Anda di halaman 1dari 9

Firna Telia Res

240210130027
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan
kandungan mineral yang terdapat dalam tersebut, kemurnian, serta kebersihan
suatu bahan yang dihasilkan (Andarwulan, 2011). Mineral yang terdapat dalam
suatu bahan dapat merupakan dua macam yaitu garam organik dan garam
anorganik. Garam organik misalnya garam-garam asam malat, oksalat, asetat, dan
pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat,
karbonat, klorida, sulfat dan nitrat. Jumlah mineral biasanya ditentukan dengan
menetapkan sisa-sisa pembakaran garam mineral yang dikenal dengan pengabuan.
Prinsip penentuan kadar abu didasarkan pada kenyataan bahwa:

Mineral tidak hancur dengan pemanasan

Mineral memiliki volatilitas yang rendah dibandingkan dengan komponen


makanan lainnya.
Pengabuan dapat dilakukan dengan metode langsung maupun tidak

langsung. Pengabuan langsung yang umum dilakukan adalah pengabuan kering


dengan panas tinggi dan adanya oksigen serta pengabuan basah dengan
menggunakan oksidator-oksidator kuat, sedangkan pengabuan tidak langsung
dilakukan dengan metode pertukaran ion.
4.1. Pengabuan Kering
Praktikum analisis kadar abu kali ini menggunakan metode langsung atau
metode pengabuan kering dalam pengujiannya. Analisis kadar abu dengan metode
pengabuan kering dilakukan dengan cara mendekstruksi komponen organik
sampel dengan suhu tinggi di dalam tanur pengabuan (furnace), tanpa terjadi
nyala api, sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan daan berat konstan
tercapai. Sampel yang digunakan diantaranya tepung terigu, bayam, bakso, ikan
teri dan salak.
Tahap pertama yang dilakukan dalam analisis kadar abu diantaranya
mempersiapkan cawan pengabuan hingga mencapai berat konstan dengan cara
dibakar dalam suhu 100-105C, didinginkan dalam desikator selama 15 menit,

Firna Telia Res


240210130027
lalu ditimbang. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perhitungan yang salah
mengenai kada abu dan mineral yang mungkin masih tersisa pada cawan porselen
yang hendak digunakan. Cawan porselen digunakan berdasarkan sifat bahan yang
akan dianalisis serta jenis analisis lanjutan yang akan dilakukan terhadap abu.
Cawan porselen digunakan untuk pengabuan karena beratnya yang relatif konstan
setelah pemanasan berulang-ulang, tahan terhadap asam, mudah dibersihkan dan
harga yang murah, namun cawan porselen juga memiliki kekurangan diantaranya
tidak tahan terhadap alkali sampel, mudah retak, bahkan pecah jika dipanaskan
dengan suhu tinggi secara tiba-tiba.
Tahapan selanjutnya adalah persiapan sampel. Persiapan sampel yang
dilakukan diantaranya penghancuran dan penimbangan sampel sebanyak 1 gram.
Penghancuran sampel dilakukan untuk memperluas ukuran permukaan sampel
sehingga pengabuan dapat berlangsung secara efektif. Penghancuran dapat
dilakukan menggunakan mortar porselen, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
kontaminasi mineral pada sampel yang harus dicegah. Kontaminasi dapat
ditimbulkan oleh berbagai sebab misalnya penggunaan alat-alat logam di dalam
preparasi sampel. Tahap selanjutnya adalah menempatkan menimbang sampel
sebanyak 1 gram dan menmpatkannya ke dalam cawan porselen yang sudah
konstan beratnya.
Tahapan berikutnya yaitu memindahkan cawan ke dalam tanur dan
dipanaskan pada suhu 300C selama 5 jam. Abu yang dihasilkan dari pemanasan
dengan suhu tinggi selanjutnya didinginkan di dalam desikator selama 15 menit
lalu ditimbang untuk mengetahui kadar abu yang dimiliki dalam sampel yang
diujikan. Persen kadar abu lalu dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:

Tabel hasil pengamatan perhitungan kadar abu dapat dilihat sebagai berikut.

