Anda di halaman 1dari 13

Tahun 1917, Hari Perempuan Sedunia Jadi Revolusi

Hari Perempuan Sedunia, atau International Women’s Day (IWD), yang diperingati tiap tanggal 8
Maret, bukan hanya seremonial belaka. Pada tahun 1917, peringatan IWD berujung pada revolusi
sosial.

Itu terjadi di Rusia. Aksi tanggal 8 Maret 1917, yang diorganisir oleh perempuan Rusia, menjadi
pemantik berkobarnya Revolusi terbesar di awal Abad ke-20: Revolusi Rusia. Bagaimana itu terjadi?

Tahun 1910, di Konferensi Internasional Perempuan Sosialis di Kopenhagen, Denmark, Clara Zetkin,
seorang sosialis, mengusulkan agar 8 Maret dijadikan sebagai Hari Perempuan Sedunia. Usulan itu
diterima oleh ratusan perempuan delegasi dari 17 Negara.

Akhirnya, sejak 1911, perempuan di banyak Negara menggelar aksi memperingati Hari Perempuan
Sedunia. IWD pertama digelar di Berlin (Jerman), Swiss, Austria, Denmark, Bulgaria dan Amerika
Serikat. Jutaaan perempuan turun ke jalan di peringatan IWD pertama ini.

Tahun 1913, perempuan Rusia juga memperingati IWD untuk pertama kalinya. Di kalender Rusia, itu
di minggu terakhir Februari 1914. Karena saat itu dunia sedang dicabik-cabik oleh perang, maka isu
utamanya adalah penolakan terhadap perang Imperialis.

Tahun 1914, Rusia yang saat itu diperintah oleh kekaisan Tsar Nicholas II ambil bagian dalam perang.
Lima jutaan tentara Rusia, yang sebagian besar anak kelas pekerja dan petani, digiring dalam perang
tersebut.

Lama-lama rakyat Rusia sadar bahwa perang itu bukanlah tentang nasib mereka. “Itu adalah perang
para bangsawan dan kapitalis. Mereka yang mendapat emas, tapi pekerja dan petani yang
membayarnya dengan nyawa,” tulis perempuan Rusia dalam sebuah famplet di tahun 1917.

Tahun 1917, dampak perang itu kian terasa. Lebih dari 2 juta tentara Rusia terbunuh di medang
perang. Tidak hanya itu, Rusia tercekik utang 8 milyar Rubel. Di Rusia sendiri kelaparan melanda
seluruh negeri. Sebab, barang-barang dan hasil pertanian dirampas paksa untuk membiayai perang.

Kaum perempuan Rusia-lah yang paling menanggung beban itu: kehilangan anak, kerja paksa, dan
kelaparan. Tidak mengherankan, perempuan Rusia lantas bergerak. Sebagian besar di bawah panji-
panji Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia (PBSDR).
Menjelang peringatan IWD, Komite antar-Distrik PBSDR, sering disebut Mezhrayonka, di Petrogad
(Ibukota Rusia saat itu), menyebarkan famplet.

“Dengan dalih perang, para pemilik pabrik ingin mengubah pekerja jadi budaknya. Biaya hidup
melambung tinggi di kota-kota. Kelaparan mengetuk pintu setiap orang. Dan di desa-desa, mereka
mengambil ternak dan potongan roti terakhir, demi perang,” demikian ditulis famplet itu.

Famplet itu sangat agitatif. Tetapi benar-benar mewakili keadaan yang sebenarnya. Kaum sosialis
yang tergabung dalam PBSDR mengeluarkan seruan terkenal, Roti dan Perdamaian, yang menjawab
keresahan umum saat itu.

Tanggal 8 Maret pagi (23 Februari dalam penanggalan Julian/Rusia), di Petrogad, kekurangan bahan
bakar menyebabkan pabrik roti berhenti berproduksi. Sementara perempuan dan anak-anak
mengantre untuk sepotong roti.

