Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS KUALITATIF KADAR ABU

DISUSUN OLEH :

ILYIN NOVI LATIFAH


P27235020022
4A/ DIII ANAFARMA

JURUSAN ANALISIS FARMASI DAN MAKANAN


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2021/2022
Analisis Kadar Abu pada Bahan Pangan
Analisis Kadar Mineral Dalam Abu Buah Nipa (Nypa fructicans)
Kaliwanggu Teluk Kendari Sulawesi Tenggara
A. Pendahuluan
Sulawesi Tenggara adalah salah satu propinsi yang terdiri dari beberapa Kabupaten dan Kota
yang terdistribusi dalam beberapa pulau. Sebagai propinsi yang terdiri dari gugusan pulau tersebut, maka
Sulawesi Tenggara memiliki daerah pesisir yang luas. Daerah pesisir memiliki berbagai keanekaragaman
hayati. Potensi terbesar dari keanekaragaman hayati yang terdapat di daerah pesisir adalah ekosistem

Mangrove.

Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Beberapa
manfaat vegetasi Mangrove yaitu penahan abrasi dan gelombang serta pemanfaatan hasil hutan
Mangrove bagi masyarakat misalnya sebagai penghasil kayu, obat-obatan, dan lain-lain. Tiga
jenis tumbuhan yang biasa dijumpai pada ekosistem Mangrove adalah tanaman acanthus,
acrostichum dan palm yang tidak berbatang atau yang biasa dikenal dengan nama nipa (Stenis,
2005)
.Nipa merupakan salah satu vegetasi Mangrove yang banyak tumbuh di daerah pesisir Sulawesi
Tenggara. Pemanfaatan nipa selama ini adalah daunnya digunakan untuk bahan atap, selaput
tembakau rokok, dan nira dari sadapan pembuangannya digunakan untuk pembuatan gula dan
alkohol (Kashiko. 2004). Selain itu juga dapat digunakan sebagai obat tradisional seperti asma,
diabetes, rematik, dan gigitan ular (Setyawan & Winarno. 2006).
Pemanfaatan nipa oleh masyarakat di daerah Sulawesi Tenggara belum optimal. Salah
satu potensi dari tumbuhan nipa yang belum dimanfaatkan adalah buah nipa. Sebagai tumbuhan
berjenis palm, maka buah nipa memiliki kandungan karbohidrat, abu, air, energi, protein dan
asam lemak (Azuma, Toyota, Asakawa, Takaso, & Tobe. 2002)
Bentuk pemanfaatan buah nipa dijadikan sebagai salah satu bahan makanan olahan
seperti dibuat kolak, kolang kaling, manisan dan air sadapannya dapat dibuat gula merah. Daging
buah nipa muda dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman es buah. Nipa termasuk
minuman
istimewa pada restoran di Distrik Taiping, Negeri perak Malaysia. Selain itu, di Pantai Timur
Sumatera Utara (Langkat-Deli Serdang) pada bulan puasa ramadhan, masyarakat memanfaatkan
buah nipa muda sebagai bahan baku makanan kolak (Bandaranayake. 1998)
Kandungan gizi makanan bahan baku tumbuhan nipa sebagai salah satu sumber bahan
makanan perlu dikembangkan lebih lanjut terutama sehubungan dengan bahan makanan
nantinya. Sebagaimana layaknya bahwa makanan mengandung zat-zat tertentu yang ada
kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia itu sendiri. Dalam buah nipa terdapat zat-zat
pangan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan zat-zat makanan dalam tubuh manusia,
namun informasi mengenai kandungan mineralmineral dari buah nipa belum dilaporkan secara
ilmiah.
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui zatzat gizi yang
terdapat dalam buah nipa khususnya mineral buah nipa tersebut.
B. Tujuan
C. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang kadar abu, kadar air dan kadar
mineral besi (Fe), magnesium (Mg), kalium (K), dan natrium (Na) yang terdapat dalam buah
nipa (Nypa Fructicans) tua dan muda.Metode Analisis Kadar Abu
1. Metode Kering
a. Prinsip dan Penjelasan
Prinsip dari pengabuan kering (cara langsung) yaitu dengan mengoksidasi semua zat
organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut

Pengabuan kering merupakan analisis kadar abu yang dilakukan dengan cara
mendestruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi di dalam suatu tanur pengabuan
(furnace), tanpa terjadi nyala api, sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat konstan
tercapai. Oksigen yang terdapat di dalam udara bertindak sebagai oksidator. Residu yang
didapatkan merupakan total abu dari suatu sampel (Andarwulan 2010).

Sampel yang digunakan pada metode pengabuan kering ditempatkan dalam suatu
cawan pengabuan yang dipilih berdasarkan sifat bahan yang akan dianalisis serta jenis analisis
lanjutan yang akan dilakukan terhadap abu. Jenis-jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan
cawan antara lain adalah kuarsa, vycor, porselen, besi, nikel, platina, dan campuran emas-platina.
Cawan porselen paling umum digunakan untuk pengabuan karena beratnya relatif konstan setelah
pemanasan berulang-ulang dan harganya yang murah. Meskipun demikian cawan porselen mudah
retakk, bahkan pecah jika dipanaskan pada suhu tinggi dengan tiba-tiba (Andarwulan 2010).

Sebelum diabukan, sampel-sampel basah dan cairan biasanya dikeringkan lebih


dahulu di dalam oven pengering. Pengeringan ini dapat pula dilakukan menentukan kadar air
sampel. Pra-pengabuan dilakukan di atas api terbuka, terutama untuk sampel-sampel yang seluruh
sampel mengering dan tidak mengasap lagi. Setelah perlakuan ini, baru sampel dimasukkan ke
dalam tanur (furnace) (Andarwulan 2010).

Apabila pengabuan yang berkepanjangan tidak dapat menghasilkan abu bebas


karbon (carbon free ash), residu harus dibasahi lagi dengan air, dikeringkan dan kemudian
diabukan sampai didapat abu berwarna putih ini, residu dapat pula diperlakukan dengan hidrogen
peroksida, asam nitrat dan atau asam sulfat, tetapi perlu diingat bahwa perlakukan ini akan
mengubah bentuk mineral yang ada di dalam abu. Jika diperlukan, dapat pula residu yang belum
bebas karbon dilarutkan dalam sejumlah kecil air dan kemudian disaring dengan kertas saring
berkadar abu rendah. Kedua bagian ini kemudian diabukan kembali secara terpisah (Andarwulan
2010).

Pengabuan kering untuk persiapan penetapan trace minerals jarang dilakukan


karena mineral tersebut bersifat menguap pada suhu pengabuan. Suhu pengabuan yang dianggap
aman dari kehilangan sejumlah mineral karena penguapan adalah 500oC. Suatu cara pengabuan
sampel biologis yang dianjurkan meliputi pengeringan dan pra-pengabuan pada suatu alat khusus
yang terdiri dari sebuah hot plate dan lampu inframerah. Suhu dinaikan perlahan-lahan sampai
300oC dimana sampel mulai membara. Pengabuan dilanjut di dalam tanur dnegan suhu awal
250oC, dan dinaikkan bertahap menjadi 450oC selama satu jam. Suhu akhir ini dipertahankan
sampai seluruh komponen organik terdekomposisi. Abu dalam bahan ditetapkan dengan
menimbang residu hasil pembakaran komponen bahan organik pada suhu sekitar 550oC
(Andarwulan, 2010).

b. Prosedur dan Perhitungan


Cara kering dilakukan dengan mengoksidasikan zat-zat organik pada suhu 500-
600oC kemudian melakukan penimbangan zat-zat tertinggal. Kemudian zat yang
tertinggal setetah proses pembakaran ditimbang. Cawan porselen dioven terlebih dahulu
selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator.
Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah itu bahan uji dimasukan sebanyak
5 gram kedalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai b gram.
Pangabuan dilakukan dalam 2 tahap ,yaitu pemanasan pada suhu 300oC agar
kandungan bahan volatile dan lemak terlindungi hingga kandungan asam hilang.
Pamanasan dilakukan hingga asam habis. Selanjutnya, pemanasan pada suhu bertahap
hingga 600oC agar perubahan suhu secara tiba-tiba tidak menyebabkan cawan menjadi
pecah. Pengabuan cara kering digunakan untuk penentuan total abu, abu larut, tidak
larut air dan tidak larut asam. Waktu pengabuan lama, suhu yang diperlukan tinggi,
serta untuk analisis sampel dalam jumlah banyak. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan pengabuan cara kering, yaitu mengusahakan suhu
pengabuan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kehilangan elemen secara mekanis
karena penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penguapan
beberapa unsur, seperti K, Na, S, Ca, Cl, dan P.
Perhitungan
( z − x)
Kadar Abu (%) = × 100 %
y
Keterangan :
X = berat krusible (g)
Y = berat sampel (g)
Z = berat krusible dan abu (g)
2. Metode Basah
a. Prinsip dan Penjelasan
Prinsip pengabuan basah (cara tidak langsung) yaitu memberikan reagen kimia tertentu
pada bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol
alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tunggi.

