Anda di halaman 1dari 22

TEORI BEHAVIORISTIK DALAM PEMBELAJARAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah : Teori Belajar dan Pembelajaran
Dose Pengampu : Susilawati, S.Pd

Disusun Oleh :
Shinta Izatul Lailah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-BAHJAH


PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
MATA KULIAH TEORI BILANGAN
2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim..
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh..

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Teori Behavioristik. Adapun makalah ini kami
buat untuk memenuhi tugas Teori Belajar dan Pembelajaran dan juga untuk
menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman pada dunia pendidikan terkhusus
dalam pendidikan.
Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. Serta tidak lupa juga kami ucapkan
terima kasih atas bimbingannya kepada Dosen Mata Kuliah Teori Belajar dan
Pembelajaran, Ibu Susilawati S.Pd. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan
dan kesalahan dalam penulisan kata-kata dalam makalah kami, seperti kata
pepatah “tak ada gading yang tak retak”.
Penulis mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat bagi mahasiswa khususnya dan para pembaca umumnya. Akhirnya
kepada semua pihak yang ikut membantu penyelesaian maklah ini, kami
mengucapkan terima kasih. Kritik dan saran yang mendukung sangat kami
harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT
memberi petunjuk kepada penulis. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Hormat kami, 15 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
ABSTRAK...........................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................5
A. Latar Belakang......................................................................................5
B. Rumusan Masalah..................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN......................................................................................6
A. TEORI BELAJAR BEHAVIORISME..................................................6
B. PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME..........................................18
C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BEHAVIORISME....18
BAB 3 PENUTUP.............................................................................................20
A. KESIMPULAN....................................................................................20
B. KRITIK DAN SARAN........................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................22

3
ABSTRAK

Makalah yang kami buat ini membahas tentang teori behavioristik,


penerapan dalam pembelajaran, kelebihan dan kekurangan teori behavioristik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teori belajar behavioristik menurut para
ahli, mengetahui kelebihan dan kekurangan teori behavioristik serta dapat
memahami dan mengetahui penerapan teori behavioristik dalam proses
pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode Library Research yaitu dalam
proses pengumpulan data dengan mencari koleksi literatur. Teori behavioristik
muncul pada tahun 1960an dan 1970an oleh Thorndike, Pavlov dan Skinner.
Teori behavioristik menekankan perilaku peserta didik sebagai bukti telah
mengikuti proses pembelajaran. Belajar adalah interaksi antara stimulus dan
respon. Teori behavioristik mempunyai kelebihan dalam membiasakan siswa
untuk teliti, mandiri, dan berpikir kritis. Sedangkan kekurangan teori behavioristik
adalah terbatasnya produktivitas dan imajinasi siswa, siswa bersifat pasif, dan
berpotensi menimbulkan hukuman baik verbal maupun fisik.
Secara umum kegiatan pembelajaran berdasarkan teori behavioristik
harus melalui langkah-langkah pembelajaran, antara lain menentukan tujuan
pembelajaran, menganalisis lingkungan kelas, menentukan materi pembelajaran,
membagi materi pembelajaran menjadi bagian-bagian kecil, menyajikan materi,
memberikan stimulus, mengamati respon siswa, memberikan penguatan,
memberikan rangsangan baru, pemberian hukuman, dan evaluasi proses belajar.

Kata Kunci : teori, behavioristik, pembelajaran, kelebihan, kekurangan.

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang makalah ini adalah karena penulis ingin mencoba


mengumpulkan informasi terkait teori behavioristic, dan penerapannya
dalam pembelajaran, serta kelebihan dan kekur angan dari teori tersebut.
Sehingga dalam proses belajar mengalami kemudahan dan kelancaran,
serta menjadikan peserta didik lebih memahami materi yang disampaikan
oleh pengajar. Melihat begitu pentingnya kita mengetahui teori belajar
dalam pembelajaran disekolah atau dimanapun, maka pada makalah kali
ini akan dibuat tentang teori behavioristik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang disebut dengan teori behavioristik?
2. Bagaimana penerapan teori behavioristik dalam pembelajaran?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari teori behavioristik?

