Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ABSURDITAS VERSUS KEBENARAN

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu:

Drs.H. Tata Mohamad Fatah,M.Pd

DISUSUN OLEH :

 Nur Falih Anwar (211420008)


 Dede Agustianingsih (211420009)
 Cholisah (211420025)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
TAHUN AJARAN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Esa. Atas
rahmat dan hidayah-nya. Kami dapat menyelesaikan tugas makalah, yang berjudul
“Absurditas Versus Kebenaran” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum.
Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga kami sebagai penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs.H. Tata Mohamad


Fatah,M.Pd. selaku dosen mata kuliah Filsafat Umum. Dan ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikanya
makalah ini.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
sangat mengharapkan sekali saran dan kritik yang dapat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Serang, 05 Maret 2022

i
Daftar Isi

Halaman Judul............................................................................................................i

Kata Pengantar...........................................................................................................i

Daftar Isi.....................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan.....................................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
D. Manfaat Penulisan...............................................................................................2

Bab II Pembahasan.....................................................................................................3

A. Tentang Absurditas.............................................................................................3
B. Kebenaran Tidak Relatif.....................................................................................5
C. Kepentingan di Balik Upaya Merelatifkan Kebenaran.......................................7

Bab III Penutup..........................................................................................................10

A. Kesimpulan.........................................................................................................10
B. Saran ...................................................................................................................10

Daftar Pustaka............................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bila kita berbicara tentang filsafat maka itu identik dengan
pertanyaan, karena permulaan untuk berfilsafat adalah bertanya. Orang
yang berfilsafat adalah orang yang memepertanyakan sesuatu hal hingga
keakar-akarnya, tujuannya adalah untuk mencapai sebuah kebenaran. Pada
permulaan makalah ini juga akan dopertanyakan berbagai hal diantaranya
ap aitu sebenarnya kebenaran ? apakah lebenaran itu adaa ?. tentu itu akan
lahir jawaban-jawaban yang berbeda, bagi orang yang telah mencapai apa
yang dia inginkan maka akan menganggap bahwa kebenaran itu memang
benar-benar ada. Namun bagi segelintir orang yang tidak pernah tercapai
akan keinginanya maka akan menganggap kebenaran itu tidak pernah ada.
Dari apa yang dipaparkan diatas maka memunculkan beberapa
permasalahan, namun karena luasnya pokok pembahasan kami akan
mempersempit pokok permasalahan dalam beberapa hal saja yaitu :
tentang Absurditas, kebenaran tidak relative dan kepentingan balik upaya
merelatifkan kebenaran.
Dimana pembahasan yang disajikan nanti hanya menjawab pokok-
pokok permasalahan tersebut.1

B. Rumusan Masalah
1
Sandy Jarsan, “Makalah Filsafat Ilmu : Kepastian dan Kebenaran”,
https://sandyjarsan.blogspot.com/2016/02/makalah-filsafat-ilmu-kepastian-dan.html, (diakses pada
Jum’at, 4 Maret 2022).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan kedalam
permasalan sebagai berikut :
1. Apa itu yang dimaksud dengan Absurditas ?
2. Mengapa kebenaran itu tidak relatif ?
3. Bagaimanakah kepentingan dibalik upaya merelatifkan kebenaran ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Seputar Absurditas.
2. Memahami tentang Kebenaran itu Tidak Relatif.
3. Mengetahui Kepentingan dibalik Upaya Merelatifkan Kebenaran.

D. Manfaat Penulisan
1. Menambah Pengetahuan Mengenai Absurditas.
2. Menambah Pemahaman tentang Kebenaran itu Tidak Relatif.
3. Menambah Wawasan serta Pengetahuan Mengenai Kepentingan dibalik
Upaya Merelatifkan Kebenaran.

