Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abu merupakan zat anorganik hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan dan komposisi abu tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Terdapat hubungan antara kadar abu dengan mineral suatu
bahan. Mineral tersebut dapat berupa garam organik maupun anorganik.
Contoh garam organik adalah garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, dan
pektat. Sedangkan garam-garam anorganik contohnya adalah garam fosfat,
karbonat, khlorida, sulfat, dan nitrat (Sudarmadji, 2010). Elemen mineral
anorganik yang memiliki fungsi dalam tubuh harus tersedia pada makanan.
Jika asupannya tidak mencukupi, akan terjadi defisiensi, dan jika berlebihan
akan menjadi racun. (Murray, 2009)
Penentuan abu total dapat digunakan untuk menentukan baik tidaknya
suatu proses pengolahan, untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan
sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya kandungan abu yang
tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau
kotoran lain. (Sudarmadji, 2010)
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara
langsung (cara kering), dan secara tidak langsung (cara basah). Pada
penentuan kadar abu secara langsung (cara kering), temperatur pengabuan
harus diperhatikan, karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada
suhu yang tinggi. Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan
dekomposisi senyawa tertentu. Sehingga suhu pengabuan pada tiap bahan
dapat berbeda-beda tergantung komponennya. Pengabuan dianggap selesai
apabila diperoleh sisa pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu dan
beratnya konstan dengan selang pengabuan 30 menit. (Sudarmadji, 2010)
Cara lain yang lebih teliti dan cepat untuk pengabuan adalah cara
konduktometri. Namun karena memerlukan persyaratan khusus dan alat yang
lebih rumit, cara ini belum banyak digunakan. prinsip cara ini adalah larutan

1
2

gula atau bahan atau konstituen mineral mengalami disosiasi sedangkan


sukrosa yang merupakan bahan non elektrolit tidak mengalami disosiasi.
(Sudarmadji, 2010)

1.2 Tujuan Praktikum


1. Mengetahui prosedur analisis kadar abu
2. Menganalisis kadar abu pada kacang-kacangan secara baik dan benar
sesuai prosedur dan petunjuk praktikum.

1.3 Manfaat Praktikum


Praktikan dapat mengetahui prosedur analisis kadar abu pada kacang-
kacangan secara baik dan benar sesuai petunjuk praktikum.
3

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Analisis Kadar Abu


Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu suatu bahan erat kaitannya dengan kandungan
mineral bahan tersebut. (Sudarmadji, 2010)
Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan
anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi.
Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena ada beberapa
mineral yang hilang selama prosesnya. Kandungan abu yang tinggi pada
bahan pangan, dalam beberapa hal dapat member petunjuk kemungkinan
adanya pemalsuan. Kandungan abu dalam bahan pangan dapat
dikelompokkan menjadi abu yang larut air, abu larut asam, abu tidak larut air,
dan abu tidak larut asam. Tingginya kandungan abu tak larut asam merupakan
ukuran dari banyaknya pasir dan silica yang ada dalam bahan pangan.
(Sirajudin, 2011)
Berbagai mineral di dalam bahan ada di dalam abu pada saat bahan
dibakar. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi kualitas bahan,
karena abu menggambarkan mineral dalam bahan pangan. (Legowo, 2004)
Mineral yang terkandung dalam suatu bahan merupakan garam organik
dan garam anorganik. Contoh garam organik adalah garam-garam asam
mallat, oksalat, asetat, dan pektat. Sedangkan garam-garam anorganik
contohnya adalah garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat, dan nitrat
(Sudarmadji, 2010). Elemen mineral anorganik yang memiliki fungsi dalam
tubuh harus tersedia pada makanan. Jika asupannya tidak mencukupi, akan
terjadi defisiensi, dan jika berlebihan akan menjadi racun. (Murray, 2009)
Kandungan kadar abu suatu bahan dapat ditentukan dengan 2 cara,
yaitu berdasarkan bahan basah (wet basis) dan bahan kering (dry basis).
Kadar air basah (wb) dinyatakan sebagai jumlah air yang diuapkan per berat

3
4

bahan sebelum pengeringan/pengasapan. Sedangkan kadar air kering (db)


adalah jumlah air yang diuapkan per berat bahan setelah
pengeringan/pengasapan. (Winarno, 2004)
Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) memiliki kelebihan
yaitu dapat menentukan total abu suatu bahan makanan dan dapat digunakan
pada sampel yang relatif banyak. Sedangkan kekurangan metode ini adalah
untuk menentukan abu yang larut dan tidak larut air, serta abu yang tidak
larut asam memerlukan waktu yang relatif lama, memerlukan suhu yang
relatif tinggi, memerlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam penimbangan
dan pemindahan sampel untuk mendapatkan bobot yang konstan.
(Sudarmadji, 2010)
Selain cara langsung, penentuan kadar abu juga dapat dilakukan secara
tidak langsung, yaitu dengan cara melarutkan sampel ke dalam cairan yang
ditambahkan oksidator. Setelah itu baru dilakukan pembakaran sampel
(Legowo, 2004). Cara ini disebut juga pengabuan basah dan memiliki
beberapa keuntungan, antara lain suhu yang digunakan tidak dapat melebihi
titik didih larutan dan pada umumnya karbon lebih cepat hancur dengan
pengabuan kering. Pengabuan basah pada prinsipnya adalah penggunaan
asam nitrat untuk mendestruksi zat organik pada suhu rendah dengan maksud
menghindari kehilangan mineral akibat penguapan. Pengabuan basah
umumnya digunakan untuk menganalisis arsen, tembaga, timah, dan seng.
(Buckle, 2007)
Pengabuan secara tidak langsung digunakan untuk mendigesti sampel
dalam usaha penentuan trace elemen dan logam-logam beracun. Untuk
mengatasi kehilangan komponen karena suhu tinggi dan penggunaan waktu
yang lama pada cara kering, maka digunakan metode ini (Nielsen, 2009).
Perbedaan pengabuan cara kering dan basah adalah:
1. Cara kering untuk penentuan abu total, sedangkan cara basah untuk trace
elemen
2. Cara kering memerlukan waktu lama, sedangkan cara basah waktu yang
diperlukan cepat
5

3. Cara kering memerlukan suhu yang relatif tinggi, sedangkan cara basah
suhunya relatif rendah
4. Cara kering digunakan untuk sampel yang relatif banyak, sedangkan cara
basah sebaiknya sampel sedikit dan kadangkala memerlukan reagensia
yang cukup berbahaya. (Sumantri & Rahman, 2007)
Cara lain yang lebih teliti dan cepat untuk pengabuan adalah cara
konduktometri. Namun karena memerlukan persyaratan khusus dan alat yang
lebih rumit, cara ini belum banyak digunakan. prinsip cara ini adalah larutan
gula atau bahan atau konstituen mineral mengalami disosiasi sedangkan
sukrosa yang merupakan bahan non elektrolit tidak mengalami disosiasi.
(Sudarmadji, 2010)

2.2 Prinsip Kerja


1. Mengoksidasi semua zat organik dalam bahan makanan melalui
pemanasan pada suhu 500-600 oC dengan tanur dan mengasumsikan zat
yang tertinggal sebagai abu
2. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi, sebelum pengabuan harus
dikeringkan terlebih dahulu
3. Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh, karena
banyak elemen yang menguap pada suhu tinggi. (Ramelan, 1996)
Analisis kadar abu cara kering/langsung memiliki kelemahan, yaitu:
1. Beberapa komponen abu mudah mengalami dekomposisi atau menguap
pada suhu tinggi
2. Membutuhkan waktu yang relatif lama.
6

BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


1. Alat
a. Timbangan analitik e. Gegep
b. Desikator f. Bunsen
c. Cawan porselin g. Korek api
d. Tanur
2. Bahan
Sampel kacang hijau serbuk (hasil analisis kadar air).

