Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

TEORI BELAJAR MATEMATIKA

BEHAVIORISTIK

Oleh Kelompok 4

1. Nur Windyah Hasan 15030174040


2. Utari Nur Masita M 16030174007
3. Risa Liawati 16030174009
4. Hafizh Sulthon Rohmadi 16030174018
5. Elfrida Rifatul Chusniah 16030174041
6. Wanda Ika Narianti 16030174078

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN MATEMATIKA

2016/2017

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan akal dan
pikiran kepada manusia dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang berfikir, sehingga
kita mampu mengemban misi amanah kekhalifahan di dunia ini, serta menyelamatkan diri
dan umat.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Qudwah kita Nabi Muhammad saw
yang telah membimbing manusia menuju alam kedamaian, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-
Hadits, keluarga beliau, sahabat-sahabat serta orang yang istiqamah mengikuti jalan mereka
dengan ahsan.
Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada bapak mata kuliah Teori Belajar
yang telah memberikan kami kesempatan untuk memyelesaikan dan mempersentasikan
makalah yang berjudul Teori Belajar Behavioristik di hadapan teman-teman.
Makalah ini tidak dapat terselesaikan tidak lain karena dari berbagai pihak, oleh
karenanya kami ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Ismail dan umumnya kepada
rekan-rekan yang telah membantu baik berupa moril maupun materil.
Kami menyadari dalam penyelesaian makalah ini masih terdapat banyak kesalahan,
oleh karenanya kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dari
berbagai pihak, untuk memperbaiki segala kekurangannya.

Surabaya, 14 Februari 2017


Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................2


DAFTAR ISI.................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN TEORI PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK ..................5
BAB III PENUTUP ........................................................................................................27
DAFTAR KEPUSTAKA ................................................................................................ 28

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun
terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi
prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan
pendidikan. Teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-
model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak ditemukan teori belajar yang menitik
beratkan pada perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran
dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain,
pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang individu
berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman dengan satu cara yang
berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.
1.2. Perumusan Masalah
Karena pembahasan tentang teori behaviorisme sangat luas, maka pada pembahasan makalah
ini penulis akan menitik beratkan pada poin-poin dibawah ini:
1. Apa pengertian teori belajar behaviorisme dan kognitivisme?
2. Apa saja ciri-ciri teori belajar behaviorisme dan kognitivisme?
3. Siapakah tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar behaviorisme dan
kognitivisme?

4
BAB II

PEMBAHASAN

1) Teori Belajar Pavlov dan Aplikasinya


a. Teori belajar Pavlov (Conditioning theory)

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan.

Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau
sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov
dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala
kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.

b. Eksperimen Pavlov:

5
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:

1. Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka
secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).

2. Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.

3. Gambar ketiga.Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan


(UCS) setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan
mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan.

4. Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka


ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom
anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).

Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi
bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan
makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar
bunyi bel.

Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan
stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini
disebut dengan extinction atau penghapusan.

Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan


penghapusan sebagai berikut:

1. Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui


kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan
2. Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral
dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah
stimulus netral yang di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.

6
3. Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau
dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur
4. Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari
penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi
bel dengan makanan.
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak
lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya
proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan
dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang
berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah
karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks,
yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat
dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-keluar air liur karena
menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.
c. . Hukum-hukum belajar Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya :

 Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
 Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun

d. Aplikasi teori Pavlov

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov adalah
ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:

1. Mementingkan pengaruh lingkungan.


2. Mementingkan bagian-bagian.Mementingkan peranan reaksi.
3. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon.

7
4. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
5. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan.
6. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan

Contoh : Aplikasi teori pengkondisian klasik dalam pembelajaran matematika di sekolah,


sebagai berikut:

Guru mengidentifikasi hal-hal yang membuat siswa termotivasi untuk mengerjakan soal-soal
matematika, misalnya: Siswa akan senang diberikan hadiah (reward). Berdasarkan contoh di
atas, dapat dijabarkan beberapa unsur dalam pengkondisian klasik, yaitu:

1. US : hadiah (reward)
2. UR : siswa menjadi semangat dan tertarik ketika diberi hadiah
3. NS : soal-soal matematika
4. NCS : Siswa tidak tertarik untuk mengerjakan soal
5. CS : hadiah diberikan setelah siswa mengerjakan soal-soal matematika

Maka pengkondisiannya dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Sebelum dikondisikan, jika siswa diberikan stimulus yang tidak dikondisikan [US]
berupa hadiah maka respon yang tidak dikondisikan [UR] adalah siswa menjadi
senang lebih bersemangat dan gembira.
2. Sebelum dikondisikan, jika siswa diberikan suatu stimulus baru yang disebut Neutral
Stimulus yaitu soal-soal matematika [NS] maka tidak akan muncul respon dari siswa
berupa kesenangan serta ketertarika untuk mengerjakan soal.
3. Selama pengkondisian [CS], apabila siswa mau mengerjakan soal matematika [NS]
maka siswa akan diberikan hadiah [US] sehingga siswa akan merasa senang dan
tertarik untuk mengerjakan soal-soal matematika. Hal ini dilakukan berulang-ulang
sehingga akan membentuk kondisi pembiasaan pada siswa. Jika hal ini dilakukan
berulang-ulang maka siswa akan terbiasa dengan ketika mengerjakan soal akan
mendapatkan hadiah [CS].
4. Setelah pengkondisian, ketika siswa diberikan soal berupa stimulus penkondisian
[CS] tanpa diberikan hadiah [US] maka siswa akan merasa senang dan tertarik untuk
mengerjakan soal-soal tersebut [CR].

8
e. Kelebihan

Cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti : kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan dan
sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru dan senang dengan bentuk- bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.

f. Kekurangan

Proses pembelajaran sangat tidak menyenangkan bagi siswa karena guru sebagai sentral,
bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang
harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, Perlu motivasi dari luar, dan sangat
dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan dengan tertib
penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai belajar yang
efektif. Guru tidak memperhatikan individual-differences.

g. Konsep Teoritis Utama Pengkondisian Klasik

Hergenhahn dan Olson (2008:189-192) menjelaskan beberapa konsep teoritis utama


penkondisian klasik yang dikemukakan oleh Pavlov, yakni:

1. Eksitasi (Kegairahan) dan Hambatan


Dua proses dasar yang mengatur semua aktifitas sistem saraf sentral adalah
kegairahan dan hambatan. Setiap kejadian di lingkungan berhubungan dengan
beberapa titik di otak dan saat kejadian itu dialami, ia cenderung menggairahkan atau
menghambat aktivitas otak, Jadi, otak terus-menerus dirangsang atau dihambat,
tergantung dari apa yang dialami oleh organisme, Pola eksitasi dan hambatan yang
menjadi karakteristik otak disebut cortical mozaik (mosaik kortikal), Mosaik kortikal
pada suatu momen akan menetukan bagaimana organisme merespon lingkungan.
Setelah lingkungan eksternal atau internal berubah, mosaik kortikal akan berubah dan
perilaku juga berubah.
2. Stereotip Dinamis
Ketika kejadian terjadi secara konsisten dalam suatu lingkungan, mereka akan
memiliki representasi neurologis dan respon terhadap mereka akan lebih mungkin

9
terjadi dan lebih efisien. Jadi, respon terhadap lingkungan yang sudah dikenal akan
makin cepat dan otomatis.

