Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MODIFIKASI PERILAKU

Systematic Desensitization

Disusun untuk Memenuhi Penugasan Mata Kuliah Modifikasi Perilaku

Dosen Pengampu : Zulfa Indira Wahyuni, M.Si.

Kelompok 13

Annisa Ramadhani Nurfahda 11190700000012


Farah Amelia Andriyani 11190700000070
Saprina Putri Rosinta 11190700000160
Dheandra Alivia Adrika 11190700000161

Kelas : 6 Peminatan

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kepada Allah SWT yang telah memberikan
kami nikmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah untuk tugas
mata kuliah Modifikasi perilaku yang berjudul “Systematic Desensitization” dengan tepat
waktu. Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan
dari berbagai berbagai sumber yang terkait dengan materi, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua hal itu, kami selaku pemakalah sadar atas segala keterbatasan dan
kekurangan kami dalam penyusunan makalah ini. Terutama dari segi pemahaman. Oleh
karena itu, untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya, kami sangat menghargai
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Khususnya kepada dosen mata
kuliah Modifikasi perilaku kami, yaitu Ibu Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi. Akhir kata, kami
selaku pemakalah mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan atas makalah ini. Kami
harap dengan terselesaikannya makalah ini dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa.

Jakarta, 25 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I 4

PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4

BAB II 5

PEMBAHASAN 5
2.1 Pengertian Desensitisasi Sistematis 5
2.2 Contoh Kasus 6
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Desensitisasi Sistematis 8

BAB III 10

PENUTUP 10
3.1 Kesimpulan 10

DAFTAR PUSTAKA 11

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terapi tingkah laku atau yang disebut sebagai behavioral therapy merupakan
kumpulan berbagai ragam teknik dan metode dalam belajar yang tujuannya untuk
memodifikasi tingkah laku agar dapat menjadi adaptif terhadap suatu situasi dalam
lingkungan hidup.
Modifikasi perilaku ini sangat bermanfaat khususnya dalam lapangan pendidikan
terutama pada anak-anak yang mengalami permasalahan dalam belajar dan juga terhadap
individu yang mengalami kesulitan dalam memberi respon secara psikomotorik terhadap
situasi hidupnya. Perubahan tingkah laku yang diarahkan secara sistematis dapat
dievaluasikan secara objektif sehingga dapat dengan jelas memberi spesifikasi dan
pembaharuan prosedur"prosedur agar dapat digunakan sebagai teknik yang bekerja dengan
baik. Dalam terapi tingkah laku terdapat beberapa jenis teknik yang dapat dilaksanakan.
Desensitisasi sistematik ini dapat menjadi salah satu teknik yang dapat diterapkan dalam
mengendalikan tingkah laku individu yang merugikan dirinya sendiri atau lingkungan dan
mengubahnya menjadi lebih baik lagi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Systematic Desensitization?


2. Contoh kasus seperti apa yang menerapkan metode Systematic Desensitization?
3. Bagaimana langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mengatasi fobia pada
kasus tersebut?
4. Apa kelebihan dan kekurangan dari metode Systematic Desensitization?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Desensitisasi Sistematis


