Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke

atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang

berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses

menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam

dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang

isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang

bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi

sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin

meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah.

Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu

berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya

merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa. Menua

atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan

manusia (Aspiani, 2014).

11
12

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang

telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nogroho,

2012).

Prose menua merupakan proses yang terus- menerus (berlanjut)

secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua

makhluk hidup. Menurut UU No. 09 tahun 1960 tentang pokok-pokok

kesehatan pasal 8 ayat 2 berbunyi: “dalam istilah sakit termasuk cacat,

kelemahan dan lanjut usia”. Berdasarkan pernyataan ini, lanjut usia di

anggap sebagai suatu penyakit hal ini tidak benar. Gerontology

berpendapat lain sebab lanjut usia bukan suatu penyakit, melainkan suatu

masa atau tahap hidup manusia yaitu: bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan

lanjut usia (Aspiani, 2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua adalah:

1. Hereditas (keturunan/ genetik), yang melibatkan: “jam gen”, perbaikan

DNA, respon terhadap stress dan pertahanan terhadap antioksidan.

2. Lingkungan, yang melibatkan: permasalahan kalori, penyakit-

penyakit dan stress dari luar (misalnya: radiasi, bahan-bahan kimia).


13

2.1.2 Teori Proses Menua

2.1.2.1 Teori Biologi (Aspiani, 2014)

1. Teori Genetic Clock

Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi

akibat adanya program genetik didalam nuclei. Jam ini

berputar dalam jangka waktu tertentu dan jika jam ini sudah

habis putarannya maka akan menyebabkan berhentinya proses

miosis. Hal ini ditujukan oleh hasil penelitian, dari teori itu

ditunjukkan dengan adanya teori membelah sel dalam kultur

dengan umur spesies mutase somatic (teori errorcatastrophe).

H1 penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam

menganalisis faktor penyebab terjadi proses menua adalah

faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutase

somatic. Radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur

menurut teori ini terjadi mutasi progesif pada DNA sel

somatic akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsional

tersebut.

2. Teori Error

Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh

penumpukan berbagai macam kesalahan sepanjang

kehidupan manusia akibat kesalahan tersebut akan berakibat


14

kerusakan metabolisme yang dapat mengakibatkan

kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan.

3. Teori Autoimun

Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein

pasca translasi yang dapat mengkibatkan kurangnya

kemampuan system imun tubuh mengenali dirinya sendiri

(self recognition). Jika mutase somatic dapat menyebabkan

terjadinya kelainan pada permukaan sel maka hal ini akan

mengakibatkan menganggap sel mengalami perubahan

tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Hal ini

dibuktikan dengan makin bertambahnya prevalensi antibody

pada lanjut usia. Dalam hal lain sistem imun tubuh sendiri

daya bertahannya mengalami penurunan pada proses menua,

daya serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga

sel-sel patoligis meningkat sesuai dengan meningkatnya

usia.

4. Teori Free Radikal

Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen

radikal bebas dalam tubuh manusia. Radikal bebas dapat

berupa : suproksida (O2), radikal hidroksil dan H2O2. Radikal

bebas sangat merusak karena sangat reaktif, sehingga dapat

bereaksi dengan DNA, protein dan asam lemak tak jenuh.


15

Makin tua umur makin banyak terbentuk radikal bebas

sehingga proses perusakan terus terjadi, kerusakan organ sel

makin banyak akhirnya sel mati.

5. Teori Kolagen

Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh

rusak. Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringn

menyebabkan kecepatan kerusakan jaringan dan melambatnya

perbaikan sel jaringan.

6. Wear Teori Biologi

Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan

menyebabkan kecepatan kerusakan jaringan dan melambatnya

perbaikan sel jaringan.

2.1.2.2 Teori Psikososial

1. Activity Theory

Teori ini menyatakan bahwa seorang individu harus

mampu eksis dan aktif dalam kehidupan sosial untuk mencapai

kesuksesan dalam kehidupan di hari tua. (haviggurst dan

albrech. 1963). Aktivitas dalam teori ini dipandang sebagai

sesuatu yang vital untuk mempertahankan rasa kepuasan

pribadi dan citra diri yang positif. Teori ini berdasar pada

asumsi bahwa: 1. Aktif lebih baik daripada pasif, 2. Gembira


16

lebih baik daripada tidak gembira, 3. Orang tua merupakan

orang yang baik untuk mencapai sukses dan akan memilih

alternatif pilihan aktif dan bergembira. Penuaan mengakibatkan

penurunan jumlah kegiatan secara langsung.

2. Continitas Theory

Adanya kepribadian berlanjut yang menyebabkan

adanya suatu pola perilaku yang meningkatkan stress.

3. Dissaggement Theory

Putusnya hubungan dengan luar seperti dengan

masyarakat, hubungan dengan individu lain.

4. Teori Stratifikasi Usia

Karena orang digolongkan dalam usia tua dan

mempercepat proses penuaan.

5. Teori Kebutuhan Manusia

Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut

penilaian 5% dan tidak semu orang mencapai kebutuhan

yang sempurna.

6. Jung Theory

Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas

dalam perkembangan kehidupan.


17

7. Course Of Human Life Theory

Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada

tingkat maksimum.

8. Development Task Theory

Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas

perkembangan sesuai dengan usianya.

2.1.2.3 Environmental Theory (Teori Lingkungan)

1. Radiation Theory (Teori Radiasi)

Setiap hari manusia terpapar dengan adanya

radiasi baik karena sinar ultraviolet maupun dalam

bentuk gelombang-gelombang mikro yang telah

menumbuk tubuh tanpa terasa yang dapat

mengakibatkan perubahan susunan DNA dalam sel

hidup atau bahkan rusak dan mati.

2. Stress Theory

Stress fisik maupun psikologis dapat

mengakibatkan pengeluaran neurontransmitter

tertentu yang dapat mengakibatkan perfusi jaringan

menurun sehingga jaringan mengalami kekurangan

oksigen dan mengalami gangguan metabolisme sel


18

sehingga terjadi penurunan jumlah cairan dalam sel

dan penurunan eksisitas membrane sel.

3. Pollution Theory (Teori Polusi)

Tercemarnya lingkungan dapat mengakibatkan

tubuh mengalami gangguan pada system

psikoneuroimunologi yang seterusnya mempercepat

terjadinya proses menua dengan perjalanan yang

masih rumit untuk di pelajari.

4. Exposure Theory (Teori Pemaparan)

Terpaparnya sinar matahari yang mempunyai

kemampuan mirip dengan sinar ultra yang lain

mampu mempengaruhi susunan DNA sehingga

proses penuaan atau kematian sel bisa terjadi.

(Aspiani, 2014).

2.1.3 Batasan Usia Lansia

Sampai saat ini belum ada kesepakatan batas umur lanjut usia

secara pasti, karena seseorang tokoh psikologis membantah bahwa usia

dapat secara tepat menunjukkan seseorang individu tersebut lanjut usia

atau belum maka kita merujuk dari berbagai pendapat di bawah ini.
19

a. Menurut WHO (2016)

Menurut badan kesehatan dunia (world health organization)

yang dikatakan lanjut usia tersebut di bagi kedalam empat kategori

yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia (45-59

tahun ).

2. Lanjut usia (elderly) antara (60-74 tahun).

3. Lanjut usia tua (old) adalah kelompok usia 75-90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun

b. Menurut (Depkes, 2011)

Departemen kesehatan republik Indonesia mengelompokkan

kriteria lanjut usia sebagai berikut:

1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun), keadaan ini

dikatakan sebagai masa virilitas.

2. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium

3. Kelompok- kelompok usia lanjut (> 65 tahun) yang

dikatakan sebagai masa senium.

c. Menurut UU No.13 tahun 1998

Batasan orang dikatakan lanjut usia berdasarkan ,UU No.13

tahun 1998 adalah 60 tahun. Depkes di kutip dari azis (1994) lebih

lanjut membuat penggolongan lansia menjadi 3 kelompok yaitu:


20

1. Kelompok lansia dini (55-64 tahun), yakni kelompok yang

baru memasuki lansia

2. Kelompok lansia (65 tahun keatas)

3. Kelompok lansia resiko tinggi, yakni lansia yang berusia lebih

dari 70 tahun.

Aging process (senescence) terjadi secara alami dan pasti pada

setiap makhluk hidup yaitu: tubuh akan kehilangan kemampuan progresif

organ, jaringan dan sel-selnya. Kemampuan untuk mempertahankan

struktur dan fungsi berbagai organ tubuh berkurang.

Tubuh juga kurang memberikan reaksi imunitas terhadap invasi

mikroorganisme. Repair system tubuh juga mengalami penurunan

kemampuan secara bermakna. Kondisi yang tidak menguntungkan ini

akan menimbulkan berbagai stressor biologic, psikososial, dan juga

lingkungan.

2.1.4 Perubahan fisik dan fungsi akibat proses menua

Menurut (Aspiani, 2014) sebagai berikut:

a. Sel :

1. Jumlah sel menurun

2. Ukuran sel lebih besar

3. Jumlah cairan tubuh dan cairan intraselular berkurang


21

4. Proporsi protein diotak, otot, ginjal, darah dan hati menurun

5. Jumlah sel otak menurun

6. Mekanisme perbaikan otak terganggu

7. Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%

8. Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar

b. Sistem Persarafan:

1. Menurunnya hubungan persarafan

2. Berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak setiap orang berkurang

setiap harinya)

3. Respon dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya terhadap

stress

4. Saraf panca indra mengecil

5. Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman

dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan

rendahnya ketahanan terhadap dingin.

6. Kurang sensitif terhadap sentuhan

7. Defisit memori

c. Sistem Pendengaran:

1. Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga

dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara

yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia

diatas 65 tahun.
22

2. Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis

3. Terjadi pengumpualan serumen, dapat mengeras karena meningkat

keratin

4. Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang

mengalami ketegangan/ stress

5. Tinnitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi

atau rendah, bias terus- menerus atau intermiten)

6. Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau

berputar)

d. Sistem Penglihatan:

1. Sfingter pupil timbul sclerosis dan respon terhadap sinar

menghilang

2. Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

3. Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas

menyebabkan gangguan penglihatan

4. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap.

5. Penurunan/ hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi

presbiopi, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi

berkurangnya elastisitas lensa.

6. Lapang pandang menurun: luas pandag berkurang.


23

7. Kemampuan membedakan warna menurun, terutama pada warna

biru dan hijau pada skala.

e. Sistem Kardiovaskuler:

1. Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

2. Elastisitas dinding aorta menurun.

3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi

sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi dan

volume menurun (frekuensi denyut jantung maksimal =200

dikurang umur).

4. Curah jantung menurun (isi semenit jantung menurun).

5. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh

darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari

tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bias menyebabkan tekanan darah

menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing mendadak).

6. Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan

perdarahan.

7. Tekanan darah meninggi akibat resistensi pembuluh darah perifer

meningkat. Systole normal ±170 mmHg ,±95mmHg.

f. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Pada pengaturan suhu, hypothalamus dianggap bekerja sebagai

suatu thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran


24

terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya, yang sering ditemui

antara lain :

1. Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ±35 oC

ini akibat metabolisme yang menurun.

2. Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat

pula menggigil, pucat, dan gelisah.

3. Keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas

yang banyak sehingga terjadi penurunan aktivitas otot.

g. Sistem Pernafasan:

1. Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan

kekuatan, dan menjadi kaku.

2. Aktivitas silia menurun.

3. Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik

nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun

dengan kedalaman bernafas menurun.

4. Ukuran alveoli melebar (membesar secara progresif) dan jumlah

berkurang.

5. Berkurangnya elastisitas bronkus.

6. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg.

7. Karbondioksida pada arteri tidak berganti. Pertukaran gas

terganggu.

8. Reflex dan kemampuan untuk batuk berkurang.


25

9. Sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkardia menurun.

10. Sering tejadi emfisema senelis.

11. Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan

menurun seiring bertambahnya usia.

h. Sistem Pencernaan

1. Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa

terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab ini meliputi kesehatan gigi

dan gizi yang buruk.

2. Indra pengecap menurun, adanya iritasi selapit lendir yang kronis,

atrofi indra pengecap (±80%), hilangnya sensitivitas saraf

pengecap dilidah terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit.

3. Esophagus melebar.

4. Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung,

motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun.

5. Peristaltic lemah dan biasanya timbul konstipasi.

6. Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi menurun, terutama

karbohidrat).

7. Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran

darah berkurang.
26

i. System reproduksi

Wanita:

1. Vagina mengalami kontraktur dan mengecil.

2. Ovarium menciut, uterus mengalami atrofi.

3. Atrofi payudara mengecil.

4. Atrofi vulva.

5. Selaput lender vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi

berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan warna.

Pria:

1. Testis dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada penurunan

secara berangsur-angsur.

2. Dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal

kondisi kesehatannya baik, yaitu :

a. Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia.

b. Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan

kemampuan seksual.

c. Tidak perlu cemas karna proses alamiah.

d. Sebanyak ±75% pria diatas 65 tahun mengalami pembesaran

prostat.
27

j. Sistem Genitourinaria

1. Ginjal

Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh,

melalui urin darah yang masuk keginjal disaring oleh satuan (unit)

terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di glomerulus).

Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun

sampai 50% sehingga fungsi tubukus berkurang. Akibatnya,

kemampuan mengosentrai urin menurun, berat jenis urin menurun,

proteinuria (biasanya +1), BUN (blood urea nitrogen)

meningkatnya sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap

glukosa meningkat. Keseimbangan elektrolit dan asam lebih

mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda. Renal

plasma flow (RPF) dan glomerular filtration rate (GFR) atau

klirens kreatinin menurun secara linier sejak usia 30 tahun (cox jr,

et. al, 1985). Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang.

2. Vesika Urinaria

Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun, sampai 200 ml

atau menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat. Pada pria

lanjut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga

mengakibatkan retensi urin meningkat.

3. Pembesaran Prostat

Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun.


28

4. Atrofi Vulva

Vagina seseorang yang semakin menua, kebutuhan hubungan

seksual masih ada. Tidak ada Batasan umur tertentu kapan fungsi

seksualnya seseorang berhenti. Frekuensi hubungan seksual

cenderung menurun secara bertahap setiap tahun, tetapi kapasitas

untuk melakukan dan menikmatinya berjalan terus sampai tua.

k. Sistem Endokrin

Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia

yang memproduksi hormon. Hormon pertumbuhan berperan dalam

pertumbuhan, pematangan, pemeliharaan, dan metabolisme organ

tubuh. Yang termasuk hormon kelamin adalah:

1. Estrogen, progesterone, dan testosterone yang memelihara

reproduksi dan gairah seks. Hormon ini mengalami penurunan.

2. Kelenjar pancreas (yang memproduksi insulin dan sangat penting

dalam pengaturan gula darah).

3. Kelenjar adrenal/anak ginjal yang memproduksi adrenalin.

Kelenjar yang berkaitan dengan hormon pria/wanita. Salah satu

kelenjar endokrin dalam tubuh yang mengatur agar arus darah

keorgan tertentu berjalan dengan baik, dengan jalan mengatur

vasokontriksi pembuluh darah. Kegiatan kelenjar anak ginjal ini

berkurang pada lanjut usia.

4. Produksi hampir semua hormon menurun.


29

5. Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.

6. Hipofisis: pertumbuhan hormon ada, tetapi lebih rendah dan hanya

didalam pembuluh darah: berkurangnya produksi ACTH, TSH,

FSH, dan LH.

7. Aktivasi tiroid, BMR (basal metabolic rate) dan daya pertukaran

zat menurun.

8. Produksi aldosteron menurun.

9. Sekresi hormone kelamin, misalnya: progesterone, estrogen, dan

testosterone menurun.

l. Sistem Integument

1. Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.

2. Permukaan kulit cenderug kusam, kasar, dan bersisik (karena

kehilangan proses keranitasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel

epidermis).

3. Timbul bercak pigmentasi akibat proses melagonesis yang tidak

merata pada permukaan kulit sehingga tampak bitnik- bitnik atau

noda cokelat.

4. Terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, tumbuhnya kerut-

kerut halus diujung mta akibat lapisan kulit menipis.

5. Respon terhadap trauma menurun.

6. Metabolism proteksi kulit menurun:

a. Produksi serum menurun.


30

b. Produksi vitamin D menurun.

c. Pigmentasi kulit terganggu.

d. Kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu.

e. Rambut dalam hidung dan telinga menebal.

f. Berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan

vaskularisasi.

g. Pertumbuhan kuku lebih lambat.

h. Kuku jari menjadi keras dan rapuh.

i. Kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.

j. Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.

k. Jumlah dan fungsi kelenjar keringat beringat.

m. Sistem Musculoskeletal

1. Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh.

2. Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.

3. Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebra,

pergelangan, dan paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat

pada area tulang tersebut.

4. Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak

dan aus.

5. Kifosis.

6. Gerakan pinggang, lutut, dan jari- jari pergelangan terbatas.

7. Gangguan gaya berjalan.


31

8. Kekakuan jaringan penghubung.

9. Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya

berkurang).

10. Persendian membesar dan menjadi kaku.

11. Tendon mengerut dan mengalami sclerosis.

12. Atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga Gerakan

menjadi lambat, otot kram, dan menjadi tremor (perubahan pada

otot cukup rumit dan sulit dipahami).

13. Komposisi otot berubah sepanjang waktu (myofibril digantikan

oleh lemak, kolagen, dan jaringan parut).

14. Aliran darah keotot berkurang sejalan dengan proses menua.

15. Otot polos tidak begitu berpengaruh.

2.1.5 Perubahan Mental

Bidang mental atau psikis pada lanjut usia, perubahan dapat berupa

sikap yang semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak

bila memiliki sesuatu, yang perlu di mengerti adalah sikap umum yang

ditemukan pada hampir setiap lanjut usia, yakni keinginan berumur

panjang, tenaganya sedapat mungkin dihemat, mengharapkan tetap diberi

peranan dalam masyarakat, ingin tetap mempertahankan hak dan hartanya

dan ingin tetap berwibawa, dan meninggal secara terhormat dan masuk

surga (Aspiani, 2014).


32

Faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu perubahan fisik,

khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan

(hereditas), dan lingkungan. Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan

ini jarang terjadi lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan

seseorang, kekakuan mungkin karena faktor lain, misalnya penyakit .

a. Kenangan (memori)

Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa hari

yang lalu dan mencakup beberapa perubahan, kenangan jangka pendek

atau skala (0-10 menit) kenangan buruk bisa kearah demensia

b. Intelegentia Quotion (IQ)

IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan

verbal. Penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor berkurang.

Terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan faktor

waktu (Aspiani, 2014).

2.1.6 Dampak Kemunduran

Memasuki usia tua banyak mengalami kemunduran misalnya

kemunduran fisik yang ditandai kulit menjadi keriput karena

berkurangnya bantalan lemak, rambut memutih, pendengaran berkurang,

penglihatan memburuk, gigi mulai ompong, aktivitas menjadi lambat,

nafsu makan berkurang yang menyebabkan kekurangan gizi pada lansia

dan kondisi tubuh yang lainnya juga mengalami kemunduran, perubahan


33

kondisi hidup dapat berdampak buruk pada lansia. Koping terhadap

kehilangan pasangan, perpindahan tempat tinggal, isolasi sosial, dan

kehilangan kendali dapat terjadi kesulitan lansia untuk merawat diri

sendiri (Padila & Kep, 2013).

2.1.7 Masalah Yang Sering Terjadi Pada Lanjut Usia

Menurut “The National Old People’s Welfare Council” di Inggris

mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan pada lanjut usia ada 12

macam, yaitu:

1. Depresi mental

2. Gangguan pendengaran

3. Bronchitis kronis

4. Gangguan pada tungkai/ sikap berjalan

5. Gangguan pada koksa/ sendi panggul

6. Anemia

7. Demensia

8. Gangguan penglihatan

9. Ansietas/ kecemasan

10. Dekompensasi kordis

11. Diabetes mellitus, osteomielitis dan hipotiroidisme

12. Gangguan pada defekasi


34

Timbulnya penyakit-penyakit tersebut dapat dipercepat atau diperberat

oleh faktor-faktor luar, misalnya: makanan, kebiasaan hidup yang salah,

infeksi dan trauma. (Aspiani, 2014).

Menurut Solomon, et al tahun 1994 terdapat beberapa masalah yang

dialami lansia yang sering di sebut dengan 14i, yaitu:

a. Immobility (Imobilisasi)

Imbililisasi di artikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah

baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerakan anatomi tubuh

menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Berbagai factor fisik,

psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada lanjut

usia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,

kekakuan otot, keseimbangan, dan masalah psikologis.

b. Instability (Insabilitas dan Jatuh)

Terdapat banyak factor yang mempengaruhi terjadinya

insabilitas dan jatuh pada lansia. Faktor tersebut dibagi menjadi dua

bagian yaitu faktor intrinsik (faktor resiko yang ada pada pasien) dan

faktor ekstrinsik (faktor resiko yang ada di lingkungan). Tatalaksana

dasar lansia dengan masalah insabilitas dan jatuh adalah: mengobati

kondisi yang yang mendasari insabilitas dan jatuh, memberikan terapi

fisik dan penyuluhan berupa latihan berjalan, penguatan otot, alat

bantu, penggunaan sandal dan sepatu, serta mengubah lingkungan agar


35

lebih nyaman, seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang

tidak licin.

c. Intellectual impairement (Gangguan Intelektual)

Keadaan utama yang menyebabkan gangguan intelektual pada

lansia yaitu delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi

intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak,

yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran sehingga

mempengaruhi aktifitas kerja dan sosial secara bermakna. Demensia

tidak hanya masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya

kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat

pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi

perasa, dan terganggunya aktivitas.

d. Impaction (Konstipasi)

Faktor yang mempengaruhi konstipasi adalah kurangnya gerak

fisik, makanan yang kurang mengandung serat, kurang minum, akibat

obat-obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya pengosongan usus menjadi

sulit atau isi usus menjadi tertahan, kotoran dalam usus menjadi keras

dan kering dan pada keadaan yang berat dapat terjadi penyumbatan

didalam usus dan perut menjadi sakit.


36

e. Incontinence (Inkontinensia urin dan alvi)

Inkontinensia urin di artikan sebagai keluarnya urin yang tidak

di kehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga

menumbulkan masalah social dan masalah kesehatan. International

Consultation On Incontinence, World Health Organization

mengartikan Faecal Incontinence sebagai hilangnya tanpa sadar feses

cair atau padat yang merupakan masalah social dan higienis. Definisi

lain menyatakan, inkonstinensia urin/alvi sebagai perjalanan spontan

atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses

melalui anus.

f. Isolation (Depresi)

Isolasi dan depresi penyebab utama yang di alami lansia adalah

kehilangan orang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan

binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari

lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi.

Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa repot menyebabkan

pasien merasa tersendiri dan di asingkan sehingga menjadi depresi.

g. Impotence (Impotensi)

Ketidakmampuan melakukan hubungan seksual pada usia

lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan

hormonal, pembuluh darah, dan saraf. Ereksi terjadi karena terisinya

penis dengan darah sehingga membesar, pada gangguan vaskuler


37

seperti sumbatan plak ateroklerosis (terjadi pada perokok) dapat

menyumbat aliran darah sehingga penis tidak dapat ereksi.

h. Immunodefiency (Penurunan Imunitas)

Beberapa hal yang mempengaruhi penurunan imunitas pada

lansia seperti atrofi thymus, begitu juga pada barrier infeksi pertama

pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan

bersin yang melemah. Hal yang sama terjadi pada respon imun

terhadap antigen, penurunan antibodi. Segala mekanisme berakibat

terhadap rentannya seseorang oleh agen-agen penyebab infeksi,

sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia.

i. Infection (Infeksi)

Infeksi pada lansia merupakan penyebab kematian dan

kesakitan nomor 2 setelah penyakit kardiovaskuler di dunia. Hal ini

terjadi akibat beberapa hal yaitu: adanya penyakit kronik yang cukup

banyak, menurun daya tahan/ imunitas terhadap infeksi , menurunnya

daya komunikasi sehingga sulit/jarang mengeluh, sulit mengenal tanda

infeksi secara dini. Ciri utama pada semua tanda penyakit infeksi

biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur suhu tubuh, 30%-

65% lansia yang terinfeksi tidak mengalami peningkatan suhu tubuh,

malah berada disuhu terendah.


38

j. Inanition (Malnutrisi)

Kurangnya nutrisi merujuk pada kehilangan berat badan

fisiologis dan patologis yang tidak disengaja oleh lansia, anoreksia

yang dialami lansia merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan

asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak

diinginkan. Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan oleh keadaan

pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan nafsu makan

pasien.

k. Insomnia (Gangguan Tidur)

Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang

menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa

penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus

dan gangguan kelenjar thyroid, gangguan di otak juga dapat

menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat

menjadi penyebabnya. Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering

dilaporkan oleh lansia yaitu sulit untuk masuk kedalam proses tidur,

tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, jika terbangun sulit untuk

tidur kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di pagi hari.

Agar bisa tidur hindari olahraga 3-4 jam sebelum tidur, santai

mendekati waktu tidur, hindari rokok waktu tidur, hindari minum

minuman berkafein saat sore hari, batasi asupan cairan setelah jam

makan malam ada nokturia, batasi tidur siang 30 menit atau kurang,
39

hindari menggunakan tempat tidur untuk menonton tv, menulis

tagihan dan membaca.

l. Iantrogenic Disorder (Gangguan akibat pemakaian obat-obatan)

Lansia sering menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga

membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebagian lansia sering

menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan

dokter sehingga dapat menimbulkan penyakit. Akibat yang

ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat

tersebut yang dapat mengancam jiwa.

m. Impairement of hearing, vision, and smell (Gangguan pendengaran,

penglihatan dan penciuman)

Gangguan pendengaran sama umum di temukan pada lansia,

prevalensi gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat 20%

pada kelompok usia 70 tahun dan 39% pada kelompok usia 85 tahun.

Terapi pengobatan yang dilakukan berbeda dengan terapi untuk

pasien muda pada umumnya, karena perubahan kondisi tubuh lansia,

oleh karena itu diusulkan menggunakan obat yang benar-benar tepat

pada pasien geriatric dengan cara mengetahui riwayat pengobatan

lengkap, jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan

menggunakan obat terlalu lama, mulai dari dosis yang rendah, naikkan

perlahan-lahan sesuai dengan patokan, beri dorongan agar pasien

patuh minum obat.


40

2.2 Konsep Dasar Konstipasi

2.2.1 Pengertian Konstipasi

Konstipasi adalah suatu penurunan kemampuan defekasi normal

pada seseorang. Kondisi ini disertai dengan kesulitan keluarnya feses

lengkap atau feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).

Konstipasi bisa juga meliputi defekasi dengan frekuensi sangat rendah,

jumlahnya tinja tidak cukup serta berbentuk keras dan kering (Oenzil,

2012) Kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut

konsistensi tinja dan frekuensi berhajat ini dikatakan akut jika lamanya

terjadi antara 1-4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih

dari satu bulan (Mansjoer et al., 2001).

Konstipasi mungkin terjadi karena feses keras atau kering sehingga

terjadi kebiasaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang

aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus (Paath &

Rumdasih, 2004). Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Adanya

upaya mengejan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan

konstipasi. Pola defekasi normal adalah 2-3 hari sekali tanpa adanya

kesulitan, nyeri, atau perdarahan. Pengeluaran feses yang kering dan keras

dapat menimbulkan nyeri pada rectum (Potter & Perry, 2005).


41

2.2.2 Klasifikasi Konstipasi

Menurut (Mardalena, 2018) konstipasi terbagi menjadi dua, yaitu:

2.2.2.1 Konstipasi Fungsional

Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang

lambat dari feses. Dua atau lebih dari keluhan ini terjadi paling

sedikit dalam 12 bulan:

a. Mengejan keras

b. Feses yang keras

c. Rasa tidak tuntas

d. BAB kurang dari 2 kali per minggu

2.2.2.2 Penundaan Pada Muara Rectum

Penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya

disfungsi anorektal. Disfungsi anorektal ditandai adanya

perasaan sumbatan pada anus. Keluhannya antara lain:

a. Hambatan pada anus

b. Waktu untuk BAB lebih lama

c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses.


42

2.2.3 Etiologi

Penyebab umum konstipasi adalah sebagai berikut (Potter & Perry,

2005):

a. Kebiasaan defekasi tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk

defekasi.

b. Pasien mengkonsumsi obat diet rendah serat dalam bentuk hewani

(misalnya daging, telur, dan produk-produk susu) dan karbohidrat

murni. Jenis- jenis makanan bergerak lebih lambat didalam saluran

cerna. Selain itu, asupan cairan yang rendah juga memperlambat

peristaltik.

c. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga teratur.

d. Pemakaian laksatif berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi

normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan

sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh massa feses.

e. Obat penenang, opiate, antikolinergik, diuretic, antaside dalam

kalsium atau aluminium, obat- obatan antiparkinson dan zat besi. Zat

besi mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal

pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga

mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada

sebagian orang.
43

f. Usia. Orang lanjut usia sering kali mengalami perlambatan peristaltik,

kehilangan elastisitas otot abdomen, dan penurunan sekresi mukosa

usus. Mereka juga biasanya mengkonsumsi makanan rendah serat.

g. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran

gastrointestinal (GI), seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan

diverticulitis.

h. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon, misalnya

cedera pada medulla spinalis, atau tumor.

i. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotiroidisme, hipokalsemia, atau

hipokalemia.

j. Peningkatan stress psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan

menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltic usus

melalui kerja epinefrin dan system saraf simpatis. Stress juga dapat

menyebabkan usus menjadi spastic (spastic/konstipasi hipertonik atau

iritasi colon). Gejala berkaitan dengan konstipasi jenis ini adalah kram

pada abdominal, meningkatnya jumlah mucus dan periode bertukar-

tukarnya antara diare dan konstipasi.

k. Melemahnya otot, Tonus sfingter umumnya melemah seiring dengan

pertambahan usia dan mengakibatkan konstipasi.


44

2.2.4 Patofisiologis

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis

yang menyertakan kerja otot- otot polos dan serat lintang, persarafan

sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan

kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan

pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang

terlibat pada proses BAB normal. Dorongan untuk defekasi secara normal

dirangsang oleh distensi rectal melalui empat tahap kerja, antara lain

rangsangan refleks penyekat rektoanal , relaksasi otot sfingter eksternal

dan otot dalam region pelvic, serta peningkatan tekanan intra-abdomen.

Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat

konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang

menghantarkan feses ke rectum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan

meregangkan ampula dari rectum di ikuti relaksasi dari sfingter anus

interna. Untuk menghindari pengeluaran feses yang spontan, terjadi

refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis

yang dipersarafi oleh saraf pudendus.

Otak menerima rangsangan keinginan untuk BAB dan sfingter

anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rectum

mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.

Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
45

otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat

dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebab beragam,

mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi

merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak

terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak

mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan

patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena

bertambahnya usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan

konstipasi.

Seseorang diatas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar

plasma beta-endorfin yang meningkat , disertai peningkatan ikatan pada

reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipasi

dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon,

motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.

Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan

kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada

perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar

untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan

lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf

pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.


46

Sensasi dan tonus dari rectum tidak banyak berubah pada usia

lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat

mengalami tiga perubahan patologis pada rectum, sebagai berikut:

a. Diskesia Rektum

Kondisi ini ditandai dengan penurunan tonus rectum, dilatasi

rectum, gangguan sensasi rectum, dan peningkatan ambang kapasitas.

Dibutuhkan regangan rectum lebih besar untuk menginduksi refleks

relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien

dengan diskesia rectum sering didapatkan impaksi feses yang tidak

disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah sampai tumpul.

Diskesia rectum juga dapat diakibatkan karena penekanan pada

dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia,

imobilitas, atau sakit daerah anus dan rectum.

b. Dissinergi pelvis

Kondisi dimana terjadi kegagalan untuk relaksasi otot pubo-

rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara

manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat

mengejan.

c. Peningkatan tonus otot

Kondisi ketika terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang

bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastic seperti


47

pada penyakit irritable bowel syndrome, dimana konstipasi merepakan

hal yang dominan (Mardalena, 2018).

2.2.5 Gejala Klinis

Menurut Mardale, 2018 Tanda dan gejala konstipasi akan berbeda

untuk setiap orang berdasarkan pola makan, hormon, gaya hidup dan

bentuk usus besar. Meskipun begitu ada beberapa tanda dan gejala umum

yang ditemukan pada sebagian besar pasien, yaitu:

a. Perut terasa begah, penuh, dan terasa kaku karena tumpukan tinja. Jika

tinja sudah tertumpuk sekitar satu minggu atau lebih, perut penderita

dapat terlihat membuncit.

b. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap, dan

jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya. Jika sudah parah, tinja

dapat berbentuk bulatan kecil seperti bola.

c. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-

kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu

supaya dapat mengeluarkan tinja.

d. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut

e. Begian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit

akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.


48

f. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih tajam

daripada biasanya. Jika ada kram perut, penderita akan kesulitan atau

sama sekali tidak bisa buang air besar.

g. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu

transit buang air besar. Penderita umumnya mengatakan frekuensi

buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih lama.

h. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika kondisi amat parah.

2.2.6 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada konstipasi umumnya tidak menemukan

kelainan yang jelas, namun pemeriksaan lebih intensif dan menyeluruh

bisa dilakukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi

fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi

geligi, luka pada selaput lender mulut atau tumor yang dapat mengganggu

rasa pengecap dan proses menelan. Pemeriksaan daerah perut dilakukan

untuk melihat adanya pembesaran perut, atau peregangan atau tonjolan.

Perabaan permukaan perut dilakukan untuk menilai kekuatan otot perut

(Mardalena, 2018).

Perabaaan lebih dalam dilakukan untuk mengetahui massa tinja

diusus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan

ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam

rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop


49

digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta

mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk

mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan

abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang

bisa mengganggu proses buang air besar. Pemeriksaan colok dubur dapat

memberikan informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan

tinja, atau adanya darah (Mardalena, 2018).

Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi

faktor resiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormone tiroid, elektrolit

,anemia akibat adanya keluar darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk

menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan

tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk

mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat

bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia,

keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus

besar perlu dilakukan kolonoskopi (Mardalena, 2018).

Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekedar mengganggu, tapi

beberapa pasien dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat

mengeras sekeras batu di poros usus, usus besar, dan pangkal usus besar.

Kondisi ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan resiko perawatan

dirumah sakit serta berpotensi menimbulkan akibat yang fatal.


50

Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai

39,9oC, delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang,

bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernafasan cepat

karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja

berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan

retensi urin bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur,

sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sementara mengejan berlebihan dan

sering dapat menyebabkan turunnya poros usus (Mardalena, 2018).

2.2.7 Penatalaksanaan

Obat-obat untuk mengatasi konstipasi yang dijual bebas bertujuan

memberikan pengobatan secara simptomatik, padahal pengobatan

sebenarnya harus ditujukan pada penyebab utama konstipasi. Penggunaan

obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang

peristaltik usus harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :

a. Pengobatan Non-Farmakologi

1. Latihan usus besar

Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang

disarankan pada penderita konstipasi tanpa penyebab jelas.

Penderita di anjurkan meluangkan waktu secara teratur setiap hari

untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya 5-10 menit setelah

makan. Latihan ini bertujuan untuk memanfaatkan refleks gastro-


51

kolon agar BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan

penderita tanggapterhadap tanda-tanda dan rangsangan untuk

BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB.

2. Pengaturan Pola Makan

Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada

golongan lanjut usia. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet

tinggi serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-

macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan

kanker kolonorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses

serta mempersingkat waktu transit di usus. Untuk mendukung

manfaat serat ini, dianjurkan asupan cairan yang memadai, yaitu

sekitar 6-8 gelas perhari, bila tidak ada kontraindikasi untuk

asupan cairan.

3. Olahraga

Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu

mengatasi konstipasi. Jenis olahraga ringan yang bisa dipilih

seperti jalan kaki atau lari-lari kecil. Pilih jenis olahraga sesuai

dengan umur dan kemampuan pasien. Olahraga akan menggiatkan

sirkulasi dan perut untuk memperkuat otot-otot dinding perut ,

terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.


52

b. Pengobatan Farmakologi

Jika modifikas perilaku diatas kurang berhasil dapat

ditambahkan terapi farmakologis. Biasanya dipakai obat-obatan

golongan pencahar. Ada empat tipe golongan obat pencahar, yaitu:

1. Cereal, methyl selulose atau psilium untuk memperbesar dan

melunakkan massa feses.

2. Minyak kastor, golongan dochusate berguna untuk melunakkan

dan melicinkan feses. Obat ini bekerja dengan menurunkan

tegangan permukaan feses sehingga mempermudah penyerapan

air.

3. Sorbitol, laktulose, atau gliserin termasuk obat- obatan golongan

osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk

digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal.

4. Bisakodil, atau fenolplatein bekerja merangsang peristaltic

sehingga dapat meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini

paling umum digunakan. Perlu diperhatikan bahwa pencahar

golongan ini tidak bias digunakan dalam jangka panjang karena

dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas

kolon.

Bila dijumpai konstipasi kronis berat yang tidak dapat diatasi

dengan cara-cara tersebut diatas, maka mungkin dibutuhkan tindakan


53

pembedahan, misalnya pembedahan kolektomi sub total dengan

anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat

dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya

serta tidak ada respons dari pengobatan yang diberikan. Pada

umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya

volvulus. Tindakan pembedahan tidak dilakukan (Mardalena, 2018).

2.2.8 Pencegahan

Pencegahan konstipasi antara lain :

a. Hindari makanan tinggi kandungan lemak dan gula

b. Minum air putih sebanyak 1,5 sampai 2 liter (kira-kira 8 gelas) sehari

ditambah cairan lainnya (missal jus buah, atau kuah sup)

c. Olahraga, seperti jalan kaki dan jogging minimal 10-15 menit untuk

olahraga ringan, dan 2 jam untuk olahraga yang lebih berat

d. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan membiasakan

menahan buang air besar

e. Konsumsi makanan berserat tinggi, seperti buah-buahan dan sayur-

sayuran

f. Tidur minimal 6-8 jam sehari.


54

2.2.9 Metode Pengukuran Konstipasi

Alat Ukur Constipation Scoring System/1996 Cleveland Clinic Score/

Wexner/ Agachan Score

Skor konstipasi subjektif dihitung berdasarkan detail kuesioner yang

mencakup lebih dari 100 gejala terkait sembelit. Berdasarkan kuesioner,

skor berkisar dari 0 hingga 31, dengan 0 menunjukkan normal dan 31

mengindikasikan konstipasi parah. Skor sembelit kemudian dibandingkan

dengan temuan objektif tes fisiologi, yang meliputi waktu transit kolon

(CTT), anal manometry (AM), cinedefecography (CD), dan

electromyography (EMG).

Sistem Penilaian Konstipasi (CSS), sistem penilaian yang umum

digunakan, dirancang untuk menilai prevalensi dan tingkat keparahan

sembelit. Ini didasarkan pada definisi patofisiologis sembelit. Sistem

penilaian didasarkan pada delapan variabel (frekuensi buang air besar;

pengosongan yang sulit atau menyakitkan; tuntasnya pengosongan; nyeri

perut; lamanya di toilet untuk buang air besar; jenis bantuan yang

digunakan; upaya pengosongan yang gagal selama 24 jam; lamanya

konstipasi. CSS terdiri dari delapan item. Total skor dapat berkisar dari 0

(normal) hingga 31 (sembelit parah). Skor cut-off 15 menunjukkan

konstipasi.
55

2.3 Konsep Asupan Serat

2.3.1 Pengertian Serat

Serat makanan adalah polisakarida nonpati berupa karbohidrat

kompleks yang terbentuk dari gabungan beberapa gugus gula sederhana.

Serat makanan juga diartikan sebagai sisa yang tertinggal didalam kolon

atau usus setelah makanan dicerna atau setelah protein, lemak,

karbohidrat, vitamin, dan mineral dari makanan yang berasal dari

tumbuhan diserap. Sisa tersebut disebabkan tubuh manusia tidak

mempunyai enzim yang dapat mencerna serat tersebut.

serat adalah nutrisi non-gizi yang tidak dapat dicerna oleh enzim-

enzim pencernaan manusia sehingga serat tidak menghasilkan energi dan

gizi (Winarto, 2004).

Serat sering di sebut dengan polisakarida nonpati. Serat

digolongkan menjadi dua yaitu serat yang dapat larut dalam air dan serat

tidak dapat larut dalam air. Serat larut air adalah pectin, gum, mukilase,

glukan, dan algal. Serat tidak larut adalah selulosa, hemiselulosa, dan

lignin. Sebanyak 50% sumber karbohidrat yang berasal dari tumbuhan-

tumbuhan adalah selulosa. Selulosa mempunyai karakteristik khas yaitu

tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia karena tidak ada enzim yang

berfungsi untuk memecah selulosa. Fungsi serat dalam saluran pencernaan

adalah meningkatkan volume feses dan memperlancar defekasi atau buang


56

air besar, sehingga serat mempunyai kemampuan mencegah konstipasi

(Sarbini et al., 2019).

2.3.1 Kebutuhan Serat Lansia

Kebutuhan serat lansia menurut angka kecukupan gizi (AKG) tahun

2013 menyatakan jumlah asupan serat bervariasi berdasarkan jenis kelamin,

umur, Tinggi badan dan berat badan.

Tabel 2.1 Kebutuhan Serat Lansia (PERMENKES RI,2019)

Usia (tahun) Berat badan Tinggi badan Kebutuhan serat


(kg) (cm) (gr)
Laki-laki
50-64 tahun 60 166 30
65-80 tahun 58 164 25
>80 tahun 58 164 22
Perempuan
50-64 tahun 56 158 25
65-80 tahun 53 157 22
>80 tahun 53 157 22

Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa serat

mempunyai banyak fungsi dan manfaat untuk kesehatan lansia, seperti

mencegah penyakit jantung koroner (PJK), mencegah kanker usus besar,

mencegah penyakit diverticular, dan menghindari kegemukan (Sarbini et al.,

2019).

World Health Organization (WHO) tahun 2019, 250 studi prospektif

serta uji klinis selama 40 tahun menyebutkan, seseorang perlu 25-29 gram
57

serat per hari untuk hasil kesehatan yang optimal. Jumlah serat asupan serat

yang optimal bervariasi berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status

kehamilan seseorang. Namun, the academy of nutrition and dietaries

merekomendasikan 25 gram per hari untuk wanita dewasa. Lalu, 38 gram

serat per hari untuk pria dewasa. Untuk mereka yang telah berusia 50 tahun

disarankan 21 gram khusus wanita dan 30 gram bagi pria. Kemudian, wanita

hamil atau menyusui setidaknya 28 gram serat per hari.

2.3.2 Jenis Dan Sumber Serat

Serat makanan dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. serat yang tidak larut dalam air

Terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa

hemiselulosa adalah komponen dinding sel tanaman dan terdapat pada

bekatul gandum. Lignin banyak terdapat pada bagian kayu tanaman

gandum, apel, dan kubis.

b. Serat yang larut dalam air

Terdiri dari pectin, gum dan mucilage pektin banyak terdapat

terdapat pada berbagai kulit tanaman sayur, seperti kulit bawang-

bawangan. Gum banyak terdapat pada jenis tanaman kacang-kacangan,

seperti kedelai, buncis. Sementara itu mucilage atau serat yang terletak

didalam biji-tanaman dengan struktur mirip hemiselulosa, secara umum


58

terdapat dalam lapisan endosperm dari padi-padian, kacang-kacangan,

dan biji-bijian.

Serat larut yaitu tidak dapat dicerna enzim pencernaan manusia,

namun larut dalam air panas. Sifatnya tidak dapat dicerna, serat

makanan merangsang lambung bekerja lebih lama untuk proses

penghancuran terhadap serat, tekstur licin yang dimiliki serat juga

semakin tambah menyulitkan lambung untuk penghancuran serat dalam

kurun waktu yang singkat. Hal ini berakibat pada semakin lamanya

keberadaan serat dilambung. Sehingga pengosongan lambung juga akan

lebih lama. Kondisi ini diduga sebagai akibat timbulnya perasaan

kenyang yang terasa lebih lama.

Gerak makanan dari lambung yang memasuki alur usus halus

menjadi lebih lambat akibat adanya serat makanan, sehingga makanan

akan lebih lama di usus halus. Berarti akan semakin banyak kesempatan

sel-sel dinding usus untuk menyerap zat gizi penting yang dibutuhkan

tubuh dan bermanfaat bagi tubuh, serat makanan juga mempunyai

kesempatan lebih lama mengikat dan menyerap zat-zat yang merugikan

kesehatan seperti kolesterol dan glukosa yang dapat meningkatkan

jumlah gula dalam darah, atau kelebihan asam empedu yang

berhubungan erat dengan masalah kolesterol, dan zat-zat lain yang

bersifat racun atau toksik bagi tubuh. Beberapa makanan sumber serat
59

larut adalah wortel, agar-agar, pisang, rumput laut, apel, jeruk, kacang

merah dan buncis.

Serat tak larut tidak dapat dicerna dan juga tidak larut dalam air

panas. Serat makanan tak larut ini banyak gunanya ketika makanan ada

didalam kolon. Kapasitas yang luar biasa dimiliki dalam meyerap dan

mengikat cairan mendominasi serat tak larut untuk membentuk

gumpalan-gumpalan. Serat tak larut memaksa sisa makanan bersama

membentuk gumpalan lebih besar dan semakin besar, lalu dengan cepat

dilekuarkan melalui anus sebagai feses, sehingga buang air besar

menjadi lancar.

Kedua jenis serat makanan tersebut memiliki manfaat yang besar

bagi tubuh manusia sebagai berikut:

a. Mengurangi waktu transit, yaitu waktu perjalanan makanan yang

diperlukan dari mulut hingga anus.

b. Menunda kosongnya lambung, sehingga mengakibatkan

berkurangnya kadar gula darah setelah makan.

c. Serat, terutama yang larut dalam air, mampu meningkatkan

kepuasaan makan karena serat akan membentuk gel, sehingga isi

lambung cepat penuh dan volume makanan menjadi besar.

Kemampuan tersebut juga menyebabkan serat mampu meningkatkan

cairan empedu.
60

d. Serat yang mampu berikatan dengan air menyebabkan terjadinya

peningkatan berat feses.

e. Meningkatkan sintesis asam lemak rantai pendek , sehingga derajat

keasaman (pH) usus menjadi rendah dan mendorong pertumbuhan

berbagai bakteri (mikroflora) didalam usus.

f. Menurunkan serum lipid ,baik kolesterol maupun trigliserida,

dengan cara meningkatkan pengeluaran feses yang mengandung

lipid tersebut dan mencegah penyimpanannya didalam hati (Sarbini

et al., 2019).

Sumber serat menurut (Mann & Truswell, 2014) yaitu:

a. Sayuran

Bayam, daun singkong, kankung, buncis daun belutas, daun katuk,

kacang panjang, dll.

b. Buah-buahan

Alpukat, papaya, belimbing, durian, srikaya, nangka, cempedak,

kedondong, jeruk, dll.

c. Seralia

Beras, jagung, jail, dan jawawut

d. Kacang-kacangan

Kacang bogor, kacang merah, kacang hijau, kedelai, serta kacang-

kacang lainnya.
61

Tabel 2.2 Kebutuhan Serat Sesuai Jenisnya

Jenis sayuran/ Jumlah Jenis sayuran/ Jumlah


buah-buahan/ serat per buah-buahan/ serat per
kacang-kacangan 100 gram kacang-kacangan 100 gram
(gr) (gr)
Sayuran
Wortel Rebus 3,3 Daun papaya 2,1
Kangkung 3,1 Daun singkong 1,2
Brokoli rebus 2,9 Asparagus 0,6
Labu 2,7 Jamur 1,2
Jagung Manis 2,8 Terong 0,1
Kol 2,2 Buncis 3,2
Kembang
Daun Bayam 2,2 Nangka Muda 1,4
Kentang 1,8 Daun Kelor 2,0
Rebus
Kubis Rebus 1,7 Sawi 2,0
Tomat 1,1 Brokoli 0,5
Buah-buahan
Alpukat 1,4 Nenas 0,4
Anggur 1,7 Pepaya 0,7
Apel 0,7 Pisang 0,6
Belimbing 0,9 Semangka 0,5
Jambu Biji 5,6 Sirsat 2,0
Jeruk Bali 0,4 Srikaya 0,7
Jeruk Sitrun 2,0 Strawberi 6,5
Mangga 0,4 Pear 3,0
Melon 0,3
Kacang-kacang dan produk olahannya
Kacang 4,9 Kedelai bubuk 2,5
kedelai
Kacang tanah 2,0 Kecap kental 0,6
Kacang hijau 4,3 Tahu 0,1
Kacang 3,2 Susu Kedelai 0,1
panjang
Tauge 0,7 Tempe Kedelai 1,4
Sumber : (Santoso, 2011)
62

2.3.3 Sayuran dan Buah

Sayuran dan buah mengandung berbagai jenis antioksida dan mineral.

Sayuran dan buah adalah salah satu sumber serat terbaik dengan kandungan

air tinggi, sehingga bermanfaat memperlancar pencernaan. Jenis serat yang

paling bagus dapat ditemukan pada roti gandum. Namun, serat dapat

ditemukan didalam buah dan sayuran (Siti et al., 2019).

2.3.3.1 Pengertian Sayuran

Sayuran adalah sumber serat pangan (dietary fiber) yang

baik dan paling utama dibanding dengan sumber serat pangan

lainnya. Serat pangan bermanfaat bagi pencegahan berbagai

penyakit degenerative, seperti kanker kolon, gangguan jantung,

diabetes mellitus, stroke, hipertensi, divertukulosis, dan batu

ginjal. Sayuran juga mempunyai khasiat lain yaitu mengandung

sumber vitamin dan mineral yang lengkap, mengontrol berat

badan, memelihara kesehatan, dan menunda proses penuaan (Siti

et al., 2019).

2.3.3.2 Jenis Sayuran

Sayuran juga merupakan bagian dari tanaman yang umum

dimakan untuk memenuhi kebutuhan akan gizi. Sayuran dibedakan

menjadi 6 bagian yaitu:


63

a. Sayuran daun

Sayuran daun meliputi kankung, sawi, bayam, katu, dan selada

air.

b. Sayuran bunga

Meliputi brokoli, kembang kol, dan kembang turi.

c. Sayuran buah

Meliputi labu, paprika, cabai, tomat, terong, dan ketimun.

d. Sayuran biji muda

Meliputi jagung muda, kacang panjang, buncis, dan baby corn

e. Sayuran batang muda

Meliputi asparagus, rebung, dan jamur.

f. Sayuran akar

Meliputi bawang Bombay, kentang, bawang merah dan

bawang putih (Siti et al., 2019).

2.3.3.3 Pengertian Buah

Buah adalah sumber serat yang baik seperti sayuran juga

dibanding dengan sumber serat pangan lainnya. Buh-buahan

mengandung vitamin (vitamin C, vitamin B kompleks). Beberapa

buah juga merupakan sumber vitamin A, D, dan E yang sangat

potensial. Buah-buahan juga mengandung mineral seperti zat besi


64

(Fe), kalsium (Ca), fosfor (P), mangan (Mn), dan seng/zinc (Zn)

(Siti et al., 2019).

2.3.3.4 Jenis Buah-Buahan

Menurut Hermanto, (2013) dalam Siti et al., (2019) bahwa di

pasaran terdapat jenis buah dan makanan dari buah sebagai

berikut:

a. Buah segar

makanan yang terbaik karena kandungan gizi yang ada lebih

tinggi seperti vitamin dan mineral dibandingkan buah yang

sudah mengalami proses pengolahan.

b. Buah kalengan

buah yang telah dikemas dengan wadah kaleng dan ditutup

rapat.

c. Buah kering

buah yang telah mengalami proses pengolahan dengan cara

dikeringkan dibawah sinar matahari langsung atau dengan cara

pengeringan buatan yaitu menggunakan alat pengering.

d. Buah selai

bahan awetan berupa sari buah-buahan yang telah mengalami

proses pengolahan dengan cara dihancurkan, ditambahkan gula

dan dimasak hingga kental.


65

2.3.3.5 Jumlah Konsumsi Sayuran-Buah Yang Dianjurkan

Berdasarkan dari WHO bahwa anjuran konsumsi sayur dan buah

minimal lima porsi dalam sehari . Begitu pula anjuran konsumsi

sayur dan buah di dalam buku panduan GERMAS yang disusun

oleh Kementerian Kesehatan Indonesia yang mana salah satunya

programnya adalah konsumsi sayur dan buah menyatakan bahwa

setiap orang dianjurkan untuk mengkonsumsi sayuran dan

buahbuahan 300-400 gram per orang per hari bagi anak balita dan

anak sekolah, akan tetapi untuk remaja dan orang dewasa

konsumsi sayuran dan buah-buahan sebesar 400-600 gram per

orang per hari. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa sekitar dua-

pertiga dari jumlah anjuran konsumsi sayuran dan buah-buahan

adalah porsi sayur (Siti et al., 2019).

1.3.5 Metode Pengukuran Asupan Serat

SQ-FFQ (Semi Kuantitative Food Frequency Qualitative)

Semi kuantitatif FFQ adalah kuantitatif FFQ dengan tambahan

perkiraan ukuran porsi, seperti ukuran: kecil, medium, besar, dan sebagainya.

Modifikasi tipe ini dapat dilakukan untuk mengetahui asupan energy dan zat

gizi spesifik. Kuisioner SQ-FFQ ini harus memuat bahan makanan sumber

zat gizi yang lebih utama (Supariasa et al., 2016).

Metode pencatatan jumlah dan jenis pangan sumber serat yang

dikonsumsi (meliputi sumber karbohidrat, protein nabati, buah, dan sayur)


66

yang sering dikonsumsi oleh contoh selama satu minggu terakhir. Metode ini

digunakan untuk mengetahui kebiasan makan pasien dalam waktu yang

lama, biasanya 1 minggu sampai 1 bulan terakhir. Contohnya dalam satu

minggu berapa kali pasien mengkonsumsi sayuran, nasi, buah, dan lain-lain .

setelah itu di cari analisa nilai gizinya (Supariasa et al., 2016).

Prosedur semi kuantitatif FFQ:

a. Lengkapi langkah prosedur kuantitatif FFQ

b. Gunakan 3 ukuran porsi, yaitu kecil, sedang, besar. Isikan ukuran porsi

konsumsi pada kotak yang tersedia.

c. Konversikan seluruh frekuensi bahan makanan yang digunakan ke

dalam penggunaan setiap hari dengan cara sebagai berikut:

1 kali/hari=1

3 kali/hari=3

4 kali/minggu= 4/7 hari =0,57

5 kali/bulan= 5/30 hari =0,17

10 kali/tahun= 10/360 hari =0,03

d. Frekuensi yang berulang-ulang setiap hari, dijumlahkan menjadi

konsumsi perhari.

Kelebihan metode SQ-FFQ:

a. Mudah mengumpulkan data dan biaya murah.

b. Cepat (membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk setiap responden).


67

c. Tidak membebani responden, dibandingkan dengan metode food

record.

d. Dapat digunakan pada jumlah sampel yang besar.

e. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dengan

kebiasaan makan.

Kelemahan metode SQ-FFQ:

a. Hasil bergantung pada kelengkapan daftar bahan makanan yang ditulis

pada kuisioner.

b. Bergantung pada daya ingat responden.

c. Hanya dapat untuk menilai zat gizi tertentu, tidak digunakan untuk

semua zat gizi.

d. Ukuran porsi yang diberikan pada SQ-FFQ, mungkin tidak sesuai

dengan jumlah makanan yang dimakan oleh responden.

1.4 Kerangka Konsep

Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas. Lansia

mengalami beberapa proses perubahan jangka panjang, berupa perubahan-

perubahan komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem

pernapasan, otak dan sistem saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem

ekskresi, massa tulang, dan mengalami perubahan mental penurunan. Perubahan

tersebut memicu berbagai masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia,
68

salah satunya masalah pencernaan yaitu konstipasi. Konstipasi merupakan

kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan, karena volume feses terlalu kecil

sehingga penderita jarang buang air besar. Kondisi ini akan memperlama waktu

transit atau perjalanan makanan dari mulut sampai anus.

Konstipasi dapat diketahui dari beberapa gejala yang umum terjadi pada

penderitanya, meliputi perut terasa penuh, konsistensi feses lebih keras dari

biasanya, feses susah dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara

berlebihan saat BAB, dan tidak BAB selama 2 hari atau lebih. Konstipasi

umumnya disebabkan oleh kurangnya asupan serat dan cairan, serta aktivitas

fisik rendah. Penurunan fungsi gigi-geligi pada lansia berakibat keengganan

untuk mengkonsumsi makanan bertekstur keras seperti buah dan sayur yang

merupakan sumber serat makanan. Penurunan rasa haus pada lansia juga

otomatis akan menurunkan asupan cairan harian. Fisik lansia yang melemah

sebagai akibat dari proses penuaan yang terjadi pada seseorang menyebabkan

keterbatasan lansia dalam beraktivitas. Selain itu, konstipasi pada lansia juga

sering disebabkan karena adanya penyakit atau gangguan pada usus besar dan

konsumsi obat-obatan. Lansia yang memiliki riwayat penyakit hipertensi

terbiasa untuk mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi, dimana beberapa

jenis obat anti hipertensi dapat menyebabkan konstipasi.


69

Lanjut usia

Perubahan fungsi
sistem organ

Sistem
gastrointestinal

- Kehilangan gigi
- Motilitas usus besar Faktor-faktor yang menyebabkan
menurun konstipasi:
- Fungsi abrosbsi
melemah - Kebiasaan defekasi yang tidak
teratur
- Kurangnya asupan serat
- Asupan cairang yang kurang

Konstipasi - Tirah baring lama atau kurang


berolahraga
- Usia
- Peningkatan stress psikologi
- Mengkonsumsi obat-obatan
- Penyakit-penyakit
- Kelainan saluran gastrointestinal
- Melemahnya otot

Skema 2.1
Kerangka Konseptual asupan serat dengan kejadian konstipasi
(Aspiani, 2014), (Potter and Perry, 2005)
70

1.5 Hipotesa

Adapun hipotesa dari penelitian ini yang di ajukan sehubungan dengan

masalah di atas.

2.5.1 Hipotesa Nol (H0)

Tidak ada hubungan antara asupan serat dengan kejadian

konstipasi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Langkai Kota

Batam Tahun 2020.

2.5.2 Hipotesa Alternatif (Ha)

Ada hubungan antara asupan serat dengan kejadian konstipasi

pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Langkai Kota Batam

Tahun 2020.

Anda mungkin juga menyukai