3. Iradiasi dan Konsetrasi


Irradiation of excitation (iradiasi eksitasi) adalah respon otak akibat proyeksi suatu
informasi sensori (indrawi). Suatu informasi sensori merupakan hasil analisis reseptor
indrawi (jalur sensosi dari reseptor ke otak). Sementara itu, concentration
(konsentrasi) sebuah proses yang berlawanan dengan iradiasi, mengatur eksitasi dan
hambatan. Pavlov menjelaskan bahwa proses iradiasi dipakai untuk menjelaskan
generalisasi, sedangakan konsetrasi dipakai untuk menjelaskan diskriminasi,

4. Pengkondisian Eksitatoris dan Inhibitoris


Pavlov mengidentifikasi dua tipe umum pengkondisian yakni, exictatory
conditioning (excitatoris) dan conditional inhibition (inhibitoris). Eksitatoris akan
tampak ketika pasangan CS-US menimbulkan suatu respon, dan inhibitoris tampak
ketika training CS menghambat atau menekan suatu respon.

2) Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner

Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli


konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara
komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui
interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu terlebih
dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respons
yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai
akibat dari respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental
sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Dari semua pendukung teori behavioristik,teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul,

10
dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-
respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-
program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
a) Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu
penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan
negative.
b) Penguatan positif (positive reninforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu
respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan.
Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh stimulus menyenangkan.
Contoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat rangking satu akan diberi
hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin
belajar sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah
pemberian sepeda.
c) Penguatan negatif (negative reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu
respon akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang tidak menyenangkan yang
ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan
penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik sering bertanya dan
guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru
sehingga peserta didik akan sering bertanya. Jadi, perilaku yang ingin diulangi atau
ditingkatkan adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin
dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya
karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
d) Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu
perilaku. Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena
diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang berperilaku
mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus
yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan adalah perilaku
mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak menyenangkan atau
hukuman).

Perbedaan antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada perilaku yang
ditimbulkan. Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan

11
(kritik) untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman,
pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan perilaku yang
tidak diharapkan (perilaku mencontek).
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik
1. Kelebihan Teori Behavioristik
Kelebihan teori behaviorisme adalah sebagai berikut:
a) Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru
dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.
b) Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
2. Kelemahan Teori Behavioristik
Kelemahan teori behaviorisme adalah sebagai berikut:
a) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning),
bersifatmekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
b) Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa
yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori skinner) baik
hukuman verbal maupun fisik seperti kata-kata kasar, ejekan, jeweran yang justru
berakibat buruk pada siswa. Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang
belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner
hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon
yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi
respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-
konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi
munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku
seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan
lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai

12
alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah.
Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

3) Teori Belajar dari John Broades Watson


John Broades Watson dilahirkan di Greenville pada tanggal 9 Januari 1878 dan wafat di New York
City pada tanggal 25 September 1958.Ia mempelajari ilmu filsafat di University of Chicago dan
memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1903 dengan disertasi berjudul “Animal Education”. Watson
dikenal sebagai ilmuwan yang banyak melakukan penyelidikan tentang psikologi binatang.
Pada tahun 1908 ia menjadi profesor dalam psikologi eksperimenal dan psikologi komparatif di John
Hopkins University di Baltimore dan sekaligus menjadi direktur laboratorium psikologi di universitas
tersebut. Antara tahun 1920-1945 ia meninggalkan universitas dan bekerja dalam bidang psikologi
konsumen.

John Watson dikenal sebagai pendiri aliran behaviorisme di Amerika Serikat. Karyanya
yang paling dikenal adalah “Psychology as the Behaviourist view it” (1913). Menurut
Watson dalam beberapa karyanya, psikologi haruslah menjadi ilmu yang obyektif, oleh
karena itu ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya diteliti melalui metode
introspeksi. Watson juga berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang
mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Oleh karena itu, psikologi harus dibatasi dengan ketat
pada penyelidikan-penyelidikan tentang tingkahlaku yang nyata saja. Meskipun banyak kritik
terhadap pendapat Watson, namun harus diakui bahwa peran Watson tetap dianggap penting,
karena melalui dia berkembang metode-metode obyektif dalam psikologi.