Perempuan yang bekerja di pabrik tekstil berhenti bekerja. Mereka mengajak pekerja yang lain
untuk mogok.

Tidak mengherankan, mobilisasi IWD menarik partisipasi banyak orang. Tidak hanya perempuan,
tetapi juga laki-laki. Mereka meneriakkan “roti dan perdamaian” di jalan-jalan kota Petrogad.

Siapa sangka, seruan itu menarik begitu banyak orang turun ke jalan. Beberapa sumber menyebut
90.000 orang bergabung dalam demonstrasi dan mogok hari itu juga.

Besoknya, 9 Maret, protes bertambah besar dan meluas. Jumlah mereka mencapai 200.000-an
orang. Polisi dan gendarme (polisi tidak berseragam resmi) dikerahkan untuk menumpas protes.
Bentrokan tidak terhindarkan.

Tanggal 10 maret, aksi mogok meluas ke seantero Petrogad. Buruh-buruh di masing-masing pabrik
membentuk Soviet (Dewan Buruh). Kali ini sudah ada 250.000 buruh turun ke jalan.

Tanggal 11 Maret, Tsar mengerahkan lebih banyak tentara dan polisi untuk memukul
pemberontakan. Namun, rakyat tidak bisa lagi dipukul mundur.
Banyak tentara yang mengalami demoralisasi ketika diperhadapkan dengan rakyat. Mereka
bergabung dengan kaum revolusioner dan berbalik menentang Tsar.

Hari itu juga Tsar membubarkan Duma (parlemen kerajaan).

Tanggal 12 Maret, simbol-simbol monarki dibakar di jalan-jalan. Monarki sudah kehilangan kontrol
atas keadaan.

Tanggal 15 Maret, Tsar Nicholas menyerahkan tahkta kepada adiknya, Michael Alexandrovich.
Namun, besoknya, tanggal 16 Maret, adiknya itu menolak takhta itu. Berakhirlah Dinasti Romanov
yang memerintah kekaisaran Rusia selama 300-an tahun.

Hari itu juga Pemerintahan sementara atau Pemerintahan Provinsional terbentuk.

Namun, tidak berkuasa lama, pada 7 November 1917 (25 Oktober dalam penanggalan Rusia), kaum
sosialis di bawah pimpinan Bolshevik menyempurnakan Revolusi Rusia itu dengan menggulingkan
pemerintahan provinsional dan membentuk pemerintahan Soviet.

Itulah revolusi paling besar dan paling berkobar di permulaan Abad ke-20. Revolusi yang memicu
revolusi lain di berbagai tempat. Juga melipatgandakan semangat bangsa-bangsa jajahan untuk
mengusir kolonialisme.

Oiya, revolusi juga langsung menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan. Mulai dari lapangan
ekonomi, politik, sosial hingga di depan hukum.

Terima kasih, kaum Perempuan Rusia.

RINI HARTONO, Ibu dari seorang anak perempuan, yang suka menulis dan tertarik dengan sejarah,
masalah sosial-budaya, ekonomi dan politik, serta isu kesetaraan gender.
IWD 2022: Dua Abad Perjuangan Kesetaraan

Dua abad yang lalu, percikan ide-ide tentang kesetaraan manusia telah mengisi gerakan perempuan
untuk memperjuangkan kesetaraan gender.

Ketika revolusi Perancis 1789 menggelinding, kaum perempuan juga menuntut hak-haknya. Kaum
perempuan perancis benar-benar menginginkan slogan liberté, egalite, fraternité bisa membumi di
dunia nyata.

Faktanya, Déclaration des droits de l’homme et du citoyen de 1789, dokumen suci tentang HAM
pasca Magna Charta, tidak memuat hak-hak perempuan. Padahal, pada saat penyusunannya, kaum
perempuan sudah mengajukan petisi ke Majelis Nasional agar hak-hak perempuan diakui.

