Anda di halaman 1dari 3

UJIAN SEMESTER GENAP

NAMA : M.Syarifudin Hidayatullah


NIM : 2018230036
PRODI/SEMESTER : PERBANKAN SYARI’AH/6
MATA KULIAH : AUDITING PERBANKAN SYARIAH
PENGAMPU : Titik Hinawati., S.E.,M.E.I, ASPM

SOAL :

1. Sebuah bank syariah yang beroperasional di Bali memberikan pembiayaan kepada


nasabah dengan data-data sebagai berikut :
Jumlah pembiayaan : Rp. 3.000.000,00
Jangka waktu : 6 bulan
Akad : Murabahah

Mark up : 1,8 % per bulan

Keperluan : Pembelian dupa serta perlengkapan untuk sesaji.

Jawaban:

Menurut pandangan saya selaku DPS yang digambarkan di soal, transaksi yang
terjadi ini tidak sesuai dengan syariat islam, karena bisa dilihat dari keperluan yang
ditujukkan yakni untuk pembeliaan dupa dan sesajen, walaupun kita tau maksud dari si
peminjam adalah untuk menghormati kepercayaannya, akan tetapi bila akad yang
digunakan mengggunakan menggunakan akad islam. Lalu, tujuannya untuk hal yang
diluar islam tentu ini menimbulkan suatu yang tidak sah dalam ajaran islam. Dikarenakan
tujuannya yang tidak diperkenankan. Sama halnya saat bank syariah memberikan
pinjaman dengan akad yang sama yakni murabahan untuk keperluan pembelian bahan
baku minuman keras. Itu tidak diperkenankan karena sudah menuju ke arah jalan yang
tidak diperbolehkan dan diharamkan dalam ajaran islam. Dalam sumber Al-Qur’an
tindakan ini sangat dilarang, lebih baik pembiayaan yang bersifat yang diluar ekonomi
islam dan maqoshid syariah hendaknya di tangani oleh pihak yang berada di wilayahnya
seperti koperasi konven yang ada di Bali. Karena setau saya bank syari’ah di Bali sangat
jarang bahkan sedikit sekali karena lokasi dari Bali itu sendiri yang mayoritas
masyarakatnya beragama non-islam. Sehingga opini saya sebagai DPS (Dewan
Pengawas Syariah) tidak menyarankan bank syariah untuk memberikan pembiayaan
terkaita kegiatan untuk pembelian dupa untuk sesaji, akan lebih baik jika memberikan
nya melalui danan non halal yang di kelola oleh pihak ketiga lalu di berikan kepada
nasabah yang ingin melakukan pembiayaan untuk kegiatan tsb.
2. Bp. Burhan membutuhkan dana sebesar Rp. 25.000.000,00 untuk membeli peralatan
pabrik dalam rangka memulai kegiatan usaha. Bp Bahrun kemudian mendatangi bank
syariah. Didepan petugas layanan pelanggan Bp. Burhan mengutarakan bahwa dirinya
membutuhkan dana sebesar 25 juta. Petugas bank kemudian menanyakan harta Bp
Burhan.

Bp. Burhan menyatakan bahwa dia mempunyai motor Honda CBR tahun 2010. Petugas
bank kemudian meminta kepada Bp Burhan untuk menjual motornya kepada bank
syariah seharga 25 juta. Pada saat yang bersamaan Bank Syariah menjual kembali
motor tersebut kepada Bp. Burhan dengan menggunakan akad murabahah dan
mengambil keuntungan sebesar 10 %.

Bp.Burhan kemudian akan mencicil biaya pembelian motor tersebut selama 1 tahun.

Jawaban :

Terkait hal tersebut saya yang diposisikan sebagai DPS (Dewan Pengawas
Syariah) yang memberikan opini terkait transaksi diatas, saya menilai bahwasannya
transaksi tersebut tidak sah secara syari’ah dikarenakan 1 akad 2 transaksi. Dalam
prinsip Maqoshid Syariah terkait penggunaan 1 akad 2 transaksi ini hendaknya tidak
diperbolehkan, karena Bp. Burhan membeli peralatan pabrik dengan menjual motornya
lalu pihak bank menjualnya lagi ke Bp. Burhan saat bersamaan hal ini tidak boleh. Akan
tetapi jika akad yang digunakan yakni berbeda seperti ijarah muttamhiya bit tamlik
(IMBT) diperbolehkan tentunya nanti alurnya menjadi berbeda dimana seharusnya bank
memperhatikan proses alur pembiayaan. Saat Bp. Burhan hendak melakukan
pembiayaan dengan menggunakan motor CBR nya sebagai jaminan pihak bank menaksir
dulu berapa harga motornya dengan menanyakan kepada pihak ketiga yakni bisa dealer
atau lembaga jual beli kendaraan, setelah harga diperoleh, dan harga didapat baru dijual
kepada pihak bank. Nah, apabila harganya dibawah 25 jt maka sisanya dijadikan sebagai
pembiayaan tambahan. Akan tetapi jika lebih maka pihak bank mengembalikan
kelebihannya kepada Bp. Burhan, jadi pihak bank tidak asal dalam menaksir sebuah
harga kendaraan karena ini sama saja melanggar prinsip kehati-hatian dan juga bersifat
menekan karena pihak bank meminta Bp.Burhan menjual motornya sebesar 25 Jt tanpa
adanya pengecekan terlebih dahulu ke pihak ketiga ataupun menjual tetapi di tempat
lelang. Lalu, saat alat pabrik telah terbeli pihak bank baru melakukan teksiran terkait
berapa jumlah dan besaran angsuran dengan tentunya apabila kendaraan Bp. Burhan
tidak bisa menutupi jumlah pinjaman pembiayaan maka ditotal berapa besarannya dan di
hitung berapa cicilan dalam setaun. Saya rasa perlu adanya ketransparansian dan juga
kehati-hatian terkait transaksi ini perlu, guna mengedepankan asas keadilan dan
kepercayaan. Lalu, untuk proses menjual kembali dengan keuntungan 10% saya rasa ini
tidak sah karena sama saja bank meminta keuntungan dengan menggunakan akad
murabahah dan ini seperti halnya bunga karena membeli lalu menjual kembali ke
nasabah yang sama dengan besar keuntungan 10% yang seperti riba. Padahal Bp.Burhan
belum selesai dengan pembelian alat pabri untuk usahanya. Sehingga opini saya terkait
transaksi diatas belum sesuai syariat islam.

Anda mungkin juga menyukai