Peran Watson dalam bidang pendidikan juga cukup penting. Ia menekankan pentingnya
pendidikan dalam perkembangan tingkahlaku. Ia percaya bahwa dengan memberikan
kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, maka akan dapat membuat seorang anak
mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia bahkan memberikan ucapan yang sangat ekstrim untuk
mendukung pendapatnya tersebut, dengan mengatakan: “Berikan kepada saya sepuluh orang
anak, maka saya akan jadikan ke sepuluh anak itu sesuai dengan kehendak saya”.

B. Pandangan utama Watson

Psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara dengan
ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di dalamnya.
Sejauh ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai natural
science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan bidang kesadaran
sebagai obyek psikologi. Oleh karenanya kesadaran/mind harus dihapus dari ruang lingkup
psikologi.
Beberapa pandangan utama Watson:

13
Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud
dengan stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam
tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari
tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada
yang overt dan covert, learned dan unlearned
Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku
manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Dengan demikian
pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal,
bukan berdasarkan free will.
Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind
mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui
pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Ia hanya
mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini
adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun
dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya
sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak
heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya
waktu behaviorisme justru menjadi populer.]
Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus
menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation,
conditioning, testing, dan verbal reports.
Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai
refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya
ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi
tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang
ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning
respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses
conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert).
Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan pandangannya
yang menolak Thorndike salah.
Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William
James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu

14
digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauhmana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang
menentukan adalah kebutuhan.
Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya
proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses
bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak
bibir atau gesture lainnya.
Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat
dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan
meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada
situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan
kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris
pada eksperimen terkontrol.
C. Teori dan Konsep Behaviorisme dari Watson
Teori belajar S-R (stimulus – respon) yang langsung ini disebut juga dengan
koneksionisme menurut Thorndike, dan behaviorisme menurut Watson, namun dalam
perkembangan besarnya koneksionisme juga dikenal dengan psikologi behavioristik.
Stimulus dan respon (S-R) tersebut memang harus dapat diamati, meskipun perubahan yang
tidak dapat diamati seperti perubahan mental itu penting, namun menurutnya tidak
menjelaskan apakah proses belajar tersebut sudah terjadi apa belum. Dengan asumsi
demikian, dapat diramalkan perubahan apa yang akan terjadi pada anak.
Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok behaviorisme ini memandang
manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku manusia sebagian besar akibat pengaruh
lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang membentuk kepribadian manusia.Behaviorisme
tidak bermaksud mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang manusia
tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Di sini hanya dibicarakan
bahwa perilaku manusia itu sebagai akibat berinteraksi dengan lingkungan, dan pola interaksi
tersebut harus bisa diamati dari luar.
Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai hubungan
langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang ditampilkan oleh
individu. Respons tertentu akan muncul dari individu, jika diberi stimulus dari luar. S
singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari Respons.
Pada umumnya teori belajar yang termasuk ke dalam keluarga besar behaviorisme
memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli di sekitar
lingkungannya. Orang akan bereaksi jika diberi rangsangan oleh lingkungan luarnya.

15
Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup
lama, akan berakibat berubahnya perilaku individu. Misalnya dalam hal kepercayaan
sebagian masyarakat tentang obat-obatan yang diiklankan di televisi. Mereka sudah tahu dan
terbiasa menggunakan obat-obat tertentu yang secara gencar ditayangkan media televisi. Jika
orang sakit maag maka obatnya adalah promag, waisan, mylanta, ataupun obat-obat lain yang
sering diiklankan televisi. Jenis obat lain tidak pernah digunakannya untuk penyakit maag
tadi, padahal mungkin saja secara higienis obat yang tidak tertampilkan, lebih manjur,
misalnya : Syarat terjadinya proses belajar dalam pola hubungan S-R ini adalah adanya
unsur: dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement).
Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi
kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan
tersedianya sejumlah uang untuk membeli buku bacaan tertentu, maka ia terdorong untuk
membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya. Unsur dorongan ini ada
pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama, ada yang kuat menggebu, ada yang lemah
tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus. Unsur ini datang dari luar diri
individu, dan tentu saja berbeda dengan dorongan tadi yang datangnya dari dalam. Contoh
rangsangan antara lain adalah bau masakan yang lezat, rayuan gombal, dan bahkan bisa juga
penampilan seorang gadis cantik dengan bikininya yang ketat.
Dalam dunia aplikasi komunikasi instruksional, rangsangan bisa terjadi, bahkan
diupayakan terjadinya yang ditujukan kepada pihak sasaran agar mereka bereaksi sesuai
dengan yang diharapkan. Dalam kegiatan mengajar ataupun kuliah, di mana banyak
pesertanya yang tidak tertarik atau mengantuk, maka sang komunikator instruksional atau
pengajarnya bisa merangsangnya dengan sejumlah cara yang bisa dilakukan, misalnya
dengan bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy saat ini, atau bisa juga
dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta dalam
belajar.
Dari adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak sasaran atau
komunikan. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi, kondisi, dan
bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang akibat dari adanya
rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam dunia teori belajar ini.
Respons ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif, dan ada pula yang negatif. Yang
positif disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus
yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah

16
apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi
rangsangan.
Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya
dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang merespons. Apabila respons telah benar,
maka diberi penguatan agar individu tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan
respons seperti tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan
kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar oleh kakaknya, maka ia bisa terkejut dan bahkan
bisa menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang anak tadi tidak
mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk di kemudian hari adalah bisa menjadi
trauma untuk mencoreti buku karena takut bentakan. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi
akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya. Itu
penguatan yang salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang
mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak dengan cara
membentak kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain
berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya, “Bagus!, coba kalau
menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus”.
Dengan cara penguatan seperti itu, sang anak tidak merasa dilarang menulis. Itu namanya
penguatan positif. Contoh penguatan positif lagi, setiap anak mendapat ranking bagus di
sekolahnya, orang tuanya memberi hadiah berwisata ke tempat-tempat tertentu yang menarik,
atau setidaknya dipuji oleh orang tuanya, maka anak akan berusaha untuk mempertahankan
rankingnya tadi pada masa yang akan datang.
Ada tiga kelompok model belajar yang sesuai dengan teori belajar behaviorisme ini,
yaitu yang menurut namanya disebut sebagai hubungan stimulus-respons (S-R bond),
pembiasaan tanpapenguatan (conditioning with no reinforcement), dan pembiasaan dengan
penguatan (conditioning through reinforcemant). Ada satu lagi teori belajar yang masih
menganut paham behaviorisme ini adalah teori belajar sosial dari Bandura.
D. Penutup
Penekanan Teori Behviorisme adalah perubahan tingkah laku setelah terjadi proses
belajar dalam diri siswa. Teori Belajar Behavioristik mengandung banyak variasi dalam sudut
pandangan. Pelopor-pelopor pendekatan Behavioristik pada dasarnya berpegang pada
keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan karena
itu, dapat diubah dengan belajar baru. Behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan
tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak
psikologis, yaitu :

17
1. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau
salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi
antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku
yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
2. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri,menangkap apa
yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
3. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola
tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar.
4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi
oleh perilaku orang lain.

4) Teori Belajar Behavioristik Menurut Edward Thorndike


Menurut Thorndike, adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan atau
gerakan / tindakan.
Jadi perubahan tingkah laku akibat belajar dapat berwujud konkrit, yaitu dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan “Teori
Connectionism”.
Dasar-dasar teori Connectionism dari Edward L. Thorndike (1874-1949) diperoleh
juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-
penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu
memecahkan masalah dengan menggunakan “reasoning” atau akal, dan atau dengan
mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar.
Dalam penelitiannya, Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang, yaitu anak
ayam, anjing, ikan, kucing dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang-
binatang tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari
kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban, dan
mekanisme lolos lainnya yang sengaja dirancang. Pada saat dikurung, binatang-binatang

18
tersebut menunjukkan sikap mencakar, menggigit, menggapai dan bahkan memegang /
mengais dinding kandang. Cepat atau lambat, setiap binatang akan membuka pintu atau
menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kandang dan memperoleh makanan.
Pengurungan yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan penurunan frekuensi binatang
tersebut untuk melakukan pencakaran, penggigitan, penggapaian atau pengaisan dinding
kandang, dan tentu saja waktu yang dibutuhkan untuk keluar kandang cenderung menjadi
lebih singkat.
Percobaan Thorndike yang terkenal ialah dengan menggunakan seekor kucing
yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat
dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh.
Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu
bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-
perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru,
selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi. Dalam percobaan tersebut
apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya
dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh
kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan.
Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12
kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan
makanan.

Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respon untuk keluar


kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus
dalam suatu proses coba-coba (“trial and error”). Respon yang benar secara bertahap
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respon yang tidak benar melemah
atau menghilang. Teori Connectionism Thorndike ini juga dikenal dengan nama
“Instrumental Conditioning”, karena respon tertentu akan dipilih sebagai instrumen dalam
memperoleh “reward” atau hasil yang memuaskan.
Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu :
1. Law Of Effect (Dalil / Hukum Sebab Akibat)
Dalil / hukum ini menunjukkan kuat lemahnya hubungan stimulus dan respon
tergantung kepada akibat yang ditimbulkan. Apabila respon yang ditimbulkan mendatangkan
kesenangan, maka respon tersebut akan dipertahankan atau diulang ; sebaliknya jika respon

19
yang ditimbulkan adalah hal yang tidak menyenangkan, maka respon tersebut dihentikan atau
tidak diulang lagi.
2. Law Of Exercise (Dalil / Hukum Latihan Atau Pembiasaan)
Dalil / hukum ini menunjukkan bahwa stimulus dan respon akan semakin kuat manakala
terus menerus dilatih atau diulang ; sebaliknya hubungan stimulus dan respon akan semakin
melemah jika tidak pernah dilatih atau dilakukan pengulangan.
3. Law Of Readiness (Dalil / Hukum Kesiapan)
Menurut dalil / hukum ini, hubungan antara stimulus dan respon akan mudah
terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Jika seorang ada kesiapan untuk
merespon atau bertindak, maka tindakan yang dilakukan akan memberi kepuasan dan
mengakibatkan orang tersebut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan lain.
Dari sekian banyak penelitian yang dilakukan, Thorndike lalu menyimpulkan tentang
pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan
proses “transfer of learning” atau perampat proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa
latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan
membantu penguasaan atau proses belajar seorang terhadap konsep lain yang sejenis atau
mirip (associative sbifting). Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori
belajar yang pertama.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a. Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response)
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang
menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum Sikap ( Set/ Attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri
individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.

c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element)


Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada
stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon
selektif).

20
d. Hukum Respon by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang
belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang
belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau
perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama
maka transfer akan makin mudah.
e. Hukum Perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang
belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit
unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya


thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup
untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa
pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2. Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat
positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak
berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi
adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada
individu lain.

Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan


yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-
nya. Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau
melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila
anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan
dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama
dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada

21
binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari
apa yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).

Kelebihan dan Kekurangan Teori Thorndike


Kelebihan Teori Thorndike
Kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan anak untuk berfikir linier. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa anak
menuju atau mencapai target tertentu.
Kekurangan Teori Thorndike
Teori ini sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab
banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak
dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan
tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus
yang diberikan dengan responnya

5) Teori Belajar Menurut Robert M. Gagne


Teori Behavioristik adalah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori Edward Thorndike disebut “Teori Connectionism”. Menurut Thorndike, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respons.
Kelebihan dari Teori Thorndike cenderung mengarahkan anak untuk berfikir linier.
Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu
membawa anak menuju atau mencapai target tertentu. Dan kekurangan dari Teori Thorndike
tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan
respon.
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat
bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar
pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan indiviu seseorang
meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial. Berbagai
lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang dan
selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu
bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan

22
mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan
sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap
meskipun hanya sementara.
Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi stimulus,
dan responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi. Selanjutnya, Gagne
juga mengemukakan tentang sistematika delapan tipe belajar, sistematika lima jenis belajar,
fase-fase belajar, implikasi dalam pembelajaran, serta aplikasi dalam pembelajaran.