Joseph Wolpe (1958) mengembangkan pengobatan perilaku paling awal untuk
fobia spesifik, Desensitisasi sistematis adalah prosedur untuk mengatasi fobia dengan
meminta klien dalam keadaan rileks secara berturut-turut membayangkan item-item
dalam hirarki ketakutan. Hirarki rasa takut adalah daftar rangsangan yang
menimbulkan rasa takut yang disusun dalam urutan dari yang paling tidak
menimbulkan rasa takut.
Desensitisasi ini paling umum diindikasikan mengatasi respon penghindaran
persisten untuk kejadian dan situasi yang berbahaya. Sedangkan menurut Martin dan
Pear desensitisasi diri sistematik adalah bentuk prosedur yang sama secara esensial
seperti sistematik desensitisasi, bedanya adalah seorang klien sendiri yang melalui
progres tahapan-tahapan variasi desensitisasi. Tahap-tahap yang terbentuk disini
cocok untuk fobia sederhana bermasalah yang tidak terlalu intens atau melemah,
namun untuk fobia parah atau jenis lain dari gangguan kecemasan, sebaiknya
direkomendasikan untuk menggunakan bantuan profesional.
Maka dari itu, Desensitisasi sistematis merupakan pengobatan perilaku untuk
fobia yang melibatkan relaksasi berpasangan dengan serangkaian rangsangan yang
menimbulkan peningkatan tingkat ketakutan. Meskipun Wolpe (1958) menekankan,
sebagian besar untuk kenyamanan, penggunaan rangsangan imajiner (prosedur
kemudian disebut sebagai desensitisasi imajiner), pengobatan juga dapat dilakukan
dengan rangsangan fobia nyata. Versi desensitisasi ini kadang-kadang disebut sebagai
desensitisasi in vivo.
Desensitisasi in vivo biasanya menggunakan relaksasi untuk melawan respons
ketakutan orang tersebut. Misalnya, klien fobia anjing mungkin bergerak secara
bertahap lebih dekat ke anjing asli, berhenti setelah setiap langkah dan bersantai
selama beberapa detik. Selain itu, prosesnya mungkin pertama-tama dilakukan dengan
anjing yang sangat kecil dan kemudian secara bertahap berkembang menjadi anjing
yang sangat besar. Desensitisasi in vivo memiliki keuntungan yang jelas bahwa
seseorang tidak perlu khawatir tentang apakah efek pengobatan akan digeneralisasi ke
stimulus kehidupan nyata karena seseorang sudah bekerja dengan stimulus kehidupan
nyata. Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, seringkali sulit atau tidak
mungkin untuk mengatur eksposur kehidupan nyata yang sistematis seperti itu. Selain
itu, pada klien yang sangat fobia, stimulus nyata mungkin menimbulkan jumlah
kecemasan yang luar biasa.
Banyak orang memiliki ketakutan yang begitu kuat sehingga mereka menjadi
hampir tidak berdaya olehnya. Seseorang mungkin memiliki ketakutan yang sangat
kuat terhadap ketinggian sehingga berjalan menaiki satu tangga atau melihat ke luar
jendela lantai dua menyebabkan kecemasan akut. Orang lain mungkin takut pergi ke
tempat umum karena takut pada keramaian. Mencoba meyakinkan orang-orang ini
bahwa ketakutan mereka tidak rasional seringkali tidak memiliki efek yang
menguntungkan. Mereka biasanya tahu bahwa ketakutan mereka tidak memiliki dasar

5
rasional dan ingin menghilangkannya, tetapi mereka tidak bisa karena ketakutan itu
secara otomatis ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Ketakutan yang intens,
irasional, dan melumpuhkan terhadap kelas stimulus disebut fobia spesifik. Fobia
spesifik diklasifikasikan sebagai jenis hewan (misalnya, takut anjing, burung, laba-
laba), jenis lingkungan alam (misalnya, takut ketinggian, badai), darah-cedera-jenis
injeksi (misalnya, takut melihat darah, menjalani operasi), jenis situasional (misalnya,
ruang tertutup, terbang), dan jenis lainnya.