Pengabuan ini menggunakan oksidator-oksidator kuat (asam


kuat).Biasanya digunakan untuk penentuan individu komponen mineral. Pengabuan
merupakan tahapan persiapan contoh.Pengabuan cara basah ini dilakukan dengan
mendestruksi komponen-komponen organik (C, H, dan O) bahan dengan oksidator
seperti asam kuat. Pengabuan cara ini dilakukan untuk menentukan elemen-elemen
mineral. Cara ini lebih baik dari cara kering karena pengabuan cara kering lama dan
terjadi kehilangan mineral karena suhu tinggi. (Fauzi, 2006)
Prinsip pengabuan cara basah adalah memberi reagen kimia (asam kuat)
1. Asam sulfat yang berfungsi sebagai bahan pengoksidasi kuat yang dapat
mempercepat reaksi oksidasi.
2. Campuran asam sulfat & potasium sulfat. K2SO4 menaikkan titik didih
H2SO4menyebabkan suhu pengabuan tinggi sehingga pengabuan berlangsung
cepat.
3. Campuran asam sulfat & asam nitrat .Campuran ini banyak digunakan selain itu
capuran ini merupakan oksidator kuat. Memiliki suhu difesti dibawah 3500C.
4. Campuran asam perklorat & asam nitrat untuk bahan yang sulit mengalami oksidasi
campuran ini baik untuk digunakan karena pengabuan sangat cepat ± 10 menit.
Perklorat bersifat mudah meledak. ( Sudarmadji , 2003)
Pengabuan basah dilakukan dengan cara mengoksidasi komponen organik
sampel menggunakan oksidator kimiawi, seperti asam kuat. Kombinasi asam yang sering
digunakan dalam pengabuan basah adalah kombinasi asam nitrat dengan asam sulfat.
Penggunaan asam sulfat memakan waktu oksidasi yang sangat lama. Penggunaan asam
nitrat dapat mengoksidasi bahan organik sampel dengan baik, namun sayangnya asam
nitrat cepat habis bahkan sebelum semua sampel terdekstruksi sempurna. Oleh karena itu,
untuk menyiasati kekurangan dari oksidator kimiawi tersebut maka digunakan kombinasi
asam nitrat dan asam sulfat. Suhu pada pengabuan basah biasanya lebih rendah dari
pengabuan kering (Gunawan,2009).
Pengabuan basah merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki cara
kering yang sering memakan waktu lama. Prinsip pengabuan basah adalah memberikan
reagen kimia tertentu ke dalam bahan sebelum digunakan untuk pengabuan (Slamet,dkk.,
1989:156). Contoh reagen kimia yang dapat ditambahkan ke dalam bahan yaitu:
1. Asam sulfat, sering ditambahkan ke dalam sample untuk membantu mempercepat
terjadinya reaksi oksidasi.
2. Campuran asam sulfat dan potassium sulfat. Potassium sulfat yang dicampurkan
pada asam sulfat akan menaikkan titik diduih asam sulfat sehingga suhu pengabuan
dapat ditingkatkan
3. Campuran asam sulfat, asam nitrat yang merupakan oksidator kuat. Dengan
penambahan oksidator ini akan menurunkan suhu degesti sampai 3500 C, sehingga
komponen yang mudah pada suhu tinggi dapat tetap dipertahankan dalam abu dan
penentun kadar abu lebih baik.
4. Penggunaan asam perklorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan yang
sangat sulit mengalami oksidasi.
b. Prosedur dan Perhitungan
Cara basah dilakukan dengan menambahkan senyawa tertentu pada bahan yang
diabukan sepeti gliserol, alkohol asam sulfat atau asam nitrat. Pengabuan cara basah
dilakukan untuk penentuan elemen mineral yaitu cawan porselen dioventer lebih dahulu
selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Cawan
kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah itu bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram
kedalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai b gram. Gliserol alcohol ditambahkan
dalam cawan sebanyak 5 ml dan dimasukan dalam tanur pengabuan hingga putih keabu-
abuan. Abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Penimbangan cawan
setelah pengabuan dicatat sebagai berat c gram. Suhu yang tinggi menyebabkan unsure abu
yang volatile seperti Na, S, Cl, K, dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan
dekomposisi tertentu, seperti K2CO3dan CaCO3.Waktu pengabuan relatif cepat, suhu
yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi, untuk analisis sampel dalam jumlah sedikit, memakai
reagen kimia yang sering berbahaya sehingga perlu koreksi terhadap reagen yang
digunakan.
Perhitungan
( z − x)
Kadar Abu (%) = × 100 %
y
Keterangan :
X = berat krusible (g)
Y = berat sampel (g)
Z = berat krusible dan abu (g)

