Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Teori Joseph Wolpe

Mata Kuliah : Konseling Behavioristik


Dosen Pengampu : Ade Irma Hariani, M, Ed

Disusun oleh kelompok 2:

1. Annisa Rahmawati Wijaya (200101002)


2. Maulida Hasanah (200101014)
3. Muhammad Ibnu Sabil (200101018)
4. Muhammad Sarwan Hamid (200101019)
5. Mustari Irawan (200101020)
6. Nurmala Salmi (200101023)

UNIVERSITAS HAMZANWADI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat Dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas kelompok untuk kuliah Konseling Behavioristik, dengan
judul “Teori Joseph Wolpe”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa. Saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman Dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu. Kami mengharap segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan mamfaat perkembangan dunia pendidikan

Pancor, 7 Oktober 2022

Penulis

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR...........................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan.......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Joseph Wolpe...................................................................................2-4
B. Konsep Teori Joseph Wolpe..........................................................................4-
10
C. Temuan Joseph Wolpe...................................................................................10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wolpe (dalam Corey, 2007) mengungkapkan bahwa teknik desensitisasi
sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh teori
atau pendekatan behavioral klasikal.  Perhatian behavioral adalah pada perilaku
yang nampak, sehingga terapi tingkah laku mendasarkan diri pada penerapan
teknik dan prosedur yang berakar pada teori belajar yakni menerapkan prinsip-
prinsip belajar secara sistematis dalam proses perubahan perilaku menuju kearah
yang lebih adaptif.
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Corey (2005) mengemukakan
tentang latar belakang teknik ini melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat
pengkondisian, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat pusat
pengkondisiannya.  Desensitisasi sistematis dikembangkan dalam tradisi
behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi dasar teknik ini
adalah respon ketakutan merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah
dengan menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan
tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini
adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan; dan
respon yang sering dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi
atau penenangan.  Prinsip dasar Desensitisasi adalah memasukkan suatu respon
yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi.

B. Rumusan Masalah

Berikut rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini:


1. Biografi Joseph Wolpe
2. Konsep Teori Joseph Wolpe
3. Temuan Joseph Wolpe

C. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
mengenai tentang teori joseph wolpe

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Joseph Wolpe


Joseph Wolpe (20 April 1915 di Johannesburg, Afrika Selatan – 4 Desember
1997 di Los Angeles) adalah seorang psikiater Afrika Selatan dan salah satu tokoh
paling berpengaruh dalam terapi perilaku. Joseph Wolpe lahir pada 20 April 1915,
di Johannesburg. Mati pada 4 Desember 1997 (diumur 82), Los Angeles.
Pendidikan kedokteran, almamater Universitas Witwatersrand. Pekerjaan
psikiater. Karir akademik: Institusi, Universitas Witwatersrand, Universitas
Virginia, Fakultas Kedokteran Universitas Temple (1965–1988), Universitas
Pepperdine. (yes, 2022)
Wolpe dibesarkan di Afrika Selatan, bersekolah di Parktown Boys' High
School dan memperoleh gelar MD dari University of the Witwatersrand.
Pada tahun 1956, Wolpe dianugerahi Ford Fellowship dan menghabiskan satu
tahun di Universitas Stanford di Pusat Ilmu Perilaku, kemudian kembali ke Afrika
Selatan tetapi pindah secara permanen ke Amerika Serikat pada tahun 1960 ketika
ia menerima posisi di Universitas Virginia.
Pada tahun 1965, Wolpe menerima posisi di Temple University. Salah satu
pengalaman paling berpengaruh dalam kehidupan Wolpe adalah ketika dia
mendaftar di tentara Afrika Selatan sebagai petugas medis. Wolpe dipercaya
untuk merawat tentara yang didiagnosis dengan apa yang kemudian disebut
"neurosis perang" tetapi sekarang dikenal sebagai gangguan stres pascatrauma.
Perawatan utama waktu untuk tentara didasarkan pada teori psikoanalitik, dan
melibatkan mengeksplorasi trauma saat mengambil agen hipnotis - yang disebut
narkoterapi. Diyakini bahwa membuat para prajurit berbicara tentang pengalaman
mereka yang tertekan secara terbuka akan secara efektif menyembuhkan neurosis
mereka. Namun, ini tidak terjadi. Kurangnya hasil pengobatan yang berhasil inilah
yang memaksa Wolpe, yang pernah menjadi pengikut setia Freud,
mempertanyakan terapi psikoanalitik dan mencari pilihan pengobatan yang lebih
efektif. Wolpe paling terkenal karena teknik penghambatan timbal baliknya,
khususnya desensitisasi sistematis, yang merevolusi terapi perilaku. Sebuah survei
Tinjauan Psikologi Umum, yang diterbitkan pada tahun 2002, menempatkan

