Anda di halaman 1dari 32

PAPER

DEFISIT ANGGARAN
DAN KEBIJAKAN
PEMERINTAH
”Defisit Anggaran Merupakan Kebijakan
Pemerintah Sekaligus Tantangan
Pembangunan Negara”

Oleh:
KELOMPOK 4
“Defisit Anggaran Merupakan Kebijakan Pemerintah Sekaligus Tantangan
Pembangunan Negara”

I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara berkembang, namun memiliki kekayaan sumber daya alam
yang melimpah. Sejak diakui merdeka dari penjajah tahun 1945, Indonesia telah mewarisi
hutang Hindia – Belanda yaitu sebesar USD 4 Milyar. Jumlah tersebut merupakan beban yang
besar bagi Indonesia pada awal kemerdekaan. Di sisi lain, negara yang baru merdeka, identik
dengan kebutuhan untuk melakukan pembangunan infrastrukturm dan lain sebagainya untuk
menunjang jalannya perekonomian sebuah negara tersebut. Pembangunan pada sebuah negara
yang baru saja menggenggam kemerdekaan tidaklah mudah, butuh kerja keras juga campur
tangan dari negara lain yang didukung dalam bentuk pemberian pinjaman. Hal ini dilakukan
karena Indonesia pada awal kemerdekaan masih baru berjuang dan harus memulai segala
sesuatu dari titik nol. Berikut ini merupakan data hutang luar negeri Indonesia oleh Presiden RI
dari masa ke masa.
Tabel 1.1 Jumlah Hutang Luar Negeri oleh Presiden RI dari masa ke masa, Rasio Hutang
dan Pertumbuhan Ekonomi.

Presiden RI Jumlah Hutang Rasio Hutang dari Pertumbuhan


PDB (%) Ekonomi (%)
Soekarno USD 2,3 M
Soeharto Rp. 551, 47 T 57,7 10,92
BJ. Habibie Rp. 938,8 T 85, 4 dari 1.099,297 T 0,79
Abd. Wahid Rp. 1.271 T 77,2 dari 1.491 T 4,92
Megawati Rp. 1.298 T 56,5 dari 2.203 T 4,5
SBY Rp. 3,209 T 24,7
Jokowi Rp. 6.418,5 T 40,49 %
Sumber : Youtube (Data Fakta Channel) diolah

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dijelaskan bahwa Indonesia memang telah mewarisi
hutang pada awal kemerdekaan pada zaman pemerintahan orde lama dibawah Pimpinan
Presiden Soekarno sebesar USD 2,3 Milyar. Setelah masuk zaman pemerintahan orde baru oleh
Presiden Soeharto, Indonesia mulai melakukan pembangunan dengan membangun bendungan,
penggaran pertanian dan lainnya, sehingga tidak ada pilihan lain selain dengan cara melakukan
pinjaman sebesar Rp. 551, 4 Triliun dengan rasio hutang sebesar 57,7 % dari PDB pada Maret
1967 berdasarkan data yang diperoleh dari BPS.
Pada masa itu, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sampai menyentuh angka
10,92%, padahal 3 tahun sebelumnya hanya mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 1,08%.
Setelah Presiden BJ. Habibie menjabat tahun 1998 utang negara meningkat menjadi Rp. (38, 8
Triliun dengan rasio hutang terkenal paling besar yaitu 85,4 % terhadap PDB yaitu Rp.
1.099,297 Triliun. Namun demikian, keputusan tersebut sangatlah tepat karena dapat menaikkan
pertumbuhan ekonomi yang tadinya -13,13 % menjadi 0,79% pada tahun 1999. Kurs rupiah pun
kembali menguat pada angka Rp. 7.000 per USD pada bulan November 1998, dibandingkan
dengan sebelumnya yaitu Rp. 16.650 pada Juni 1998. Sedangkan, pada zaman pemerintahan
Presiden Abdurahman Wahid, rasio hutang mengalami penurunan pada angka 77,2 % namun
hutang meningkat menjadi Rp. 1.271,4 Triliun tahun 2001 dan PDB pada saat itu sebesar Rp.
1.491 Triliun.
Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia menanjak jadi 4,92 % tahun 2000. Karena
adanya kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tahun 2001.
Beralih pada zaman Presiden Megawati, rasio hutang mengalami penurunan terhadap PDB
Indonesia yang saat itu sebesar Rp. 2.203 Triliun pada angka 56,5 % dan besaran hutang
menjadi Rp. 1.298 Triliun tahun 2004. Pada masa ini tingkat kemiskinan terus menurun dari
18,4 % pada 2001, 18,2 % pada 2002, 17,4 % pada 2003 dan sampai menjadi 16,7 % pada 2004.
Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan pada 4,5 % dari sebelumnya
3,64% pada tahun 2001.
Kemudian, pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rasio utang
ada pada angka 24,7 % dan jumlah hutang terus menigkat sebanyak Rp. 1.243 Triliun dan
sempat berkurang 1 tahun kemudian, namun sampai dengan tahun 2009 SBY menambah hutang
sebesar USD 31,6 Milyar dan PDB pada saat itu sebesar Rp. 3.209 Triliun atau sekitar USD
291,8 Milyar dengan kurs Rp.11.000. Periode kedua, hutang terus menanjak menjadi 2.608
Triliun tahun 2014 dengan rasio hutang terhadap PDB sebesar 24,7 %. Beralih ke masa
pemerintahan Presiden Joko Widodo, rasio hutang terhadap PDB naik pada angka 40,49 % Dan
hutang negara pun bertambah menjadi Rp. Rp. 6.418,5 Triliun. Hutang pada masa pemerintahan
Presiden SBY dan Jokowi sering dibanding-badingkan dan ternyata kenaikan hutang Jokowi
sebesar 75% sedangkan SBY hanya sebesar 64%. Namun, hutang tersebut ada pada zona aman
karena diperuntukkan untuk pembangunan insfrastruktur dan SDM Indonesia. Berdasarkan
ketentuan Undang-undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, batas maksimal rasio
hutang pemerintah adalah 60% terhadap PDB.
Hutang merupakan aplikasi nyata dari adanya defisit anggaran. Terkadang,
ketika orang mendengar hal tersebut, konotasinya selalu ke arah negatif. Namun, pada
kenyataannya tidaklah selalu demikian. Defisit anggaran merupakan salah satu kebijakan yang
ditempuh Pemerintah demi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan,
penciptaan lapangan kerja dan untuk menekan laju inflasi. Defisit anggaran merupakan hasil
dari penerapan kebijakan fiskal yang ekspansif melalui peningkatan pengeluaran pemerintah
tanpa melakukan peningkatan sumber penerimaan pajak (Mankiw, 2006;308 : Case and Fair,
2007;101).
Secara teori, pada saat terjadi defisit anggaran, dapat diatasi dengan pembiayaan yang
berasal dari pinjaman dan non pinjaman. Namun, secara empiris pembiayaan non pinjaman ini
bersifat terbatas karena bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), penerimaan cicilan
pengembalian penerusan pinjaman, dan hasil pengelolaan aset. Sedangkan, sumber dana
pinjaman dapat berasal dari luar negeri dan dalam negeri (Nota Keuangan dan APBN, 2013).
Hal pinjaman merupakan tantangan yang besar bagi sebuah negara, meskipun dilakukan
dengan tujuan produktif untuk pembangunan suatu negara, namun hal tesebut pun harus disertai
dengan tanggung jawab dan loyalitas yang tinggi dari sumber daya manusia yang mengelolanya
agar dipergunakan sebagaimana mestinya dan mencapai tujuan dari pembangunan yang sedang
dijalankan. Keberhasilan dan efektivitas pembangunan paling utama ditentukan oleh dua faktor
yaitu sumber daya manusia (orang-orang yang terlibat mulai dari perencanaan sampai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan (Husaini, 2017). Diantara 2 faktor yang telah disebutkan di atas,
yang paling penting dalam pembangunan suatu negara adalah faktor sumber daya manusianya.
Namun, terlihat dengan jelas bahwa pembangunan pada era reformasi ini dengan peran serta
warga negara memiliki kecenderungan belum berjalan dengan sempurna (Alvian, 2021).
Seringkali muncul praktek penyelewengan penggunaan anggaran yang akrab disebut korupsi
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Korupsi merupakan tindakan yang dapat
mengakibatkan kerugian besar bagi suatu negara (Astuti & Chairiri,2015).
Bertolak dari fenomena-fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya maka penelitian ini
bertujuan untuk mengulas lebih mendalam tentang kebijakan pemerintah baik pada bidang
moneter maupun fiskal di Indonesia dan negara-negara lain, serta sejauhmana defisit anggaran
yang harus selalu ditambal dengan utang baik dari dalam negeri, luar negeri maupun non utang
serta bagaimana tantangan pengelolaan keuangan negara agar tidak terjadi korupsi yang
berakibat fatal pada pembangunan suatu negara.
II. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif. Yang penelitian deskriptif ialah suatu
penelitian yang berusaha menjawab permasalahan yang ada berdasarkan data (Narbuko &
Ahmadi, 2015). Proses analisis dalam penelitian deskriptif yaitu, menyajikan, menganalisis,
dan menginterpretasikan. Begitu pula dengan (Arikunto, 2019), mengatakan bahwa penelitian
deskriptif ialah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki suatu kondisi, keadaan atau
peristiwa lain, kemudian hasilnya, akan dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode studi kasus (case
study) dan tinjauan pustaka. Penelitian ini akan dijelaskan dengan mempelajari kasus tertentu
yang berkaitan baik secara nasional maupun internasional dan akan dikaitkan pula dengan
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Adapun jenis data yang
digunakan adalah data sekunder dari penelitian-penelitian terdahulu, studi kasus dari negara
lain, berbagai grafik yang berkaitan dengan judul, yang nantinya akan diuraikan menjadi satu
narasi.

III. Kebijakan Pemerintah


III.1 Definisi Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah pada hakikatnya merupakan kebijakan yang ditujukan untuk


publik dalam pengertian yang seluas-luasnya (negara, masyarakat dalam berbagai status
serta untuk kepentingan umum), baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak secara
langsung yang tercermin pada berbagai dimensi kehidupan publik. Oleh karena itu,
kebijakan publik sering disebut sebagai kebijakan publik.

Kebijakan publik merupakan suatu ilmu terapan (Freeman, 2006). Pengertian


kebijakan publik oleh para pakar didefinisikan secara beragam, hal tersebut dipengaruhi
oleh berbagai kepentingan yang melandasi perumusannya. Thoha (2012) memberikan
penafisiran tentang kebijakan publi sebagai hasil rumusan dari suatu pemerintahan. Dalam
pandangan ini, kebijakan publik lebi dipahami sebagai apa yang dikerjakan oleh
pemerintah dibandingkan daripada proses hasil yang dibuat.

Mengenai kebijakan publik, lebih lanjut Wahab (2010) menyatakan bahwa:

1) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan sadar yang berorientasi pada pencapaian
tujuan daripada sebagai perilaku/ tindakan yang dilakukan secara acak dan kebetulan;
2) Kebijakan publik pada hakekatnya terdiri dari tindakan-tindakan yang saling berkaitan
dan memiliki pola tertentu yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu yang
dilakukan oleh pemerintah, dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri;
3) Kebijakan publik berkenaan dengan aktivitas/ tindakan yang sengaja dilakukan secara
sadar dan terukur oleh pemerintah dalam bidang tertentu;
4) Kebijakan publik dimungkinkan bersifat positif dalam arti merupakan pedoman
tindakan pemerintah yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu masalah tertentu,
atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu.
Berdasarkan pendapat tersebut, kebijakan publik dapat didefinsikan sebagai
serangkaian kegiatan yang sadar, terarah, dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah
yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang
mengarah pada tujuan tertentu. Sehingga untuk efektivitas kebijakan publik diperlukan
kegiatan sosialisasi, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan.

Perlu ditekankan bahwa sifat kebijakan publik perlu dituangkan pada peraturan-
peraturan perundangan yang bersifat memaksa. Dalam pandangan ini, dapat diasumsikan
bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah yang berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat, yang dapat diwujudkan berupa peraturan-peraturan,
perundang-undangan dan sebagainya. Kebijakan publik mempunyai sifat mengikat dan
harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali. Sebelum kebijakan
publik tersebut diterbitkan dan dilaksanakan, kebijakan tersebut harus ditetapkan dan
disahkan oleh badan/ lembaga yang berwenang.

Peraturan perundang-undangan sebagai produk dari kebijakan publik merupakan


komoditas politik yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian, berbagai
dinamika yang terjadi dapat membawa konsekuensi bahwa kebijakan publik pun dapat
mengalami perbaikan. Oleh karenanya, kebijakan publik pada satu pandangan tertentu,
dipersyaratkan bersifat fleksibel, harus bisa diperbaiki, dan disesuaikan dengan
perkembangan dinamika pembangunan. Kesesuaian suatu kebijakan publik sangat
tergantung kepada penilaian masyarakat.

Berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan, Islamy (2010) mengemukakan


pengertian kebijakan publik, sebagai berikut:

1) Kebijakan negara dalam bentuk awalnya berupa ketetapan tindakan-tindakan


pemerintah.
2) Kebijakan negara itu tidak cukup hanya dinyatakan, tetapi harus dilaksanakan dalam
bentuk yang nyata.
3) Kebijakan negara yang baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.
4) Kebijakan negara harus senantiasa ditujukan bagi pemenuhan kepentingan seluruh
anggota masyarakat.

Pelaksanaan kebijakan merupakan kegiatan lanjutan dari proses perumusan dan


penetapan kebijakan. Sehingga pelaksanaan kebijakan dapat dimaknai sebagai tindakan-
tindakan yang dilakukan, baik oleh individu maupun kelompok pemerintah, yang
diorientasikan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan. Implikasi dari pelaksanaan kebijakan merupakan konsekuensi yang muncul
sebagai akibat dari dilaksanakannya kebijakan-kebijakan tersebut. Hasil evaluasi pada
pelaksanaan kebijakan dapat menghasilkan dampak yang diharapkan (intended) atau
dampak yang tidak diharapkan (spillover negative effect).

Secara luas, pelaksanaan kebijakan digambarkan sebagai apa yang ditetapkan secara
jelas oleh pembuat kebijakan (pemerintah) yang akan memiliki dampak tertentu. Jann &
Wegrich (2007) menyebutkan bahwa pelaksanaan kebijakan akan mencakup unsur inti
sebagai berikut:

1. Spesifikasi rincian program, yakni bagaimana dan di mana lembaga atau organisasi
harus menjalankan program, dan bagaimana hukum atau program ditafsirkan;
2. Alokasi sumberdaya, yakni bagaimana anggaran didistribusikan, personil yang akan
melaksanakan program dan organisasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
program.
3. Keputusan, yakni bagaimana keputusan akan dilakukan.

Proses pelaksanaan kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan


administratif/ pemerintahan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan
menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan
pada kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial, yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi perilaku dari para pihak yang terlibat (stakeholders).
Kesalahan atau ketidaksempurnaan suatu kebijakan biasanya akan dapat dievaluasi setelah
kebijakan itu dilaksanakan, begitu juga keberhasilan pelaksanaan kebijakan dapat
dianalisa pada akibat yang ditimbulkan sebagai hasil pelaksanaan kebijakan. Penilaian atas
kebijakan dapat mencakup isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan dampak kebijakan.

Mengenai keberhasilan kebijakan publik, Islamy (2010) menyatakan bahwa suatu


kebijakan negara akan efektif apabila dilaksanakan dan memberikan dampak positif bagi
masyarakat, dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota-
anggota masyarakat bersesuaian dengan yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan pelaksanaan kebijakan agar efektif
dilakukan melalui rancangan program yang memadai dan strukturasi dari proses
pelaksanaannya (Pülzl & Treib, 2007). Jurnal Publik Ramdhani & Ramdhani

Merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa


pelaksanaan kebijakan merupakan tahapan aktivitas/ kegiatan/ program dalam
melaksanakan keputusan kebijakan yang dilakukan oleh individu/ pejabat, kelompok
pemerintah, masyarakat, dan/ atau swasta dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan kebijakan yang akan mempengaruhi hasil akhir suatu
kebijakan.

3.2 Aspek-aspek yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Publik

Menurut Edwards III, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai bagian dari
tahapan proses kebijaksanaan, yang posisinya berada diantara tahapan penyusunan
kebijaksanaan dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan tersebut
(output, outcome). Lebih lanjut, Edward III mengidentifikasikan aspek-aspek yang diduga
kuat berkontribusi pada pelaksanaan kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi
atau sikap pelaksana, dan struktur birokrasi. Keempat aspek mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan, baik secara langsung maupun tidak secara langsung, dan masing-masing aspek
saling berpengaruh terhadap aspek lainnya (Wahyudi, 2016).