Merasa kecewa dengan hal itu, pada 1791, Olympe de Gouges, seorang feminis dalam revolusi
Perancis, menyusun deklarasi tandingan yang disebut: Déclaration des droits de la femme et de la
citoyenne.

Dalam deklarasinya itu, de Gouges menyebut perempuan dilahirkan sebagai manusia merdeka,
karena itu mereka berhak diperlakukan setara dengan laki-laki. Dia juga mendesak agar perempuan
sebagian bagian dari warga negara dilibatkan dalam pembuatan hukum, menduduki jabatan politik,
dan mendapat pekerjaan.

Lantaran kegigihannya memperjuangkan hak-hak perempuan dan perbedaan pendapatnya dengan


barisan revolusioner yang lain, Olympe de Gouges dihukum pancung menggunakan Guillotine.

Namun, semangat dan cita-cita de Gouges dan perempuan Perancis lainnya telah memercikkan
inspirasi untuk perempuan di tempat lain. Salah satunya adalah konvensi hak-hak perempuan di
Seneca Falls, New York, pada 1848. Konvensi ini disebut sebagai salah satu titik awal gelombang
pertama gerakan feminisme.

Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, perempuan mulai berhimpun untuk memperjuangkan
kesetaraan, seperti penghapusan perbudakan (abolisionisme), hak pilih perempuan (women
suffrage), hak atas pendidikan, hak-hak buruh perempuan, dan kesetaraan dalam pernikahan, dan
lain-lain.
Di Indonesia, pada akhir abad ke-20, ide tentang kesetaraan gender juga mulai berkecambah. Kartini
yang pertama sekali menyalakan api perjuangan kesetaraan di negeri ini. Dalam rentang yang tak
lama, mulai muncul perempuan yang mulai menggerakkan emansipasi perempuan lewat jalan
pendidikan, seperti Dewi Sartika dan Roehana Koeddoes.

Kemudian, sejak 1910-an, mulai berdiri banyak organisasi perempuan, seperti i Poetri Mardika
(1912), Keoetamaan Isteri (1913), Keradjinan Amai Setia (1914), Wanito Hadi (1915), Pawijatan
Wanito (1915), Poerborini (1916), Pertjintaan Iboe Kepada Anak Temoeroen/PIKAT (1917), Aisjijah
(1917), Wanita Soesilo (1918), dan lain-lain.

Dalam rentang itu, isu “women suffrage” juga mulai masuk ke Indonesia, yang dibawa oleh
organisasi hak-hak perempuan Belanda. Selain hak pilih perempuan, isu lain yang diangkat gerapan
perempuan, antara lain, hak atas pendidikan, kesetaraan dalam perkawinan, penolakan terhadap
poligami, dan lain-lain.

Pada bulan Desember 1928, terpaut dua bulan pasca Kongres Pemuda, gerakan perempuan
menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kongres yang melibatkan 30-an
organisasi ini membahas isu hak atas pendidikan, kesetaraan dalam perkawinan, poligami, dan
perlindungan terhadap janda dan anak yatim.

Sejak itu, gerakan kesetaraan gender di Indonesia tumbuh bersama dengan pasang gerakan yang
memperjuangkan kemerdekaan.

Kini, setelah dua abad perjuangan untuk kesetaraan, sudahkah dunia menjadi lebih adil untuk semua
gender?

Hitungan World Economic Forum (WEF) dalam Global Gender Gap 2021 menyebutkan, dunia ini
masih membutuhkan 145,5 tahun untuk mewujudkan kesetaraan gender di lapangan politik.
Sementara untuk mencapai kesetaraan ekonomi, dunia butuh lebih lama lagi: 267,6 tahun.

Di Indonesia, kesenjangan gender atau gender gap itu masih sangat tinggi. Merujuk ke laporan
Global Gender Gap 2021, Indonesia berada di peringkat 101 dengan skor 0,688 dari 156 negara yang
disurvei.

Tahun 2021, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, ada 338.496 laporan kasus kekerasan
berbasis gender (KBG) terhadap perempuan yang terverifikasi sepanjang 2021. Angka itu meningkat
hampir 50 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dari angka-angka itu, kekerasan seksual menjadi ancaman nyata bagi perempuan Indonesia. Dari
laporan Komnas Perempuan, setiap dua jam, ada tiga perempuan Indonesia yang menjadi korban
serangan seksual.

Mirisnya, meski Indonesia berhadap-hadapan dengan darurat kekerasan seksual, negara ini belum
punya payung hukum yang kuat untuk melindungi perempuan. Rancangan Undang-Undang (RUU)
penghapusan kekerasan seksual diusulkan sejak 2012, lalu masuk Prolegnas sejak 2016, tetapi tak
kunjung disahkan hingga sekarang.

Di Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan tak hanya hadir dalam konstruksi sosial, bahkan
tertuang lewat kebijakan politik. Berdasarkan hasil pendokumentasian Komnas Perempuan hingga
akhir 2021, ada 441 kebijakan yang cenderung mendiskriminasi perempuan.

Di dunia kerja, ada banyak hambatan yang menghalangi perempuan untuk maju dan berkembang.
Mulai dari streotip tentang kecocokan pekerjaan, penggunaan marital status dalam rekrutmen
tenaga kerja, perbedaan upah berdasarkan gender, langit-langit kaca (glass ceiling) dalam
kesempatan karir dan jabatan, pelecehan seksual, dan kasus PHK karena faktor gender (hamil,
melahirkan, menyusui, dll).

Hari-hari ini, perjuangan untuk kesetaraan gender di Indonesia makin berat. Selain minimnya
dukungan politik dari Negara lewat kebijakan, gerakan perempuan tengah berhadap-hadapan
dengan pasang fundamentalisme agama yang hendak menghempaskan kemajuan-kemajuan
perjuangan gender mundur ke belakang.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memperpendek waktu untuk mewujudkan kesetaraan ini?

Mau tak mau, kita harus menagih tanggung-jawab Negara. Sebab, negara ini diproklamirkan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dan masyarakat adil dan makmur itu tak mungkin
terwujud tanpa kesetaraan gender di dalamnya.

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat juga menegaskan: melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Bangsa itu meliputi semua gender.

Pertama, negara harus lebih serius untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan. Negara perlu memastikan seluruh kebijakannya tidak bias gender.
Selain itu, negara perlu menghadirkan payung hukum yang lebih lebar dan kokoh untuk melindungi
perempuan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kedua, negara perlu mendorong kesetaraan yang lebih luas di lapangan politik. Politik afirmasi
perempuan harus dijalankan secara konsisten. Upaya meningkatkan keterwakilan politik perempuan
di parlemen dan jabatan-jabatan politik harus dimulai dari menciptakan sistem politik yang ramah
perempuan.

Ketiga, negara perlu mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan. Sebab, tanpa kesetaraan
ekonomi, agak sulit untuk mencapai kesetaraan sosial dan politik.

Dukungan ini mulai dari dukungan bagi usaha ekonomi perempuan (khususnya pelaku UMKM),
kesempatan kerja yang adil, upah yang setara, dan perlindungan dan upah layak bagi pekerja rumah
tangga.

Tentu saja, tuntutan ini tak bisa sekadar mengharap. Tak cukup dengan lobi dan petisi. Tuntutan ini
harus diperjuangkan sekeras-kerasnya dan sehebat-hebatnya di semua lapangan perjuangan. Mulai
dari protes jalanan, panggung budaya, diskusi publik, pawai besar, rapat umum, kampanye media
sosial, dan lain-lain.

Selain itu, dengan karakter negara kita hari ini yang tunduk pada kuasa segelintir elit (oligarki) dan
desakan kaum fundamentalis, kita perlu mengupayakan perjuangan politik yang lebih kuat.

Perjuangan politik ini tak bisa dilakukan oleh perempuan sendirian. Mengingat persoalan
ketidakadilan gender tak berdiri sendiri di ruang kosong, melainkan berkelindan dengan persoalan
ketimpangan ekonomi, kelas sosial, diskriminasi terhadap minoritas, faktor budaya, dan lain-lain.

Bahwa keprihatinan terhadap ketidakadilan gender sama pentingnya dengan isu ketimpangan
ekonomi dan krisis ekologi.

Karena itu, selain mengupayakan semakin banyak politisi pro kesetaraan gender di jabatan politik
(legislatif dan eksekutif), gerakan perempuan perlu mendukung upaya menciptakan partai politik
alternatif yang memperjuangkan tatanan masyarakat baru yang lebih demokratis, setara, dan
menghargai lingkungan.
Sujatin Kartowijono, Sang Penerus Api Kartini

Tahun 1920-an, api pemikiran Kartini membakar semangat seorang remaja perempuan. Sujatin,
nama remaja itu, terpukau membaca “Door Duisternis Tot Licht”.

“Tak ada buku bacaan lain, di antara sekian buku bacaan yang pernah kunikmati, yang lebih
berpengaruh kepadaku selain yang satu ini,” kata Sujatin di dalam biografi yang ditulis oleh Hanna
Rambe, Mencari Makna Hidupku.

Sujatin Kartowijono merupakan sosok penting dalam derap perjuangan perempuan Indonesia, baik
untuk kesetaraan gender maupun kemerdekaan bangsanya. Dia menjadi penerus cita-cita Kartini.

Mewarisi Api Kartini

Sujatin lahir tanggal 9 Mei 1907 di desa Kalimenur, Kabupaten Wates, Yogyakarta. Dia lahir dari
keluarga berdarah priyayi.

Bapaknya, Mahmud Joyohadinoro, menjadi pegawai di jawatan kereta api Belanda. Sedangkan
ibunya, Raden Ajeng Kiswari, seorang bangsawan yang dekat dengan Keraton Yogyakarta.

Sujatin adalah anak keempat dari 5 bersaudara. Semua kakaknya adalah perempuan. Karena itu,
ketika Sujatin masih dalam kandungan, bapaknya sangat mengharap anak laki-laki.

Sehingga, ketika Sujatin lahir, bapaknya agak kecewa. Sang bapak, yang tercekoki anggapan
patriarkis itu, enggan untuk menggendong Suyatin.

Sujatin mendengar kisah itu dari kakaknya ketika sudah menginjak Hollands Inlandsche SchoolHIS
(sekolah dasar zaman Belanda). Saat itu, sebagai anak perempuan yang beranjak remaja, Suyatin
merasakan langsung perlakuan yang tak adil karena faktor gender.

Namun, Sujatin tak menyerah. Kisah pahit itu menjadi pendorong semangatnya. Dia percaya,
pendidikan akan memperbaiki nasib perempuan. Karena itu, selain belajar di sekolah, Suyatin
berteman dengan buku-buku.
Dia membacai surat-surat Kartini, terutama yang terkompilasi di buku “Door Duisternis Tot Licht”.
Dari bacaan itu, Sujatin tak hanya mendapat pengetahuan dan inspirasi, tetapi juga semangatnya.

Pada tahun 1922, ketika bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/MULO (sekolah setingkat
SMP), dia mulai terjun ke gelanggan pergerakan sebagai aktivis Jong Java. Ia aktif dalam kegiatan
organisasi kepemudaan itu.

Karena api Kartini, Sujatin juga rajin menulis. Ia banyak menuliskan kegelisahan maupun
pemikirannya lewat koran Jong Java. Dia memakai nama pena dari nama bunga: Garbera.

Setelah tamat dari MULO, lagi-lagi karena pengaruh Kartini, Sujatin melanjutkan pendidikannya ke
sekolah guru. Dia bertekad menjadi pembawa obor bagi pencerahan bangsanya.

