sebesar itu serta-merta ia bawa ke
Cibaduyut, pusat penjualan sepatu di Bandung. Ia memesan 13 pasang sepatu yang desain
dan bahannya seperti sepatu mahal impiannya, Dockmart dan Clarks. Setelah itu, Agit
memanfaatkan media Kaskus untuk jualan. “Hanya dalam tiga hari penjualan, sepatu
saya langsung habis terjual,” ujarnya bangga.
Uang hasil penjualan sepatu ia gunakan untuk membuat sepatu yang diberi nama merek
sendiri. “Sejak saat itu, perputaran uang saya semakin besar. Saya mulai belajar
manajemennya, bagaimana caranya supaya makin bagus,” kata lulusan Manajemen
Widyatama ini.
Kemudian inovasi yaitu sebagai sebuah gagasan baru yang diterapkan untuk
memprakarsai atau memperbarui suatu produk atau proses dan jasa. Inovasi ialah sebuah
ide, gagasan, ojek, dan praktik yang dilandasi dan diterima sebagai suatu hal yang baru
oleh seseorang atau pun kelompok tertentu untuk diaplikasikan atau pun diadopsi.
Nama merek itu adalah Amble Footwear. Dipilih nama Amble karena alasan unik dan
menarik. Agit mencoba mendesain ulang sepatu formal kulit menjadi lebih muda dengan
mencampurkan antara kenyamanan sneakers dan tampilan elegan sepatu kulit. Ia ingin
agar orang-orang yang memakai Amble akan mendapatkan penampilan tetap rapi dengan
kesan leather, tetapi merasa nyaman seperti memakai sneakers. Jadi, Amble merupakan
gabungan konsep urban boot dan casual shoes. Tampilannya seperti sepatu boot yang
kuat dan tahan lama, tetapi tetap ringan untuk dipakai sehari-hari layaknya sepatu kasual.

3. Langkah-langkah Amble untuk memperkuat produk dan pemasarannya

Target pasar

Sebenarnya ada beberapa tahap untuk memulai usaha berjualan alas kaki ini. Menurut
Agit, hal utama yang harus dipikirkan sebelum terjun ke bisnis ini adalah target pasar.
Anda harus menentukan segmen yang akan dituju: apakah anak-anak, remaja, atau orang
muda.

Berdasarkan pengalaman Agit, sejak awal berbisnis dia sudah mengincar orang muda
sebagai target pasar utama. Lebih spesifik lagi targetnya adalah anak kuliah. Mengapa?
"Menurut survei kecil yang kami lakukan, anak muda di kota besar itu konsumtif tapi
mereka juga produktif. Sekali pun mereka kuliah tapi memiliki pekerjaan sampingan.
Inilah segmen yang kami tuju," katanya.

Setelah menentukan target pasar, langkah selanjutnya adalah menyusun karakter dari si
target itu. Dengan mengetahui karakternya, Anda bisa menentukan jenis sepatu yang
akan diproduksi. Pilihannya sepatu berkualitas dengan harga mahal, atau sepatu kualitas
pas-pasan dengan harga murah.

Nah, dari situlah Anda bisa menghitung modal yang perlu disiapkan. Misalnya, kalau
mau menjual sepatu murah dengan bahan baku murah maka modalnya tidak besar. Tapi
kalau mau menjajakan sepatu berkualitas, misalnya sepatu kulit, tentu modal yang
disiapkan juga besar.

Mengikuti tren

Setelah memutuskan target pasar dan jenis sepatu, langkah selanjutnya adalah
menentukan model sepatu yang akan diproduksi. Penentuan model ini terkait erat dengan
tren, seperti produk busana lainnya. Jadi, sebagai pengusaha sepatu, sebaiknya Anda
mengerti tren yang berkembang. "Tapi bukan berarti harus meniru persis. Anda harus
memberikan kreativitas," imbuh Agit.

Bagaimana tren alas kaki tahun ini? Dulu, menggunakan sepatu dengan warna cerah
menyala terlihat aneh bila dipakai di acara yang formal. Seiring perkembangan tren
busana yang lebih dinamis saat ini, sepatu dengan beragam warna pun cocok dipakai saat
acara resmi. Misalnya, sepatu bermotif batik dengan aneka warna dapat dikenakan dalam
berbagai momen atau acara.

Agit menganalisis, tampilan sepatu yang berwarna-warni akan semakin menjadi tren pada
tahun ini. "Tren boyband-boyband yang tampil sporty dengan running shoes juga akan
menjadi tren desain sepatu di Indonesia," kata pemilik situs amblefootwear.com ini. Tren
itu bukan hanya mewabahi kaum adam, tetapi juga kalangan perempuan.

Tahap produksi

Mengawali bisnis ini ternyata tidak harus mengikuti pendidikan formal di bidang busana.
Buktinya, Yusi mengaku tidak memiliki keahlian desain. Dia hanya hobi menggambar.
"Semua tidak sengaja. Kebetulan saya iseng menggambar sepatu. Ternyata saat
direalisasikan menjadi sepatu, laku dijual," katanya. Proses belajar mendesain pun
beriringan dengan berjalannya usaha.

Adapun Agit yang memang hobi koleksi sepatu, merasa tertantang memproduksi sendiri
sepatu kulit yang harganya selangit. Pria yang kuliah di jurusn manajemen bisnis ini pun
mencoba mencari informasi seputar tahap-tahap memproduksi sepatu.

Bahkan, dia terjun ke sentra-sentra industri sepatu dari skala rumahan hingga pabrikan
untuk melihat proses pembuatan alas kaki. "Saya pelan-pelan belajar, sampai akhirnya
berani produksi sendiri," ujarnya. Meski begitu, seiring persaingan bisnis yang ketat, Agit
menyarankan untuk menggali ilmu desain di pendidikan formal.

Setelah memperoleh ilmu produksi, Anda perlu menjaring perajin sepatu. Tahap ini
tergolong susah-susah gampang. Anda bisa menjaring perajin berpengalaman dari Solo,
Jawa Tengah, atau pengrajin dari Cibaduyut, Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai