Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Allah memberikan keleluasan kepada orang-orang Islam untuk bergiat dalam
perdagangan, dengan syarat tidak menjual sesuatu yang haram dan tidak mengabaikan nilainilai moral
dalam melakukannya, seperti kejujuran, kebenaran, dan kebersihan, serta tidak hanyut terbawa
kesibukan dagang sehingga lupa mengingat dan menenuaikan kewajiban terhadap Allah. Perdagangan
adalah mencari kekayaan dengan tukarannya kekayaan.

Dan perdagangan merupakan salah satu bentuk usaha yang legal, perdagangan telah menjadi mata
pencaharian yang memberikan hasil tidak sedikit, dan telah memiliki kekayaan. Islam mewajibkan dari
kekayaan yang di investasikan dan diperoleh dari perdagangan itu agar dikeluarkan zakatnya, setiap
tahun sebagai zakat uang, sebagai tanda terima kasih kepada Allah, membayar hak orang-orang yang
berhak, dan ikut berpartisipasi buat kemaslahatan umum demi agama dan negara yang merupakan
setiap jenis zakat. Salah satu landasan zakat dagang ialah firman Allah: َ ِ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن ض‬
‫“ طيِِّبَا ِ ت َما َك َس ْبت ُ ْم َو ِم َّما أ َ ْخ َرجْ نَا َل ُك ْم ِمنَ ْْال َ ْر‬Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagiandarihasilusahamu yang baik-baikdansebagiandariapa yang Kami
keluarkandaribumiuntukkamu.” (QS. Al Baqarah: 267).

PEMBAHASAN ZAKAT PERDAGANGAN

A. Pengetian Zakat Perdagangan Tijarah atau dagang menurut istilah fiqh adalah mengolah harta benda
dengan cara tukar menukar untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan disertai niat berdagang.
harta dagangan (tijarah) adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh
laba dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu
merupakan harta warisan, maka ‘ulama maz|hab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan.
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang di keluarkan atas kepemilikan harta yang
diperuntukkan untuk jual beli. Zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara
perorangan maupun perserikatan, seperti CV, PT, dan Koperasi. Adapun asset tetap seperti mesin,
gedung, mobil, peralatan dan asset tetap lain tidak dikenakan kewajiban zakat dan tidak termasuk harta
yang harus dikeluarkan zakatnya. Hampir seluruh Ulama’ sepakat bahwa perdagangan itu setelah
memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat harta perdagangan ini
berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist.

1.Al-Qur’an Dasar wajibnya zakat barang dagangan dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam firman Allah
Surat Al Baqarah ayat 267 yang berbunyi: َ ْ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن ض ِ طيِِّبَا ِ ت َما َك َس ْبت ُ ْم َو ِم َّما أ َ ْخ َرج‬
‫“ نَا َل ُك ْم ِمنَ ْْال َ ْر‬Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagiandarihasilusahamu
yang baik-baikdansebagiandariapa yang Kami keluarkandaribumiuntukkamu.” (QS. Al Baqarah: 267).
2. Hadits Diantara hadist yang digunakan oleh para ulama’ untuk menunjukkan landasan zakat
perdagangan adalah hadist Samurah Ibni Jundub: “Rasulullah telah menyuruh kami untuk mengeluarkan
shodaqoh dari apa apa yang kami maksudkan untuk dijual.” Setiap perintah berarti wajib dilaksanakan,
karena yang dapat disimpulkan dari kata-kata “ memerintah kami “ adalah bahwa Nabi mengeluarkan
ucapan beliau dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan.

B.Syarat benda menjadi Tijarah Kata Al Karabisy : “ Apabila ia memiliki sesuatu benda kemudian ia
berniat akan memperniagakannya, menjadilah barang perniagaan, sebagimana apabila ia ambil sesuatu
barang dari barang perniagaan untuk dipakai dirumah, menjadilah barang yang dipakai dirumah. Kata
Ibnu Qadamah : syarat benda barang perniagaan ialah :

1. Harta itu dimiliki dengan jalan usaha, dengan jalan ‘iwald atau bukan.

2. Diniatkan diketika memilikinya, bahwa barang itu untuk diperniagakan. Jika dimiliki dengan jalan
pusaka dan dimaksudkan untuk tijarah, tidaklah menjadi tijarah. Dan diriwayatkan dari Ahmad, bahwa
segala benda menjadi tijarah dengan niat.

Kata Abu hanifah, malik ,dan Asy Syafi’y: “ sesuatu barang yang dipergunakan dirumah, kemudian
diperniagakan, tidak menjadi barang perdagangan.

C. Memperniagakan barang yang wajib zakat dan yang tak wajib zakat Apabila harta tijarah (binatang
atau buah-buahan) ada satu nishab, tidak dijadikan dua zakat, zakat tijarah dan zakat ‘ain(zakat
binatang). Yang wajib hanya salah satunya saja. Dan apabila sesuatu barang yang tak wajib zakat dibeli
untuk tijarah maka jika dibeli dengan senishab mata uang pada permulaan tahun dihitung saat ketika
memilki mata uang dan jika tidak senishab, dihitunglah tahun dari masa membelinya. Dan jika dibeli
dengan barang yang bukan dari harta zakat, maka tahunnya dihitung saat membeli.

D. Nishab dan haul pada harta perniagaan Segenap ulama mengi’tibarkan nishab dan haul terhadap
harta perniagaan. Namun mereka berselisihan faham tentang waktu mengi’tibarkan nishab. Kata Asy
Syafi’y dalam Al Umm : Nishab itu dipandang di akhir tahun. Demikian pula pendapat Malik Kata Abul’
abbas ibnu Suraj: Nishab itu di hitung dari awal hingga akhir tahun. Demikian pula pendapat Ahmad.
Kata setengah ulama: Nishab itu dihitung dari awal dan akhir tahun saja. Demikian penetapann
AbuHanifah. Tentang permulaan tahun dilihat kepada harga barang. Jika barang perniagaan dibeli
dengan mata uang, maka permulaan tahunnya, adalah diketika memiliki mata uang itu. Jika dibeli
dengan hutang, maka permulaan tahun dihitung dari hari pembelian. Sedangkan permulaan masa satu
tahun (haul) dari harta tijarah diperinci sebagai berikut :
1. Jika harta dagangan dimiliki dengan alat penukar yang berupa “nuqud” (emas atau perak) yang
jumlahnya mencapai nis}ab, maka masa satu tahun terhitung sejak memiliki emas atau perak tersebut,
bukan saat memiliki harta dagangan.

2. Jika harta dagangan dimiliki dengan alat penukar selain emas dan perak atau dengan nuqud yang
jumlahnya tidak mencapai nisab, maka masa satu tahun (haul) terhitung sejak memiliki harta dagangan.

E. Syarat-Syarat Wajib Zakat Perdagangan

Satu di antara harta yang wajib dizakati adalah harta perdagangan atau juga disebut dengan harta
peniagaan. Di dalam al-Qur’an, kita juga dapat menemukan dasar dalil yang digunakan para ulama fiqh
dalam menetapkan hukum wajib zakat perdagangan, para sahabat, tabi’in dan ulama salaf dan
menyepakati (konsensus/ ijma’) dengan menetapkan harta dagangan sebagai harta yang wajib dizakati.
Syarat-syarat zakat perdagangan ialah sebagai berikut : 1.

Nisab Harga harta perdagangan harus telah mencapai nisab emas dan perak, senilai 85 gram emas.
Nisab tersebut dihitung di akhir tahun. Menurut mazhab maliki berpendapat bahwa, apabila seorang
pedagang merupakan seorang muhtakir, ia wajib menjual barang-barang daganganya dengan nisab
emas atau perak. Tetapi, jika dia merupakan seorang mudir, dia wajib menjual barang-barang
daganganmya dengan berapa pun jumlah emas atau perak tersebut kendatipun hanya satu dirham.

2. Hawl Harga harta perdagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl, terhitung sejak
dimilikinya harta tersebut. Menurut mazhab syafi’i, yang menjadi ukuran dalam hal ini adalah akhir hawl
sebab pada saat inilah zakat diwajibkan. Apabila pada awal hawl seorang pedagann memiliki harta yang
bisa menyempurnakan nisab (misalnya, 100 dirham), yang setengahnya dijadikan modal dagang,
kemudian pada akhir hawl hartanya mencapai 150 dirham, dia wajib zakat.

3. Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan. Pemilik barang dagangan harus
berniat dagang berdagang ketika membelinya. Adapun jika niat dilakukan setelah harta dimiliki, niatnya
harus dilakukan ketika kegiatan perdagangan dimulai. Juga menurut Mazhab syafi’i mesyaratkan agar
seseorang berniat melakukan perdagangan ketika transaksi berlangsung atau ketika dia masih berada
ditempat transaksi, jika dia tidak berniat ketika itu, dia tidak wajib mengeluarkan zakat perdagangan.
Pada setiap transaksi yang baru, niat perdagangan harus diperbarui sampai mencapai habisnya modal.
Kata “memperdagangkan” mengandung dua unsur yaitu tindakan dan niat. Tindakan adalah perbuatan
pembeli dan penjual, sedangkan niat adalah maksud untuk memperolah keuntungan ada tersebut.
Kedua unsur tersebut harus ada, tidak cukup salah satunya. Bila seseorang membeli sesuatu untuk
dipakai sendiri degan niat apabila mneguntungkan nanti ia akan menjualnya, maka hal tersebut tidaklah
termasuk barang dagangan.

4.Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran. Barang-barang dagangan dimiliki dengan melalui
pertukaran, seperti jual-beli atau sewa-menyewa.

5. Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai “ qunyah “ Apabila seseorang bermaksud melakukan
qunyah terhadap hartanya, hawlnya terputus, sehingga apabila setelah itu dia hendak melakukan
perdagangan, dia harus memperbaharui niatnya. Mengenai modal uang, persoalannya sudah jelas,
tetapi mengenai modal berupa barang, maka syarat wajib zakatnya sama dengan syarat wajib zakat
dengan modal uang, yaitu sesudah haul (masa setahun), sesudah mencapai nisab, bebas dari hutang,
dan lebih dari kebutuhan pokok. Nisab barang dagang adalah senilai harga 85 gram emas. Nisab
tersebut dihitung pada akhir tahun.

F. Cara membayar zakat dagangan Bila telah sampai masa satu tahun menjalankan kegiatan dagang di
adakan perhitungan seluruh kekayaan, yaitu modal, laba, simpanan di Bank dan piutang yang
diperkirakan dapat kembali. Lalu mengosongkan semua daganannya dan menggabungkan semua
dagangannya dan menghitung semua barang ditambah dengan uang yang ada, baik yang digunakan
untuk perdagangan maupun tidak, ditambah lagi dengan piutang yang diharapkan kembali, kemudian
mengeluarkan zakatnya 2,5 %. Sedangkan piutang yang tidak mungkin kembali, maka piutang tersebut
tidak ada zakatnya, sampai orang itu menerima piutang untuk kemudian dikeluarkan zakatnya. Pada
saat menghitung kekayaan, barang tidak bergerak seperti bangunan toko, etalase dan perabot-perabot
lainnya, tidak diperhitungkan. Kekayaan yang diperhitungkan adalah barang-barang yang bergerak yang
langsung diperjual belikan. Kalau ternyata tidak sampai nisabnya pada saat perhitungan, maka sebaiknya
dikeluarkan infak dan sedekah sekedarnya, agar kekayaan yang ada mendapat berkah dengan harapan
usaha dagang dimasa mendatangakan lebih berhasil, sehingga dapat mengeluarkan zakat. Harta sebagai
karunia dari Allah perlu disyukuri, apakah harta itu sedikit atau banyak, dalam bentuk zakat, infak, atau
sedekah.

G. Perhitungan Barang Dagangan, Kadar Yang Wajib Dikeluarkan Dalam Zakat Perdagangan Dan Cara
Perhitungannya. Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat puluh harga
barang dagangan. Jumlah zakat yang wajib dikeluarkan darinya sama dengan zakat naqdayn (emas dan
perak). Cara menghitung barang-barang dagangan menurut jumhur ialah ketika mencapai hawl, barang-
barang dagangan hendaknya dihitung, baik disesuaikan dengan emas maupun dengan perak. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya ikhtiyath agar kaum fakir tidak terabaikan. Dengan demikian, yang dihitung
bukan barang-barang yang dimiliki saat pembelian. Ketika barang dagangan telah mencapai hawl dan
nisab perak, tetapi tidak mencapai nisab emas, barang dagangan tersebut dihitung sesuai dengan nisab
perak. Hal ini dimaksudkan agar kaum fakir bisa mendapatkan harta zakat, kendatipun harga barang
dagangan yang disesuaikan dengan harga perak itu lebih sedikit dari nisabnya. Dan, ketika barang
dagangan tersebut telah mencapai nisab emas, maka perhitungan barang dagangan harus disesuaikan
dengan nisabnya. Maksudnya agar zakat tetap diwajibkan. Mengenai pembelian barang dagangan tidak
ada perbedaan, baik ia dibeli dengan emas, perak maupun dengan barang-barang yang lain. Mazhab
syafi’i berpendapat bahwa barang-barang dagangan dihitung sesuai dengan harga pembelian, baik
dengan harga emas maupun harga perak karena nisab barang dagangan didasarkan kepada
pembeliannya. Oleh karena itu, zakat mesti diwajibkan dan ditentukan berdasarkan harga pembelian.
Atas dasar ini, apabila seseorang memiliki barang dagangan yang dibeli dengan suatu mata uang
tertentu, dia harus menghitung barang dagangannya dengan mata uang tersebut. Apabila seseorang
memilki barang dagangan dengan jalan menukarkannya dengan barang yang lain untuk qunyah,
perhitungannya disesuaikan dengan mata uang yang berlaku di suatu daerah, baik berupa dinar maupun
dirham.

B. Pengertian Harta Perdagangan Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk
menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh
keuntungan. Harta perdagangan meliputi makanan, pakaian, kendaraan, barang-barang industri, hewan,
barang-barang tambang, tanah, bangunan, dan lain-lain, yang bisa diperjualbelikan[1]Barang dagangan
di sini adalah yang bukan emas dan perak, baik yang di cetak, seperti uang Pound dan Riyal, maupun
yang tidak dicetak, seperti perhiasan wanita. Tiga imam mazhab sepakat bahwa emas dan perak mutlak
tidak termasuk dalam barang dagangan. Malikiyah tidak sependapat dalam masalah (emas/perak) yang
tidak dicetak. Menurut mereka bila emas dan perak itu tidak dicetak, maka keduanya termasuk barang
dagangan.[2] ‘Urudh ialah bentuk jamak dari kata ‘aradh, artinya, harta dunia yang tidak kekal. Kata ini
juga bisa dipandang sebagai bentuk jamak dari kata ‘ardh artinya barang selain emas dan perak, baik
berupa benda, rumah tempat tinggal, jenis-jenis binatang, tanaman,pakaian, maupun barang yang
lainnya yang disediakan untuk perdagangan. Termasuk kategori ini, menurut mazhab Maliki, ialah
perhiasan yang diperdagangkan. Rumah yang diperjualbelikan oleh pemiliknya, hukumnya sama dengan
barang-barang perdagangan. Adapun rumah yang didiami oleh pemiliknya atau dijadikan sebagai
tempat bekerja, seperti tempat dagang atau tempat perusahaan, tidak wajib dizakati.[3]Harta yang
digunakan untuk perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya. Ini ditetapkan tanpa ada perselisihan
diantara sahabat.

C. Landasan Hukum Zakat Perdagangan Ibn al-Mundzir berkata, “para ahli ilmu sepakat bahwa dalam
barang-barang yang dimaksudkan sebagai barang-barang dagangan, zakatnya dikeluarkan ketika telah
mencapai hawl. Dalil mengenai pewajiban zakat perdagangan. Nabi saw bersabda sebagai berikut, Allah
swt berfirman dalam al-qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya hai orang-orang yang beriman,
nafkakanlah (di jalan Allah) sebagian hasil usahamu yang baik-baik. Menurut Mujahid, ayat di atas
diturunkan berkenaan dengan perdagangan. Nabi saw bersabda sebagai berikut: “Dalam unta ada
sedekahnya. Dalam sapi ada sedekahnya. Dalam kambing ada sedekahnya. Dan dalam bazz juga ada
sedekahnya”[4] Abu ‘Amr bin Hammas meriwayatkan bahwa ayahnya berkata “saya pernah disuruh oleh
Umar. Dia mengatakan,”Tunaikanlah zakat hartamu.’aku menjawab,’aku tidak mempunyai harta kecuali
anak panah dan kulit. “Dia berkata lagi,’Hitunglah hartamu itu, kamudian tunaikan zakatnya”.[5] Dari
Samurah bin Jundab berkata: “kemudian daripada itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada kami,
untuk mengambil zakat dari semua yang kami maksudkan untuk dijual” (HR. Abu daud). Dari Abi Dzar,
dari Nabi saw bersabda:”pada bahan pakaian wajib dikeluarkan zakatnya” (HR. Daruquthni dan Baihaki)

D.Syarat Zakat Barang Dagangan

1. Nisab. Harga harta perdagangan harus telah mencapai nisab emas atau perak yang dibentuk. Harga
tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di setiap daerah.

2. Hawl. Harga harta dagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl, terhitung sejak
dimilikinya harta tersebut.

3. Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan.

4. Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran. Jumhur, selain madzhab Hanafi, mensyaratkan agar
barang-barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, seperti jual beli atau sewa menyewa

5. Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai qunyah (yakni sengaja dimanfaatkan oleh diri sendiri dan
tidak diperdagangkan).

6. Pada saat perjalanan hawl semua harta perdagangan tidak menjadi uang yang jumlahnya kurang dari
nisab. Hal ini merupakan syarat yang lain yang dikemukakan oleh madzhab Syafi’i. Dengan demikian, jika
semua harta perdagangan menjadi uang, sedangkan jumlahnya tidak mencapai nisab, hawlnya terputus.
Syarat ini tidak diisyaratkan oleh madzhab-madzhab yang lain.

7. Zakat tidak berkaitan dengan barang dagangan itu sendiri. Hal ini dijadikan syarat oleh madzhab
Maliki. Dengan demikian, jika harta yang diperdagangkan berupa hartharta yang nisab dan zakatnya
telah ada ketentuannya sendiri, seperti emas, perak, binatang ternak dan harts, maka zakatnya wajib
dikeluarkan seperti halnya zakat emas dan perak, binatang ternak dan harts.[6]
8. Si muzaki harus menjadi pemilik komoditas yang diperjualbelikan baik kepemilikannya itu diperoleh
dari hasil usaha dagang maupun tidak, seperti kepemilikan yang didapat dari warisanm hadiah, dan lain
sebagainya.

E. Nisab Zakat Perdagangan Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat
puluh atau sama dengan 2,5% harga barang dagangan. Mayoritas fuqaha sepakat bahwa nisabnya
adalah sepadan dengan nisab zakat aset keuangan, yaitu setara dengan 85 gram emas atau 200 dirham
perak. Penetapan nilai aset telah mencapai nisab ditentukan pada akhir masa hawl[7] Hal ini disesuaikan
dengan prinsip independensi tahun keuangan sebuah usaha. Adapun kondisi fluktuasi komoditas
perdagangan muzaki selama masa hawl tidak dijadikan bahan pertimbagan penetapan tersebut. Selain
itu, kategori zakat komoditas perdagangan dihitung berdasarkan asas bebas dari semua tanggungan
keuangan, dengan demikian zakat tidak dapat dihitung kecuali pada waktu tertentu yaitu pada akhir
masa hawl. Pada akhir masa hawl, tidak akan ada pengurangan lagi yang terjadi pada aset pedagang
yang diwajibkan membayar zakat (usaha telah memasuki tahun tutup buku).

F. Cara Menghitung Zakat Perdagangan Sumber zakat komoditas perdagangan adalah modal kerja bersih
yang dihitung pada akhir masa haul dan ditambahkan dengan keuntungan dari hasil transaksi
perdagangan yang terjadi selama masa haul serta digabungkan aset lain yang didapat pada saat
melakukan aktivitas perdagangan namun tidak dihasilkan dari transaksi perdagangan (pendapatan
nondagang).[8] Mayoritas ulama berpendapat bahwa adanya penambahan pada aset yang bukan
dihasilkan dari aktivitas perdagangan, seperti hibah, wasiat, warisan, hadiah pertambahan nilai aset
tetap dan lain-lain dianggap sebagai bagian dari sumber zakat komoditas perdagangan. Apabila
seseorang pedagang memulai perdagangannya dengan harta yang awalnya jauh dibawah nishab zakat,
kemudian diakhir haul mencapai nishab zakat,maka tidak diwajibkan zakat atasnya. Ini karena nishab
yang telah dicapai belum genap satu tahun, sehingga zakat yang diwajibkan kepadanya pada nishab
tersebut baru berlaku setelah berjalan genap satu tahun. Apabila seorang pedagang memulai
perdagangannya dengan harta yang jumlahnya mencapai nishab, misalnya memulai perdagangan
dengan 1000 dinar. Kemudian diakhir tahun perdagangannya berkembang dan memperoleh
keuntungan, sehingga nilai harta perdagangannya menjadi 3000 dinar, maka diwajibkan kepadanya
mengeluarkan zakat atas harta yang jumlahnya 3000 dinar, bukan atas harta yang jumlahnya 1000 dinar
yang digunakan pada permulaan perdagangannya. Hal ini karena perkembangan hartanya itu mengikuti
modalnya yang 1000 dinar, dan haul atas keuntungannya telah tercapai mengikuti haul atas modalnya.
Jadi dihitung bersama-sama (digabung) dan dikeluarkan zakatnya. Apabila haul telah sampai, seorang
pedagang diwajibkan mengeluarkan zakat perdagangannya berdasarkan jenis (yang wajib
dizakatkan)nya seperti unta, sapi dan kambing, atau tidak berdasarkan jenis yang diwajibkan zakatnya,
seperti pakaian dan barangbarang industri atau seperti tanah da bangunan. Semua itu dihitung dengan
standar yang sama dengan emas atau dengan perak. Dikeluarkan zakatnya dengan mata uang yang
berlaku. Dan boleh dikeluarkan zakatnya berupa mata uang yang beredar,jika hal itu memudahkannya.
Begitulah, siapa saja yang berdagang kambing, sapi, kain, maka ia wajib mengeluarkan zakat atas
barang-barang tadi, dalam bentuk uang. Bisa juga mengeluarkannya dalam bentuk ternak, sapai, sapi,
kain, yaitu berdasarkan pada barang yang diperdagangkannya.

G. Cara Mengeluarkan Zakat Perdagangan Menurut Madzhab Maliki Madzhab Maliki berpendapat
bahwa pedagang bisa merupakan seorang muhtakir atau mudir, atau muhtakir sekaligus mudir.

1.Muhtakir ialah pedagang yang membeli barang-barang dagangannya, tetapi penjualannya menunggu
saat harganya telah naik/mahal. Dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya sampai dia menjualnya. Dengan
demikian, jika dia menjualnya setelah lewat setahun atau beberapa tahun, dengan emas dan perak,
maka dia harus menzakati harganya untuk satu tahun. Jika hartanya masih tersisa, sisanya digabungkan
dengan barang-barang dagangan yang ada. Pendapat diatas bertentangan dengan pendapat jumhur
ulama selain mazhab Maliki. Mereka berpendapat bahwa muhtakir harus mengeluarkan zakatnya setiap
tahun, meskipun dia belum menjual barang-barang dagangannya.

2. Mudir adalah orang yang berjual beli tanpa menunggu waktu tertentu, misalnya orang yang selalu
berjualan di pasar. Dalam setahun, pada setiap bulannya, dia harus melihat nuqudnya dan menghitung
barang-barang dagangannya. Barang-barang dagangannya digabungkan dengan nuqudnya. Ketika telah
mencapai nishab, dia harus mengeluarkan zakat harta tersebut setelah utang-utangnya dilunasi kalau
memang dia mempunyai utang. Seorang mudir harus menghitung barang-barang dagangan yang di
miliki olehnya, kendatipun barang-barangnya tidak laku. Kemudian dia menggabungkan barang-barang
dagangannya dengan nuqud yang dimiliki. Setelah itu semuanya dizakati[9]

H. Kesimpulan Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan
perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan.
Zakat itu wajib pada harga dari barang dagangan itu sendiri. Ketika diperhitungkan, hendaklah
digabungkan antara satu barang dagangan dengan lainnya sekalipun jenisnya berbeda, seperti pakaian
dan tembaga sebagaimana keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan itu juga digabungkan dengan
asal harta dagangan dalam masa satu tahun. Ada beberapa syarat barang dagangan yang wajib dizakati,
antara lain barang tersebut telah mencapai nishab, sudah masuk satu tahun (haul), barang tersebut
dimiliki oleh muzaki dan memang diniatkan untuk dizakati ketika membeli barang dagangan tersebut.
Besarnya nishab barang dagangan seperempat puluh atau 2,5% dari keuntungan ditambah modal.
Menurut Mazhab Maliki seorang pedagang bisa merupakan seorang muhtakir atau mudir atau muhtakir
sekaligus mudir.

Ketentuan zakat perdagangan ini adalah tidak ada nisab, diambil dari modal (harga beli), dihitung dari
barang yang terjual sebesar 2,5%.
Adapun waktu pembayaran zakatnya, bisa ditangguhkan hingga satu tahun, atau dibayarkan secara
periodik (bulanan, triwulan, atau semester) setiap setelah belanja, atau setelah diketahui barang yang
sudah laku terjual. Zakat yang dikeluarkan bisa berupa barang dagangan atau uang seharga barang
tersebut.

"Rosululloh SAW bersabda: "Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli itu selalu dihadiri (disertai)
kemaksiatan dan sumpah oleh karena itu kamu wajib mengimbanginya dengan sedekah
(zakat)."(H.R.Ahmad)

"Adalah Rosululloh SAW menyuruh kami mengeluarkan zakat dari apa yang telah disediakan untuk
dijual."(H.R.Abu Daud)

Contoh

Kasus:

Seorang pengusaha clothing membuat t-shirt sebagai modal untuk dijual. Jumlah t-shirt yang dibuat
adalah 120 pcs. Modal 1 pcs t-shirt sebesar Rp. 25.000,-. T-Shirt yang terjual sebanyak 100pcs,maka
2,5% 2,5 zakat x pcs yang 100x Rp.harus dikeluarkan pcs 25.000,-adalah= =sebagai 2,5 Rp.berikut: pcs.
62.500,-.

Ada juga yang menghitung dari modal keseluruhan dan langsung mengeluarkan zakatnya setelah
belanja, tanpa memperhatikan apakah barangnya terjual atau tidak. Maka dalam hal ini mengeluarkan
zakat dengan jumlah yang lebih banyak akan jauh lebih baik di sisi Alloh SWT.

Namun terkadang, 2,5% dari modal tersebut tidak seimbang dengan pendapatan keuntungan. Sehingga
zakat yang harus dikeluarkan lebih besar dari keuntungan yang didapat. Seperti contoh pedagang
voucher pulsa HP (Handphone) dengan modal Rp. 100.000,- dia menjual voucher seharga 102.000,-.
Sehingga keuntungannya sebesar Rp. 2.000,- Padahal zakat yang mesti dikeluarkan adalah Rp. 2.500,-
(2,5% x Rp. 100.000,-), jika zakatnya ditunaikan tentunya ia akan rugi.

Pada prinsipnya islam tidak bermaksud menyulitkan tapi justru memudahkan, untuk kasus seperti
diatas, tidak berarti pedagang itu bebas dari kewajiban zakat, namun tetap mengeluarkan zakat sesuai
dengan kemampuannya, dengan catatan tetap memegang kejujuran. Rosululoh SAW pernah bersabda:

"Apabila kamu diperintah sesuatu, maka kerjakanlah sekemampuan kamu." (H.R. Bukhori)

Alloh SWT juga befirman yang artinya:

"Maka bertaqwalah kepada Alloh sekemampuanmu, dengarlah, ta'atlah, dan infakkanlah hartamu untuk
kebaikan, karena barang siapa selamat dari kebakhilan dirinya maka mereka itu ialah orang-orang yang
mendapat kejayaan". (Q.S.At-Thagobun:16)
Abu kilabah menjelaskan, bahwa pada zaman Khalifah Umar ada beberapa gubernur melaporkan
kepadanya bahwa banyak para pedagang mengeluh karena jumlah zakat yang mesti dibayarkan terlalu
banyak/besar. Maka Umar berkata: "Ringankanlah!". Kasus yang disebutkan diatas, tidak berarti kadar
zakat perdagangan berubah dari 2,5% menjadi 1% misalnya, tetapi itu hanyalah sebuah kedaruratan
dalam kasus tertentu.

Namun, pada kasus lain, justru 2,5% dari modal itu terasa ringan, seperti barang dagangan dengan
modal Rp. 25.000,- tapi dijual seharga Rp. 75.000,- maka zakatnya begitu ringan dibanding keuntungan
yang diraih. Dalam hal ini, karena zakat merupakan ta'abbudi, bukan ta'aqquli (rasional), maka keimanan
yang menjadi dasar seseorang mampu mengeluarkan zakat, bukan besar-kecilnya keuntungan yang
diraih.

Sahabat pencinta zakat, kita sudah sampai pada akhir artikel tentang zakat perdangan yang dibahas
lengkap. Semoga bermanfaat, dan semoga setelah anda membaca artikel ini semangat anda untuk
berzakat semakin besar, dan semoga dengan mengeluarkan zakatnya, usaha dagang anda semakin
sukses.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press,2002 Al-Zuhayly Wahbah,Zakat
Kajian Berbagai Mazhab,Bandung : Remaja Rosdakarya,2005 MufrainM. Arif i, Akuntansi dan
Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan,Jakarta: Prenada Media
Group,2008 Zallum Abdul Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Bogor : Pustaka Thariqul
Islam,2006

Anda mungkin juga menyukai