2
Wolpe sebagai psikolog ke-53 yang paling banyak dikutip pada abad ke-20,
sebuah pencapaian yang mengesankan yang ditekankan oleh fakta bahwa Wolpe
adalah seorang psikiater.
Dalam pencarian Wolpe untuk cara yang lebih efektif dalam mengobati
kecemasan, ia mengembangkan teknik penghambatan timbal balik yang berbeda,
memanfaatkan pelatihan ketegasan. Inhibisi timbal balik dapat didefinisikan
sebagai kecemasan yang dihambat oleh perasaan atau respons yang tidak sesuai
dengan perasaan cemas. Wolpe pertama kali mulai menggunakan makan sebagai
respons terhadap kecemasan yang dihambat pada kucing laboratorium. Dia akan
menawarkan mereka makanan sambil menghadirkan stimulus rasa takut yang
terkondisi. Setelah eksperimennya di laboratorium ia menerapkan inhibisi timbal
balik kepada kliennya dalam bentuk pelatihan ketegasan. Gagasan di balik
pelatihan ketegasan adalah bahwa Anda tidak boleh marah atau agresif sekaligus
tegas pada saat yang bersamaan. Yang penting, Wolpe percaya bahwa teknik ini
akan mengurangi asosiasi yang menghasilkan kecemasan. Pelatihan ketegasan
terbukti sangat berguna bagi klien yang memiliki kecemasan tentang situasi sosial.
Namun, pelatihan ketegasan memang memiliki potensi cacat dalam arti bahwa hal
itu tidak dapat diterapkan pada jenis fobia lainnya. Penggunaan penghambatan
timbal balik Wolpe menyebabkan penemuan desensitisasi sistematis. Dia percaya
bahwa menghadapi ketakutan anda tidak selalu menghasilkan mengatasinya,
melainkan mengarah pada frustrasi. Menurut Wolpe, kunci untuk mengatasi
ketakutan adalah "secara bertahap".
Desensitisasi sistematis adalah hal yang paling terkenal dari Wolpe.
Desensitisasi sistematis adalah ketika klien terpapar pada stimulus penghasil
kecemasan pada tingkat rendah, dan begitu tidak ada kecemasan, versi yang lebih
kuat dari stimulus penghasil kecemasan diberikan. Ini berlanjut sampai klien
individu tidak lagi merasakan kecemasan terhadap stimulus. Ada tiga langkah
utama dalam menggunakan desensitisasi sistematis, mengikuti pengembangan
perumusan kasus yang tepat atau yang awalnya disebut Wolpe, "analisis perilaku".
Langkah pertama adalah mengajarkan teknik relaksasi pada klien.
Wolpe menerima ide relaksasi dari Edmund Jacobson, memodifikasi teknik
relaksasi ototnya agar tidak memakan banyak waktu. Alasan Wolpe adalah bahwa
seseorang tidak bisa santai dan cemas pada saat yang bersamaan. Langkah kedua
adalah bagi klien dan terapis untuk membuat hierarki kecemasan. Terapis