Tahun 1926, Kartini mulai menjadi pengajar di sekolah dasar (HIS) swasta. Dia enggan menjadi guru
di sekolah milik pemerintah. Sebagai konsekuensinya, dia menikmati gaji yang lebih kecil.

Berorganisasi dan Bergerak!

Tahun 1926, di sela-sela kesibukannya sebagai guru, Sujatin dan kawan-kawannya mendirikan
organisasi perempuan bernama Poetri Indonesia.

Organisasi yang berbasis di Jogjakarta ini banyak menghimpun guru-guru. Salah satu aktivitasnya
adalah membuka kursus-kursus dan pengajaran bagi rakyat, terutama perempuan.

Tahun 1928, di Batavia, kaum muda menggelar Kongres pemuda ke-2. Kongres yang melahirkan
“Sumpah Pemuda” itu bergaung ke seantero Hindia-Belanda dan memercikkan semangat untuk
bersatu.

Melihat sukses Kongres Pemuda ke-2, Sujatin mulai mendekati sejumlah tokoh perempuan, seperti
Nyi Hajar Dewantara dan R.A. Soekonto. Ia mengajak tokoh-tokoh itu menggagas kongres
perempuan.

Ide Sujatin mendapat sambutan. R.A Soekonto, aktivis Wanita Oetomo, terpilih sebagai ketua panitia
Kongres, sedangkan Nyi Hajar Dewantoro dan Sujatin menjadi bendahara panitia.
Kongres Perempuan pertama terlaksana pada 22-25 Desember 1928, di pendopo Joyodipuran,
Yogyakarta. Sebanyak 600-an perempuan dari 30-an organisasi menjadi peserta kongres itu.

Di kongres itu, Sujatin ikut menyampaikan pidato sambutan. Menariknya, meskipun sehari-hari
menggunakan bahasa Belanda, tetapi di kongres itu ia menggunakan bahasa Indonesia (bahasa
Melayu).

Kongres perempuan menjadi titik penting pergerakan perempuan Indonesia, baik untuk perjuangan
kesetaraan gender maupun pembebasan nasional.

Kongres ini juga melahirkan kesepakatan untuk membentuk federasi bersama organisasi
perempuan: Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Di pengujung 1928, PPI berganti nama menjadi
Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII).

Usia kongres itu, aktivisme Sujatin meningkat. Dia makin terbenam dalam pergerakan kesetaraan
gender dan emansipasi sosial. Dia tak hanya membeci patriarki, tetapi juga sistem sosialnya:
feodalisme.

Selain bergelut dengan isu-isu pendidikan, dia juga terlibat dalam berbagai advokasi rakyat jelata.
Mulai dari mengadvokasi mereka yang terlilit utang hingga memprotes diskriminasi di tempat kerja.

Tahun 1932, di sela-sela kesibukan berorganisasi, Sujatin bertemu pasangan hidupnya: Pudiarso
Kartowijono. Kebetulan, Pudiarso juga seorang aktivis pergerakan. Mereka menikah tahun itu juga.

Tahun 1942, penguasa di Nusantara berubah, dari Hindia-Belanda menjadi fasisme Jepang. Saat itu,
demi memobilisasi dukungan rakyat Indonesia kepada perang Asia Timur Raya, Jepang membentuk
banyak organisasi massa, termasuk Fujinkai untuk perempuan.

Sujatin menolak ide pembentukan Fujinkai. Menurut dia, gerakan perempuan tak memerlukan
organisasi baru lagi, melainkan memperluas yang ada.

“Segera setelah itu, aku menerima surat dari penyelenggara pertemuan: hati-hati, Kempetai. Dua
hari kemudian, namaku masuk daftar hitam Jepang,” kenang Sujatin dalam The Encyclopedia of
Indonesia in the Pacific War.

Revolusi dalam Revolusi


Usai Proklamasi kemerdekaan, gerakan perempuan kembali menggeliat untuk mendukung revolusi
nasional.

