Anda di halaman 1dari 8

Grisselda Priliacita

240210120099
V.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi

komponen organik bahan pangan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis
proksimat yang bertujuan untuk mengevalusi nilai gizi suatu produk atau bahan
pangan terutama total mineral (Winarno, 1997). Kadar abu dari suatu bahan
menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Mineral itu
sendiri terbagi menjadi 4, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Garam organik: garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat


Garam anorganik: garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat
Senyawa komplek: klorofil-Mg, pektin-Ca, mioglobin-Fe, dll
Kandungan abu dan komposisinya tergantung macam bahan dan cara
pengabuannya.
Menurut Sudarmadji, Slamet, (1996) Analisis kadar abu ini diperlukan

untuk diantaranya yaitu:


1. Mengetahui kualitas gizi (indicator bahan pangan)
2. Dapat mengetahui tingkat kemurnian tepung atau gula
3. Mengetahui pemalsuan selai buah dan sari buah
4. Adanya kontaminasi mineral yang bersifat toksik
5. Tingkat kebersihan pengolahan suatu bahan pangan
1.
2.
3.

Adapun metode untuk analisis kadar abu diantaranya :


Metode kering
Metode basah
Metode plasma suhu rendah
Faktor pemilihan metode analisis pengabuan, yaitu:

1.

Sifat organik dan anorganik bahan

2.

Mineral yang akan dianalisis

3.

Sensitivitas metode
Metode

basah

yaitu

mengoksidasi

komponen

organik

sampel

menggunakan oksidator kimiawi seperti asam kuat (Andarwulan, dkk, 2011).


Adapun prosedur praktikum analisis kadar abu metode basah yaitu dengan cara
menghaluskan sampel terlebih dahulu, kemudian sampel diambil sebanyak 1gram
yang selanjutnya disimpan dalam labu gelas tertutup dan dilarutkan dalam asam
kuat seperti HCl, H2SO4, dan HNO3. Setelah semuanya larut dan hoomogen
dilakukan pemanasan didalam tanur selama 5 jam dengan suhu 300oC. Namun

Grisselda Priliacita
240210120099
analisis kadar abu metode basah ini tidak dilakukan pada praktikum kali ini, hal
ini, hal ini disebabkan oleh keterbatasan alat dan bahan yang tersedia.
Kelebihan dari metode basah ini yaitu waktu yang relative singkat, suhu
yang lebih rendah, kehilang mineral yang mudah menguap dapat diminimalisir.
Namun kelemahan dari metode ini yaitu menggunakan zat kimia yang bersifat
korosif, serta membutuhkan tenaga ahli intensif yang sudah mengerti mengenai
pereaksi-pereaksi kimiawinya.
Metode analisis kadar abu yang dilakukan pada praktikum kali ini, yaitu
menggunakan metode pengabuan kering. Metode pengabuan kering yaitu
destruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi dalam tanur pengabuan
(furnace) tanpa terjadi nyala api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan
dan berat konstan tercapai. Suhu yang digunakan pada pengabuan kering ini
sekitar 550 oC dengan oksidator oksigen dan hasil pembakaran atau residu berupa
abu (Andarwulan, dkk, 2011). Alat untuk mengabukan disebut muffle atau tanur
dan tempat atau wadah sample ditempatkan pada cawan krus yang bisa terbuat
dari porselen, baja, platinum. Prinsipnya Abu dalam bahan pangan ditetapkan
dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan pangan organik pada
suhu sekitar 550oC.
Prosedur yang dilakukan, yaitu cawan porselen dipanaskan dalam tanur
selama 30 menit. Pemanasan cawan ini bertujuan agar cawan bersih dari pengotor
lain dan juga untuk menjaga kesesuaian suhu saat pemanasan. Pemilihan cawan
porselen untuk analisis kadar abu dikarenakan karena berat relatif konstan setelah
proses pengabuan berulang, harga murah, namun mudah retak dan pecah jika
dipanaskan pada suhu tinggi dengan tiba-tiba (Apriyanto.A, dkk. 1989).
Setelah dilakukan pemanasan dalam tanur, cawann dimasukkan ke dalam
desikator selama 30 menit dan timbang sampai konstan. Sampel halus sebanyak 1
g dimasukan ke dalam cawan. Sampel harus dihaluskan terlebih dahulu bertujuan
untuk mempercepat proses pengabuan, karena proses pengabuan ini memakan
waktu yang cukup lama (Apriyanto.A, dkk. 1989)..
Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu teri, salak, baso,
kangkung, dan terigu. Cawan berisi sampel dimasukan ke dalam tanur hingga
terbentuk abu putih (kurang lebih 5 jam) dalam suhu 6000c dan didinginkan

Grisselda Priliacita
240210120099
kembali di dalam desikator selama 30 menit. Setelah itu timbang hingga konstan
dan didapat kadar abunya.
Kadar abu dapat dinyatakan dalam basis kering (db) dan basis basah (wb).