3
biasanya meminta klien membuat daftar semua hal yang menghasilkan kecemasan
dalam segala bentuknya yang berbeda. Kemudian bersama-sama dengan terapis,
klien membuat hierarki, mulai dari yang menghasilkan tingkat kecemasan paling
rendah hingga yang paling banyak menimbulkan kecemasan. Berikutnya adalah
agar klien benar-benar rileks saat membayangkan stimulus yang menghasilkan
kecemasan. Bergantung pada apa reaksi mereka, apakah mereka tidak merasakan
kecemasan atau sangat cemas, stimulus kemudian akan diubah menjadi lebih kuat
atau lebih lemah. Desensitisasi sistematis, meskipun berhasil, juga memiliki
kekurangan. Pasien mungkin memberikan hierarki yang menyesatkan, mengalami
kesulitan bersantai, atau tidak dapat membayangkan skenario secara memadai.
Terlepas dari kemungkinan cacat ini, tampaknya ini yang paling berhasil Efek
Wolpe pada terapi perilaku bertahan lama dan luas. Dia menerima banyak
penghargaan untuk karyanya dalam ilmu perilaku. Penghargaannya termasuk
American Psychological Associations Distinguished Scientific Award, Psi Chi
Distinguished Member Award, dan Lifetime Achievement Award dari
Association for the Advancement of Behavior Therapy, di mana dia menjadi
presiden kedua. Selain penghargaan ini, almamater Wolpe, University of
Witwatersrand, memberinya gelar doktor kehormatan sains pada tahun 1986.
Selanjutnya, Wolpe adalah seorang penulis yang produktif, beberapa bukunya
yang paling terkenal termasuk, The Practice of Behavior Therapy and
Psychotherapy oleh Reciprocal Inhibisi. Dedikasi Joseph Wolpe terhadap
psikologi terlihat jelas dalam keterlibatannya dalam komunitas psikologi, sebulan
sebelum kematiannya dia menghadiri konferensi dan memberikan kuliah di
Pepperdine University meskipun dia sudah pensiun. Selain itu, teorinya telah
bertahan lama setelah kematianny dan Wolpe meninggal pada tahun 1997 karena
mesothelioma.

B. Konsep Teori Joseph Wolpe


1. Konsep Dasar
Teknik desentisisasi sistematik merupakan salah satu teknik perubahan
tingkah laku yang didasari oleh teori atau pendekatan behavioral klasikal.
Pendekatan behavioral memandang manusia atau kepribadian manusia pada
hakikatnya adalah perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil pengalaman dari

4
interaksi individu dengan lingkungannya/hasil belajar. Perhatian dari
pendekatan behavioral adalah perilaku yang nampak, sehingga terapi tingkah
laku mendasarkan diri pada penerapan teknik dan prosedur yang berakar pada
teroi belajar yakni menerapkan prinsip-prinsip belajar secara sistematis dalam
proses perubahan perilaku menuju ke arah yang lebih adaptif. Untuk
menghilangkan kesalahan dalam belajar dan berperilaku serta untuk mengganti
dengan pola-pola perilaku yang lebih dapat menyesuaikan. Salah satu aspek
yang paling penti dalam modifikasi perilaku adalah penekanannya pada
tingkah laku yang didefinisikan secara operasional, teramati dan terukur.
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Corey (2005:254)
mengemukakan tentang latar belakang teknik ini melihat bahwa rasa takut
dipelajari lewat pengkondisian, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat
dihilangkan lewat pusat pengkondisiannya. Tahun 1920-an Johannes Schulz,
psikolog Jerman, mengembangkan teknik "Autogenic Training" yang
mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang
mengalami kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik
untuk menghapus kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan; dengan
menghadapkan individu yang mengalami phobia pada stimulus yang tidak
dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke stimulus yang
lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Desentisisasi sistematik dikembangkan oleh Joseph Wolpe dalam tradisi
behavioristik. Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan
perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggunakan aktivitas
yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang
dihambat oleh proses treatment ini adalah kecemasan-kecemasan atau
perasaan takut yang kurang beralasan dan respon yang sering dijadikan
pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau perenungan.