Di Yogyarkata, kaum perempuan berbaris membentuk Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI).


Organisasi ini bertekad untuk memobilisasi perempuan ke dalam revolusi kemerdekaan.

Di Jakarta, perempuan membentuk Wanita Indonesia (WANI). Organisasi ini banyak mendirikan
dapur umum dan mengatur distribusi beras demi menopang revolusi yang sedang bergolak.

Sujatin, yang kala itu berada di Jakarta, bergabung dengan WANI. Saat itu, kondisi Jakarta sudah
mencekam sejak kedatangan Inggris yang diboncengi NICA pada 15 September 1945. Akibatnya,
aktivitas dapur umum pun tidak aman dari bahaya.

Saat itu, seiring-sejalan dengan semangat revolusi yang terus berkobar, aktivis-aktivis perempuan
terus bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuatan.

Pada 15-17 Desember 1945, di Klaten, Jawa Tengah, Perwani dan WANI berhasil menyelenggarakan
kongres perempuan pertama pasca Proklamasi. Sujatin ikut serta dalam kongres ini.

Kongres itu kemudian meleburkan Perwani dan WANI ke dalam wadah baru: Persatuan Wanita
Republik Indonesia (PERWARI). Sujatin menjadi bagian dari PERWARI.

Tak berselang lama, pada Februari 1946, sebuah konsolidasi perempuan yang diinisiasi oleh Perwari
menghidupkan Badan Kongres Wanita Indonesia untuk mendorong konsolidasi gerakan perempuan
yang lebih luas.

Kelanjutannya, pada Juni 1946, ada Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) yang diselenggarakan di
Madiun, Jawa Timur. Di KOWANI, Sujatin ditunjuk sebagai ketua di Dewan Pimpinan Pusat.

Usai penyerahan kedaulatan, Perwari dan KOWANI aktif memperjuangkan isu-isu perempuan,
termasuk memperjuangkan UU perkawinan yang demokratis dan berkeadilan.

Tahun 1950-an, Perwari terusik oleh praktek poligami di kalangan pegawai negeri sipil. Puncaknya,
pada 1952, pemerintah membuat peraturan tentang pembagian uang pensiun untuk pegawai negeri
yang memiliki istri lebih dari orang. Bagi Perwari, peraturan itu sama saja dengan melegitimasi
poligami.

Tahun 1953, Sujatin ditunjuk sebagai Ketua Umum Perwari. Di bawah nahkodanya, Perwari berdiri
paling depan menentang poligami.

Puncaknya, pada 17 Desember 1953, Perwari memerintahkan seluruh cabangnya menggelar aksi
memprotes PP yang membolehkan poligami. Aksi itu mendapat dukungan luas.

Belum selesai isu PP, tahun itu juga tersiar kabar rencana pernikahan Sukarno dengan Hartini. Sujatin
dan Perwari meradang. Saat itu, tak banyak organisasi perempuan yang berani memprotes poligami
Sukarno.

Tetapi Sujatin dan Perwari berani memilih jalannya yang konsisten untuk menentang poligami.
Perwari menunjuk Sujatin untuk menyampaikan protes langsung kepada Presiden Sukarno.

Di tahun yang sama, Perwari dan organisasi perempuan lainnya tengah berjuang keras untuk
menghasilkan UU perkawinan yang demokratis.

Tahun 1960-an, Sujatin mulai mengurangi keterlibatannya di Perwari. Akan tetapi, perhatiannya
pada isu-isu perempuan tidak pernah surut.

Di masa Orde baru, dia sempat mengisi beberapa jabatan di pemerintahan, seperti konsultan
Departemen Sosial (1974-1978). Dia juga sempat memimpin Persatuan Wredatama Republik
Indonesia (PWRI).

Pada 1 Desember 1983, Sujatin menghembuskan napas terakhirnya di RS Cipto Mangunkusumo.

Anda mungkin juga menyukai