C. Tujuan
1. Untuk memahami tetang teori behavioristik
2. Untuk memahami penerapan teori behavioristik dalam
pembelajaran
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori behavioristik

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. TEORI BELAJAR BEHAVIORISME


Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti
aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas
proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara
ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan
mental. Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar
adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi
perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam
diri orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe
stimulus. Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan
Pavlov dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang
dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike dengan teorinya
Law of Efect, dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant
conditioning.

 Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut classical conditioning Teori


Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia.
Ia menemukan Classical Conditioning di dekade 1890-an. Namun karena
pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya dalam edisi bahasa
Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity
of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut
klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula
yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan,
untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya
Skinner.
a. Percobaan Pavlov Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning
ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu
Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses

6
pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing
eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di
waktu makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama
beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima
makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti
pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut
dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama.
Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing
untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum
conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut)
secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian
(mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian,
peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada
anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena
pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur.
Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-
makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan
anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar
mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi
stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut
respons dengan pengkondisian.
b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov Menindaklanjuti temuannya
sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil mengidentifikasi empat
proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian), extinction
(eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan
discrimination (diskriminasi).
1) Fase Akuisisi Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari
respons kondisi—sebagai contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air
liur karena pengkondisian suara lonceng. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning

7
terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi (suara lonceng)
mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu
setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan
respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang
lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika
stimulus kondisi mengikuti stimulus utama, sebagai contoh, jika
anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—conditioning
jarang terjadi.
2) Fase Eliminasi Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan
kondisi tidaklah diperlukan secara permanen. Istilah extinction
(eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi
dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama.
Jika seekor anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena
adanya suara lonceng, peneliti dapat secara berangsur-angsur
menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi
lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3) Generalisasi Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi
dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli
yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit oleh
seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada
anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar.
Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens
biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang intens. Sebagai
contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap
anjing yang lebih kecil.
4) Diskriminasi Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi,
yaitu ketika seorang individu belajar menghasilkan respons kondisi
pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama namun
kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan
respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin
memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat
atau terkurung dalam kandang.

8
 John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons)
Teori Stimulus-Respons John Watson Pada tahun 1919, pakar
psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the
Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar psikologi
yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau
berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri. Watson berprinsip
hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk mempelajari kesadaran.
Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap lingkungannya, khususnya
stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut memberikan respons.
Kebanyakan dari karyakarya Watson adalah komparatif yaitu membandingkan
perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan
Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam
menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar
atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar
psikologi S - R
(stimulus-response).
a. Percobaan John Watson Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian
Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin menerapkan classical
conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa
personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita
bernama Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap
tikus. Ketika balita memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan
tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras
sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun,
balita menjadi takut terhadap tikus.
b. Kesimpulan Watson. Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara
etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa
manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak
menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman

9
yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen
tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan
beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional
dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu.
Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning
dapat menjelaskan beberapa respons emosional —seperti kebahagiaan,
kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut
mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki
pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar
merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut.
Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di
dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di
sampul surat kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya
persahabatan. Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning
untuk merawat fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya
seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap
objekobjek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan
objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-
ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi
stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek
tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk pecandu alkohol, penderita
meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras
tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan
sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti
meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung
individunya dan problematika yang dihadapinya.

 Edward Thorndike dengan teorinya Law of Efect


Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike Edward
Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak
suka pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia

10
justru berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa
eksperimennya ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian
ternyata merupakan awal munculnya operant conditioning (pengkondisian yang
disadari). Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya
konsekuensi atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut
koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli
tertentu dan perilaku yang disadari.
a. Pecobaan Thorndike Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan,
kera, dan anak ayam. Untuk melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang
baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak
teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti menarik
tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan
tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu
lama untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka.
Namun demikian, pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons
yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan makanan. Ketika Thorndike
memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang,
hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam
waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa
detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b. Kesimpulan Thorndike Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar'
tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan
nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun
melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam
eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau
tidak. Caranya yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk
dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat
langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan
perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan.
Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error

11
dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini
menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten. Didasarkan
atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum
efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang.
Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan
memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia
menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan
hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya
keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori
koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi operant
conditioning (pengkondisian yang disadari).