2. Pengertian Desentisisasi Sistematik


Istilah desensitisasi merupakan usaha untuk memperkenalkan secara
bertahap stimulus atau situasi-situasi yang menimbulkan ketakutan.
Desentisisasi sistematik merupakan terapi yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan
tingkah laku atau respons yang berwalanan dengan tingkah laku yang hendak

5
dihapuskan itu. Desentisisasi diarahkan pada mengajar klien untuk
menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan (Corey,
2009).
Desensitisasi adalah pengurangan sensitifitas yang berkaitan dengan
kelainan pribadi atau masalah sosial setelah melalui prosedur konseling.
Dengan demikian desensitisasi adalah proses menjadi sensitive terhadap suatu
perangsang (Chaplin).
Desensitisasi adalah proses membukakan konseli untuk meningkatkan
jumlah rangsangan yang bersifat merangsang. Disamping itu mereka juga
menyatakan bahwa desensitisasi adalah metode untuk mengurangi
keresponsifan emosional terhadap rangsangan yang menakutkan atau tidak
menyenangkan dengan mengenalkan suatu aktivitas yang bertentangan dengan
respon yang menakutkan itu. Kadang-kadang proses ini disebut "countra
conditioning". Misalnya takut berbicara di muka kelas dihubungkan dengan
suatu kesenangan yang bertentangan dengan perasaan relaks. Respon yang
tidak menyenangkan (takut) tidak bias dialami jika ada respon yang senang
(relaksasi) (Brammer dan Shostrom).
Wolpe mengajukan argument bahwa tingkah laku neurotik adalah
ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons kecemasan bisa dihapus oleh
penemuan respon-respon yang secara inheren berlawanan dengan respons
tersebut. Dengan pengkondisian klasik, kekuatan stimulus penghasil
kecemasan bisa dilemahkan, dan gejala kecemasan bisa dikendalikan dan
dihapus melalui penggantian stimulus.
Desensitisasi Sistematis terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1) melatih
relaksasi otot, 2) menyusun hirearki kecemasan (urutan kecemasan), dan 3)
menghayalkan stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan yang
diimbangi dengan relaksasi.
Desentisisasi sistematik melibatkan teknik-teknik relaksasi untuk melatih
klien untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan
pengalamanpengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau
divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang
sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkat stimulus-
stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan

6
stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus
penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus.
3. Karakteristik Desentisisasi Sistematik
Adapun karakteristik atau ciri-ciri terapeutik teknik desensitisasi
sistematis menurut pendekatan behavioral adalah sebagai berikut.
a. Merupakan suatu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak
menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang berlawanan
(menyenangkan).
b. Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
c. Merupakan perpaduan dari beberapa teknik.

4. Prinsip Desentisisasi Sistematik


Prinsip utama terapi ini ialah penggunaan reinforcement sebagai alat
pengatur pembentukan tingkah laku baru, melalui pendekatan berdasarkan
prinsip-prinsip belajar. Prinsip lainnya adalah ikatan antara stimulus tertentu
dengan respon cemas, dapat diperlemah dengan usaha yang simultan, sehingga
respon cemasnya hilang. Maka klien dapat dikatakan sembuh apabila sudah
mampu merespon terhadap stimulus yang dihadapinya tanpa menimbulkan
masalah baru, atau apabila terbentuk pola baru yang serasi dengan lingkungan
hidupnya.
Desensitisasi sistematik didasarkan pada prinsip kondisioning klasik,
yaitu salah satu teknik/prosedur terapi tingkah laku yang diteliti secara empiris
dan digunakan secara luas untuk mengeliminasi reaksi -reaksi kecemasan yang
terkondisikan dan fobia-fobia.