1. Kewenangan/ Struktur Birokrasi


Kewenangan merupakan otoritas/ legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan
kebijakan yang ditetapkan secara politik (Afandi & Warjio, 2015). Kewenangan ini
berkaitan dengan struktur birokrasi yang melekat pada posisi/ strata kelembagaan atau
individu sebagai pelaksana kebijakan. Karakteristik utama dari birokrasi umumnya
tertuang dalam prosedur kerja atau Standard Operating Procedures (SOP) dan
fragmentasi organisasi.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah aktivitas yang mengakibatkan orang lain menginterprestasikan
suatu ide/ gagasan, terutama yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis melalui
sesuatu sistem yang biasa (lazim) baik dengan simbol-simbol, signal-signal, maupun
perilaku (Wardhani, Hasiolan, & Minarsih, 2016). Komunikasi mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan publik, dimana komunikasi yang tidak baik dapat
menimbulkan dampak-dampak buruk bagi pelaksanaan kebijakan. Dimensi
komunikasi yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik diantaranya:
transmisi, konsistensi, dan kejelasan (Winarno, 2012).
Pencapaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik mensyaratkan pelaksana untuk
mengetahui yang harus dilakukan secara jelas; tujuan dan sasaran kebijakan harus
diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga dapat mengurangi
kesenjangan antara rencana dan pelaksanaan kebijakan. Apabila penyampaian
informasi tentang tujuan dan sasaran suatu kebijakan kepada kelompok sasaran tidak
jelas, dimungkinkan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Afandi & Warjio, 2015).

Kemampuan komunikasi diarahkan agar pelaksana kegiatan dapat berunding satu


sama lain dan menemukan titik kesepahaman/ konsensus yang saling menguntungkan.
Konsensus yang terbagun dapat meningkatkan kinerja personal dalam bekerja dengan
menemukan kondisi win-win solution pada setiap permasalahan (Ramdhani &
Suryadi, 2005).
3. Sumberdaya
Pelaksanaan kebijakan harus ditunjang oleh ketersediaan sumberdaya (manusia,
materi, dan metoda). Pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan secara cermat,
jelas, dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumberdaya yang
diperlukan, maka pelaksanaaan kebijakan akan cenderung tidak dapat dilaksanakan
secara efektif. Tanpa dukungan sumberdaya, kebijakan hanya akan menjadi dokumen
yang tidak diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada di
masyarakat, atau upaya memberikan pelayanan pada masyarakat. Dengan demikian,
sumberdaya merupakan faktor penting dalam melaksanakan kebijakan publik.
Sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan publik diantaranya: staf yang memadai,
informasi, pendanaan, wewenang, dan fasilitas pendukung lainnya (Afandi & Warjio,
2015).
4. Disposisi atau sikap dari pelaksana
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan,
seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat demokratis (Wahab,
2010). Apabila pelaksana kebijakan memiliki disposisi yang baik, maka dia diduga
kuat akan menjalankan kebijakan dengan baik, sebaliknya apabila pelaksana
kebijakan memiliki sikap atau cara pandang yang berbeda dengan maksud dan arah
dari kebijakan, maka dimungkinkan proses pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan
efektif dan efisien. Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan dukungan
atau hambatan terhadap pelaksanaan kebijakan tergantuk dari kesesuaian kompetensi
dan sikap dari pelaksanan. Karena itu, pemilihan dan penetapan personalia pelaksana
kebijakan dipersyaratkan individu-individu yang memiliki kompetensi dan dedikasi
yang tepat pada kebijakan yang telah ditetapkan (Afandi & Warjio, 2015).
3.3 Teori Kebijakan Publik
Lebih lanjut, Subarsono (2011) menghimpun beberapa teori yang berkenaan
dengan variabelvariabel yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik, diantaranya:
1. Teori Merilee S. Grindle
Pelaksanaan kebijakan publik dalam teori Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh dua
variabel besar, yakni: isi kebijakan (content of policy); dan lingkungan implementasi
(context of implementation). Variabel tersebut mencakup: sejauhmana kepentingan
kelompok sasaran tertuang dalam isi kebijakan; jenis manfaat yang diterima oleh
kelompok sasaran; sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan;
apakah penempatan lokasi program sudah tepat; apakah sebuah kebijakan telah
menyebutkan pelaksananya secara detail; dan apakah sebuah program didukung oleh
sumberdaya yang memadai (Subarsono, 2011).
2. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Teori ini menyebut ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan kebijakan publik, yaitu: karakteristik dari masalah (tractability of the
problems), karakteristik kebijakan/ Undang-Undang (ability of statute to structure
implementation), dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting
implementation) (Subarsono, 2011).
3. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Teori Meter dan Horn menyatakan paling tidak dijumpai lima variabel yang
mempengaruhi kinerja pelaksanaan kebijakan publik, yakni: standar dan sasaran
kebijakan; sumberdaya; komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas;
karakteristik agen pelaksana; dan kondisi sosial, ekonomi dan politik. (Subarsono,
2011)
3.4 Dimensi Pelaksanaan Kebijakan Publik
Berdasarkan beberapa konsep dan sifat tindakan yang berkenaan dengan
pelaksanaan Good Governance, menurut pemahaman penulis maka pelaksanaan kebijakan
dapat diukur/ dievaluasi berdasarkan dimensi-dimensi: konsistensi, transparansi,
akuntabilitas, keadilan, efektivitas, dan efisiensi.
1. Konsistensi
Pelaksanaan kebijakan berlangsung dengan baik apabila pelaksanaan kebijakan
dilakukan secara konsisten dengan berpegang teguh pada prosedur dan norma yang
berlaku (Mutiasari, Yamin, & Alam, 2016).
2. Transparansi
Transparansi merupakan kebebasan akses atas informasi yang patut diketahui oleh
publik dan/ atau pihak-pihak yang berkepentingan (Coryanata, 2012). Informasi yang
berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan bersifat terbuka,
mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang memerlukan, dan disediakan secara
memadai, serta mudah dimengerti (Rohman, 2016).
3. Akuntabilitas
Setiap aktivitas pelaksanaan kebijakan publik harus dapat dipertanggungjawabkan
baik secara administratif maupun substantif, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan (Rohman, 2016).
4. Keadilan
Keadilan secara umum dapat dipahami sebagai kebaikan, kebajikan, dan kebenaran,
yang mengikat antara anggota masyarakat dalam mewujudkan keserasian antara
penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban (Nasution, 2016). Keadilan dalam
kebijakan publik diwujudkan pada aktivitas pelayanan yang tidak diskriminatif.
Pelaksanaan kebijakan publik tidak membedakan kualitas pelayanan pada kelompok
sasaran berdasarkan pertimbangan suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-
lain (Rohman, 2016).
5. Partisipatif
Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan. Partisipasi masyarakat disamping menopang percetapan
pelaksanaan kebijakan, pada sisi lain akan berdampak pada proses evaluasi/ kontrol
atas kinerja pemerintah dan dapat mampu menimalisir penyalahgunaan wewenang.
Partisipasi masyarakat merupakan kunci sukses dari pelaksanaan kebijakan publik
karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi. Pengawasan
yang dimaksud di sini termasuk pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak
legislatif (Coryanata, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan kebijakan
sebaiknya bersifat partisipatif, yaitu pelaksanaan kebijakan yang dapat mendorong
peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan
harapan masyarakat (Rohman, 2016)
6. Efektivitas
Efektifitas berkenaan dengan pencapaian hasil yang telah ditetapkan, atau pencapaian
tujuan dari dilaksanakannya tindakan, yang berhubungan dengan aspek rasionalitas
teknis, dan selalu diukur dari unit produk atau layanan (Dunn, 2003). Dalam
pelaksanaan kebijakan publik, efektifitas diukur dari keberhasilan pencapaian tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan pada kebijakan publik.
7. Efisiensi
Efisiensi berkenaan dengan jumlah penggunaan sumberdaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi merupakan hubungan antara
efektivitas Ramdhani & Ramdhani Jurnal Publik dan penggunaan sumberdaya (Dunn,
2003). Indikator ukuran yang dapat digunakan pada dimensi efisiensi adalah
penggunaan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan,
yang bisa diukur dengan tingkat pengunaan waktu, biaya, manusia, peralatan, dan
sumberdaya lainnya.
3.5 Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Publik
Keberhasilan implementasi kebijakan membutuhkan keterlibatan stakeholders
secara demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan pembuat kebijakan harus terus
menerus terlibat dalam dialog untuk menganalisis konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan
tersebut. Oleh karena itu, evaluasi pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk melihat
akuntabilitas dan peningkatan kinerja suatu kebijakan publik. Model Helmut Wollman
menguraikan evaluasi pelaksanaan kebijakan pada tiga tipe utama, yaitu: ex-ante
evaluation, on-going evaluation, dan ex-post evaluation (Lintjewas, Tulusan, & Egetan,
2016).
1. Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante)
Evaluasi ex-ante adalah evaluasi kebijakan yang dilakukan sebelum kebijakan
tersebut diimplementasikan dengan tujuan untuk memilih dan menentukan skala
prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah
dirumuskan sebelumnya (Diansari, 2016). Secara hipotetik, tipe evaluasi ex-ante
ditujukan untuk mengantisipasi dan memberikan penilaian awal atas perkiraan
pengaruh, dampak, atau konsekuensi dari kebijakan yang direncanakan atau yang
telah ditetapkan. Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan dengan
kebijakan atau dengan proses pembuatan kebijakan yang sedang berjalan. Tipe
evaluasi ex-ante juga memberikan analisa dampak terhadap lingkungan kebijakan
(Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).
2. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going)
Evaluasi on-going yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan kebijakan untuk
menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan kebijakan dibandingkan dengan rencana
yang telah ditentukan sebelumnya (Diansari, 2016). Evaluasi on-going secara umum
dimaksudkan untuk menjamin agar tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan, bukan dimaksudkan untuk evaluasi penilaian akhir capaian kinerja
pelaksanaan kebijakan. Dengan dilakukan evaluasi on-going, jika terjadi
penyimpangan, diharapkan akan dapat dilakukan langkah perbaikan sedini mungkin
melalui sejumlah rancangan/ rekomendasi, sehingga hasil akhir pelaksanaan kebijakan
akan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Christiyanto, Nurfitriyah, &
Sutadji, 2016). Esensi dari evaluasi on-going adalah untuk memberikan informasi
yang relevan yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki proses pelaksanaan
kebijakan ke arah yang ingin dicapai (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).
3. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post)
Ex-post evaluation merupakan model evaluasi klasik dari evaluasi pelaksanaan
kebijakan. Evaluasi ex-post dimaksudkan untuk memberikan penilaian terhadap
tingkat pencapaian tujuan serta dampak dari kebijakan yang telah dilaksanakan
(Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016). Evaluasi ex-post adalah evaluasi yang
dilaksanakan setelah pelaksanaan kebijakan berakhir, yang ditujukan untuk
menganalisa tingkat pencapaian (keluaran/ hasil/ dampak) pelaksanaan kebijakan.
Evaluasi ex-post digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan
masukan), efektivitas (pencapaian tujuan dan sasaran), ataupun manfaat (dampak
pelaksanaan kebijakan terhadap penyelesaian masalah) (Diansari, 2016).
3.6 Diskresi Pelaksanaan Kebijakan Publik

Diskresi merupakan kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari pelaksana


kebijakan publik (para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib) menurut
pendapat sendiri (Mustafa, Purnama, & Syahbandir, 2016). Diskresi merupakan
pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh penilaian pribadi, yang tidak terikat dengan
hukum yang berlaku. Diskresi adalah kebebasan yang diberikan kepada pelaksana
kebijakan publik dalam rangka penyelenggaraan kebijakan publik, sesuai dengan
meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan negara kepada masyarakat
yang semakin kompleks (Pradana, 2016).

Namun demikian, diskresi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi indikator-


indikator yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu: melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi
stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Ruang lingkup diskresi meliputi adanya kekuasaan pelaksana kebijakan (pejabat public)
untuk bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri, karena adanya pilihan
keputusan atau tindakan, peraturan tidak mengatur, peraturan tidak lengkap, ataupun
karena adanya stagnasi pemerintahan. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar kekuasaan
atau kewewenangan yang melekat pada dirinya selaku pengambil keputusan (Mustafa,
Purnama, & Syahbandir, 2016).

Keputusan diskresi biasanya digunakan dalam peningkatan pelayanan masyarakat.


Umumnya, pelaksana kebijakan dituntut harus dapat memahami dinamika kemasyarakatan
secara personal, terlebih lagi pelaksana kebijakan yang harus mengatasi akibat dari
keputusan yang mereka berikan dalam pelayanan masyarakat. Adanya derajat kebebasan
ini, dapat menyebabkan tidak seragamnya pelayanan yang diperoleh masyarakat pelaksana
kebijakan (Pradana, 2016).

Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan budaya lokal,


penggunaan sumberdaya lokal, atau penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar
dalam pelaksanaan suatu kebijakan.

Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan budaya lokal,


penggunaan sumberdaya lokal, atau penggunaan bahasa daerah pada kelompok
masyarakat tertentu sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Beberapa diskresi yang diduga diperkenankan pada pelaksanaan kebijakan pembangunan
misalnya dengan pemilihan prioritas pada pembangunan yang berwawasan lingkungan,
mengingat setiap pembangunan harus memperhatikan aspek keberlanjutan (Farida &
Ramdhani, 2014). Pada bidang pertanian, dengan melihat efektivitas, efisiensi, dan
kesehatan konsumsi komoditi pertanian dapat digunakan model pertanian organik (Santosa
& Ramdhani, 2005; Santosa & Ramdhani, 2005; Ramdhani & Santosa, 2005). Pada
pengembangan industri kecil diprioritaskan pada pengembangan produk yang memiliki
proses produksi yang memperhatikan kesehatan lingkungan (Ramdhani, Santosa, & Amin,
2005), yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan rekayasa proses biologi (Hernaman,
Rochana, Andayaningsih, Suryani, & Ramdhani, 2015).

Diskresi pada program peningkatan pelayanan publik dapat dilakukan dengan


mengimplementasikan sistem informasi, penggunaan sistem informasi diyakini akan
meringankan pekerjaan yang kompleks menjadi lebih sederhana serta mampu memberikan
pelayanan lebih cepat dan tepat (Ramdhani, Suryadi, & Susantosa, 2006; Tsabit,
Ramdhani, & Cahyana, 2012), dan bahkan dapat menggunakan Sistem Information
Geografis (SIG) sebagai pengendalian program pembangunan berdasarkan pemetaan
lokasi untuk memberikan pembangunan yang lebih adil dan merata (Bustomi, Ramdhani,
& Cahyana, 2012). Ramdhani & Ramdhani Jurnal Publik

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Kebijakan Pemerintah dalam bidang Fiskal dan Moneter
Kebijakan fiskal atau yang sering juga disebut sebagai kebijakan stabilitas dan
pembangunan adalah penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan
ekonomi yang dikehendaki (John F.Dee,1968). Ruang lingkup Kebijakan fiskal meliputi
semua tindakan atau usaha untuk meningkatkan keejahteraan umum melalui pengawasan
pemerintah terhadap sumber-sumber ekonomi dengan menggunakan penerimaan dan
pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumberdaya, dan penentuan harga barang dan jasa dari
perusahaan –perusahaan (Dirk,J.Wolson Dalam Suparmoko :1968). Secara umum, tujuan
dari kebijakan fiskal adalah untuk mencapai stabilitas ekonomi yang lebih baik. Kebijakan
ini bertujuan untuk memperbaiki situasi dan kondisi ekonomi, mengurangi tingkat
pengangguran serta menjaga kestabilan harga-harga secara umum. Kebijakan fiskal dalam
bidang Ekonomi makro terbagi atas 2, yaitu:
a. Kebijakan fiskal ekspansif merupakan kebijakan menaikkan Government Expenditure
dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan fiskal seperti ini dilakukan saat keadaan
negara dalam posisi perekonomian yang lesu dan tingkat pengangguran sedang
meningkat.
b. Kebijakan fiskal kontraktif merupakan kebijakan menurunkan Government
Expenditure dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini memiliki tujuan untuk
menurunkan tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.

Kolaborasi antara kebijakan kontraktif dan ekspansif disebut sebagai kebijakan fiskal
counter cyclical. Indonesia dan semua negara di dunia pada masa pandemi seperti saat ini
menemukan kesulitan dalam mengontrol jalannya perekonomian. Pasalnya, kejadian ini
merupakan kejadian yang terburuk di alami sepanjang sejarah manusia hidup, semua
aktivitas terhenti akibat virus yang merenggut nyawa banyak orang. Dalam situasi dan
kondisi yang serba tidak pasti seperti ini, Indonesia mengalami kemunduran ekonomi
sebagai dampak dari pandemi Covid 19 tersebut yang dampaknya pada meningkatnya
jumlah pengangguran, sehingga menyebakan rendahnya tingkat inflasi, terjadinya resesi
ekonomi, serta terhambatnya program pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya.
Untuk itu, Pemerintah memutuskan untuk melakukan kebijakan fiskal dengan menaikkan
jumlah pengeluaran pemerintah dengan sumber dana yang berasal dari hutang.

Kemudian, beralih pada kebijakan moneter, yang mana kebijakan moneter sama dengan
kebijakan fiskal. Terdiri dari 2 jenis yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan
moneter kontraktif. Kebijakan Moneter telah diterapkan di Indonesia, adalah sebagai
berikut: Bank Indonesia (BI ) melakukan lelang sertifikatnya, atau bisa juga melalui
pembelian surat berharga di pasar modal. BI dapat menurunkan suku bunga jika kondisi
ekonomi sesuai dengan ekspektasi. Sebaliknya, BI bisa menaikkan suku bunga bila ingin
membatasi aktivitas ekonomi sehingga aliran uang berkurang. Ketika perekonomian
mengalami resesi maka peredaran uang akan meningkat sehingga aktivitas perekonomian
meningkat. Contohnya adalah membeli sekuritas (surat-surat berharga) saat terjadi inflasi,
BI akan mengurangi aliran uang ke masyarakat dengan menjual surat berharga untuk
mengurangi aktivitas ekonomi yang berlebihan.
4.2 Kebijakan Pemerintah melakukan pelebaran Defisit Anggaran
Defisit anggaran merupakan hasil dari kebijakan fiskal secara ekspansif yang
diterapkan pada saat kondisi ekonomi sedang mengalami resesi. Sederhananya, defisit
anggaran terjadi ketika pengeluaran pemerintah lebih besar dari pajak dan pendapatan
lainnya. Meskipun konsep defisit anggaran diterapkan dengan formula operasionalisasi
pendapatan dan pengeluaran, pola seperti ini lebih umum diterapkan pada anggaran
pemerintahan. Public saving sebenarnya merupakan budget surplus atau kelebihan
anggaran. Ketika public saving ada pada posisi negatif maka hal tersebut dinamakan defisit
anggaran. Ketika, pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari pajak yang
diterima, maka pemerintah akan menjalankan defisit anggaran, dengan cara utang.
Komponen defisit anggaran terdiri dari :
1) Pendapatan.
Komponen ini berasal dari pajak pendapatan, pajak konsumsi, pajak asuransi sosial dan
pajak perusahaan.
2) Pengeluaran
Pada ranah pemerintahan, pengeluaran ini termasuk biaya kesehatan, infrastuktur,
pertahanan, pension, subsidi, dan masih banyak hal lain yang turut berkontribusi pada
kesehatan ekonomi secara menyeluruh.
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang penelitian ini bahwa, implikasi dari
defisit anggaran tidak selalu negatif, asal dapat dikelola dengan baik dan tidak
menyimpang. Beberapa implikasi yang terjadi dari penerapan defisit anggaran adalah:
1) Menaikkan permintaan secara agregat.
Implikasi defisit anggaran merupakan sebuah pengurangan pada pemasukan pajak dan
menaikkan pengeluaran pemerintah, dimana hasilnya akan menaikkan permintaan negara
secara agregat dan pertumbuhan ekonomi, cateris paribus.
2) Mendorong Perekonomi selama resesi berlangsung.
Pada saat resesi terjadi, perekonomian cenderung mengalami penurunan pada investasi di
sektor swasta bersama dengan rendahnya permintaan konsumsi secara agregat.
Keputusan untuk melakukan pinjaman untuk menambal defisit anggaran agar dapat
dibelanjakan secara efektif.
3) Menaikkan Pengeluaran Pemerintah.
Pengeluaran pemerintah terkait dengan banyak hal, termasuk investasi pada bidang
infrastuktur, kesehatan, program pensiun, tenaga kerja serta pengangguran, dan lain
sebagainnya. Hal tersebutlah yang menjadi perhitungan diterapkannya defisit anggaran
oleh pemerintah pada suatu negara.
4.3 Sebab-sebab Terjadinya Defisit Anggaran Negara
1) Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar
pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan
dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila
kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang dibebani tanggung
jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Beban ini
meliputi pembangunan program-program, seperti :
a. Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan,
listrik, pelabuhan, dll.
b. Program yang berkaitan dengan Hankam.
c. Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan,
lembaga pemasyarakatan, dll.
d. Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit,
panti asuhan.
e. Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program
transmigrasi, pembangunan daerah, dll.
f. Program yang menangani masalah kemiskinan, seperti PPK, P3DT, dsb.
Semuanya itu diperlukan biaya yang besar, dan diantaranya harus dilaksanakan
oleh negara, terutama program nomor b, c, e, dan f, karena swasta/ masyarakat
tidak mungkin membangun program-program seperti itu.
2) Rendahnya Daya Beli Beli Masyarakat
Masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai pendapatan per
kapita rendah, dikenal mempunyai daya beli yang rendah pula. Sedangkan barang-
barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan, harganya sangat tinggi karena sebagian
produksinya mempunyai komponen impor, sehingga masyarakat yang berpendapatan
rendah tidak mampu membeli barang dan jasa tersebut. Barang dan jasa tersebut
misalnya listrik, sarana transportasi, BBM, dan lain sebagainya. Apabila dibiarkan saja
menurut mekanisme pasar, barang-barang itu pasti tidak mungkin terjangkau oleh
masyarakat dan mereka akan tetap terpuruk. Oleh karena itu, negara memerlukan
pengeluaran untuk mensubsidi barang-barang tersebut agar masyarakat miskin bisa ikut
menikmati.
3) Pemerataan Pendapatan Masyarakat
Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh
wilayah. Indonesia yang mempunyai wilayah sangat luas dengan tingkat kemajuan
yang berbeda-beda di masing-masing wilayah. Untuk mempertahankan kestabilan
politik, persatuan dan kesatuan bangsa, negara harus mengeluarkan biaya untuk
misalnya, pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar
masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda
dengan wilayah yang lebih maju.
Kegiatan itu misalnya dengan memberi subsidi kepada pelayaran kapal Perintis yang
menghubungkan pulau-pulau yang terpencil, sehingga masyarakat mampu menjangkau
wilayah-wilayah lain dengan biaya yang sesuai dengan kemampuannya.
4) Melemahnya Nilai Tukar
Indonesia yang sejak tahun 1969 melakukan pinjaman luar negeri, mengalami masalah
apabila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai
pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan
bunga pinjaman dihitung dengan rupiah. Apabila nilai tukar rupiah menurun terhadap
mata uang dollar AS, maka yang akan dibayarkan juga membengkak. Sebagai contoh
APBN tahun 2000, disusun dengan asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS sebesar Rp.
7.100,-, dalam perjalanan tahun anggaran telah mencapai angka Rp. 11.000,- lebih per
US$ 1.00. Apa artinya ? Bahwa pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang
diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.
5) Pengeluaran Akibat Krisis Ekonomi dan Pandemi
Krisis ekonomi Indonesia yang terjadi tahun 1997 mengakibatkan meningkatny
pengangguran dari 34,5 juta orang pada tahun 1996, menjadi 47,9 juta orang pada
tahun. Sedangkan penerimaan pajak menurun, akibat menurunnya sektor-sektor
ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal negara harus bertanggung jawab untuk
menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa
mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan
masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu.
6) Realisasi yang Menyimpang dari Rencana
Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah
direncanakan, atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai
sasaran seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan, proyek, atau
program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena
bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa
berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara
harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat tercapai sesuai dengan
rencana semula.
7) Pengeluaran Karena Inflasi
Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang
telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat
dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar
harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan
adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan
meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada
menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi.
Anggaran negara yang telah tercantum terlalu rinci dalam dokumen anggaran (DIP,
DIPP), pemimpin proyek sulit untuk bisa menyesuaikan apabila terjadi kenaikan harga
barang yang melampaui harga standar. Untuk melaksanakan pembangunan proyek yang
melampaui standar yang telah ditentukan, pemimpin proyek akan dipersalahkan oleh
Badan Pengawas Keuangan, sebaliknya juga apabila pemimpin proyek terpaksa
mengurangi volumenya. Akibatnya, negara terpaksa akan mengeluarkan dana untuk
eskalasi dalam rangka menambah standar harga itu.
4.4 Dampak Defisit terhadap Ekonomi Makro
Mengapa kita membicarakan defisit? Dan mengapa defisit anggaran negara
merupakan momok yang sangat ditakuti? Defisit anggaran itu ibaratnya seperti penyakit
hipertensi yang dampaknya bisa mempengaruhi kerja jantung, ginjal, mata, otak, yang
berakibat kelumpuhan. Demikian pula defisit anggaran juga berdampak pada beberapa
variabel ekonomi makro, antara lain : (1). Tingkat bunga; (2). Neraca pembayaran; (3).
Tingkat inflasi; (4). Konsumsi dan tabungan; (5). Tingkat pengangguran; dan (6).
Tingkat pertumbuhan.
1) Dampak Terhadap Tingkat Bunga
Defisit anggaran ditandai dengan kurangnya pembiayaan pengeluaran negara karena
kurangnya penerimaannya yang berasal dari pajak. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam meningkatkan anggaran pembangunan maupun rutin, negara
memerlukan penambahan modal, yang berarti permintaan terhadap uang meningkat.
Bunga, yang merupakan harga modal itu, akan mengalami tingkat keseimbangan
yang lebih tinggi, atau tingkat bunga akan meningkat.
2) Dampak Terhadap Neraca Pembayaran
Dalam ekonomi terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi posisi ekspor dan
impor dari dan ke manca negara. Dengan meningkatnya tingkat bunga, investasi
dalam negeri akan menurun, yang berarti peluang modal asing cenderung masuk
mengalir ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam negeri.
Apabila ini terjadi, maka defisit anggaran mempunyai dua dampak yang berkaitan,
yaitu : pertama, defisit anggaran akan meningkatkan defisit neraca pembayaran;
kedua, dengan membengkaknya defisit neraca
pembayaran, akan menurunkan nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang asing.
Sehingga menurunnya nilai rupiah terhadap valuta asing selama ini bukan saja
disebabkan karena faktor psikologis, tetapi juga faktor teknis.
3) Dampak Terhadap Tingkat Inflasi
Pengeluaran negara yang melebihi penerimaannya berarti anggaran negara itu
ekspansif, artinya ada kecenderungan terhadap kenaikan harga-harga umum (inflasi).
Mengapa, karena pengeluaran negara yang digunakan untuk pembangunan proyek-
proyek dengan biaya besar dan berjangka lama, selama dalam pembangunan belum
dapat menghasilkan dalam waktu yang cepat, tetapi sebaliknya, negara telah
melakukan pengeluaranpengeluaran, antara lain untuk upah buruh yang berakibat
meningkatnya daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat di