3.2 Skema Kerja

Mulai

Sampel kacang hijau serbuk (B3 kadar air) dalam cawan


porselin ditimbang dengan timbangan analitik

Dibakar dengan Bunsen hingga tidak berasap

Dimasukkan ke dalam tanur dan diabukan pada


suhu 500-550 oC hingga berwarna putih

Didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang

Selesai

Gambar 1 Skema Kerja Analisis Kadar Abu

6
7

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1 Hasil Analisis Kadar Abu
Kel Sampel B1 (g) B2 (g) B3 (g) Kadar Abu
(%)
1 Kacang hijau 21,28 26,01 21,48 4,07
2 Kedelai putih 21,73 26,37 21,98 5,29
3 Kedelai hitam 28,43 33,02 28,57 2,97
4 Kacang tanah 20,99 25,74 21,10 2,35
5 Kacang hijau 20,88 26,45 22,07 3,95
6 Kedelai putih 27,88 32,53 28,21 6,40
7 Kedelai hitam 21,64 26,34 21,87 4,87
8 Kacang tanah 21,49 26,97 21,61 2,26
Keterangan
B1: berat cawan porselin konstan
B2: berat cawan porselin dan sampel sebelum diabukan
B3: berat cawan porselin dan sampel setelah diabukan

4.2 Pembahasan
Prinsip penentuan kadar abu secara langsung adalah dengan
mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi sekitar 500-600 oC dan
menimbang zat yang tersisa setelah pembakaran serta mengasumsikan zat
yang tersisa itu sebagai abu. (Sudarmadji, 2010)
Praktikum ini dilakukan untuk menentukan kadar abu pada kacang
hijau, kedelai putih, kedelai hitam, dan kacang tanah dengan metode
pengabuan kering. Sampel yang digunakan merupakan hasil analisis kadar air
(B3 kadar air) pada praktikum sebelumnya. Langkah yang pertama kali
dilakukan adalah mengambil cawan porselin berisi sampel hasil analisis kadar
air yang sebelumnya disimpan dalam desikator dan menimbangnya dengan

7
8

timbangan analitik untuk mengetahui berat konstan. Selanjutnya dilakukan


pengarangan atau membakar sampel melalui bagian bawah cawan porselin
dengan bunsen untuk mengoksidasi bahan organik dan untuk menghilangkan
air pada sampel sampai asapnya hilang yang menandakan bahwa sudah tidak
ada lagi air yang tersisa. Karena jika air masih ada, saat dimasukkan dalam
tanur uapnya akan terkumpul menghasilkan tekanan yang besar dan dapat
menyebabkan tanur meledak. Kemudian dilakukan pemijaran/pengabuan
dengan tanur pada suhu 500 oC selama 3 jam untuk mendestruksi zat organik
yang masih tersisa sehingga diperoleh sisa pengabuan yang umumnya
berwarna putih abu-abu. Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator selama
15 menit untuk mendinginkan dan mencegah penyerapan uap air dari udara
bebas. Desikator yang digunakan dilengkapi dengan silica gel berwarna ungu
untuk mengontrol dan menyerap uap air. Setelah itu cawan porselin dan
sampel ditimbang untuk mengetahui beratnya setelah pemijaran dan
dilakukan perhitungan untuk mengetahui kadar abu, dengan rumus:
𝑩𝟑−𝑩𝟏
Kadar Abu (g/100 g) = x 100 %
𝑩𝟐−𝑩𝟏

Keterangan:
B1: berat cawan porselin konstan
B2: berat cawan porselin dan sampel sebelum diabukan
B3: berat cawan porselin dan sampel setelah diabukan
Dalam praktikum ini, diperoleh data kadar abu kacang hijau yaitu
4,0661% serta kadar abu kacang kedelai 5,29% dan 2,974%.
Pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia, kadar abu kacang hijau
adalah 3,3 gram per 100 gram BDD (berat dapat dimakan) atau sebesar 3,3%.
Kadar abu kacang kedelai sebesar 5,5% dan kadar abu kacang tanah adalah
2,4%. (Mahmud, 2009) Jika dibandingkan dengan data praktikum, terdapat
perbedaan dengan kadar abu pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah metode penentuan dan jenis atau varietas sampel yang berbeda,
kesalahan pengamatan dan pengukuran, perbedaan suhu dan waktu saat
pemijaran atau pengabuan dalam tanur, hasil pengabuan saat praktikum masih
9