2
Bab II

Pembahasan

A. Tentang Absurditas

Istilah absurditas berasal dari kata absurd yang berasal dari bahasa Latin, ab
yang artinya “tidak” dan surdus yang artinya mendengar. Jadi, absurd artinya tuli,
tidak mendengar dan tidak masuk akal. Sedangkan menurut pandangan Albert
Camus bahwa absurditas adalah adanya ketidakmampuan memahami dunia. Bagi
Camus manusia absurd merupakan manusia yang ada dalam fakta bahwa dia
membuat tuntutan buat dirinya dan dunianya, ia menganggap dirinya tidak
bermakna karena adanya Tuhan. Jadi kita bisa memahami, bahwa absurditas itu
sebagai ketidakbermaknaan dunia dan tidak adanya tujuan hidup.2

Jadi, absurditas ini memiliki ketergantungan pemikiran manusia sebagaimana


ketergantungannya terhadap alam ini. Kenapa ini bisa muncul, karena manusia
mencari pemahaman dunia yang tidak dapat dipahaminya, sehingga perasaan
absurditas ini adalah sesuatu yang berhubungan antara pertemuan dunia dan
pikiran manusia.3

Perasaan absurditas ini terjadi ketika apa yang diharapkan manusia tidak
sesuai apa yang terjadi dimuka bumi ini, karena sering terjadi pada diri manusia
mengharapkan sesuatu tapi tidak terjadi di alam ini. Jadi absurditas ini
mempertanyakan apakah tujuan manusia hidup dimuka bumi ini? Dan apakah
hidup ini memiliki makna? Karena tanpa kita sadari dan harapkan kita terlempar
di bumi tidak pernah tau untuk apa manusia dilahirkan di bumi ini? Dan itu
menjadi misteri bagi diri manusia. Absurditas sebagai titik pemikiran
eksistensialisme yang kemudian dikembangkan oleh Albert Camus sebagai ciri
filsafat tersendiri yang dinamakan filsafat absurdisme, yang merupakan
2
Agus Hiplunuddin, Filsafat Eksistensialisme, (Yogyakarta : Cognitora, 2017), H. 32.
3
Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), H. 53.
pengembangan dari corak pemikiran filsafat eksistensialisme. Kemunculan
absuritas ini di abad 21, pada masa modernisme karena adanya budaya mekanisasi
dan dehumanisasi yang mengalienasi manusia pada saat itu, karena manusia itu
produk yang otomatis menjadikan manusia itu sebagai robot.4

"Kesadaran tentang absurditas terjadi bila seseorang tiba-tiba sadar tentang


rasa bosan, jenuh, kelelahan mekanis dari keberadaan hari – harinya : kembali dari
bekerja, makan siang, bekerja kembali, pulang, tidur, kembali bekerja, makan
siang, bekerja kembali ; minggu demi minggu, tahun demi tahun. Absurditas
kehidupannya membuatnya berhenti di puncak kemuakan.”5

Contoh Absurditas terdapat dalam novel Mite Sisifus membahas juga


bagaimana kehidupan itu absurd. Menurut metologi Yunani seorang pemuda
bernama Sisifus, dia orang paling bijaksana dan paling hati-hati. Dia dihukum
oleh dewa, pada awalnya, dia dituduh melakukan kesemberonoan sehubungan
dengan dewa dan mencuri rahasianya. Sehingga para dewa mengutuk Sisifus
untuk tak henti-hentinya

Dari sinilah, Camus mengungkapkan bahwa kehidupan ini absurditas, adanya


kesia-siaan dalam menjalani hidup dan hidup ini berulang-ulang. Seperti yang
dilakukan oleh Sisifus disaat mendorong batu ke puncak kemudian menjatuhkan
lalu didorong lagi, begitulah terus menurus. Mendorong batu tersebut, ibarat
manusia menjalani kehidupan. Setelah sampai kepada puncak kehidupan maka
akan menggelinding turun kembali. Jadi, kita bisa pahami bahwa manusia tidak
akan bisa sampai kepada tujuan hidupanya, sebab sebelum sampai pada tujuan
akan jatuh kedasar kehidupan.6

4
Agus Hiplunuddin, op.cit, H. 31.
5
Vincen Martin, Filsafat Eksistensialisme: Kiergard, Sartre, Camus, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), H. 52.
6
Albert Camus, The Myth of Sisyphus and Other Essays, terj. M. Showwam Azmy, Mite
Sisifus dan Esai-esai Lainnya, (Yogyakarta : Penerbit Simpang, 2015), H. 128 – 130.

4
B. Kebenaran Tidak Relatif

Kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang”, begitu kata kawan
seorang penulis. Bagaimana pada saat masih percaya pada prinsip hidup yang
dianggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang percaya bahwa
kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah bahwa
kebenaran itu relatif.

Ketidakpercayaan seseorang kepada kebanaran biasanya timbul akibat sikap


frustasi karena apa yang sangat diinginkan tidak tercapai dan tidak terpenuhi.
Disini kita bisa cermati bahwa ketidakpercayaan seseorang pada kebenaran
memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah
menemui fakta bahwa apa yang dia inginkan terpenuhi dalam realitas. Dan dalam
realitas apabila keinginan tidak terpenuhi itu akan menyakitkan sekali, bahkan
lebih pahit lagi.

Tapi, bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika
ketika “omongan”, Penilaian, Ungkapan, evaluasi, dan pengukuran tidak
didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada.7

Contoh, Orang bisa saja berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Aceh
Selatan dan Banda Aceh. Si A akan mengatakan, “ Jioh Tat!” ( katanya dalam
bahasa Aceh yang bila di indonesiakan yaitu  “jauh banged ) Si B dapat
mengatakan “ah, nggak jauh amat. Satu kedipan aja samapai. Coba Antum waktu
berangkat naik mobilnya tidur, terus paginya bangun, kamu sudah sampai ke
Banda Aceh.” Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda.

Hal lain yang harus dicatat bahwa masyarakat kita selalu tidak fokus dalam
menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Penilaiaan terhadap
suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak kongkret pada suatu gejala
yang ingin diketahui. Ketika ditanya, “ seberapa jauh jarak dari Aceh Selatan ke

7
Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), H.
198.

5
Banda Aceh?” Ia seringakali tidak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan
orang akan menjawab pertanyaan itu, “paling kalau berangakat malam, pagi dan
sampai kesana”, jarak pun ditafsirkan dengan waktu. Padahal, kalau dalam
masyarakat telah terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan
konkret, antara siapa saja akan sama.

Dari contoh atas, tampak jelas bahwa ukuran penilaian orang terhadap sesuatu
fakta yang kongkret, misalnya jarak (yang secara material adalah panjangnya
bentangan antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi
kebenaran sejati tentang jarak itu sendiri secara objektif (ada, material, dan bisa
diukur) tetaplah tidak relatif.

Kebenaran itu objektif, ada riil, dapat diukur dengan cara yang benar,
bukannya relatif. Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir
gampangan yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik,
sebuah fallacy, sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang
biasanya malas berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah. Cara
berfikir relatifistik ini benar-benar membodohi dan (kalau mau dianut) selalu
sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri
kerana hidupnya telah enak yang menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus
menutupi-nutupi realitas kebenaran. Meraka, kalau bukan orang yang malas, juga
orang yang tak jujur, dan menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan
kepentingannya sendiri dan menginjak-injak orang lain.8

Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (Kemiskinan


dan Penindasan) bukan karena sebab-sebab kongkret, melainkan karena sebab
lain, takdir Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.
Itu akibat cara berpikir yang salah dengan mengutamakan kebenaran itu relatif.9