5. Prosedur Desentisisasi Sistematik


Desensitisasi sistematik menunjukkan prosedur eksperimentaliang yang
dilaksanakan dengan 'reciprocal inhibition' (counter conditioning) dan
'extinction'. Prosedur/teknik ini digunakan terutama bagi reaksi kecemasan dan
penghindaran, meliputi: (1) analisis behavioral dari stimulus yang
menyebabkan kecemasan, (2) dibangunnya suatu hirarki dari situasi penghasil
kecemasan, kemudian (3) relaksasi diajarkan dan dipasangkan dengan
skenario yang dihayalkan. Stimulus yang disajikan kepada klien bisa melalui
imajinasi atau sebaliknya melalui in vivo (real-life exposure).

7
Situasinya dikemukakan dalam suatu urutan-urutan yang berangkat dari
yang paling ringan sampai kepada yang paling mengancam. Stimulus yang
menghasilkan kecemasan berkali-kali dipasangkan dengan latihan bersantai
sampai hubungan antara stimulus-stimulus dan respon terhadap kecemasan itu
terhapus (Wolpe, 1958, 1969).
Dalam Corey (2009), prosedur model desentisisasi sistematik adalah
sebagai berikut.
a. Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas
stimulus-stimulus yang dapat membangkitkan kecemasan ujian.
Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan konseli
dalam area tertentu.
b. Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang menyebabkan
konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara
hirarkis. Konselor menyusun suatu daftar yang bertingkat mengenai
situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau
penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang
membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah hingga situasi
yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh konseli.
c. Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau santai.
Latihan ini dilakukan melalui suatu prosedur khusus yang disebut
relaksasi yang berupaya mengkondisikan konseli dalam keadaan santai
penuh. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama konseli diberi
latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengendoran
otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh.
Sebelum latihan relaksasi dimulai, konseli diberitahu tentang cara
relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-
bagian tubuh tertentu.
d. Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik
yang dapat menghambat perasaan cemas. Latihan relaksasi berdasarkan
teknik yang digariskan oleh Jacobson dan diuraikan secara rinci oleh
Wolpe. Pemikiran dan pembayangan (imagery) situasi-situasi yang
membuat santai seperti duduk di pinggir danau atau berjalan-jalan di
taman yang indah sering digunakan. Hal yang penting adalah bahwa
konseli mencapai keadaan tenang dan damai. Konseli diajari bagaimana

8
mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh dengan titik berat pada
otototot wajah. Otot-otot tangan terlebih dahulu, diikuti oleh kepala, leher
dan pundak, punggung, perut, dada dan kemudian anggta-anggota badan
bagian bawah. Konseli diminta untuk mempraktekkan relaksasi di luar
pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila
konseli telah dapat belajar untuk santai dengan cepat, maka
prosedurdesensitisasi dapat dimulai.
e. Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis. Proses desensitisasi
melibatkan keadaan di mana konseli sepenuhnya santai dengan mata
tertutup. Pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli agar
mencapai keadaan rileks. Setelah konseli dapat mencapai keadaan rileks,
konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara berurutan dari atas ke
bawah situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas sebagaimana
tersusun dalam hirearki dan meminta konseli untuk membayangkannya.
Konselor menceritakan serangkaian situasi dan meminta konseli untuk
membayangkan dirinya berada dalam situasi yang diceritakan oleh
konselor tersebut. Situasi yang netral diungkapkan, dan konseli diminta
untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi didalamnya. Jika
konseli mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan
situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
Konselor bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat
sampai konseli menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada
saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai
lagi, dan konseli kembali membayangkan dirinya berada dalam situasi-
situasi yang diungkapkan konselor. Treatmen diangggap selesai apabila
konseli mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang
sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan. Jika
konseli dapat membayangkan situasi tersebut tanpa mengalami
kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya dan ini terus
dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi dalam hirarki
telah disajikan dan kecemasan bias dihilangkan. Jika dengan sikap santai
tidak cukup, maka konselor dapat mengulangi dengan cara meminta
membayangkan situasi lain yang menyenangkan ketika ia menyajikan
situasi yang menimbulkan perasaan cemas. (Sri Rejeki, 2015)

9
6. Kelebihan dan Kekurangan Desensitisasi Sistematis
a. Kelebihan teknik desensitisasi sistematis
Fauzan menjelaskan bahwa teknik desensitisasi sistematis memiliki
kelebihan yaitu diantaranya:
1) Mengurangi maladaptasi kecemasan seperti fobia namun juga dapat
diterapkan pada masalah lain.
2) Dapat melemahkan atau mengurangi perilaku negatifnya atau
menghilangkannya.
3) Konseli mampu mengaplikasikan teknik ini dalam kehidupan sehari-
hari tanpa harus adanya konselor yang memandu.
4) Menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif kemudian
menyertakan perilaku baru yang berlawanan dengan tingkah laku
yang ingin dihilangkan.
b. Kekurangan teknik desensitisasi sistematis
Wolpe mengatakan teknik desensitisasi sistematis dapat menyebabkan
kegagalan dalam pelaksanaannya, yaitu :
1) Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi yang bisa menjadi kesulitan dalam
berkomunikasi antara konselor dengan konseli.
2) Ketidak memadai dalam membayangkankan atau imajinasinya.
Dari penjelasan di atas bahwa kegagalan dalam pelaksanaan teknik
desensitisasi sistematis disebabkan karena kurangnya komunikasi antara
konselor dengan konseli. Kemudian kesulitan konseli dalam membayangkan
keadaan yang bisa menghilangkan kecemasan dan hirarki kecemasan yang
disusun kurang relevan. Hal ini dapat menghambat teratasinya atau
menghilangnya rasa kecemasan yang dialami oleh seseorang. (ALMA, 2021)

C. Temuan Joseph Wolpe

Wolpe mengembangkan Unit Subyektif Skala Gangguan (SUDS) untuk


menilai tingkat ketidaknyamanan subjektif atau rasa sakit psikologis. Dia juga
menciptakan Skala Kecemasan Subjektif (SAS) dan Rencana Survei Ketakutan
yang digunakan dalam penelitian dan terapi perilaku Wolpe meninggal pada tahun
1997 karena mesothelioma. (Joseph Wolpe, n.d.)

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Desentisisasi sistematik dikembangkan oleh Joseph Wolpe dalam tradisi


behavioristik. Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan
perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggunakan aktivitas yang
berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh
proses treatment ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang
kurang beralasan dan respon yang sering dijadikan pengganti atas kecemasan
tersebut adalah relaksasi atau perenungan.
2) Wolpe mengajukan argument bahwa tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari
kecemasan dan bahwa respons kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respon-
respon yang secara inheren berlawanan dengan respons tersebut. Dengan
pengkondisian klasik, kekuatan stimulus penghasil kecemasan bisa dilemahkan,
dan gejala kecemasan bisa dikendalikan dan dihapus melalui penggantian
stimulus. Desensitisasi Sistematis terdiri dari tiga tahap, yiatu : 1) melatih
relaksasi otot, 2) menyusun hirearki kecemasan (urutan kecemasan), dan 3)
menghayalkan stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan yang diimbangi
dengan relaksasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

ALMA, R. N. (2021). PENGGUNAAN TEKNIK DESENSITISASI SISTEMATIS


DALAM MENGURANGI KECEMASAN BELAJAR TERHADAP PESERTA
DIDIK DI SEKOLAH MENENGAH ATAS TRI SUKSES NATAR LAMPUNG
SELATAN TAHUN AJARAN 2020/2021. UIN Raden Intan Lampung.

Joseph Wolpe. (n.d.). Wikipedia.


https://en.m.wikipedia.org/wiki/Joseph_Wolpe#:~:text=Joseph Wolpe

Sri Rejeki, R. (2015). Desentisisasi Sistematis.


https://www.scribd.com/document/266010044/Desensitisasi-Sistematis

yes, therapy helps. (2022). Joseph Wolpe: biografi penemu desensitisasi sistematis.
https://id.yestherapyhelps.com/joseph-wolpe-biography-of-the-inventor-of-
systematic-desensitization-13683

12

Anda mungkin juga menyukai