2.2 Contoh Kasus


Ailurophobia (Fobia Kucing)
Bagi penderita ailurophobia, kucing benar-benar membuat mereka takut. Bagi
tidak mengalami fobia kucing menilai bahwa ketakutan yang penderita alami tidak
wajar. Setiap orang memiliki rasa takut terhadap sesuatu termasuk kucing, merupakan
hal yang wajar dan emosi yang normal. Beberapa hal yang memberikan potensi
penyebab takut terhadap kucing adalah bulu kucing yang bisa menjadi tempat
berkembangnya virus toxoplasma. Seseorang yang mengalami ketakutan terhadap
kucing belum tentu mengalami ailurophobia karena bisa jadi hanya karena jijik, risih,
atau takut terhadap virus toxoplasma. Tidak sampai memberikan respon yang
berlebihan seperti menangis, pingsan, berkeringat, dan jantung berdebar berlebihan,
atau selalu menghindari kucing. Seseorang mengalami ailurophobia bila mengalami
ketakutan yang sangat berlebihan, menetap, dan ada penurunan dalam kehidupan
sosial atau pekerjaannya akibat ailurophobia yang dialami.
Terdapat beberapa penyebab ailurophobia sebagai berikut:
1. Penyebab predisposisi (predisposing causes), penyebab yang sifatnya
predisposisi atau kondisi yang rentan terhadap adanya gangguan
tertentu. Penelitian longitudinal menyatakan bahwa anak-anak tertentu
memiliki predisposisi konstitusional terhadap fobia karena mereka
lahir memiliki temperamen negatif yang disebut dengan inhibisi
perilaku terhadap yang tidak dikenal {behavioral inhibition to the
unfamiliar). Tekanan dari lingkungan harus ada untuk mengaktifkan
temperamen tersebut, seperti kucing yang mengancam (traumatic
event) karena menggigit atau mencakar dan menimbulkan dampak
ketakutan. Faktor ini seringkali disebut orang awam sebagai "memang
dasarnya orangnya penakut jadi kena sesuatu yang sedikit mengancam
langsung takut”
2. Penyebab aktual (precipitating causes), merupakan suatu kondisi
yang secara langsung bertindak sebagai pencetus/pemicu gangguan.
Misalnya mengalami kejadian yang menakutkan saat dengan
berinteraksi kucing, mendengar cerita menyeramkan dari orang lain
tentang kucing, atau melihat orang lain mengalami sesuatu yang tidak
menyenangkan dengan kucing
3. Penyebab penguat (reinforcing causes), kondisi yang cenderung
memperkuat gangguan. Misalnya membiarkan gangguan terus
berlangsung, menganggap sebagai bukan masalah, sehingga gangguan

6
tetap ada dan akan bisa berkembang. Contoh nyatanya selalu berusaha
untuk menghindari berinteraksi dengan kucing baik melalui bentuk
gambar kucing atau kucing secara nyata.

Penderita ailurophobia memiliki penyimpangan pemikiran bahwa kucing


memberikan ancaman. Penyimpangan pemikiran ini muncul setelah mengalami
kejadian yang terkait dengan kucing yang mereka namakan sebagai situasi yang
mengancam atau tidak menyenangkan bagi mereka. Pemikiran ini tidak harus akibat
interaksi tidak menyenangkan secara langsung dengan kucing, tetapi juga dapat
dengan mendengar atau melihat orang lain mengalami peristiwa tidak menyenangkan
dengan kucing. Munculah keyakinan (belief) bahwa kucing adalah ancaman yang
harus dihindari. Kemudian mereka menilai bahwa semua kucing ataupun hal-hal yang
berkaitan dengan kucing menakutkan. Sehingga saat berhadapan dengan kucing
penderita ailurophobia selalu merasa kucing tersebut mengancam bagi mereka dan
munculah respon-respon yang berlebihan dan tidak adaptif.

Langkah-langkah untuk menggunakan teknik desensitisasi sistematis dalam


menghilangkan fobia terhadap kucing :
1. Terapis membantu klien menyusun fear hierarchy dimulai objek yang
paling menakutkan sampai tidak menakutkan
2. Klien diminta untuk membayangkan wujudnya, terapis meyakinkan
klien bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan
3. Sebelum terapi, klien diminta untuk melakukan relaksasi terlebih
dahulu
4. Ketika sudah rileks, klien diminta untuk membayangkan barisan paling
bawah dari hierarchy yang dibuatnya
5. Setelah berhasil, mengatasi kecemasan sampai barang paling atas, baru
subjek dihadapkan pada objek sebenarnya.

