Disusun oleh
Kelompok 2
Adi Saputra
Aulia Anandita Malanur
Istiani Malinda
Maharani Prabandini
Melly Nurvita Sari
Pepi Budi Prasetyo
Shinta Larisa
Tri Wulansari Adlina
2013340041
2015349073
2013340131
2013340109
20133400
2013340079
2013340097
2013340015
Judul Praktikum
II.
III. Pendahuluan
III.I
Latar Belakang
Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh bangsa
China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan (Puspasari, 2007).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk pangan yang terbuat
dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan
pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Anonim, 1992).
Saat ini mie telah digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti nasi. Hal ini
tentu sangat
menguntungkan
ditinjau
dari
sudut
penganekaragaman
bahan
pangan. Dengan menganekaragamkan konsumsi bahan pangan, kita dapat terhindar dari
ketergantungan pada suatu bahan pangan terpopuler saat ini, yaitu beras (Astawan, 2004).
Mie merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya relatif murah
dan praktis mengolahnya, mie juga mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Di
dalam 100 gr mie kering terkandung 338 Kal, protein 7.6 g, lemak 11.8 g, karbohidrat
50.0 g, mineral 1.7 mg dan kalsium 49 mg. Dilihat dari kandungan gizinya, mie rendah
akan kandungan kalorinya sehingga cocok untuk orang yang sedang menjalani diet
rendah kalori (Anonima, 2010).
Salah satu produk industri hasil pertanian adalah mie. Mie merupakan salah satu
produk olahan yang terbuat dari bahan dasar gandum (tepung terigu) dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lainnya yang diizinkan. Dalam ilmu pangan, mie dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu mie segar atau mie mentah, mie basah, mie
kering dan mie instant. Mie segar atau mie mentah adalah mie yang tidak mengalami
proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung kadar air sekitar 35 %, umumnya
digunakan untuk bahan baku mie ayam. Mie basah adalah jenis mie yang mengalami
proses perebusan setelah tahap pemotongan dan mengandung kadar air 52%. Mie kering
adalah mie segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8- 10%.
Sedangkan mie instant adalah mie yang dihasilkan dari proses penggorengan setelah
diperoleh mie segar. Kadar air mie instant umumnya 5- 8%, sehingga memiliki daya
simpan yang lama (Anonim, 2010).
Dalam Standar Nasional (SNI) nomor 01- 3351- 1994, mie instant didefinisikan
sebagai produk makanan kering yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan,
berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air
mendidih selama 3- 4 menit. Berikut ini tabel 2.1 mengenai syarat mutu mie instant
berdasarkan SNI tersebut.
Ada 3 (tiga) golongan mie berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
1. Mie basah
Produk makanan basah yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan,
berbentuk khas mie.
2. Mie kering
Produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentu
khas mie.
3. Mie instan
Mie instan dibuat dari adonan terigu sebagai bahan utama dengan atau tanpa
penambahan bahan lainnya. Mie instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan
memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi.
III.II. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui kadar abu yang merupakan kandungan mineral di dalam mie instant
2. Mengetahui metode penetapan kadar abu
3. Mengetahui pentingnya kadar abu dalam bahan pangan, khususnya mie instant
b. Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam
alkali (Anonim, 2010).
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai
senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah
mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit. Oleh karenanya biasanya dilakukan
dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan
pengabuan. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi baik macam maupun
jumlahnya. Penentuan konsistensi merupakan mineral bahan hasil pertanian yang dapat
dibedakan menjadi dua tahapan yaitu : pengebuan total (larut dan tidak larut) dan
penentuan individu komponen.
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain:
1. Menentukan baik tidaknya suatu pengolahan
Dalam penggilingan gandum, misalnya apabila masih banyak katul atau lembaga
yang terikut maka tepung gandum tersebut akan memiliki kadar abu yang tinggi.
2. Mengetahui jenis bahan yang digunakan
Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah
yang digunakan dalam marmalade atau jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai
untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis.
3. Penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan
Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi
menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain (Fauzi (2006). Abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembkaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu
berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan.
Kemurnian serta kebersihan suatu bahan yag dihasilkan semakin tinggi kadar abu
maka kebesihan suatu produk semakin berkurang.
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Pengabuan cara Langsung (Cara Kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat
organic pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 600 oC dan kemudian melakukan
penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji,
1996).
Pengabuan yang dilakukan didalam muffle dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
a. Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat
melindungi kandungan bahan yang bersifat volatile dan bahan berlemak hingga
kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
b. Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan
maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah
pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba.
Setelah pengabuan selesai maka dibiarkan dalam tanur selama 1 hari. Sebelum
dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan
mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle
dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk,
kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air
berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai bera c gram.
Beberapa kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan
cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain :
a. Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil
pertanian, serta digunakan untuk sample yang relative banyak.
b. Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu
yang tidak larut dalam asam
c. Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan
resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
IV.
Skema Kerja
1. Persiapan Alat
2. Persiapan Sampel
V.
Kadar Abu
Bobot sampel
Bobot cawan kosong konstan
Bobot akhir cawan + abu
Bobot Abu
Kadar Abu
(%)
Bobot Abu
Bobot Sampel
0.011 gram
1.004 gram
Gambar
: 1.004 gram
: 21.559 gram
: 21.570 gram
: 21.570 21.559 = 0.011 gram
x 100 %
x 100 % = 1.096 %
VI.
Pembahasan
Abu
merupakan
zat
anorganik
sisa
hasil
pembakaran
suatu
bahan
organik.Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi
selama beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat
anorganik berwarna putih keabu-abuan yang disebut abu. Kandungan abu dan
komposisinya
bergantung
pada
macam
bahan
dan
cara
pengabuan
yang
digunakan.Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan
tersebut.(Muchtadi ,1989).
Pengabuan dilakukan untuk menentukan jumlah mineral yang terkandung dalam
bahan. Penentuan kadar mineral bahan secara asli sangatlah sulit sehingga perlu
dilakukan dengan menentukan sisa hasil pembakaran atas garam mineral bahan tersebut.
Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan anorganik sehingga
terjadi perubahan radikal organik dan segera terbentuk elemen logam dalam bentuk
oksida atau bersenyawa dengan ion-ion negatif.
Penentuan abu total dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya
suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan
parameter nilai gizi bahan makanan. (Krisno.dkk , 2001).
Pada praktikum kali ini menggunakan sampel mie instant. Berdasarkan analisa
kadar abu pada mie instant yaitu diperoleh kadar abu sebesar 1,096%. Jenis pengabuan
yang dilakukan pada praktikum ini adalah pengabuan cara kering dimana sampel yang
ditimbang langsung diabukan pada suhu 500 600C yang kemudian dilakukan
penimbangan zat yang tertinggal setelah dilakukannya proses pengabuan.
VII.
Kesimpulan
1.
Kandungan abu dalam suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan.
2.
Metode pengabuan ada dua yaitu metode pengabuan kering (langsung) dan metode
pengabuan basah (tidak langsung).
3.
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik
pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 600oC dan kemudian melakukan penimbangan
zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).
4.
Semakin kecil kadar abu yang diperoleh, maka kandungan mineral dalam bahan juga
akan semakin kecil.
5.
Kadar abu yang diperoleh dalam mie instant adalah sebesar 1,096%
DAFTAR PUSTAKA
https://kelompoktikimia2010.wordpress.com/2013/06/29/mie-instan/
http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni_main/sni/detail_sni/3956
http://retno-ani-lestari.blogspot.co.id/2013/01/mie-instan-dan-analisanya.html