satu pihak, dan belum ada output yang dihasilkan di lain pihak, akan mendorong
harga-harga umum akan meningkat, yang dampaknya adalah pada inflasi. Dalam
masa pembangunan yang menggebu-gebu sulit bisa dihindarkan keadaan inflasi ini.
4) Dampak Terhadap Konsumsi dan Tabungan
Inflasi yang diakibatkan karena defisit anggaran negara itu akan mengurangi
pendapatan riil masyarakat. Pengurangan pada pendapatan riil masyarakat itu akan
berakibat pada pengurangan baik konsumsi maupun tabungan. Tabungan sangat
penting sekali untuk mendorong investasi. Apabila pendapatan riil ini menurun,
berarti tingkat konsumsi dan tabungan riil juga menurun, padahal tingkat tabungan
riil itu akan berpengaruh terhadap tingkat investasi. Dengan menurunnya tingkat
tabungan tersebut, tingkat investasi juga menurun.
5) Dampak Terhadap Penggangguran
Pengganguran berarti penurunan tingkat kesempatan kerja. Kesempatan kerja
tergantung pada besarnya investasi yang dilakukan baik oleh negara maupun
masyarakat. Naiknya tingkat bunga akibat dari anggaran negara yang defisit itu,
akan berdampak menurunnya gairah untuk investasi, yang berarti banyak proyek-
proyek maupun perluasan proyek yang sudah ada tidak dapat dibangun, sehingga
berakibat pada pemecatan tenaga kerja atau kurangnya tenaga kerja baru yang
masuk dalam lapangan kerja. Dengan demikian defisit anggaran ini juga secara
langsung berakibat pada kenaikan peningkatan tingkat penggangguran.
6) Dampak Terhadap Tingkat pertumbuhan
Pertumbuhan yang meningkat adalah akibat dari meningkatnya investasi, baik dari
negara maupun masyarakat. Peningkatan investasi itu bisa terjadi, kecuali
disebabkan oleh situasi keamanan yang kondusif, juga tingkat bunga yang rendah.
Tetapi apabila perubahan variabel-variabel tersebut berlawanan dengan yang
disebutkan diatas, terutama tingkat bunga yang tinggi akibat defisit anggaran, maka
tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak akan tercapai atau dapat dikatakan defisit
anggaran itu juga mengakibatkan pada penurunan tingkat pertumbuhan.
4.5 Membiayai Defisit Anggaran
Inflasi dapat mendatangkan masalah bagi anggaran negara dan sebaliknya anggaran
negara yang ekspansif berakibat timbulnya inflasi. Dengan inflasi mengakibatkan
pengurangan penerimaan riil di satu pihak, tetapi justru menambah pengeluaran di lain
pihak, dan semuanya itu akan memperburuk posisi defisit anggaran negara.
Defisit anggaran dalam APBN 2001 direncanakan sebesar 3,7% dari PDB atau
sekitar Rp. 52 trilyun. Tetapi dalam perjalanannya defisit tersebut membengkak karena
pengeluaran pengeluaran negara yang tidak diperkirakan sebelumnya, antara lain
pembayaran pinjaman luar negeri dan dampak-dampak lainnya seperti yang disebutkan
diatas. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 memang dirasakan cukup berat terutama
dampaknya terhadap APBN, bahkan diantara negara-negara yang terlanda krisis,
Indonesia mengalami krisis yang terberat.
Mengapa Indonesia nampaknya yang paling sulit keluar dari krisis?
Menurut Boediono,5 sebabnya adalah bahwa institusi-institusi yang menjadi pilar
kehidupan kemasyarakatan kita, di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan politik ternyata
lemah, tidak tahan terpaan badai. Lebih dari itu, kelemahan yang ada dalam satu institusi
ternyata erat kaitannya dengan kelemahan yang ada di institusi lain. Sehingga gangguan
pada satu institusi merembet cepat pada institusi-institusi lain. Alhasil, apa yang pada
awalnya hanya berupa gejolak di pasar devisa, segera berkembang menjadi krisis
perbankan, kemudian krisis ekonomi, dan akhirnya menjadi krisis politik dan sosial.
Dilihat dari sisi manajemen APBN, maka negara harus dapat menutup defisit ini.
Secara teoritis menutup defisit APBN dapat dilakukan secara mudah, yaitu : selama APBN
terdiri dari sisi penerimaan dan pengeluaran, maka defisit APBN prinsipnya dapat
ditanggulangi dengan cara menambah di sisi penerimaan atau mengurangi di sisi
pengeluaran. Masalahnya, menambah sisi penerimaan itu, penerimaan yang mana, jenis
pajak yang mana. Dan mengurangi pengeluaran itu, jenis pengeluaran yang mana. Yang
terakhir ini kadang-kadang dapat diperdebatkan oleh para politisi, karena mereka khawatir
tidak populer lagi di mata masyarakat. Itulah solusi yang sulit untuk dipecahkan.
a. Sisi penerimaan :
1) Meminjam dari perbankan dalam negeri. Dengan meminjam dari perbankan dalam
negeri berarti terjadi penciptaan uang, sehingga uang yang beredar dalam
masyarakat (money supply) meningkat. Dampak terhadap pertambahnya
penawaran uang yang tidak diimbangi dengan jumlah barang yang diproduksi,
akan mengakibatkan kenaikan harga-harga umum atau inflasi.
2) Meminjam dari non perbankan dalam negeri atau masyarakat dengan cara
menerbitkan obligasi. Di satu pihak penjualan obligasi pemerintah akan menyerap
uang masyarakat dan menambah penerimaan negara. Penyerapan uang dari
masyarakat berakibat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, yang
akibatnya berdampak pada penurunan harga. Akan tetapi dengan penjualan
obligasi kepada masyarakat dapat juga berakibat disamping menambah pemasukan
negara, juga mengurangi tabungan masyarakat yang sebenarnya dapat
dipergunakan untuk investasi masyarakat.
3) Meminjam dari luar negeri. Karena alasan yang tersebut pada nomor (2), negara
cenderung meminjam ke luar negeri. Dengan meminjam dari luar negeri itu,
sebagian masyarakat ada yang mengkritik, karena pinjaman luar negeri berarti
akan membebani anak cucu kita di kemudian hari. Tetapi sebagian masyarakat
tidak setuju pendapat itu, karena dengan meminjam modal sekarang, dan
digunakan untuk proyek-proyek yang produktif dan efisien seperti pembangunan
sarana dan prasarana ekonomi, generasi penerus telah mempunyai pondasi yang
kuat untuk membangun proyek-proyek lain yang telah tersedia pondasinya, yaitu
berupa sarana dan prasarananya. Sedangkan pembayaran cicilannya dapat diambil
dari perpajakan yang akan ditarik dari perusahaan—perusahaan yang telah mantap
hasil dari pinjaman sebelumnya.
4) Meningkatkan penerimaan pajak. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, baik
pajak langsung maupun pajak tidak langsung.
5) Mencetak uang. Alternatif ini tidak populer karena pengalaman tahun-tahun
sebelumnya, penambahan anggaran dari mencetak uang berarti akan menambah
uang yang beredar di masyarakat dan itu akan berdampak pada inflasi. Apalagi
apabila pengeluaran masyarakat dibelanjakan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak
produktif atau tidak efisien.
Pengeluaran yang tidak efisien ini dapat dilihat dari 4 aspek,6 yaitu pertama
kegiatan yang saling bertentangan antara sektor negara dan swasta. Kedua kegiatan
yang tidak sesuai dengan tujuan pembangunan, ketiga kegiatan yang dilaksanakan
dengan biaya yang lebih besar daripada manfaat yang akan diperoleh. Keempat
pengeluaran yang bertentangan dengan tujuan makro ekonomi, misalnya
penciptaan kesempatan kerja, penciptaan devisa.
Negara cenderung untuk memilih menutup defisit dengan cara meminjam ke luar
negeri dibanding dengan menambah pajak, dengan alasan : (a). dengan meminjam
ke luar negeri, penerimaan pajak bisa diprioritaskan untuk keperluan lain yang
lebih produktif; (b). pemungutan pajak sangat memberatkan masyarakat yang
pendapatannya sudah sangat rendah; (c). meminjam ke luar negeri dapat
meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana yang mempunyai dampak
tumbuhnya investasi swasta dan yang berakibat pada peningkatan penerimaan
pajak.
b. Sisi pengeluaran :
1) Mengurangi subsidi, yaitu bantuan yang diambil dari anggaran negara untuk
pengeluaran yang sifatnya membantu konsumen untuk mengatasi tingginya harga
yang tidak terjangkau oleh mereka agar tercipta kestabilan politik dan sosial
lainnya, misalnya subsidi pupuk, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi
listrik, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya negara memberikan subsidi terhadap
suatu barang, karena barang itu dianggap harganya terlalu tinggi dibanding dengan
kemampuan daya beli masyarakat. Agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, maka
negara mengeluarkan dana untuk mensubsidi barang tersebut. Subsidi itu dilakukan
dengan beberapa cara, misalnya : i). memberikan subsidi kepada konsumen dengan
cara memberikan subsidi harga barang-barang yang dikonsumsi; ii). memberikan
subsidi kepada produsen, yaitu memberikan subsidi pada bahan baku yang
dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Kalau pengeluaran subsidi itu
dikurangi akan berakibat pada kenaikan harga barang yang diberi subsidi itu.
2) Penghematan pada setiap pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun
pembangunan. Penghematan pada pengeluaran rutin dilakukan oleh departemen
teknis, misalnya untuk pengeluaran listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas,
rapat-rapat, seminar, dan sebagainya tanpa mengurangi kinerja dari departemen
teknis yang bersangkutan.
3) Menseleksi sebagian pengeluaran-pengeluaran pembangunan. Pengeluaran
pembangunan yang berupa proyek-proyek pembangunan diseleksi menurut
prioritasnya, misalnya proyek-proyek yang cepat menghasilkan. Proyek-proyek
yang menyerap biaya besar dan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang lama,
sementara ditunda pelaksanaannya.
4) Mengurangi pengeluaran program-program yang tidak produktif dan tidak efisien.
Program-program semacam itu adalah program-program yang tidak mendukung
pertumbuhan sektor riil, tidak mendukung kenaikan penerimaan pajak, dan tidak
mendukung kenaikan penerimaan devisa. Pemotongan program-program ini harus
dilakukan dengan hati-hati. Pemotongan pengeluaran tanpa memperbaiki
produktivitas program, berarti akan ada kecenderungan akan menurunnya kualitas
dan kuantitas output.
4.6 Teori-teori Defisit Anggaran
Sebelum masuk pada penerapan defisit anggaran yang diterapkan Indonesia,
berikut ini merupakan beberapa teori defisit anggaran yang dikemukakan oleh Bernheim
(1989), diantaranya :
a) Teori Ricardian Equivalence menyatakan bahwa defisit anggaran pemerintah yang
diakibatkan oleh pemotongan pajak tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat
konsumsi agregat suatu negara. Alih-alih menambah konsumsi, penambahan
pendapatan yang diterima masyarakat dari pemotongan pajak tersebut ditabung
sehingga menambah jumlah private saving. Hal tersebut disebabkan oleh pandangan
David Ricardo yang mengasumsikan bahwa masyarakat adalah individu yang
rasional, berpikir jauh ke depan, dan peduli terhadap kesejahteraan generasi
mendatang. 
b) Teori Neoklasik, yang menyimpulkan bahwa kebijakan defisit anggaran memiliki
pengaruh yang buruk terhadap perekonomian karena dalam kondisi full-
employment, defisit anggaran yang permanen akan menyebabkan crowding-out. 
c) Teori Keynesian, yang menyatakan bahwa defisit anggaran yang terjadi pada waktu
yang tepat akan merangsang konsumsi, pendapatan nasional, tabungan dan
akumulasi modal. Dengan demikian, defisit anggaran akan memiliki konsekuensi
yang menguntungkan dan menstimulus perekonomian.
4.7 Defisit Anggaran di Indonesia (Periode 2015 sd 2021)