2.3 Kelebihan dan Kekurangan Desensitisasi Sistematis


A. Kelebihan teknik desensitisasi sistematis
Fauzan menjelaskan bahwa teknik desensitisasi sistematis memiliki kelebihan
yaitu diantaranya:
1. Mengurangi maladaptasi kecemasan seperti fobia namun juga dapat diterapkan
pada masalah lain.
2. Dapat melemahkan atau mengurangi perilaku negatifnya atau
menghilangkannya.
3. Konseli mampu mengaplikasikan teknik ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa
harus adanya konselor yang memandu.
4. Menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif kemudian
menyertakan perilaku baru yang berlawanan dengan tingkah laku yang ingin
dihilangkan.

7
5. Bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan,
mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-
ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik.

B. Kekurangan teknik desensitisasi sistematis


Wolpe mengatakan teknik desensitisasi sistematis dapat menyebabkan
kegagalan dalam pelaksanaannya, yaitu:
1. Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi merujuk pada kesulitan
dalam berkomunikasi antara konselor dengan konseli.
2. Penyusunan hirarki. Tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan,
yang ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru
3. Ketidak memadai dalam membayangkan atau kurang dapat berimajinasi.
Dari penjelasan di atas bahwa kegagalan dalam pelaksanaan teknik
desensitisasi sistematis disebabkan karena kurangnya komunikasi antara konselor
dengan konseli. Kemudian kesulitan konseli dalam membayangkan keadaan yang
bisa menghilangkan kecemasan dan hirarki kecemasan yang disusun kurang relevan.
Hal ini dapat menghambat teratasinya atau menghilangnya rasa kecemasan yang
dialami oleh seseorang.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik
desensitisasi sistematis ini merupakan teknik spesifik dalam pendekatan behavioristik
yang dimana klien diberikan perlakuan atau pelatihan agar tetap merasa tenang
meskipun sedang berada dekat dengan objek yang membuat dirinya merasa takut
ataupun cemas. Namun, dengan menggunakan teknik ini, klien dapat merasa lebih
tenang dengan melakukan beberapa langkah yang dilakukan secara bertahap. Salah
satunya dengan klien diminta untuk membayangkan suatu hal yang membuat dirinya
takut terhadap objek tersebut namun klien diminta untuk tetap tenang atau rileks sampai
pada kondisi yang paling membuatnya merasa cemas.

Joseph Wolpe (1958) mengatakan bahwa desensitisasi sistematis merupakan


prosedur untuk mengatasi fobia dengan meminta klien dalam keadaan rileks secara
berturut-turut membayangkan item-item dalam hirarki ketakutan. Hirarki rasa takut
adalah daftar rangsangan yang menimbulkan rasa takut yang disusun dalam urutan dari
yang paling tidak menimbulkan rasa takut.

Desensitisasi sistematis merupakan pengobatan perilaku untuk fobia yang


melibatkan relaksasi berpasangan dengan serangkaian rangsangan yang menimbulkan
peningkatan tingkat ketakutan dengan mengikuti langkah-langkah sesuai hierarki yang
telah ditetapkan. Meskipun Wolpe (1958) menekankan, sebagian besar untuk
kenyamanan, penggunaan rangsangan imajiner (prosedur kemudian disebut sebagai
desensitisasi imajiner), pengobatan juga dapat dilakukan dengan rangsangan fobia
nyata. Versi desensitisasi ini kadang-kadang disebut sebagai desensitisasi in vivo.

9
10
DAFTAR PUSTAKA

Martin, G., & Pear, J. (2015). Behavior modification: What it is and how to do it (Tenth
edition). Pearson Education.

Martin, G., & Pear, J. (2015). Behavior modification: What it is and how to do it (2 edition).
New Jersey : Prentice Hall.

Alma, R. N. (2021). Penggunaan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Mengurangi


Kecemasan Belajar Terhadap Peserta Didik Di Sekolah Menengah Atas Tri Sukses Natar
Lampung Selatan Tahun Ajaran 2020/2021 (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan
Lampung).

11

Anda mungkin juga menyukai