berwarna hitam seharusnya ditetesi asam nitrat kemudian dimasukkan dalam


tanur lagi namun tidak dilakukan karena memakan waktu lama, serta kondisi
cawan porselin yang belum stabil.
Kandungan kadar abu suatu bahan dapat ditentukan dengan 2 cara,
yaitu berdasarkan bahan basah (wet basis) dan bahan kering (dry basis).
Kadar air basah (wb) dinyatakan sebagai jumlah air yang diuapkan per berat
bahan sebelum pengeringan/pengasapan. Sedangkan kadar air kering (db)
adalah jumlah air yang diuapkan per berat bahan setelah
pengeringan/pengasapan. (Winarno, 2004)
Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) yang digunakan
pada praktikum ini memiliki kelebihan yaitu dapat menentukan total abu
suatu bahan makanan dan dapat digunakan pada sampel yang relatif banyak.
Sedangkan kekurangan metode ini adalah untuk menentukan abu yang larut
dan tidak larut air, serta abu yang tidak larut asam memerlukan waktu yang
relatif lama, memerlukan suhu yang relatif tinggi, memerlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam penimbangan dan pemindahan sampel untuk
mendapatkan bobot yang konstan. (Sudarmadji, 2010)
Selain cara langsung, penentuan kadar abu juga dapat dilakukan secara
tidak langsung, yaitu dengan cara melarutkan sampel ke dalam cairan yang
ditambahkan oksidator. Setelah itu baru dilakukan pembakaran sampel.
(Legowo, 2004) Cara ini disebut juga pengabuan basah dan memiliki
beberapa keuntungan, antara lain suhu yang digunakan tidak dapat melebihi
titik didih larutan dan pada umumnya karbon lebih cepat hancur dengan
pengabuan kering. Pengabuan basah pada prinsipnya adalah penggunaan
asam nitrat untuk mendestruksi zat organik pada suhu rendah dengan maksud
menghindari kehilangan mineral akibat penguapan. Pengabuan basah
umumnya digunakan untuk menganalisis arsen, tembaga, timah, dan seng.
(Buckle, 2007)
Cara lain yang lebih teliti dan cepat untuk pengabuan adalah cara
konduktometri. Namun karena memerlukan persyaratan khusus dan alat yang
lebih rumit, cara ini belum banyak digunakan. prinsip cara ini adalah larutan
10

gula atau bahan atau konstituen mineral mengalami disosiasi sedangkan


sukrosa yang merupakan bahan non elektrolit tidak mengalami disosiasi.
(Sudarmadji, 2010)
11

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Prinsip menentukan kadar abu pada kacang-kacangan dengan cara
kering adalah mengoksidasi semua zat organik dalam bahan makanan melalui
pemanasan pada suhu 500-600 oC dengan tanur dan mengasumsikan zat yang
tertinggal sebagai abu. Selain itu, temperatur pengabuan harus diperhatikan
sungguh-sungguh, karena banyak elemen yang menguap pada suhu tinggi.

5.2 Saran
Praktikan diharapkan berhati-hati dalam menggunakan peralatan di
laboratorium sehingga tidak terjadi kerusakan ataupun kekeliruan dalam
mengoperasikan alat, serta dalam melakukan penimbangan dibutuhkan
ketelitian untuk mendapat hasil yang akurat.

11
12

DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A, dkk. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta, 2007.


Legowo, Anang M. Diktat Kuliah Analisis Pangan. Universitas Diponegoro.
Semarang, 2004.
Mahmud, Mien K, dkk. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. PT Elex Media
Komputindo. Yogyakarta, 2009.
Murray, R.K., dkk. Biokimia Harper. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta,
2009.
Nielsen, S.S. Food Analysis Fourth Edition. Springer. USA, 2009.
Ramelan. Fisika Pertanian. UNS Press. Surakarta, 1996.
Sirajudin, Saifuddin. Pedoman Praktikum Analisis Bahan Makanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar, 2011.
Sudarmadji, dkk. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta,
2010.
Sumantri dan Rahman. Analisis Makanan. Gadjah mada University Press.
Yogyakarta, 2007.
Winarno, F.G. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
2004.

12

Anda mungkin juga menyukai