Bertolak dari teori-teori tentang defisit anggaran di atas, maka berikut ini
merupakan kondisi defisit anggaran Indonesia dari tahun 2015 – 2021

Grafik 4.7.1. Defisit Anggaran Indonesia dari tahun 2015 - 2021

Sumber : Informasi APBN 2021


Jika dilihat pada grafik di atas defisit anggaran sangat kontras terjadi kenaikan pada
tahun 2020 dan 2021, hal ini disebabkan oleh pandemic Covid 19 yang terjadi, dan
mengharuskan masyarakat beraktivitas dari rumah, sehingga banyak dampak negatif yang
terjadi pada berbagai aspek perekonomian bukan saja di Indonesia melainkan juga di dunia.
Defisit anggaran yang paling besar terjadi dalam kurun waktu 7 tahun tersebut adalah tahun
2020 sebesar 6,34 % dan menurun pada tahun 2021 sebesar 5,70.

Defisit anggaran yang terjadi di Indonesia merupakan bentuk nyata dari aplikasi
kebijakan fiskal ekspansif, menaikkan jumlah pengeluaran pemerintah tanpa melakukan
penambahan penerimaan atas pajak. Hal ini dilakukan untuk menstimulasi dan mendorong
aktivitas perekonomian kembali berjalan meskipun terhambat oleh pandemic yang terjadi.
Kondisi ini pun berdampak pada peningkatan pengangguran akibat banyak orang
kehilangan pekerjaan sebagai efek multiplier dari pandemic Covid 19.

Berikut ini merupakan jumlah tingkat pengangguran dan Indeks Pembangunan Manusia
di Indonesia tahun 2021, sebagai berikut :

Gambar 4.7.2 Tingkat Pengangguran, IPM, Koefisien Gini, Tingkat Kemiskinan, Indonesia
tahun 2021

Sumber : Informasi APBN 2021

Gambar 4.7.3 Postur APBN


Sumber : Informasi APBN 2021

Gambar 4.7.4 Belanja Pemerintah Pusat


Sumber : Informasi APBN 2021

Dari gambar-gambar di atas terlihat jelas postur APBN yang terdiri dari
pendapatan dan belanja negara serta defisit anggaran yang timbul akibat belanja negara
lebih besar dari pendapatan negara. Kemudian, terlihat jelas pula peruntukan anggaran
belanja negara dikeluarkan untuk pemulihan bidang kesehatan, ekonomi dan sosial
yang dilakukan secara bertahap.