 B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning


Pengkondisian Disadari B.F. Skinner, Burrhus Frederic "B. F."
Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan. Bercita-cita menjadi
seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis. Namun pada
akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada suatu
saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya
Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia
memutuskan untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh
gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas,
Ia kembali mengajar di almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar
dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip
penting dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan
dan hukuman. Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant
conditioning dapat menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks
sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi
istilah operant conditioning. Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan
binatang, tetapi juga pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar

12
yang ia temukan dengan menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk
perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
a. Percobaan Skinner Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu
beberapa dasa warsa mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati di
dalam ruangan kecil yang kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka
teki Thorndike, kotak Skinner berupa ruangan kosong tempat hewan dapat
memperoleh makanan dengan melakukan respons sederhana, seperti menekan
atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak merekam
semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak
teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang
diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari
kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap
respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3)
operant response (respons yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan,
sehingga seekor hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali
per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih
banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola pemberian
makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
b. Prinsip-prinsip Operant Conditioning Selama lebih 60 tahun dari karirnya,
Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant
conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru
atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah
reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping
(pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan
generalization (generalisasi). 1) Penguatan Reinforcement (penguatan) berarti
proses yang memperkuat perilaku yaitu, memperbesar kesempatan supaya
perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum reinforcement, yaitu
positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner menggambarkan
reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan
menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif
merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan
maupun manusia. Untuk manusia, penguat positif meliputi item-item

13
mendasar seperti makanan, minuman, seks, dan kenyamanan yang bersifat
fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan materi, uang, persahabatan,
cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan sukses karir seseorang. Bergantung
pada situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat perilaku baik
yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan
mau bekerja keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang
mereka terima dari orang tua maupun gurunya karena unjuk kerjanya yang
bagus. Namun demikian, mereka mungkin juga mengganggu kelas, mencoba
melakukan hal-hal yang berbahaya, atau mulai merokok karena perilaku-
perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan penerimaan dari kelompok
sebayanya. Salah satu penguat yang paling umum untuk perilaku manusia
adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama berjam-
jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu,
uang dapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan,
seperti perampokan, penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu
perilaku melalui cara menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan
stimulus yang tidak menyenangkan. Ada dua tipe reinforcement negatif:
mengatasi dan menghindari. Di dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang
melakukan perilaku khusus mengarah pada menghilangkan stimulus yang
tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang dengan sakit kepala
mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya dengan
cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika
terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari), seseorang
melakukan suatu perilaku menghindari akibat yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh, pengemudi kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya
untuk menghindari tabrakan beruntun, pengusaha membayar pajak untuk
menghindari denda dan hukuman, dan siswa mengerjakan pekerjaan
rumahnya untuk menghindari nilai buruk 2) Hukuman Apabila reinforcement
memperkuat perilaku, hukuman memperlemah, mengurangi peluangnya
terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement, ada dua
macam hukuman, positif dan negatif. Hukuman yang positif meliputi

14
mengurangi perilaku dengan memberikan stimulus yang tidak menyenangkan
jika perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan hukuman positif ketika
mereka memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku yang
buruk. Masyarakat menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan
atau memenjarakan seseorang yang melanggar hukum. Hukuman negatif atau
disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan menghilangkan
stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua yang
membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena
perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif.
Kontroversi yang besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman
merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau meniadakan perilaku
yang tidak diinginkan. Eksperimen dalam laboratorium yang sangat hati-hati
membuktikan bahwa, ketika hukuman digunakan dengan bijaksana, ternyata
menjadi metode yang efektif dalam mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa kelemahan.
Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi marah,
agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin
menyembunyikan bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari
situasi buruknya, seperti seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula,
hukuman mungkin mengeliminasi perilaku yang dikehendaki bersamaan
dengan hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang
anak yang dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas kemungkinan
tidak berani lagi tunjuk jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya,
banyak pakar psikologi yang merekomendasikan bahwa hukuman hanya
boleh dilakukan untuk mengontrol perilaku ketika tidak ada alternatif lain
yang lebih realistis. 3) Pembentukan Pembentukan merupakan teknik
penguatan yang digunakan untuk mengajar perilaku hewan atau manusia
yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam cara ini, guru
memulainya dengan penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan
oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah
tingkat kesulitan respons yang dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor
tikus menekan tuas yang terletak di atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-

15
tama memberikan hadiah pada gerakan kepala apapun ke arah atas, kemudian
gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu
menekan tuas. Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini
untuk mengajarkan kemampuan berbicara pada anak-anak dengan
keterbelakangan mental yang parah dengan pertama-tama memberikan hadiah
pada suara apa pun yang mereka keluarkan, dan kemudian secara berangsur
menuntut suara yang semakin menyerupai katakata dari gurunya. Pelatih
binatang di dalam sirkus dan kebun binatang menggunakan shaping ini untuk
mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki belakangnya saja,
harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang berputar ke
arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui
lingkaran. 4) Eliminasi Penguatan Sebagaimana dalam classical conditioning,
respons yang dipelajari di dalam operant conditioning tidak selalu permanen.
Di dalam operant conditioning, extinction (eliminasi kondisi) merupakan
eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan menghentikan penguat dari
perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas karena dengan
melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat penekanannya
pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali jika
makanan tidak lagi diberikan. Pada manusia, menarik kembali penguat akan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua
seringkali memberikan reinforcement negatif sifat marah anak-anak muda
dengan memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan saja kemarahan
anak-anak dengan lebih memberikannya hadiah berupa perhatian tersebut,
frekuensi kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya secara
berangsurangsur akan berkurang. 5) Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning
nyaris sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam
generalisasi, seseorang suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu
situasi dilakukan dalam kesempatan lain namun situasinya sama. Sebagai
misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas ceritanya yang lucu
di suatu bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau resepsi
pernikahan. Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku

16
akan diperkuat dalam suatu situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang
akan belajar bahwa menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam
situasi bisnis yang memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang
tertawa. Stimuli diskriminatif memberikan peringatan bahwa suatu perilaku
sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar menceritakan
leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak orang
(stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak akan
diperkuat merupakan bagian penting dari operant conditioning.
c. Penerapan Operant Conditioning, Operant conditioning memiliki manfaat
praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat memperkuat perilaku
anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada perilaku yang
tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi dan
diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan
akademik yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu.
Perusahaan menggunakan hadiah untuk memperbaiki kehadiran,
produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya. Pakar psikologi
yang disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant
conditioning untuk merawat anak-anak atau orang dewasa yang memiliki
kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku. Terapis perilaku ini
menggunakan teknik shaping untuk mengajar keterampilan bekerja pada
orang-orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental. Mereka
menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar keterampilan merawat
diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit mental yang parah, dan
menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi
perilaku agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi juga
menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat kecenderungan
bunuh diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan, kecanduan obat
terlarang, perilaku nkonsumtif, kelainan perilaku dalam makan, dan masalah
lainnya.

17
B. PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teori belajar


behaviourisme, menurut Hartley dan Davis dalam Soekamto (Yusuf, 2010: 140)
adalah sebagai berikut:

1. Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila pihak sasaran ikut terlibat.
2. Materi-materi pelajaran diberikan dalam unit-unit kecil diatur sehingga sasaran
hanya perlu memberikan respon tertentu.
3. Tiap-tiap respons diberikan umpan balik secara langsung sehingga sasaran
dapat dengan segera mengetahui apakah respons yang diberikan itu benar atau
tidak.
4. Perlu diberi penguatan setiap kali sasaran memberikan respons, terutama
penguatan positif sehingga ia berkeinginan untuk mengulangi kembali respons
yang telah diberikannya Terhadap keempat butir diatas Yusuf (2010:140)
menambahkan:
5. Pelajaran tidak hanya diberikan kepada murid-murid secara materi, tetapi perlu
disertai dengan contoh-contoh bagaimana seorang guru berperilaku sewajarnya
salam memberi teladan bagi murid-muridnya, khususnya pelajaran-pelajaran yang
menyangkut bidang sosial, etika, dan moral. Hal ini akan lebih baik semua
perilakunya sebagaian besar akan dianggap sebagai panutan atau tiruan oleh
murid-muridnya.