Firna Telia Res


240210130027
Kelomp
ok
1

Kod
e

Wcawan
(konstan)

7 16,1976

Wsampe

cawan + sampel

Wabu

% abu

1,007
2

16,4150

0,217
4

21,5846

10 9,7087

1,132
8

9,7177

0,009
0

0,7945

3 9,0486

1,001
2

9,0624

0,013
8

1,3783

1 8,8999

1,093
3

8,9241

0,024
2

2,2135

5 9,4252

1,003
2

9,5040

0,078
8

7,8549

6 15,0317

1,087
2

15,2683

0,236
6

21,7623

8 10,9463

1,039
5

10,9554

0,009
1

0,8754

4 8,7041

1,013
8

8,7177

0,013
6

1,3415

9 11,0397

1,037
8

12,1028

1,063
1

102,4378

10

2 9,3880

1,000
3

9,4670

0,079
0

7,8976

(Sumber : Hasil Pengamatan Kelompok TIP A ,2015)


Keterangan :
7 Ikan Asin Peda
10 Ikan Segar Kembung
3 Biskuit Susu
1 Biskuit gandum
5 Susu Bubuk Low Fat
6 Ikan Asin Peda
8 Ikan segar kembung
4 Biskuit susu
9 Biskuit gandum
2 Susu bubuk low fat

Firna Telia Res


240210130027
Kadar abu tertinggi berdasarkan tabel pengamatan yang telah diujikan
dimiliki oleh sampel biskuit gandum, sedangkan sampel yang memiliki kadar abu
terendah adalah Ikan segar kembung . Kadar abu rendah yang dihasilkan Ikan
segar kembung disebabkan karena Ikan segar kembung mengandung kadar air
yang banyak dibanding sampel lainnya. Banyaknya kadar air ini menyebabkan
dibutuhkannya waktu yang lebih lama untuk menguapkan air dan bahan volatile
sepenuhnya. Tingginya kadar abu pada suatu bahan makanan menunjukkan bahwa
makanan tersebut kurang baik, karena semakin tinggi kadar abu maka semakin
berkurang kualitas bahan pangan.
Menurut SNI Ikan kembung syarat kadar abu maksimal untuk layak
dikonsumsi menurut SNI adalah 1,5% (b/b),menurut Standar Internasional kadar
abu pada ikan asin kurang dari 2% (Bastaman 1989).Standar Nasional Indonesia
(SNI) tahun 1992 kadar abu pada biskuit maksimal ialah 1,6%,standar mutu susu
bubuk rendah lemak berdasarkan SNI 01-2970-1999 b/b maks 9,0 %. Dengan
membandingkan kadar Abu hasil Praktikum dengan SNI maka sampel ikan
memenuhi syarat kadar abu maksimal untuk konsumsi begitu pula dengan biskuit
dan susu bubuk namun ada kejanggalan dengan hasil praktikum kelompok 9
sehingg akadar abu yang terdeteksi sangat besar.
Pengabuan dengan cara lansung memiliki beberapa kelemahan maupun
kelebihan (Apriantono, 1989). Kelebihan dari cara langsung, antara lain :
Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil
pertanian, serta digunakan untuk sample yang relatif banyak
Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta
abu yang tidak larut dalam asam
Tanpa menggunakan reagen sehingga biaya lebih murah dan tidak
menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya
Kelemahan dari cara langsung antara lain adalah:
Membutuhkan waktu yang lebih lama
Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan memiliki kemungkinan kehilangan
air yang terikat secara kimia karena pemakaian suhu tinggi pada bahan pangan
4.2. Pengabuan Basah

Firna Telia Res


240210130027
Proses pengabuan basah dilakukan dengan cara mengoksidasi komponen
organik sampel menggunakan oksidator kimiawi seperti asam kuat (Andarwulan,
dkk, 2011). Pengabuan ini biasanya lebih banyak digunakan untuk persiapan
sampel mineral-mineral mikro atau mineral-minereal toksik. Asam kuat bisa
digunakan adalah HCl, HNO3, H2SO4, dan lain-lain. Asam-asam ini berfungsi
sebagai oksidator yang akan mengoksidasi senyawa-senyawa organik dalam
sampel.
Pengabuan sering memerlukan waktu yang lama, untuk mempercepat
proses pengabuan dapat dilakukan beberapa cara yaitu menambah bahan dengan
kuarsa murni sebelum pengabuan untuk memperluas permukaan dan menambah
porositas, seperti dengan menambahkan pasir bebas abu dan zat organik. Berat
abu contoh harus sama dengan residu pembakaran (abu) dikurangi berat pasir.
Menambahkan gliserol-alkohol sehingga akan terbentuk kerak yang porosus dan
proses oksidasi semakin cepat, dan menambahkan hydrogen peroksida untuk
mempercepat oksidasi (Khopkar, 2003).
Penetapan kadar abu secara tidak langsung dapat dilakukan untuk
menghitung kandungan elektrolit total dalam bahan pangan. Prinsip dari
pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam
bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah
gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan
pada suhu tinggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak
sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat
mempercepat oksidasi. Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.