A. Sistematika ”Delapan TipeBelajar”


Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:
1. Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama dengan apa yang dikemukakan oleh Pavlov.
Semua jawaban/respons menurut kepada tanda/sinyal.
2. Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning)
Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya respons juga
karena adanya dorongan yang datang dari dalam serta adanya penguatan sehingga seseorang
mau melakukan sesuatu secara berulang-ulang.
3. Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan stimulus-respons, maksudnya adalah bahwa
suatu respons pada gilirannya akan menjadi stimulus baru dan selanjutnya akan menimbulkan
respons baru.
4. Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning)
Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya yaitu
memberikan reaksi verbal pada stimulus/perangsang.
5. Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antar objek-objek
yang terdapat dalm lingkungan fisik.

6. Tipe belajar konsep (Concept Learning)


Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman atau
pengertian tentang suatu yang mendasar.

23
7. Tipe belajar kaidah (RuleLearning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan beberapa
konsep.
8. Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan
suatu permasalahan.

B. Sistematika “Lima Jenis Belajar”


Sistematika ini tidak jauh berbeda dengan sistematika delapan tipe belajar, dimana isinya
merupakan bentuk penyederhanaan dari sistematika delapan tipe belajar. Uraian tentang
sistematika lima jenis belajar ini memperhatikan pada hasil belajar yang diperoleh siswa.
Hasil belajar ini merupakan kemampuan internal yang telah menjadi milik pribadi seseorang
dan memungkinkan orang tersebut melakukan sesuatu yang dapat memberikan ptrestasi
tertentu.
Sistematika ini mencakup semua hasil belajar yang dapat diperoleh, namun tidak
menunjukkan setiap hasil belajar atau kemampuan internal satu-persatu. Akan tetapi
memgelompokkan hasil-hasil belajar yang memiliki ciri-ciri sama dalam satu kategori dan
berbeda sifatnya dari kategori lain. Maka dapat dikatakan, bahwa sistematika Gagne meliputi
lima kategori hasil belajar. Kelima kategori hasil belajar tersebut adalah informasi verbal,
kemahiran intelektual, pengaturan kegiatan kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.
1. Informasi verbal (Verbal information)
Merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam
bentuk bahasa, lisan, dan tertulis. Pengetahuan tersebut diperoleh dari sumber yang juga
menggunakan bahasa, lisan maupun tertulis. Informasi verbal meliputi ”cap verbal” dan
”data/fakta”. Cap verbal yaitu kata yang dimiliki seseorang untuk menunjuk pada obyek-
obyek yang dihadapi, misalnya ’kursi’. Data/fakta adalah kenyataan yang diketahui, misalnya
’Ibukota negara Indonesia adalah Jakarta’.
2. Kemahiran intelektual (Intellectual skill)
Yang dimaksud adalah kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya
sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol
(huruf, angka, kata, dan gambar). Kategori kemahiran intelektual terbagi lagi atas empat
subkemampuan, yaitu:
a. Diskriminasi jamak, yaitu kemampuan seseorang dalam mendeskripsikan benda yang
dilihatnya.

24
b. Konsep, ialah satuan arti yang mewakili sejumlah obyek yang memiliki ciri-ciri sama.
Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep
konkret adalah pengertian yang menunjuk pada obyek-obyek dalam lingkungan fisik.
Konsep yang didefinisiskan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi tidak
langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik.
c. Kaidah, yaitu kemampuan seseorang untuk menggabungkan dua konsep atau lebih
sehingga dapat memahami pengertiannya.
d. Prinsip. Dalam prinsip telah terjadi kombinasi dari beberapa kaidah, sehingga
terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi dan lebih kompleks. Berdasarkan
prinsip tersebut, seseorang mampu memecahkan suatu permasalahan, dan kemudian
menerapkan prinsip tersebut pada permasalahan yang sejenis.
3. Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)
Merupakan suatu cara seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan berpikirnya
sendiri, sehingga ia menggunakan cara yang sama apabila menemukan kesulitan yang sama.
4. Keterampilan motorik (Motor skill)
Adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani
dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota
badan secara terpadu.
5. Sikap (Attitude)
Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan sekali dalam mengambil
tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

C. Fase-Fase Belajar
Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah fase
dalam proses belajar, yaitu:
1. Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada beberapa
langkah. Pertama timbulnya perhatian, kemudian penerimaan, dan terakhir adalah pencatatan
(dicatat dalam jiwa tentang apa yang sudah diterimanya).

2. Fase penguasaan (Acquisition phase)


Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau belum. Orang
yang telah belajar akan dapat dibuktikannya dengan memperlihatkan adanya perubahan pada
kemampuan atau sikapnya.

25
3. Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang sehingga dapat
digunakan bila diperlukan. Fase ini berhubungan dengan ingatan dan kenangan.
4. Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud
untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan. Jika kita akan menggunakan apa
yang disimpan, maka kita harus mengeluarkannya dari tempat penyimpanan tersebut, dan
inilah yang disebut dengan pengungkapan kembali. Fase ini meliputi penyadaran akan apa
yang telah dipelajari dan dimiliki, serta mengungkapkannya dengan kata-kata (verbal) apa
yang telah dimiliki tidak berubah-ubah.
Menurut Gagne, fase pertama dan kedua merupakan stimulus, dimana terjadinya proses
belajar,sedangkan pada fase ketiga dan keempat merupakan hasil belajar.

D. Implikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran


1. Mengontrol perhatian siswa.
2. Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.
3. Merangsang dan mengingatkan kembali kemampuan-kemampuan siswa.
4. Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.
5. Memberikan bimbingan belajar.
6. Memberikan umpan balik.
7. Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah
dicapainya.
8. Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.
9. Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan kemampuan
yang baru diberikan.

E. Aplikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran


Karakteristik materi matematika yang berjenjang (hirarkis) memerlukan cara
belajar yang berjenjang pula. Untuk memahami suatu konsep dan/atau rumus matematika
yang lebih tinggi, diperlukan pemahaman yang memadai terhadap konsep dan/atau rumus
yang ada di bawahnya.

26
BAB III
PENUTUP

Behavioristik merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek–aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Menurut teori ini, peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Refleks yang bisa meberikan respons
kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar
dalam berperilaku. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetic, yang menuntut
pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk
laporan, kuis, atau tes.
Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya terhadap Teori Belajar Behavioristik.
a. Pavlov : Classic Conditioning
b. Skinner : Operant conditioning
c. Edwin Gut hrie : Conditioni
d. Watson : Conditioning
e. Thorndike : koneksionisme.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia.

27
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Psikologi Belajar, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2004
B. Uno, Hamzah, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta : PT Bumi Aksara,
2006
Bambang warsita, Teknologi pembelajaran, Rineka cipta, 2008.
Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
Kamalfachri, “Teori Behavioristik”, dalam Website file:///H:/Teori behavioristik dan Permaslahan/Kamalfachri.
Weblog.htm, data diakses pada tanggal 2 Juni 2011.
Gage, N.L., & Berliner, D. Educational Psychology, 1979.
Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan
behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara
Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius, 1993.
Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Pranada Media Group, 2009
Skinner, The Behavior of Organism, 1989.
Slavin, Belajar dan Pembelajaran, 2000.
Sukardjo, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2009
Yamin, Martinis, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Gaung Persada Press, 2011

28

Anda mungkin juga menyukai