.. (1)
Mash : berat abu
Mwet : berat basah
Mdry : berat kering (tanpa air)
Praktikum kali ini kadar abu dinyatakan dalam basis basah karena sampel
tidak terlebih dahulu dikeringkan. Berikut ini merupakan hasil analisis kadar abu
pada masing- masing sampel. Hasil pengamatan dalam analisis kadar abu dalam
praktikum kali ini dapet dilihan pada table 5.1.
Tabel 5.1. Tabel Hasil Pengamatan Kadar Abu
Wcawan Wsampel
Wc+s I
(g)
(g)
(g)
1 Terigu
9,2826 1,0052 9,2894
2 Bayam
8,4962 1,0132 8,5091
3 Baso
10,1128 1,0797 10,1451
4 Ikan Asin 12,0588 1,0158 12,3656
5 Salak
9,5682 1,0209 9,5728
6 Terigu
11,9012 1,0106 11,9078
7 Bayam
8,8854 1,0841 8,8986
8 Baso
9,0927 1,0160 9,1227
9 Ikan Asin 10,9454 1,0196 11,2561
10 Salak
14,0145 1,0747 14,0199
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)

Kel

Sampel

Wc+s II
(g)
9,2886
8,5090
10,1448
12,3560
9,5727
11,9075
8,8984
9,1226
11,2556
14,0191

Wendapan
(g)
0,006
0,0128
0,032
0,2972
0,0045
0,0063
0,013
0,0299
0,3102
0,0046

Kadar
Abu (%)
0,59
1,26
2,96
29,26
0,44
0,62
1,2
2,94
30,42
0,43

Perhitungan kadar abu menggunakan rumus (1) dapat melihat contoh


perhitungan dibawah ini yaitu perhitungan kadar abu pada sampel terigu yang
dilakukan oleh kelompok 6:
Perhitungan:
%kadar abu
-

Sampel Tepung Terigu

x100%

Grisselda Priliacita
240210120099

%kadar abu

x100%

= 0,62
Berdasarkan hasil pengamatan kadar abu hasil praktikum berbeda dengan
yang tercantum pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Berikut ini rincian
perbandingan kadar abu hasil praktikum dengan yang tercantum pada TKPI:
5.1.1

Sampel Tepung Terigu


Berdasarkan TKPI Tepung terigu memiliki kadar abu sebanyak 1
gram dalam 100gram tepung terigu. Jika sampel tepung terigu yang
digunakan 1 gram maka kandungan abu yang terdapat pada 1 gram tepung
terigu yaitu 0,01gram (KZGPI, 1990).
Hasil pengamatan yang didapatkan pada praktikum kali ini
didapatkan kadar abu sebanyak 0,59% dan 0,62% atau sama dengan
0,0059gram dan 0,0062gram, hal ini tidak sesuai dengan literature yang
ada, kejadia seperti ini dapat disebabkan oleh banyaknya mineral yang
mudah menguap dengan pemanasan menggunakan suhu tinggi yang
terkandung pada tepung terigu. Seperti mineral Cu dan Fe.

5.1.2

Sampel Bayam
Bayam memiliki kadar abu sebanyak 1,3 gram dalam 100 gram
bayam (KZGPI, 1990), maka jika sampel bayam yang digunakan sebanyak
1 gram kadar abu yang terdapat pada sampel bayam yang sesuai dengan
literatur yaitu sebanyak 0,013 gram.
Kadar abu bayam yang didapatkan pada praktikum kali ini yaitu
sebanyak 0,0126 gram dan 0,012 gram, perbedaan kadar abu pada
literature dan hasil pengamatan tidak begitu jauh. Maka pengabuang dalam
penentuan kadar abu bayam tidak terjadi kehilangan banyak mineral serta
waktu pengabuan sudah sesuai untuk mengetahui kadar abu yang pas.

5.1.3

Sampel Baso
Berdasarkan hasil praktikum, baso seberat 1 gram memiliki kadar
abu 2,96% dan 2,94%, serta berdasarkan literatur yang ada baso memiliki
kadar abu sebanyak 3% ( SNI). Hal tersebut sudah sesuai dengan standar

Grisselda Priliacita
240210120099
yang ditentukan, dengan demikian penentuan kadar abu tidak kehilangan
kandungan mineral yang terdapat pada baso serta waktu pengabuan sudah
cukup baik.
5.1.4

Sampel Ikan asin


Ikan asin memiliki kadar abu sebanyak 0,165 gram dalam 1 gram
ikan asin kering (DABM, 1964), hal ini berbeda dengan hasil pengamatan
yang didapatkan pada praktikum kali ini, yaitu 29,26 % atau 0,2926 gram
dan 30,42% atau sama dengan 0,3042 gram. Perbedaan yang terjadi cukup
jauh hal ini dapat disebabkan oleh proses pengabuan yang kurang
sempurna, seperti kurangnya waktu ketika sampel dimasukkan ke dalam
tanur, sehingga menyebabkan masih banyak terkandung senyawa organik
dan anorganik lainnya selain mineral.