Waktu yang diperlukan relatif singkat


Suhu yang digunakan relatif rendah
Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah
Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan
Penetuan kadar abu lebih baik.

Kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :


a. Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun
b. Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya
c. Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan. (Apriantono, 1989)
4.3. Pengabuan dengan Cara Tidak Langsung

Firna Telia Res


240210130027
Penetapan kadar abu secara tidak langsung dapat dilakukan untuk
menghitung kandungan elektrolit total dalam bahan pangan. Prinsip dari
pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam
bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah
gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan
pada suhu tinggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak
sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat
mempercepat oksidasi.
Pemanasan dengan pasir bebas dapat membuat permukaan yang
bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan me

mperbesar porositas,

sehingga mempercepat proses pengabuan. (Sudarmadji, 1996). Beberapa


kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada pengabuan cara tidak langsung.
Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
f.
g.
h.
i.
j.

Waktu yang diperlukan relatif singkat


Suhu yang digunakan relatif rendah
Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah
Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan
Penetuan kadar abu lebih baik.

Kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :


d. Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun
e. Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya
f. Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan. (Apriantono,
1989)
Temperatur ketika proses pengabuan harus diperhatikan karena banyak
elemen abu yang mudah menguap pada suhu tinggi, seperti unsur K, Na, S, Ca,
Cl, dan P. Suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa
tertentu, misalnya K2CO3, CaCO3, MgCO3. Menurut Whichman (1940), K2CO3
terdekomposisi pada suhu 700oC, CaCO3 terdekomposisi pada suhu 600-650oC
sedangkan CO3 terdekomposisi pada suhu 300-400oC. Tetapi bila ketiga garam
tersebut berada bersama-sama akan membentuk senyawa karbonat kompleks yang
lebih stabil. Pengabuan di atas suhu 600oC tidak dianjurkan karena menyebabkan
hilangnya zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida logam alkali.

Firna Telia Res


240210130027

Firna Telia Res


240210130027

V.PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
pengabuan langsung (metode kering dan metode basah) serta pengabuan tidak
langsung
2. Penentuan kadar abu dengan cara kering yaitu dengan mengoksidasikan zat-zat
organik pada suhu 600oC kemudian melakukan penimbangan zat-zat tertinggal
3. Hasil analisis kadar abu yang dilakukan menghasilkan ikan asin sebagai bahan
pangan dengan kadar abu tertinggi dan salak sebagai bahan pangan dengan
kadar abu terendah
4. Penentuan kadar abu dengan metode basah dilakukan dengan mengoksidasi
komponen organik sampel menggunkan oksidator asam kuat.
5. Penentuan kadar abu engan metode tak langsung dilakukan untuk menghitung
kandungan elektrolit total dalam bahan pangan.
5.2. Saran
1. Praktikan melaksanakan praktikum dengan berhati-hati agar tidak terjadi
kesalahan dalam analisis
2. Proses pengabuan harus dilaksanakan dengan cara yang tepat agar hasil yang
diperoleh semakin akurat.

Firna Telia Res


240210130027

DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedamawati dan S. Budiyanto.,
1989.
Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB Press
Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2973-1992. Biskuit . Jakarta. Badan
Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional Indonesia.1999.SNI 01-2970-1999: Susu Bubuk.
Balai Besar Industri Kimia Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Jakarta
Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-2354.1-2006. Ikan Segar . Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional.
Bastaman S. 1989. Studies On Degradation Extraction of Chitin and Chitosan.
Jakarta: Bumi Aksara
Harmayani, E., Utami, T. dan Khairina, R. 2000. Pemanfaatan Asap Cair Pada
Pengolahan Wadi Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) Makanan Hasil
Fermentasi. Jurnal Makanan Tradisional Indonesia Vol.2 No.3: 1-10
Khopkar, S.M., (2003), Konsep Dasar Kimia Analitik, UIPress, Jakarta
Sudarmadji, Slamet et al. 1996. Prosedur Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Anda mungkin juga menyukai