8
Ibid, H. 199 - 200
9
Ibid, H. 201

6
C. Kepentingan di Balik Upaya Merelatifkan Kebenaran

Menurut Erich Fromm, “Cara lain pengerdilan pemikiran orisinil adalah


dengan menganggap bahwa semua kebenaran itu relatif. Kebenaran dipahami
sebagai konsep metafisik, dan bila seseorang berbicara tentang keinginan untuk
menemukan kebenaran, ia dianggap terbelakang oleh para pemikir ‘progesif’ di
zaman kita. Penelitian-penelitian ilmiah harus dipisahkan dari faktor-faktor
subjektif, dan tujuannya adalah untuk melihat dunia tanpa hasrat dan perhatian.”10

Didalam kehidupan kita harus mempunyai tujuan, artinya kita berusaha


meraih sesuatu yang kita yakini benar. Karena kalau tidak kita tidak akan
menemukan kebebasan yang bermakna. Tujuan yang baik adalah tujuan yang
objektif, yang didasarkan pada ukuran yang dapat kita buat sesuai dengan apa
yang terjadi dalam realitas yang konkret.

Kebenaran tidak relatif. Relativisme dan absurdisme bukan milik orang yang
dalam hidupnya ingin menemukan kebenaran untuk menjadi dasar dalam menilai
sesuatu, untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan tahu
secara benar, mereka ingin memastikan sesuatu dengan kebenarannya dan ingin
membongkar apa yang ingin ditutupi-tutupi oleh orang jahat yang berusaha
memanipulasi kebenarannya. Kebenaran tak boleh dipalsukan, tak boleh
dimanipulasi. 11

Pertama-tama harus ditegaskan bahwa kita terikat oleh hukum-hukum


material, terutama hukum yang menegaskan bahwa materi itu akan berubah (dan
kita akan mati karena materi tubuh kita menua dan rusak). Materi itu dialektis atau
saling berkaitan. Artinya, keberadaan kita sebagai materi tubuh sangat bergantung
pada sesuatu di luar kita (kita memenuhui kebutuhan kita bukan dari kita sendiri,
tetapi dari luar kita yang kadang sumbernya dikerjakan oleh orang lain).

10
Erich Fromm, Lari dari Kebebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), H. 253 –
254.
11
Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011),
H. 201 – 202.

7
Lihatlah orang-orang yang merasa bahwa kekayaannya berasal dari jerih
payahnya saja. Mereka ingin hidup enaknya sendiri tanpa memedulikan nasib
orang lain yang sengsara. Mereka yang egois di zaman dulu adalah raja-raja yang
hidup di istana megah, yang dijaga oleh prajurit dan di dalamnya ada taman
bermain sendiri, ada kolam renang dan pelayan-pelayan yang memenuhi
kebutuhannya, mereka bahagia dengan keluarganya. Sementara, rakyat jelata yang
merupakan jumlah mayoritas dari rakyat hidup sengsara, kurang makan, pakaian
compang-camping, dan terus saja sengsara hingga anak cucunya.12

Hal itu adalah kontradiksi material yang membuat kita harus berfikir lebih
lanjut tentang makna kebebasan. Kaya dan miskin dapat diukur, kaya dan miskin
adalah kategori material yang menyebabkan kontradiksi dalam hubungan sosial.
Ketimpangan antara orang kaya dan miskin, antara yang memiliki dan tidak
memiliki, adalah sumber dari hubungan sosial yang kontradiktif (permasalahan
sosial), yang dalam kehidupan kita ditunjukkan dengan adanya perasaan
pemusuhan, kejahatan, dan kekerasan.

Banyak pandangan yang mengacaukan masyarakat untuk menutupi atau


menyembunyikan kontradiksi, perbedaan, dan pertentangan antara yang kaya dan
miskin itu, mereka adalah orang yang punya kepentingan untuk melanggengkan
kenyataan kontradiktif yang harus diatasi itu. Mereka berusaha menutupi kita akan
adanya fakta ketimpangan yang menyebabkan kejahahatan dan ekspoitasi itu.
Caranya adalah dengan mengatakan bahwa kaya dan miskin itu sama saja. Bagi
kita yang mengetahui hukum -hukum alam dan materi, tidak mungkin sesuatu
yang secara material berbeda bahkan meskipun perbedaan itu kecil dapat
dianggap sama. Dua hal yang secara material berbeda, tidak boleh dikatakan sama
karena dengan mengatakan sama berarti menutup-nutupi realitas atau
mengompromikan antara keduanya alias “pukul rata”.13

12
Ibid, H. 203.
13
Ibid, H. 203 – 204.

8
Sebelum kita memaknai arti kebebasan, kita harus berangkat dari upaya untuk
menyelidiki kontradiksi-kontradiksi material yang ada dalam masyarakat kita,
dalam hubungan kita dengan orang lain. Dengan memahami apa yang
menyebabkan kontradiksi, apa yang memungkinkan kita dapat meraih kebebasan,
akan membuat kita menemukan bahwa makna kebebasan itu sangat tergantung
pada potensi diri kita, yaitu pengetahuan dan perasaan kita atau cara kita
merespon realitas, cara kita menghubungkan antara tuntutan-tuntutan diri dan
kemungkinan-kemungkinan situasi material di sekitar kita.14

Kebebasan kita berbeda dengan alam. Kebesan alam adalah free will yang tak
dirasakan sebagaimana makhluk hidup berakal dan berhati seperti manusia. Alam
bergerak sesuai dengan syarat-syarat meterialnya sendiri. Gempa, banjir, tsunami,
angin topan, dan lain-lain merayakan kebebasannya sesuai dengan sebab-sebab
materialnya sendiri. Sedangkan, manusia punya kemampuan untuk
mengendalikan diri, kebebasan bukan sejenis semangat kebuasan untuk
melakukan apa saja karena kita punya nila-nilai dan pertimbangan-pertimbangan
yang dihasilkan oleh kemampuan kita untuk mengetahui.15

14
Ibid, H. 204 – 206.
15
Ibid, H. 207.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas bahwasannya
kebenaran itu sifatnya objektif, dan dapat diukur dengan cara yang benar
dan bukannya relatif. Jika ada yang menganggap bahwa kebenaran itu
relatif bahwa bisa dipastikan anggapannya itu hanya karena dia frustasi
dalam kehidupannya atau bisa saja hanya untuk kepentingan diri sendiri
atau pribadi.
Didalam kehidupan juga kita harus mempunyai tujuan, artinya kita
berusaha meraih sesuatu yang kita yakini benar. Karena kalau tidak kita
akan menemukan kebebasan yang bermakna. Tujuan yang baik adalah
tujuan yang ojektif, yang didasarkan pada ukuran yang dapat kita buat
sesuai denga napa yang terjadi dalam realitas yang konkret.

B. Saran
Makalah ini adalah bagian dari kelompok kami dalam memahami tentang
berfilsafat. Makalah ini tentunya bukanlah makalah yang sempurna dan
tanpa kekurangan. Namun, kelompok kami telah berupaya untuk mencapai
gambaran yang layak. Cukup kiranya dari kelompok ini, kami ucapkan
terima kasih.

10
Daftar Pustaka

Camus, Albert. 2015. The Myth of Sisyphus and Other Essays, terj. M. Showwam
Azmy, Mite. Yogyakarta : Penerbit Simpang.

Fromm, Erich. 1997. Lari dari Kebebasan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hiplunuddin, Agus. 2017. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta : Cognitora.

Jarsan, Sandy. 2016. “Makalah Filsafat Ilmu : Kepastian dan Kebenaran”.


https://sandyjarsan.blogspot.com/2016/02/makalah-filsafat-ilmu-
kepastian-dan.html. Diakses 4 Maret 2022.

Martin, Vincent. 2001. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Martin, Vincent. 2001. Filsafat Eksistensialisme: Kiergard, Sartre,


Camus.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Soyomukti, Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta : Ar-Ruzz


Media.

11

Anda mungkin juga menyukai