C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BEHAVIORISME

 Kelebihan :
1) Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek
dan pembiasaan
Dengan bimbingan yang diberikan secara terus menerus akan membuat peserta
didik paham sehingga mereka bisa menerapkannya dengan baik.

18
2) Materi yang diberikan sangat detail
Hal ini adalah proses memasukkan stimulus yang yang dianggap tepat. Dengan
banyaknya pengetahuan yang diberikan, diharapkan peserta didik memahami dan
mampu mengikuti setiap pembelajarannya.
3) Membangun konsentrasi pikiran
Dalam teori ini adanya penguatan dan hukuman dirasa perlu. Penguatan ini akan
membantu mengaktifkan siswa untuk memperkuat munculnya respon. Hukuman
yang diberikan adalah yang sifatnya membangun sehingga peserta didik mampu
berkonsentrai dengan baik.

 Kekurangan :
1) Pembelajaran peserta didik hanya perpusat pada guru
Peserta didik hanya mendapatkan pembelajaran berdasarkan apa yang diberikan
guru. Mereka tidak diajarkan untuk berkreasi sesuai dengan perkembangannya.
Peserta didik cenderung pasif dan bosan.
2) Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru
Pembelajaran seperti bisa dikatakan pembelajaran model kuno karena
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
Penggunaan hukuman biasanya sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan.
3) Peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi
Karena menurut teori ini belajar merupakan proses pembentukan yang membawa
peserta didik untuk mencapai target tertentu. Apabila teori ini diterapkan terus
menerus tanpa ada cara belajar lain, maka bisa dipastikan mereka akan tertekan,
tidak menyukai guru dan bahkan malas belajar.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Teori belajar behavioristik merupakan suatu bentuk perubahan yang dialami
individu berupa kemampuan dalam bentuk perubahan tingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil dari adanya stimulus dan respon. Teori belajar
behavioristik memiliki ciri-ciri diantaranya adalah mementingkan faktor
lingkungan, perkembangan tingkah laku seseorang itu tergantung pada belajar,
menekankan pada faktor bagian (elemen-elemen dan tidak secara keseluruhan),
sifatnya mekanis atau mementingkan reaksi kebiasaan-kebiasaan, mementingkan
masa lalu atau bertinjauan historis artinya segala tingkah lakunya terbentuk karena
pengalaman dan latihan. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pembelajaran, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajaran untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Metode belajar behavioristik diterapkan untuk melatih dan membimbing anak
yang membutuhkan dorongan dari orangtua, suka meniru, dan suka mengulangi
perilaku setelah mendapatkan reward atau hadiah, dan dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwasanya konsep pembelajaran dalam teori belajar behavioristik
sebagai ajang pelatihan agar terbentukya perilaku yang akibat dari adanya
hubungan stimulus-respon yang terjadi berulang-ulang kali dengan adanya
dukungan hadiah dan hukuman.

20
B. KRITIK DAN SARAN
Pentingnya kita mengetahui teori belajar behaviorisme adalah
pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi
prilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain
dalam diri seseorang.
Kritik dan saran kami harapkan dari dosen pembimbing, agak
makalah selanjutnya bisa kami perbaiki dan lebih baik lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Peri, P. G., & Karimah, R. S. (2022). MEMAHAMI TEORI BELAJAR


BEHAVIORISTIK DAN IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN.
Asaatidzah, 2(1), 90-99.

Elvia, dkk. (2020). IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK


DALAM PEMBELAJARAN

Bahri, Aliem, dkk. (2021). TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN.

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/05/19/kekurangan-dan-kelebihan-
teori-behavioristik-dan-humanistik-2/

Yusuf, Pawit M. 2010. Komunikasi Intruksional Teori dan Praktik. Jakarta: PT


Bumi Aksara

22

Anda mungkin juga menyukai