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel. Kadar Abu beberapa Jenis Bahan Pangan
Jenis Bahan % Abu
Susu 0,5 - 1,0
Susu kering tidak berlemak 1,5
Buah-buahan segar 0,2 – 0,8
Buah-buahan yang dikeringkan 3,5
Biji kacang-kacangan 1,5 – 2,5
Daging segar 1
Daging yang dikeringkan 12
Daging ikan segar 1–2
Gula, madu 0,5
Sayur-sayuran 1

Hasil

Suhu Ulangan Rerata


No. Sampel
(°C) I II III IV (%)
1 Tua 450 0.99 0.90 1.22 0.92 1.01
2 Tua 550 0.90 0.88 0.90 0.90 0.89
3 Muda 450 0.88 0.89 0.88 0.89 0.88
4 Muda 550 0.81 0.86 0.88 0.91 0.86

Pembahasan
Penentuan Kadar Abu (Metode Dry Ashing)

Cawan yang telah dibersihkan dipanaskan dalam tanur pada suhu 100-105°C selama 3
jam lalu ditimbang sebagai bobot kosong. Contoh yang telah diuapkan ditimbang teliti ± 5 gram
dan dinyatakan sebagai bobot awal, kemudian cawan tersebut disimpan dalam tanur pada suhu
550°C selama 6 jam. Setelah pemanasan cawan dimasukan dalam desikator dan setelah dingin
ditimbang sampai diperoleh bobot tetap sebagai bobot akhir.

Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang dikandung dalam
bahan pangan tersebut. Prinsip kerja penentuan kadar abu diawali dengan cara membakar bahan
pangan tersebut. Prinsip kerja penentuan kadar abu diawali dengan cara membakar bahan dalam
tungku pengabuan (furnace) dengan memvariasikan suhu pemanasan sampai mendapatkan abu
yang berwarna putih. Penetapan bobot abu dihitung berdasarkan gravimetri (Apriyanto, 1989).
Data hasil analisis kadar abu buah nipa muda pada suhu 450°C sebesar 1,01% sedangkan
suhu 550°C sebesar 0,89 %. Kadar abu yang terkandung didalam sampel nipa tua juga
mengalami penurunan yakni 0,88% pada suhu 450°C menjadi 0,86% pada suhu 550°C.
Penurunan kadar abu ini disebabkan oleh berkurangnya mineral yang terdegradasi oleh pengaruh
suhu dalam sampel buah nipa. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Winarno (Winarno, F.G.
1997), pada suhu pengabuan yang rendah, panas yang diterima oleh bahan hanya dapat
mengabukan sebagian mineral yang ada di permukaan, sehingga penurunan kadar abu bahan
relatif kecil. Sedangkan pada suhu pengeringan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama,
panas yang diterima oleh bahan selain digunakan untuk mengabukan mineral pada permukaan
bahan, juga dapat mengabukan mineral yang terikat di dalam bahan. Dari tabel hasil diperoleh
bahwa kadar abu nipa tua lebih tinggi dibandingkan dengan nipa muda, hal ini disebabkan pada
nipa tua volume daging buah yang terbentuk sudah mengalami proses pengerasan dan memiliki
jumlah mineral yang lebih banyak.
E. Daftar Pustaka
Apriyanto A, dkk., 1989. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Azuma, H.; Toyota, M.; Asakawa, Y.; Takaso, T.; & Tobe, H. 2002, Floral Scent
Chemistry of Mangrove Plants. J. Plant. Res. 115. 47–53.
Bandaranayake, W. M. 1998, Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangroves
and Salt Marshes. 2. 133-148.
Kashiko, T. 2004, Kamus Lengkap Biologi. Kashiko Press; Surabaya.
Setyawan, A. D.; & Winarno, K. 2006, Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di
Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya
Restorasinya. Biodiversitas. 7. 282-291.
Stenis, C. G. G. G. V. 2005, Flora. Pradaya Paramita; Jakarta.
Winarno, F.G. 1997, Kimia pangan dan Gizi. PT. Gramedia; Jakarta.
F. Lampiran
Gambar Alat untuk Analisis Kadar Abu dan Keterangannya
1. Oven 0-200oC 2. Muffle Furnace 0-1200oC

4. Timbangan dan krusible


 

Anda mungkin juga menyukai