4.8 Korupsi merupakan Tantangan Pembangunan Negara.


Dalam pembangunan suatu negara, tidak pernah terlepas dari yang namanya tantangan.
Tantangan terbesar yang sering dan selalu ditemui adalah terjadinya penyimpangan
pengelolaan anggaran pembangunan. Di satu sisi, ketika pertumbuhan ekonomi melemah,
harus didorong dengan cara meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, jika peningkatan itu terjadi, dan tidak terjadi peningkatan
dalam jumlah pemasukan atau pendapatan negara maka yang terjadi adalah defisit
anggaran, sehingga harus ditambal dengan menggunakan pinjaman dan non pinjaman.
Melihat pada kenyataan, Indonesia merupakan negara yang menerapkan penambalan
defisit anggaran dengan melakukan penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Hal tersebut
lumrah dilakukan bukan saja Indonesia namun negara maju pun melakukan kebijakan ini.
Yang menjadi masalah adalah ketika dana tersebut berasal dari pinjaman luar maupun
dalam negeri dan disalah gunakan, maka tujuan pembangunan suatu negara tidak akan
tercapai.
Pada sektor ekonomi, korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dimana pada sektor
privat, korupsi meningkatkan biaya karena adanya pembayaran ilegal dan resiko
pembatalan perjanjian atau karena adanya penyidikan (Hariyani & Priyarsono, Dominicus
Savio, Asmara, 2016). Penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN)
dan asing (PMA) yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit
sekali terlaksana, karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan
investasi, selain masalah stabilitas (Makhfudz, 2016).
Selanjutnya, meningkatnya hutang negara. Kondisi perekonomian dunia yang
mengalami resesi dan hampir melanda semua negara termasuk Amerika Serikat dan negara-
negara Eropa (Sihono, 2012), memaksa negara-negara tersebut untuk melakukan hutang
untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan menutup
biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting. Korupsi yang
terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin besar.

4.9 Contoh Defisit Anggaran di Negara Lain


Defisit Anggaran di Inggris
Pada 2020/21 pendapatan pemerintah Inggris – dari pajak dan penerimaan lainnya –
adalah £793 miliar sementara pengeluaran pemerintah adalah £1.093 miliar (£1,1 triliun).
Sehingga defisit anggranny adalah sebesar £300 miliar, setara dengan 14,3% dari PDB.
Grafik 4.9.1 Budget deficit, % of GDP
Sumber : Office for National Statistics (ONS).
Defisit anggaran Inggris membengkak karena pandemi virus corona.Inggris mencetak
rekor defisit anggaran pada 2020/21 karena dua alasan:
a. Pemerintah menghabiskan ratusan miliar untuk mendukung layanan publik, rumah
tangga, dan bisnis selama pandemi;
b. Kebijakan Lockdown yang bertujuan memperlambat penyebaran virus justru membawa
ekonomi ke dalam resesi yang parah. Lebih sedikit aktivitas ekonomi berarti lebih
sedikit penerimaan pajak dan lebih banyak pengeluaran pemerintah di bidang-bidang
seperti tunjangan pengangguran.

Grafik 4.9.2 Public spending and revenue, % of GDP0%

Sumber : Office for National Statistics (ONS).


Belanja pemerintah Inggris meningkat dari 39,8% dari PDB pada 2019/20 menjadi
52,2% pada 2020/21. Sementara pendapatan pemerintah turun dalam bentuk tunai, mereka
menjadi lebih besar dibandingkan dengan ukuran ekonomi. Ini karena ekonomi menyusut
lebih dari pendapatan. Pendapatan pemerintah setara dengan 37,3% dari PDB pada 2019/20
dan 37,8% dari PDB pada 2020/21.
Bagaimana Pembiayaan Defisit?
Defisit anggaran Pemerintah Inggris dibiayai oleh penjualan obligasi pemerintah.
Pembeli obligasi pemerintah termasuk dana pensiun, perusahaan asuransi, rumah tangga
dan investor luar negeri. Obligasi merupakan mayoritas utang pemerintah. Setelah obligasi
dibeli, mereka dapat diperdagangkan oleh investor di pasar sekunder.
Pemerintah telah menjual obligasi dalam jumlah besar selama pandemi Covid-19, yang
tidak mengejutkan mengingat besarnya nilai defisit. Investor meminjamkan kepada
Pemerintah dengan tingkat bunga yang relatif rendah sebelum pandemi dan terus
melakukannya.
Bank of England telah membeli sejumlah besar obligasi pemerintah dari investor di
pasar sekunder. Bank tersebut juga telah mendukung perekonomian selama pandemi virus
corona, melalui program pelonggaran kuantitatif. Pembelian tersebut juga membuat
Pemerintah Inggris lebih mudah dan lebih murah untuk menjual obligasi baru.
IV Penutup
A. Kesimpulan
Secara menyeluruh, perekonomian suatu negara harus tetap diusahakan ada dalam
kondisi yang menggairahkan meskipun sedang berada dalam zona kemunduran akibat
banyak hambatan yang terjadi seperti Covid 19 dan lain sebagainya. Demi mendorong
aktivitas ekonomi agar tetap berjalan dengan baik dan tidak berujung pada kehancuran
sebuah negara, maka Pemerintah dapat mengambil alih dan menerapkan berbagai kebijakan
baik itu fiskal maupun moneter. Kebijakan yang sering dilakukan adalah dengan
menerapkan defisit anggaran yang berujung pada penambahan utang dalam maupun luar
negeri dengan penerbitan Surat Utang Negara,dll. Selain itu dapat juga ditambal dengan
menggunakan Saldo Anggaran Lebih, namun hal ini bersifat terbatas. Yang perlu diketahui
bahwa tidak selamanya utang berdampak negatif bagi perekonomian sebuah negara,
sepanjang utang tersebut digunakan untuk kebutuhan produksi maka hal tersebut boleh
dilakukan. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika dalam pelaksanaan pembangunan
sebuah negara banyak kasus Korupsi yang terjadi sebagai bentuk dari penyimpangan
terhadap APBN.
B. Saran
Berdasarkan studi kasus pada penelitian ini, maka hal yang dapat disarankan untuk
diterapkan pada saat pembangunan suatu negara agar terhindar dari penambahan secara
kontinyu dan berkala, maka perlu melakukan pengoptimalisasi produksi sumber daya alam
yang dimiliki. Ada 3 hal yang dapat diterapkan pada saat melakukan pengoptimalisasian
Sumber Daya Alam yang dimiliki, yaitu:
a) Kontrak Lindung Nilai
Kesepakatan ini dibuat dengan tujuan agar investor membeli sumber daya alam dengan
harga tetap. Agar dapat melindungi ekonomi dan ketidakstabilan harga komoditas.
b) Aturan Ketat Investor
Aturan ini dibuat agar Investor tidak hanya mengeruk kekayaan alam, tapi juga
bermanfaat jangka panjang. Produk yang diekspor adalah barang jadi yang nilainya
stabil. Bahan baku diambil dari dalam negeri. Dengan demikian dapat menyerap
banyak tenaga kerja. Tenaga kerja tersebut sekalian dapat belajar dan terjadilah proses
transfer ilmu dan teknologi. Sehingga pada saatnya Indonesia dapat mandiri dan tidak
lagi terlalu bergantung pada skill dan modal Investor asing.
c) Kembangkan Sektor Ekonomi Lain
Dengan cara ini, kekuatan ekonomi negara tidak hanya bergantung di satu sektor saja.
Jika 1 sektor kolaps, ada sektor lain yang menopang perekonomian negara.

DAFTAR PUSTAKA

Husaini, A. (2017). Peranan Manajemen Sumber Daya Manusia dalam


Organisasi. Jurnal Warta, 51(1), 92–105.
Sihono, T. (2012). Krisis Finansial Amerika Serikat dan Perekonomian
Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pendidikan, 5(2), 171–192.
https://doi.org/10.21831/jep.v5i2.597
Astuti, C. A., & Chariri, A. (2015). Penentuan Kerugian Keuangan Negara yang
Dilakukan Oleh BPK dalam Tindak Pidana Korupsi. Diponegoro Journal of
Accounting, 4(3), 1–12.
Boediono, Dr, Pembenahan Institusi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi, (Keynote Speech)
disampaikan pada Kongres Ikatan alumni Australia ke-1 di Jakarta, 20 Maret 1999).
Informasi APBN, 2021. https://www.kemenkeu.go.id/media/16835/informasi-apbn-2021.pdf
Data Fakta (Channel Youtube)
https://www.youtube.com/watch?v=bwPeUOMmCgc
Ngomongin Uang (Channel Youtube)
https://www.youtube.com/watch?v=U6fpJwZu-PI
Fildzah Imas M & Munawar,2016. Analisis Dampak Defisit Anggaran terhadap Inflasi,
Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga di Indonesia Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Keep, Matthew, 2021. The budget deficit: a short guide. BRIEFING PAPER Number 06167,
27 May 2021
Kunarjo. Defisit Anggaran Negara

Anda mungkin juga menyukai