5.1.5

Sampel Salak
Salak seberat 100 gram memiliki kadar abu sebanyak 0,7gram
(DABM, 1964), praktikum kali menggunakan sampel salak sebanyak 1
gram maka kadar abu yang terdapat seharusnya berkisar 0,007gram.
Namun yang didapatkan pada praktikum kali ini yaitu sebanyak 0,43%
dan 0,44% atau sama dengan kadar abu sebanyak 0,0043 gram dan 0,0044
gram.
Perbedaan jumlah kadar abu antara literatur dan hasil praktikum
yaitu sebesar 0,003 gram dengan kadar abu menurut literature yang lebih
besar, perbedaan jumlah kadar abu ini dapat disebabkan oleh adanya
kandungan mineral yang ikut teruapkan saat sampel ditanur pada suhu
600oC
Pengabuan cara kering memiliki kekurangan dan memiliki juga

kelebihan. Kelebihan dari metode ini yaitu aman,, beberapa sampel dapat
dianalisis secara bersamaan, tidak memerlukan tenaga pekerja yg intensif dan abu
yang dihasilkan dapat di analisis untuk penentuan kadar mineral spesifik. Adapun
kekurangan dari metode kering ini yaitu memerlukan waktu yang lama, biaya
listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur, adanya interaksi mineral
dengan sampel, dan kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi,
seperti : Cu, Fe, Pb, Hg, Ni, Zn. Bahan pangan yang memiliki kandungan lemak

Grisselda Priliacita
240210120099
yang tinggi pada saat pengabuan dapat mengalami dekomposisi atau menguap
pada suhu pengabuan yang sangat tinggi (Sudarmadji, dkk. 1996).
Jenis dan jumlah mineral yang menyusun total abu pada bahan pangan
dapat dianalisis dengan berbagai metode baik metode tradisional maupun metode
modern. Metode tradisional diantaranya dengan cara gravimetri, titrimeti, dan
kolorimetri (Andarwulan dkk, 2011). Cara tradisional ini tidak membutuhkan
instrumen alat yang mahal dan khusus, perlatan akan mudah di temukan di
laboratorium. Hal ini berbeda dengan metode modern yang realitive mahal namun
memiliki niali akurasi dan sensitivitas yang tinggi.
Penentuan kadar mineral yaitu seperti menentukan kandungan Ca pada air.
Hal pertama yang dilakukan yaitu preparasi bahan. Air yang dijadikan sampel
diambil sebanyaak 10 ml dan disimpan di dalam beaker glass yang kemudian di
tambahkan 5 ml HNO3 pekat, kegunaan HNO3 pekat ini untuk mengoksidasi
bahan atau larutan organik menjadi suatu larutan anorganik.
Setelah dilakukan penambahan larutan HNO3 pekat dilakukan pemanasan
di ruang asam dengan beaker glass yang ditutupi dengan kaca arloji hingga
didapatkan larutan jernih, jika belum didapatkan

maka dilakukan kembali

penambahan HNO3 pekat hingga didapatkan larutan yang benar-benar jernih.


Pengukuran kadar mineral dapat dilakukan dengan dibuatnya larutan
standar untuk mendapatkan kurva standar kandungan Ca dengan konsentrasi
terntu, selain itu dapat pula diketahui dengan menggunakan alat Atomic
Absorbstion Spektroskopik (AAS) dengan prinsip atop akan diionisasi sehingga
didapatkan suatu ion yang selanjutnya dilakukan absorbsi untuk mendapatkan
data mengenai kadar Ca yang terdapat pada sampel air.

Grisselda Priliacita
240210120099
VI.

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Pengabuan cara kering dilakukan sangat mudah dan sederhana yaitu
dengan cara mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi dan
dilakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran
tersebut.
2. Prinsip penentuan kadar abu adalah didasarkan pada kenyataan bahwa
mineral tidak hancur dengan pemanasan dan mineral memiliki volatilitas
yang rendah dibandingkan dengan komponen makanan lainnya.
3. Kadar abu hasil praktikum yang lebh tinggi dibandingkan dengan literatur
dapat disebabkan oleh proses pengabuan yang kurang sempurna, seperti
kurangnya waktu ketika sampel dimasukkan ke dalam tanur, sehingga
menyebabkan masih banyak terkandung senyawa organik dan anorganik
lainnya selain mineral. Hal ini terjadi pada sampel ikan teri, salak, dan
tepung terigu.
4. Kelebihan penentuan kadar abu dengan metode kering, yaitu beberapa
sampel dapat dianalisis secara bersamaan, tidak memerlukan tenaga
pekerja yg intensif dan abu yang dihasilkan dapat di analisis untuk
penentuan kadar mineral spesifik.
6.2 Saran
1. Lebih teliti dalam menggunakan alat
2. Pemilihan kondisi sampel yang baik dan masih segar

Grisselda Priliacita
240210120099
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, Nuri., Feri Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. PT.
Dian Rakyat, Jakarta.
Apriyanto.A, dkk. 1989. Analisis Pangan Petunjuk Praktikum. PAU Pangan dan
gizi IPB, Bogor.
Hermana, dkk. 2008. Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). PT Elex Media
Komputindo, Jakarta
Sudarmadji, Slamet, dkk. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty,
Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai