Anda di halaman 1dari 73

NASKAH AKADEMIK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN


TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN
DAN PEMBUDI DAYA IKAN

Tim Penyusun:

1. Prof. Dr. I Made Subawa, S.H., M.S.


2. Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum.

3. Dr. I Wayan Novy Purwanto, S.H., M.Kn.

4. A.A. Gde Oka Parwata, S.H., M.Si.


5. I Gst. Agung Mas Rwajayantiari, S.H., M.Kn.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
KATA PENGANTAR

Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi


Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan dapat kami
selesaikan. Rencana Peraturan Daerah ini adalah merupakan
insisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Tabanan, melalui kerjasama dengan Fakultas Hukum Universtas
Udayana. Oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana
pengerjaannya ini ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang
selanjtnya membentuk Tim Penyusunan Naskah Akademik.
Sebagai karya akademik, Naskah Alademik ini tentu masih
banyak kekuarangannya untuk selajutnya dapat dikritisi dan
diberikan serta masukan saran untuk penyempurnaannya. Untuk
selanjutnya Tim Penyusun Naskah Akademik ini mengucapkan
terimakasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Tabanan atas
kepercayaan yang diberikan dalam penyusunan Naskah Akademik
ini.

Denpasar 2016
Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................... i


Daftar Isi ..................................................................................... ii
Daftar Gambar ............................................................................ iii
Daftar Tabel ................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................. 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah
Akademik.............................................................. 6
D. Metode Penelitian .................................................. 7
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ................. 12
A. Kajian Teoritis ....................................................... 12
B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma............................................... 18
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan............. 22
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Terhadap
Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban
Keuangan Daerah ................................................. 23
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ........................... 24
A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya .............. 24
B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan
Peraturan Perundang-undangan Yang Lain ........... 26
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS .. 30

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG


LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR
12 TAHUN .................................................................. 38
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan .......................... 38
B. Ruang Lingkup Materi Muatan .............................. 40
BAB VI PENUTUP ................................................................... 41
A. Simpulan .............................................................. 41
B. Saran .................................................................... 42
DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN............................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 43

LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi
Daya Ikan.
2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten
Tabanan tentang Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya
Ikan.
ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : xxxxxxxx ............................................................... 9

Gambar 2 : zzzzzzzzz ............................................................... 10

Dst…….

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Ciri Komunitas Nelayan ................................................ 16

Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5
UU 12/2011 dan Penjelasannya) .................................. 18
Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6
yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan) ......... 20

Tabel 4 : Urusan Pemerintahan Konkuren Yang Menjadi


Kewenangan Daerah..................................................... 27

Tabel 5 : Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan..... 28

Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan


yang lain ...................................................................... 29

Tabel 7 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan


menurut Para Sarjana Indonesia .................................. 31

Tabel 8 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan


peraturan perundang-undangan .................................. 34

Tabel 9 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan


Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No.12/2011 . 35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan
pembangunan Perikanan dan Kelautan diarahkan antara lain
untuk meningkatkan sebesar-besarnya keselahteraan nelayan dan
Pembudi Daya Ikan. Kabupaten Tabanan memiliki garis pantai +
37 Km yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia,
memiliki Danau Beratan dengan luasnya + 377 Ha, merupakan
kabupaten yang potensial dalam pembangunan bidang perikanan
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selama ini, nelayan dan pembudi daya ikan telah


memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan
perikanan dan kelautan, serta pembangunan ekonomi masyarakat
pesisir dan pedesaan. Demikian pula halnya dengan masyarakat
nelayan dan pembudi daya ikan di Kabupaten Tabanan. Namun
demikian ternyata masih banyak permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat nelayan dan pembudi daya ikan, seperti:
keterbatasan modal, kurangnya pengetahuan, penangkapan ikan
yang berlebihan (overfishing) oleh nelayan besar, kesediaan induk,
kesulitan dalam perolehan bibit/benih dan pakan ikan, kesulitan
di dalam pemasaran, pencemaran lingkungan, pencemaran
lingkungan, serta masalah-masalah yang sulit diprediksi seperti:
perubahan iklim, cuaca, dan gelombang tinggi.

Disamping itu, pendapatan nelayan dan pembudi daya ikan


di Kabupaten Tabanan belum begitu tinggi yang berdampak
langsung kepada keluarga nelayan dan pembudi daya ikan.
Pengolahan hasil tangkapan biasanya dilakukan pengolahan yang

1
sangat sederhana/tradisional dan dipasarkan di pasar tradisional
dengan harga yang relative rendah sehingga sangat sulit dapat
mendukung ekonomi keluarganya.

Oleh karenanya, sangat perlu ada upaya peningkatan


tingkat pendapatan tersebut melalui upaya perlindungan dan
pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan dimaksud,
sehingga dapat menaikkan harkat dan martabatnya dengan
menjadikan pekerjaan sebagai nelayan dan pembudi daya ikan
sebagai pekerjaan yang menjanjikan, menarik minat untuk
menekuni pekerjaan di bidang itu. Dan keterbukaan lapangan
kerja. Segalanya tadi tentu akan menuju sasaran ahir tentu yakni
bertumbuh kembangnya usaha di bidang perikanan melalui
pekerjaan sebagai nelayan dan pembudi daya ikan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Upaya perlindungan dan pemeberdayaan nelayan yang


dilakukan di Kabupaten Tabanan ini, sudah tentu adalah
merupakan tugas dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan
melalui perangkat yang membidanginya. Namun dalam
penyelenggaraan upaya itu harus memiliki landasan hukum
sebagai dasar dari penyelenggaraan itu. Bentuk hukum yang akan
digunakan sebagai landasannya adalah Peraturan Daerah yang
dibentuk sesuai dengan prosedur mengikuti peraturan perundang-
undangan yang ada, seperti Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan an Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, Dan Petambak Garam, serta peraturan perundang-undangan
lain yang terkait dengan perikanan.

2
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945),
menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat [Pasal 18 ayat (5)
UUD NRI 1945]. Dalam penyelenggaraan otonomi ini pemerintah
daerah dapat membentuk peraturan daerah, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587).
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan TugasPembantuan, Daerah membentuk
Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014


inilah sebagai dasar hukum bagi Daerah untuk membentuk
peraturan daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 No. 32) yakni sebagaimana diatur

3
dalam Pasal 2 huruf a, produk hukum daerah sebagaimana
dimaksud adalah dalam berbentuk:

a. Perda atau nama lainnya;


b. Perkada;
c. PB KDH; dan
d. Peraturan DPRD

Dalam kaiatannya dengan dasar kewenangan pembentukan


peraturan daerah, urusan yang berkaitan dengan kelautan dan
perikanan adalah merupakan urusan pemerintahan pilihan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) UU No 23 Tahun
2014 yang menyebutkan:
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Dalam Lampiran Y. Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan
Perikanan, Undang-Undang No 23 tahun 2014, mengatur
kewenangan Kabupaten hanya pada:
1. Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota
2. Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan
(TPI).

Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2016


tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil Dan Pembudidaya-Ikan Kecil
Ruang lingkup pengaturan Pemberdayaan Nelayan Kecil dan
Pembudidaya-Ikan Kecil meliputi:
a. pembiayaan dan permodalan;
b. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang
perikanan;

4
c. penumbuhkembangan kelompok Nelayan Kecil dan
kelompok Pembudi Daya-Ikan Kecil;
d. pelaksanaan penangkapan ikan oleh Nelayan Kecil dan
pembudidayaan ikan oleh Pembudidaya Ikan-Kecil; dan
e. Kemitraan.

Adanya dasar pendelegasian kewenangan dalam


pembentukan Peraturan daerah tentang Pemberdayaan Nelayan
dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2016 tentang
Pemberdayaan Nelayan Kecil Dan Pembudidaya-Ikan merupakan
dasar hukum dan arah kebijakan (politik hukum) tentang
pemberdayaan nelayan, sehingga perlu diadakan penelitian
hukum dalam rangka pembentukan peraturan daerah, yang
hasilnya dituangkan dalam Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan
Pemberdayaan Nelayan Dan Pembudi Daya Ikan.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Isu hukum dari penelitian atau penyusunan Naskah
Akademik ini adalah rencana pengaturan tentang perlindungan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikandi Kabupaten
Tabanan yang belum memiliki landasan hukum untuk melakukan
perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan
di Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan isu hukum tersebut perlu identifikasi
permasalahan yang berkait dengan perlindungan dan
pemberdayaan nelayan di Kabupaten Tabanan. Permasalah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengapa Nelayan dan Pembdi Daya Ikan di Kabupaten
Tabanan harus dilindungi dan diberdayakan;
2. Bagaimana bentuk perlindungan dan pemberdayaan yang akan
dilakukan oleh Kabupaten Tabanan melalui peraturan daerah
yang akan dibentuk.

5
Atas dua permasalahan sebagaimana yang diajukan, akan dapat
terjawab dalam pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari
peraturan daerah yang akan dibentuk. Dengan rancangan
peraturan daerah yang akan dituangkan dalam naskah akademik
ini, akan dapat diketahui bagaimana usaha perlindungan dan
pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan itu dapat
dilakukan, yakni melalui sasaran yang akan diwujudkan,
jangkauan dan arah pengaturan, dan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN


NASKAH AKADEMIK

Sebagaimana gambaran tentang identifikasi masalah


sebagaimana yang telah dikemukakan, tujuan penyusunan
Naskah Akademik ini adalah:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Dan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.
3. Merumuskan ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
sasaran yang akan diwujudkan, serta arah pengaturan
dalam Rancangan Peraturan yang akan dibentuk ini.
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

6
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya


merupakan suatu kegiatan penelitian yang didalam penyusunan
Naskah Akademik ini digunakan metode penelitian yang
berbasiskan metode penelitian hukum.1

D.1 Jenis Penelitian.

Dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis


penelitian yaitu: 2

a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian


doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa:
peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan
dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis
data sekunder dilakukan secara normative kualitatif
yaitu yuridis kualitatif.
b. Metode penelitian hukum sosiologis/empiris, yang
mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang
lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian
ilmu-ilmu sosial/empiris.

Dalam kajian ini dipergunakan penelitian hukum normative


sebagaimana juga disebut dengan penelitian dogmatik.3 Dalam
penelitian hukum normatif ini, digunakan bahan hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer (primary sources or authorities)
bahan-bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities)
dan bahan hukum tersier (tertier sources or authorities). Bahan-
bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-
undangan, bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa makalah,

1 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum

Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, h. 177-178.


2 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia
Indonesia Jakarta, 1985, h. 9.
3 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta )

Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan


Bandung, h. 109-110.
7
buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier
berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.

D.2. MetodePendekatan.

Ada beberapa pendekatan yang biasa dipergunakan dalam


penelitian hukum normative, yaitu: (1) pendekatan perundang-
undangan (statute approach), (2) pendekatan konsep (conceptual
approach), (3) pendekatan analitis (analytical approach), (4)
pendekatan perbandingan (comparative approach), (5) pendekatan
histories (historical approach), (6) pendekatan filsafat (philosophical
approach), dan (8) pendekatan kasus (case approach).4
Dalam penelitian ini untuk menganalisa digunakan 3 (tiga)
pendekatan, yakni: perundang-undangan (statute approach),
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konsep hukum
(conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach),
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang
bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan dalam
perlindungan dan pemberdayaan nelayan sebagaimana yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan
dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai pendelegasian
kewenangan sesuai dengan penelitian ini.5 Selanjutnya
pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan secara
kontekstual terkait dengan penrapan hukum dalam suatu waktu
tertentu.

4 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta


Interpratama Offset, h. 93-137.
5 Ibid, h. 19.

8
D.3. Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer


dan bahan hukum sekunder.6 Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini
adalah Undang-Undang NO. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang NO. 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait
dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada peraturan
perundang-undangan.

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan


hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, dan bahan hukum
tersier adalah berupa kamus dan ensiklopedia.

Disamping penggunaan bahan hukum, juga akan digunakan


data penunjang, yakni berupa informasi dari lembaga atau
pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan.

D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Dalam pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi


dokumen dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang
relevan dengan masalah yang diteliti. Untuk mendukung yang
ditemukan dalam bahan hukum tersebut, dilakukan wawancara
terhadap informan yang terkait dengan pengkajian yang
dilakukan.

6 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada

Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, h. 134.


9
D.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang


dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi,
interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus
M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup
isi maupun struktur hukum positif.7 Pada tahap deskripsi ini
dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan
hukum yang dikaji, dengan demikian pada tahapan ini hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.8 Lebih lanjut
berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :

The relation berween a given formulation and specific complex


of facts.The technique of argumentation demanded by this
method is directed toward discovering the meaning of the
statute and arguing that the given facts sre either covered by
it or not.9
(terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang
diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi
ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada
penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang
saling melengkapi satu sama lain)

Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya, menurut I


Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat
dibedakan menjadi:10

1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh


peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran
ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang
dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan

7 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif )


dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember h. 33.
8 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz,

h. 16.
9 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,

Barkely & Los Angeles, h. 111.


10 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka

Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada
FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II ), h. 14 .
10
(biasanya sebagai lampiran). Penafsiran otentik ini
mengikat umum);
2. Penafsiran Yurisprudensi adalah merupakan penafsiran
yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para
pihak yang bersangkutan;
3. Penafsiran Doktrinal (ahli hokum); merupakan penafsiran
yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan
para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak
mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa
ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara
materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan
undang-undang.

Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I


Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum
yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik,
penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum.
Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah
penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh
pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya
dan peraturan perundang-undangan yang lain. Sedangkan
penafsiran gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam kaitannya
untuk menemukan makna atau arti aturan hukum, khususnya
aturan hukum yang berkaitan dengan Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

11
BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS
Berbicara tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan, ada 4 (empat) konsep yang harus
dipahami, yakni: konsep perlindungan, pemberdayaan dan
konsep nelayan:

A.1. Konsep Perlindungan


Istilah perlindungan dalam pembahasan ini adalah dalam kontek
perlindungan terhadap nelayan dan pembudi daya ikan. Agar
lebih fokos, maka kosep perlindungan ini akan langsung
mengikuti apa yang telah ditentukan oleh Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016, yang menyebutkan: Perlindungan Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya
untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak
Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan
Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
Oleh karenanya dalam Naskah Akademik maupun Rancangan
Peraturan Daerah yang akan diajukan, kosep “perlindungan” ini
adalah dimaksudkan sebagai “segala upaya untuk membantu
dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan usaha”.

A.2. Konsep Pemberdayaan


Istilah “pemberdayaan” diambil dari Bahasa Inggeris
empowerment, yang berasal dari kata dasar power berarti
kekuatan atau daya dalam Bahasa Indonesia. Empowerment
dalam Bahasa Inggeris diterjemahkan sebagai pemberdayaan
dalam Bahasa Indonesia. Kalau demikian, maka definisi kerja

12
pemberdayaan seharusnya dirumuskan sebagai upaya yang
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan/daya (power) pihak-
pihak yang tidak atau kurang berdaya. Harus dipahami sebagai
upaya untuk :
1. memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang
individu atau kelompok lain, dan
2. membiarkan mereka menguasai dan menggunakan
kekuatan/daya (power) tersebut di tangan mereka untuk
tujuan dan kepentingan mereka.
Pemberdayaan juga bermakna sebagai upaya distribusi-ulang
(redistribusi) kekuatan/daya dari pihak yang memilikinya kepada
pihak yang tidak atau kurang memilikinya. Karena itu, suka atau
tidak suka, pemberdayaan selalu mengandung pengertian :
1. pengurangan atau pemindahan daya power atau upaya
melakukan disempowerment/less empowering pihak-
pihak yang memiliki kekuatan/daya/power.
2. penyerahan/penambahan daya power kepada pihak-
pihak yang diberdayakan empowerment.

Hal tersebut tentu saja tidak selalu disukai oleh berbagai


pihak, termasuk pihak-pihak yang mengaku diri sebagai
pemberdaya. Dengan pemahaman tersebut di atas, pembahasan
tentang pemberdayaan setidaknya harus mencakup konsep dasar
tentang kekuatan/daya (power) dan ketidakberdayaan
(ketidakberuntungan). Pembahasan tentang pemberdayaan juga
harus menyangkut dinamika hubungan antara berbagai individu
atau kelompok yang selalu bersaing untuk memperebutkan
kekuatan/daya (power) dan pengaruh karena secara pasti,
kekuatan/daya (power) selalu berhubungan dengan kekuasaan
dan pengaruh. Dengan demikian, pada setiap kegiatan
‘pemberdayaan masyarakat’ atau ‘pemberdayaan komunitas’ harus
dipahami bahwa masyarakat atau komunitas ditempatkan sebagai

13
pihak yang akan menerima kekuatan/daya (power) atau yang
diberdayakan; dan bersamaan dengan itu sebuah program atau
proyek, terutama para pelaksana program atau proyek sebagai Si
Pemberdaya.
Robinson menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu
proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi,
kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata
empowerment yang berarti memberi daya, memberi ”power”
(kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya11. Payne
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan
untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan
kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang
akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut,
termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Orang-orang yang telah mencapai tujuan
kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan
merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha
mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta
sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung
pada pertolongan dari hubungan eksternal. 12

Menurut Sulistiyani menjelaskan bahwa tujuan yang ingin


dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut
meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa
yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu
kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan
kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu
yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang

11 Robinson, J.R. 1994. Community Development in Perspective. Ames:

Iowa State University Press.


12 Payne, M. 1997. Social Work and Community Care. London: McMillan.

14
dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang
dimiliki.13
Lebih lanjut, Pasal 2 angka 2 Undang-Undang No. 7 Tahun
2016 menyebutkan “Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan
kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik”.

A.3. Konsep Nelayan


Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan perairan
umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi
penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan
pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat
penangkapan ikan ke dalam perahu atau kapal motor,
mengangkut ikan dari perahu atau kapal motor, tidak
dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan
Perikanan,2002)Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan
buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik
orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang
memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.
Sedangkan nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki
peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak
melibatkan orang lain).14
Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata
pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir 15Ciri

komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi. Sebagai


berikut dalam tabel di bawah ini :

13 Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.

Yogyakarta: Gaya Media.


14 http://tegarhakim.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-nelayan.html
15 Sastrawijaya, 2002, nelayan Nusantara PRPPSP, BRKP, h.3

15
Tabel 1 : Ciri Komunitas Nelayan
No Dari Segi Karakter
1 Dari segi mata Nelayan adalah mereka yang
pencaharian segala aktivitasnya berkaitan
dengan lingkungan laut dan
pesisir. Atau mereka yang
menjadikan perikanan sebagai
mata pencaharian mereka
2 Dari segi cara hidup Komunitas nelayan adalah
komunitas gotong royong.
Kebutuhan gotong royong dan
tolong menolong terasa sangat
penting pada saat untuk
mengatasi keadaan yang
menuntut pengeluaran biaya
besar dan pengerahan tenaga
yang banyak. Seperti saat
berlayar. Membangun rumah
atau tanggul penahan
gelombang di sekitar desa
2 Dari segi ketrampilan Meskipun pekerjaan nelayan
adalah pekerjaan berat namun
pada umumnya mereka hanya
memiliki ketrampilan sederhana.
Kebanyakan mereka bekerja
sebagai nelayan adalah profesi
yang diturunkan oleh orang tua.
Bukan yang dipelajari secara
professional. Dari bangunan
struktur sosial, komunitas
nelayan terdiri atas komunitas
yang heterogen dan homogen

Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim


di desa-desa yang mudah dijangkau secara transportasi darat.
Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan terpencil
biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana,
sehingga produktivitas kecil. Sementara itu, kesulitan transportasi

16
angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya
harga hasil laut di daerah mereka.16
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Dan Petambak Garam menyebutkan:
- Nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya
menangkap ikan;
- Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan
Ikan untuk memenuhi kebutihan hidup sehari-hari, baik yang
tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang
menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar
10 (sepuluh) gros ton (GT);
- Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan
Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan
tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun
sesuai dengan budaya dan kearifan local;
- Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan tenaganya
yang turut serta dalam usaha Penangkapan Ikan; dan
- Nelayan Pemilik adalah Nelayan yang memiliki kapal
penangkap ikan yang digunakan dalam usaha Penangkapan
Ikan secara aktif melakukan Penangkapan Ikan.
-
A.4. Konsep Pembudi Daya Ikan
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Dan Petambak Garam, disebutkan:
- Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata
pencahariannya melakukan Pembudayaan ikan air tawar, ikan
air payau, dan ikan air laut.

16 Ibid h.4
17
- Pembudidaya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang
melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT


DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,


sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya
keadilan dan kepastian hokum, adalah telah dipositipkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-undang
sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur dalam
Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.
Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam
penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal
pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.

Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang


Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan
Penjelasannya)
Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011
Dalam membentuk
Peraturan Perundang-
undangan harus
dilakukan
berdasarkan pada
asas Pembentukan
Peraturan Perundang-
undangan yang baik,
yang meliputi:
a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus
mempunyai tujuan yang jelas yang

18
hendak dicapai.
b. kelembagaan atau bahwa setiap jenis PPu harus dibuat
pejabat oleh lembaga negara atau pejabat
pembentuk yang Pembentuk PPu yang berwenang. PPu
tepat tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang
tidak berwenang.
c. kesesuaian antara bahwa dalam Pembentukan PPu harus
jenis, hierarki, benar-benar memperhatikan materi
dan materi muatan yang tepat sesuai dengan
muatan jenis dan hierarki PPu.
d. dapat bahwa setiap Pembentukan PPu harus
dilaksanakan memperhitungkan efektivitas PPu
tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
e. kedayagunaan bahwa setiap PPu dibuat karena
dan memang benar-benar dibutuhkan dan
kehasilgunaan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
f. kejelasan bahwa setiap PPu harus memenuhi
rumusan persyaratan teknis penyusunan PPu,
sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai
dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam
Pembentukan PPu.

Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan


19
Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut.
Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal
6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU
12/2011
Ayat (1)
Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus
mencerminkan asas:
a. Pengayoman bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus
berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Kebangsaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan PPu
senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan PPu yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus
memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
g. Keadilan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan Kedudukan bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak
20
dalam Hukum dan boleh memuat hal yang bersifat
Pemerintahan membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan Kepastian bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
Hukum dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
dan Keselarasan mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2) antara lain:
PPu tertentu dapat berisi asas a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas
lain sesuai dengan bidang legalitas, asas tiada hukuman tanpa
hukum Peraturan Perundang- kesalahan, asas pembinaan
undangan yang bersangkutan. narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya,
dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik.
Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan

Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator


dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang
berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak
bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.

Berdasarkan Pasal 2 UU No 7 Tahun 2016 disebutkan bahwa


Perlindungan dan Pemberdayan Nalayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Petambak Garam berdasarkan asas:

1. kedaulatan;

2. kemandirian

3. kebermanfaatan;

4. kebersamaan;

5. keterpaduan;

6. keterbukaan;

7. efisiensi-berkeadilan;

8. keberlanjutan;

21
9. kesejahteraan;
10. kearifan local; dan

11. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Penyusunan Raperda Kabupaten Tabanan ini didasarkan pada


asas-asas sebagaimana disebutkan di atas.

C.KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI


YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
MASYARAKAT

Otonomi daerah dilaksanakan untuk mendekatkan


pelayanan kepada masyarakat, demikian pula halnya dengan
upaya perlindungan prlindungan dan pemberdayaan nelayan. Hal
ini penting dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan itu
agar ada landasan hukum bagi Daerah untuk melakukan:

a. perlindungan;

b. pembiayaan dan permodalan;

b. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang


perikanan;

c. penumbuhkembangan kelompok Nelayan Kecil dan


kelompok Pembudi Daya-Ikan Kecil;

d. pelaksanaan penangkapan ikan oleh Nelayan Kecil dan


pembudi dayaan ikan oleh Pembudidaya Ikan-Kecil; dan

e. Kemitraan

Upaya pemberdayaan nelayan dapat dilakukan melalui


penyediaan perangkat hukum dengan asas-asas umum

22
pemerintahan dan kerjasama yang baik untuk dapat tercapai
peningkatan kesejahteraan nelayan.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN


MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN
KEUANGAN DAERAH.
Dalam rangka upaya untuk menuju pada tercapainya
kesejahteraan nelayan di Kabupaten Tabanan, pembentukan
peraturan paerah yamg akan dibentuk dalam rangka memberikan
perlindungan dan pemberdayaan nelayan di Kabupaten Tabanan,
adalah dimaksudkan untuk terwujudnya:
a. batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung
jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan Pemberdayaan Nelayan;

b. sistem penyelenggaraan Pemberdayaan Nelayan yang layak


sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi
yang baik;

c. penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan nelayan


sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang ada; dan

d. kepastian hukum bagi masyarakat khususnya masyarakat


nelayan tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

Upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan oleh


Daerah tentu membawa implikasi pada aspek keuangan daerah.
sehingga sangat diperlukan adanya landasan hukum sebagai
dasar penyelenggaraannya. Karena itulah diperlukan
pembentukan peraturan daerah yang menyangkut perlindungan
dan pemberdayaan nelayan.

23
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR
HUKUM DAN YANG TERKAIT

A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA


Setiap orang harus mendapat perlakuan yang adil dari
Negara, termasuk keadilan dalam mencapai kesejahteraannya.
Menurut Rawls, untuk menciptakan keadilan dalam
mensejahterakan rakyat, pemerintah sebagai pemeran utama
harus mengimplementasikan dua konsep: pertama, memberi hak
dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar bagi setiap
orang walaupun dalam situasi ketidaksamaan. Hal ini dapat
dilakukan melalui menerapkan peraturan hukum sedemikian rupa
sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah; kedua, menghargai kebebasan yang sama bagi setiap orang
atas hak fundamentalnya.
Dalam hubungannya dengan hal ini Pemerintah Kabupaten
Tabanan belum memiliki dasar hukum dalam melakukan
perlindungan dan pemberdayaan nelayan, sehingga perlu
membentuk peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan
dan pemberdayaan terhadap nelayan untuk dapat berbagi dalam
menikmati kesejahteraan dari keberhasilan pembangunan. Hal
seperti ini adalah sesuai dengan prinsip negara kesejahteraan
(welfare state) yang mengandung arti bahwa negara menjamin
kesejahteraan bagi masyarakat,
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang
Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan adalah:

24
1. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945;
2. Pasal 33 UUD NRI 1945;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 443).
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, Dan Petambak Garam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Nomer 5870);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor
473 );

25
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG LAIN
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam undang-undang dasar atau bias juga disebut
dengan konstitusi. Dibawah undang-undang dasar ada undang-
undang sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif.
Namun karena materi yang diatur dalam undang-undang itu
hanya terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-
bentuk peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana
dari undang-undang tersebut. Sebagai produk lembaga politik
seringkali undang-undang hanya dapat menampung materi-materi
kebijakan yang bersifat umum, oleh kerena forum legislatif
bukanlah forum teknis melainkan forum politik.

Sumber kewenangan pokok ada ditangan legislator, oleh


karenanya maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih
lanjut diberikan kepada lembaga eksekutif atau lembaga
pelaksana yang haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-
undang yang akan dilaksanakan. Hal inilah yang dinamakan
legislative delegation of rule making power.17 Berdasarkan prinsip
pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan
dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas
delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.

Upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan adalah


kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk yang menjadi
nelayan. Hal ini adalah penting bagi pemerintah yang dapat dilihat
adanya upaya pemenuhannya melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan yang menyangkut hal tersebut.

17 Jimly Asshiddiqie II, Op.cit, h. 215.


26
Tabel 4 : Urusan Pemerintahan Konkuren Yang Menjadi Kewenangan
Daerah

Urusan Pemerintahan Urusan Pemerintahan Urusan


Wajib yang berkaitan Wajib yang tidak berkaitan Pemerintahan
dengan Pelayanan dengan Pelayanan Dasar Pilihan
Dasar
a. pendidikan; a. tenaga kerja; a. kelautan dan
b. kesehatan; b. pemberdayaan perikanan;
c. pekerjaan umum perempuan dan b. pariwisata;
dan penataan pelindungan anak; c. pertanian;
ruang; c. pangan; d. kehutanan;
d. perumahan rakyat d. pertanahan; e. energi dan
dan kawasan e. lingkungan hidup; sumber daya
permukiman; f. administrasi mineral;
e. ketenteraman, kependudukan dan f. perdagangan;
ketertiban umum, pencatatan sipil; g. perindustrian;
dan pelindungan g. pemberdayaan dan
masyarakat; dan masyarakat dan Desa; h. transmigrasi.
f. sosial h. pengendalian penduduk
dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan
informatika;
k. koperasi, usaha kecil,
dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan
olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.

Tabel di atas menunjukkan pemberdayaan nelayan


merupakan urusan pemerintahan pilihan yang menjadi
kewenangan daerah (Pasal 12 UU 23/2004). Selanjutnya, Pasal 15
ayat (1) UU 23/2014 menentukan pembagian urusan
pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
UndangUndang ini.

27
Lampiran UU 23/2014, perihal Pembagian Urusan
Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, angka I perihal Matriks
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota,
sebagaimana dikemukakan dalam Lampiran Y. Pembagian Urusan
Bidang Kelautan Dan Perikanan, penjabaran kewenangan tersebut
dapat ditunjukan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5 : Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan,


No Sub Pemerintah Daerah Provinsi Daerah
Urusan Pusat Kabupaten/Kota
2 Perikanan a. Pengelolaan a. Pengelolaan a. Pemberdayaa
penangkapan penangkapan n nelayan
Tangkap
ikan di ikan di wilayah kecil dalam
wilayah laut di laut sampai Daerah
atas12 mil. dengan 12 mil. kabupaten/k
b. Estimasi stok b. Penerbitan izin ota.
ikannnasional usaha b. Pengelolaan
dan jumlah perikanan tangkap dan
tangkapan untuk penyelenggar
ikan yang kapal perikanan aan Tempat
diperbolehkan berukuran di atas Pelelangan
(JTB). 5 GT
Ikan (TPI).
c. … sampai dengan 30
GT.
c. ….

Dalam kaitannya dengan penyusunan rancangan Peraturan


daerah tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan dapat
ditemukan dasar hukumnya dalam bentuk keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan yang lain. Keterkaitan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain sebagainmana dapat
dikemukakan dalam tabel di bawah ini:

28
Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lain

Materi Muatan UU No 23 Tahun 2014 ANALISIS


Berdasarkan PP
No 50 Tahun 2016

1 2 3
a. pembiayaan dan 1. Pasal 12 ayat (3) huruf a. Pengkajian
permodalan; Kelautan dan perikanan kewenangan kaitan
b. pendidikan, 2. Lampiran huruf Y antara jenis
pelatihan, dan Pembagian urusan bidang peraturan dan
penyuluhan di kelautan dan perikanan materi muatan
bidang perikanan; a. Pemberdayaan nelayan peraturan
c.penumbuhkembanga kecil dalam Daerah perundang-
n kelompok Nelayan kabupaten/kota dan undangan
Kecil dan kelompok b. Pengelolaanpenyelenggar menunjukkan
Pembudi Daya-Ikan aan Tempat Pelelangan terdapat adanya
Kecil; Ikan (TPI). dasar kewenangan
d.pelaksanaan pembetukan
penangkapan ikan Peraturan Daerah
oleh Nelayan Kecil
dan pembudidayaan
ikan oleh
Pembudidaya Ikan-
Kecil; dan
e.Kemitraan.

Sumber : UU No 23 tahun 2014, PP No 50 Tahun 2016, Peraturan Daerah


Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten
Badung

29
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Oleh Hans Kelsen dikatakan bahwa validitas hukum adalah


eksistensi spesifik dari norma dalam suatu peraturan. Suatu
norma adalah valid sama artinya dengan diakui eksistensinya
atau mengandung “kekuatan mengikat” bagi mereka yang
perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut18.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan
mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma
hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma
tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo
dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya
suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum
tersebut. Oleh Radbruch dikatakan bahwa hukum itu dituntut
untuk memenuhi nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan,
kegunaan, dan kepastian hukum19.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas
hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum
didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan

18 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan


Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung:
Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), h. 40
19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya

Bakti, 2000), h. 19
30
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum
dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan di
Indonesia dapat dikemukakan pandangan beberapa sarjana
seperti: Jimly Assiddiqie20, Bagir Manan21, dan Solly Lubis22,
dengan pandangannya asing-masing sebagai tabel berikut:

Tabel 7: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan


menurut Para Sarjana Indonesia23

Landasan Jimly Asshiddiqie Bagir Manan M. Solly Lubis


Filosofis Bersesuaian dengan Mencerminkan nilai Dasar filsafat
nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam atau pandangan,
yang dianut oleh cita hukum atau ide yang
suatu Negara. (rechtsidee), baik menjadi dasar
Contoh, nilai-nilai sebagai sarana yang cita-cita sewaktu
filosofis Negara melindungi nilai- menuangkan
Republik Indonesia nilai maupun hasrat dan
terkandung dalam sarana kebijaksanaan
Pancasila sebagai mewujudkannya (pemerintahan)
“staatsfunda- dalam tingkah laku ke dalam suatu
mentalnorm”. masyarakat. rencana atau
draft peraturan
Negara.

Sosiologis Mencerminkan Mencerminkan


tuntutan kebutuhan kenyataan yang -
masyarakat sendiri hidup dalam
akan norma hukum. masyarakat.
Juga dikatakan, Kenyataan itu dapat
keberlakuan berupa kebutuhan

20 Jimly Asshiddiqie, Perih Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,

2006), h . 169-174, 240-244


21 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta:

Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), h. 14-17.


22 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung:

Penerbit CV Mandar Maju, 1989), h. 6-9.


23 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit.,

h. 38.

31
sosiologis berkenaan atau tuntutan atau
dengan masalah-masalah
(1) kriteria yang dihadapi yang
pengakuan terhadap memerlukan
daya ikat norma penyelesaian.
hukum;
(2) kriteria
penerimaan
terhadap daya ikat
norma hukum; dan
(3) kriteria faktisitas
menyangkut norma
hukum secara
faktual memang
berlaku efektif
dalam masyarakat].

Yuridis Norma hukum itu Keharusan Ketentuan


sendiri memang (1) adanya hukum yang
ditetapkan kewenangan dari menjadi dasar
(1) sebagai norma pembuat peraturan hukum bagi
hukum berdasarkan perundang- pembuatan suatu
norma hukum yang undangan; peraturan, yaitu:
lebih tinggi; (2) adanya (1) segi formal,
(2) menunjukkan kesesuaian bentuk yakni landasan
hubungan atau jenis peraturan yuridis yang
keharusan antara perundang- memberi
suatu kondisi undangan dengan kewenangan
dengan akibatnya; materi yang diatur; untuk membuat
(3) menurut (3) tidak peraturan
prosedur bertentangan tertentu; dan (2)
pembentukan dengan peraturan segi materiil,
hukum yang perundang- yaitu landasan
berlaku; dan undangan yang yuridis untuk
(4) oleh lembaga lebih tinggi; dan mengatur hal-hal
yang memang (4) mengikuti tata tertentu.
berwenang untuk cara tertentu dalam
itu. pembentukannya.

Politis Harus tergambar Garis


adanya cita-cita dan kebijaksanaan
norma dasar yang politik yang
terkandung dalam menjadi dasar
UUD NRI 1945 bagi
sebagai politik kebijaksanaan-
hukum yang kebijaksanaan
melandasi dan pengarahan
pembentukan ketatalaksanaan
undang-undang pemerintahan.

32
(juga dikatakan, Misalnya, garis
pemberlakuannya politik otonomi
itu memang dalam GBHN
didukung oleh (Tap MPR No. IV
faktor-faktor Tahun 1973)
kekuatan politik memberi
yang nyata dan pengarahan
yang mencukupi di dalam
parlemen). pembuatan UU
Nomor 5 Tahun
1974.

Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan


perundang-undangan tersebut menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan
pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Dalam konteks
landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pembentukan peraturan perundang-
undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly
Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI
1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat
diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang
menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR,
yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang
landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan
perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:

33
Tabel 8: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 24

LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat
dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang
memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar
kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan
materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan
hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan mengadopsi validitas tersebut
sebagai: (1) muatan menimbang yang memuat uraian singkat
mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukan Peraturan Perundang–undangan, ditempatkan
secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan (2)
harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan
perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah
dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan25 dan teknik
penyusunan naskah akademik26 yang diadopsi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat
disajikan dalam tabel berikut:

24Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid., hlm. 29.
25 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011).
26 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

34
Tabel 9: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011

LANDASAN URAIAN

Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita


hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada
dasarnya berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin
dengan adanya peraturan perundang-undangan.
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan
kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi,
yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya
berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin
dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena
itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut
dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan
materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan
hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Negara mempunyai tanggung jawab sebagaimana yang


diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yakni pada alenia ke
4: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah
Indonesia; (2) mencerdaskan kehidupan bangsa; (3) memajukan
kesejahteraan umum; dan (4) ikut menjaga perdamaian dunia.
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan adalah merupakan
bagian dari penjabaran tanggungjawab Negara yang selanjutnya
dijadikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk

35
keabsahan dari peraturan daerah yang akan dibentuk. Landasan
ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Landasan Filosofis bahwa untuk mewujudkan masyarakat


adil dan makmur
serta untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasar warga negara,
Pemerintah Daerah menyelenggarakan
perlindungan dan pemberdayaan
masyarakat secara terencana, terarah,
dan berkelanjutan;

2. Landasan Sosiologis bahwa dalam upaya mewujudkan


kesejahteraan masyarakat dipandang
perlu pengaturan terkait dengan
Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan dan Pembudi Daya Ikan;
3. Landasan Yuridis bahwa untuk memberikan landasan dan
kepastian hukum bagi Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, perlu diadakan
pengaturan dengan suatu peraturan
daerah;

Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak


saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok
berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga
perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut
diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang
merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, Pemerintahan Kabupaten Tabanan perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan
Nelayan. Berdasarkan Pasal 2 UU No 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Dan Petambak Garam, bahwa perlidungan dan pemberdayaan itu
berdasarkan asas:

a. kedaulatan;

b. kemandirian;

36
c. kebermanfaatan
d. kebersamaan;

e. keterpaduan;

f. keterbukaan;

g. efisiensi-berkeadilan;

h. keberjanjutan;

i. kesejahteraan;

j. kearifan local; dan

k. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Penjabaran asas tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya


mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik
dan bersih serta dalam menjaga agar dinamika gerak maju
masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada
pada pilar perjuangan mencapai cita-cita dan bahan pembelajaran
masyarakat.

37
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. KETENTUAN UMUM
Istilah “materi muatan“ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het
onderwerp”.27 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat
suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-
undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam
ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang
diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :

“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk


pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan
diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda
het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig
onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan
materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi
pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat
dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.28

Dalam konteks pengertian (begripen) tentang materi muatan


peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk,
semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi
materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing
tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai
materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.29
Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing

27 A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, h. 193-194.


28 Ibid.
29 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu

Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, h. 90.


38
peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang
sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan berbeda
dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula
yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur
dalam Peraturan Presiden.30

Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan


isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang
khususnya dan peraturan perundang-undangan pada
umumnya.31 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya
digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan
semua peraturan perundang-undangan.

Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata


atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c.pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di
atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan
umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya
Ikan, antara lain:
a. siapa yang melakukan apa;
b. nelayan dan pembudi daya ikan;
c. perlindungan dan prmberdayaan;
d. kelembagaaan;
e. Kemitraan; dan

30 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993,


Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30 Tahun Kembali
ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, h. 62.
31 Rosjidi Rangga Widjaja, Op.cit, h. 53.

39
f. Partisipasi Masyarakat

B. MATERI YANG AKAN DIATUR


Materi Pokok Yang Diatur adalah Penyelenggaraan
Pemberdayaan Nelayan Pembagian materi pokok ke dalam
kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang
dijadikan dasar pembagian (Pedoman 111 TP3U), yakni:
a. Ketentuan Umum

b. Lingkup Pengaturan

c. Penyelenggaraan perlindungan

d. Penyelengaraan pemberdayaan

e. Sumber dana

f. Pengawasan

g. Partisipasi masyarakat.

h. Ketentuan Penutup

i. Penjelasan

40
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan

Dari paparan sebagaimana telah dikemukakan pada Bab


terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nalayan di Kabupaten Tabanan perlu mendapat perlindungan
dan pemberdayaan;
2. Dalam rangka upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan
di Kabupaten Tabanan, Pemerintah Daerah Kabupaten
Tabanan perlu dilandasi atas dasar hukum dalam bertuk
peraturan daerah;
3. Kabupaten Tabanan memiliki landasan hukum untuk
membentuk peraturan daerah melalui Undang-Undang Nomor
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan;
4. Peraturan Daerah yang akan dibentuk mengandung pokok
materi sebagai berikut: (1) Ketentuan Umum; (2) Lingkup Peng-
aturan; (3) Penyelenggaraan Perlindungan; (4) Penyelenggaraan
Pemberdayaan (5) Sumber Dana; (6) Pengawasan; (7) Parti-
sipasi Masyarakat; (8) Pengawasan; (9) Ketentuan Penutup,
dan (10) Penjelasan.

B. Saran
Dari simpulan yang telah disampaikan dapat disarankan
hal-hal sebagai berikut:

41
1. Masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang
permasalahan yang ada pada nelayan dan pembudi daya ikan
di Kabupaten Tabanan, sehingga dapat digunakan sebagai
acuan dalam penyempurnaan draf ranperda yang ditawarkan;
2. Dalam proses pembentukan peraturan daerah ini, sangat perlu
dilakukan beberapa kali konsultasi public dengan masyarakat
nelayan dan pebudi daya ikan, untuk penyempurnaan draf
rancangan peraturan daerah yang ditawarkan;
3. Secara khusus perlu dilakukan konsultasi public dengan calon
mitra kerja untuk dapat evektifnya peraturan daerah yang
dibentuk.

42
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,


Barkely & Los Angeles.
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia
Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung.
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-
rouz.
Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan
Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni
Bandung.
Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth
Edition Cavendish Publishing
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and
State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa,
2006).
I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni
Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar
Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD,
Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta )
Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum
Universitas Parahyangan Bandung.
Jimly Asshiddiqie, Perih Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi
Press, 2006
John Rawls, Two Concept of Rules” (Philosophical Review, 1955.
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,
(Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989)
Nengah Manumudhita, 2014, Makalah : Revitalisasi Krama
Beendega Sebagai Penyangga Budaya Pesisir Di Bali Yang
terabaikan Dalam Lingkup Kehidupan Dengan Lembaga Adat
Yang Lain ( Desa Adat san subat), Ketua DPD HNSI Prov Bali.
Payne, M. 1997. Social Work and Community Care. London:
McMillan.
Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian
Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6
Tahun IX, Nopember-Desember

43
Robinson, J.R. 1994. Community Development in Perspective.
Ames: Iowa State University Press.
Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia
Indonesia Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2000).
Sastrawijaya, 2002, nelayan Nusantara PRPPSP, BRKP,
Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.
Yogyakarta: Gaya Media.
http://tegarhakim.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-
nelayan.html
Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum
Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor.
Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993,
Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia
; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan
Jakarta

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
443).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak

44
Garam (Lembaran Negara R.I. Tahun 2016 Nomor ,
Tambahan Lembaran Negara Nomor ).
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2016 Tentang
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan Kecil
(Lembaran Negara R.I. Tahun 2016 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5719 ).

45
LAMPIRAN:

BUPATI TABANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN


NELAYAN DAN PEMBUDI DAYA IKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI TABANAN,

Menimbang : a. bahwa Nelayan dan Pembudi Daya Ikan di


Kabupaten Tabanan mempunyai peranan
penting dan strategis dalam peningkatan
kesempatan kerja, pemerataan pendapatan,
dan peningkatan taraf hidupnya sendiri;
b. bahwa upaya untuk memajukan
kesejahteraan Nelayan dan Pembudi Daya
Ikan, dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah melalui perlindungan dan
pemberdayaan nelayan dan pembudi daya
ikan;
c. bahwa dalam rangka mendukung
keberhasilan upaya Pemerintah Daerah
Kabupaten Tabanan khususnya pening-
katan taraf hidup para nelayan dan pembudi
daya ikan, maka diperlukan suatu
pengaturan sebagai arahan yang pasti
mengenai perlindungan dan pember-
dayaannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu dibentuk
46
Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan
Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah
Tingkat I Bali nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1555);
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
154, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5073);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016

47
tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Dan
Petambak Garam (Lembaran Negara Tahun
2016 Nomor .., Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomer 5870);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
2016 Tentang Pemberdayaan Nelayan
Kecil Dan Pembudidaya-Ikan Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor ..., Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor ....);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TABANAN
dan
BUPATI TABANAN,

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG


PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN
NELAYAN DAN PEMBUDI DAYA IKAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Kabupaten adalah Kabupaten Tabanan;

2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten


Tabanan;

3. Bupati Adalah Bupati Tabanan;


4. Nelayan adalah Nelayan Kecil yaitu Setiap Orang yang mata
pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan untuk
memenuhi keutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak
menggunakan kapal penangkap ikan, maupun yang
menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar

48
10 (sepuluh) gros ton (GT);
5. Pembudi Daya Ikan adalah Pembudi Daya Ikan Kecil yaitu
Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan
Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan air payau, dan Ikan air
laut, yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari;

6. Perlindungan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan adalah segala


upaya untuk membantu Nelayan dan Pembudi Daya Ikan
dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha
Perikanan;
7. Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan adalah segala
upaya untuk meningkatkan kemampuan Nelayan dan
Pembudi Daya Ikan untuk melaksanakan Usaha Perikanan
secara lebih baik

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN

Pasal 2

Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan


berdasarkan asas:

a. kedaulatan;

b. kemandirian;

c. kemanfaatan;

d. kebersamaan;

e. keterpaduan

f. keterbukaan;

g. efisiensi-berkeadilan;

h. keberlanjutan;

i. kesejahteraan;

j. kearifan local; dan

k. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

49
Pasal 3

(1) Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya


Ikan adalah merupakan tanggungjawab Negara.

(2) Pemerintah Daerah melakukan perlindungan dan


pemberdayaan terhadap Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

(3) Perlindungan dan Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) bertujuan untuk:

a. memberikan kepastian dan pengembangan usaha yang


berkelanjutan;

b. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan dan


Pembudi Datya Ikan;

Pasal 4

Lingkup pengaturan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan


dan Pembudi Daya Ikan, meliputi:

a. penyelenggaraan perlindungan;

b. penyelenggaraan pemberdayaan;

c. sumber dana;

d. partisipasi masyarakat; dan

e. pengawasan.

Pasal 5

Peraturan Daerah ini berlaku untuk Nelayan Kecil dan Pembudi


Daya Ikan Kecil.

BAB II

PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Bagian Kesatu

50
Umum

Pasal 6

(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya


melaksanakan Perlindungan kepada Nelayan dan Pembudi
Daya Ikan
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui strategi:
a. penyediaan prasarana Usaha Perikanan;

b. kemudahan memperoleh prasarana Usaha Perikanan;


c. jaminan kepastian usaha;

d. jaminan resiko Penangkapan Ikan dan Pembudidayaan Ikan;

e. jaminan keamanan dan keselamatan; dan

f. fasilitasi dan bantuan hukum.

Bagian Kedua

Penyediaan Prasarana Usaha Perikanan

Pasal 7

Dalam menjalankan kewenangannya menyelenggarakan


Perlindungan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan, Pemerintah
Daerah menyediakan prasarana Usaha Perikanan

Pasal 8

Prasarana Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ..


meliputi:

a. prasarana Penangkapan Ikan;

b. prasarana Pembudidayaan Ikan; dan

c. prasarana pemasaran dan pengolahan.

Pasal 9

51
(1) Prasarana Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a., meliputi:

a. tempat pelelangan ikan; dan

b. tempat penyimpanan berpendingin dan/atau pembekuan.

(2) Prasarana Pembudidayaan Ikan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 huruf b., meliputi:
a. lahan dan air;

b. saluran pengairan; dan

c. tempat penyimpanan berpendingin dan/atau pembekuan.

(3) Prasarana pengolahan dn pemasaran sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 huruf c., meliputi:

a. tempat pengolahan ikan;

b. tempat penjualan hasil Perikanan; dan

c. instalasi penanganan limbah.

Bagian Ketiga

Kemudahan Memperoleh Prasarana Usaha Perikanan

Pasal 10

Pemerintah Daerah dengan kewenangannya memberikan


kemudahan kepada Nalayan dan Pembudi Daya Ikan untuk
memperolah sarana Usaha Perikanan.

Pasal 11

Kemudahan pemberian perolehan sarana Usaha Perikanan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan melalui:

a. penjaminan kesediaan sarana Usaha Perikanan; dan

b. pengendalian harga sarana Usaha Perikanan

Pasal 12

Selain Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha dapat menyediakan


sarana Usaha Perikanan yang dibutuhkan Nelayan dan Pembudi
Daya Ikan.

52
Bagian Keempat
Jaminan Kepastian Usaha

Pasal 13

Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin


kepastian Usaha Perikanan, dengan:

a. menciptakan kondisi yang menghasilkan harga ikan yang


menguntungkan bagi Nelayan dan Pembudi Daya Ikan;

b. mengendalikan kulitas lingkungan perairan, perairan


pesisir, dan laut;

c. mengendalikan kualitas lingkungan pengolahan; dan


d. memastikan adanya perjanjian tertulis dalam hubungan
Usaha Penangkapan Ikan dan Pembudi Dayaan Ikan

Bagian Kelima

Jaminan Resiko Penangkapan Ikan dan Pembudidayaan Ikan

Pasal 14

(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya


memberikan Perlindunagan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan
atas resiko yang dihadapi saat melakukan Penangkapan Ikan
dan Pembudidayaan Ikan.

(2) Resiko yang dihadapi Nelayan dan Pembudi Daya Ikan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. hilang atau rusaknya sarana Penangkap Ikan dan


Pembudidayaan Ikan.

b. kecelakaan kerja atau kehilangan jiwa bagi Nelayan dan


Pembudi Daya Ikan dan jenis resiko lain.

(3) Penyebab resiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


meliputi:

a. bencana alam;

b. wabah penyakit ikan;

c. dampak perubahan iklim dan/atau


d. pencemaran

53
Pasal 15
Bentuk-bentuk perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) meliputi:

a. asuransi jiwa;

b. asuransi keselamatan kerja; dan

c. asuransi perikanan.

Pasal 16

Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat


memberikan fasilitas akses Penjaminan kepada Nelayan dan
Pembudi Daya Ikan guna meningkatkan kepastian Usaha
Perikanan melalui perusahaan Penjamin.

Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
menugasi badan usaha milik daerah di bidang asuransi untuk
melaksanakan Asuransi Perikanan.

(2) Pelaksanaan Asuransi Perikanan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perudang-undangan.

Bagian Keenam

Jaminan Keamanan dan Keselamatan

Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah memberikan jaminan keamanan bagi
Nelayan dan Pembudi Daya Ikan dalam melakukan usahanya.

(2) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan berkoordinasi dengan aparat keamanan di daerah.

Pasal 19

(1) Pemerintah Daerah memberikan jaminan keselamatan bagi


Nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.

54
(2) Jaminan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikalukan dengan:

a. Memastikan perlengkapan keselamatan bagi Nelayan dalam


melakukan Penangkapan Ikan; dan

b. Melakukan bantuan pencarian dan pertolongan bagi


Nelayan yang mengalami kecelakaan dalam melakukan
Penangkapan Ikan secara cepat, tepat, aman, terpadu, dan
terkoordinasi.

Bagian Ketujuh
Fasilitasi dan Bantuan Hukum

Pasal 20

Dalam hal adanya permasalahan pada saat menjalankan


usahanya, Nelayan dan Pembudi Daya Ikan termasuk keluarganya
dapat memperoleh fasilitasi dan bantuan hokum dari Pemerintah
Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 21

Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Nelayan dan Pembudi


Daya Ikan dilakukan melalui:

a. pemberian kepastian usaha yang berkelanjutan;

b. perlindungan dari resiko bencana alam, perubahan iklim, dan


pencemaran.

c. Pemberian jaminan keamanan dan keselamatan serta


banyuan hukum.

BAB IV
PENYELENGGARAAN PEMBERDAYAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 22
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melaksanakan Pemberdayaan kepada Nelayan dan Pembudi
55
Daya Ikan
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui strategi:

a. pendidikan dan pelatihan;

b. kemitraan usaha;

c. kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan


informasi; dan

d. penguatan kelembagaan

(3) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan dengan memperhatikan keterlibatan dan peran
perempuan dalam rumah tangga Nelayan dan Pembudi Daya
Ikan.

Bagian Kedua

Pendidikan dan Pelatihan

Pasal 23

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan pendidikan dan


pelatihan untuk peningkatan keahlian dan keterampilan
Nelayan dan Pembudi Daya Ikan sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pendidikan dan pelatihan ini dilakukan dalam bentuk:

a. Pemberian pelatihan dan pemagangan di bidang Perikanan;

b. Pemberian beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan


untuk mendapatkan pendidikan di bidang Perikanan

c. Pengembangan pelatihan kewirausahaan di bidang Usaha


Perikanan.

Pasal 24

Badan Usaha dan/atau lembaga yang terakreditasi dapat


melaksanakan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan
keahlian dan keterampilan nelayan dalam menjalankan Usaha
Perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

56
Pasal 25
Pelaku Usaha dapat berperan serta dalam upaya Pemberdayaan
Nelayan dan Bembudi Daya Ikan melalui penyelenggaraan
pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pemagangan.

Bagian Ketiga
Kemitraan Usaha

Pasal 26

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi kemitraan Usaha Perikanan


sesuai dengan kewenangannya.
(2) Kemitraan yang difasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan dalam:

a. praproduksi;

b. produksi;

c. pascaproduksi;

d. pengolahan;

e. pemasaran; dan

f. pengembangan.

Pasal 27

Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) harus


dimuat dalam perjanjian tertulis.

Bagian Keempat

Kemudahan Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi

Pasal 28
Pemerintah Daerah memberikan kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi sesuai dengan
kewenangannya.

57
Pasal 29
Pemberian kemudahan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 meliputi:

a. penyebar luasan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. kerjasama alih teknologi; dan

c. penyediaan fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan,


teknologi, dan informasi.

Bagian Kelima

Penguatan Kelembagaan
Pasal 29

(1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan untuk


pengembangan Kelembagaan yang telah terbentuk sesuai
dengan kewenangannya.

(2) Dalam hal kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


belum terbentuk, Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi
terbentuknya Kelembagaan.

Pasal 30

(1) Pengembangan dan pembentukan kelembagaan dilaksanakan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan dengan
mempertimbangkan budaya, norma, nilai, potensi, dan kearifan
lokal.

(2) Pengembangan dan pembentukan kelembagaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 berfungsi untuk meningkatkan skala
ekonomi, daya saing, dan investasi serta mengembangkan
Kewirausahaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

Pasal 31

Kelembagaan yang dimiliki oleh Nelayan dan Pembudi Daya Ikan


paling sedikit bertugas:

a. mengembangkan kemitraan usaha;

58
b. meningkatkan nilai tambah Komoditas Perikanan; dan
c. memberikan bantuan pembiayaan dan permodalan sesuai
dengan kemampuan.

BAB V

SUMBER DANA

Pasal 32

Pendanaan untuk kegiatan Perlindungan dan Pemberdayaan


Nelayan dan Pembudi Daya Ikan bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);


b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
dan/dana lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

Pasal 33

(1) Pembiayaan pengembangan Usaha Perikanan, dapat dilakukan


melalui:
a. lembaga perbankan;

b. lembaga pembiayaan; dan/atau

c. lembaga penjaminan.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

(3) Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi bantuan pendanaan dan


bantuan pembiayaan sesuai dengan kewenangannya.

(2) Fasilitas bantuan pendanaan dan bantuan pembiayaan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. pinjaman modal untuk sarana dan prasarana Usaha

59
Perikanan;
b. pemberian subsidi bunga kredit dan/atau imbal jasa
Penjaminan; dan

c. pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana sosial


kemitraan dan bina lingkungan dari badan usaha.

(3) Tata cara memfasilitasi bantuan pendanaan dan bantuan


pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih lanjut
diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB VI

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 35

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan


perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

Pasal 36

(1) Partisipasi Masyarakat dapat dilakukan secara perseorangan


dan/atau berkelompok.

(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


dilakukan melalui:

a. perlindungan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan;

b. pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan;

c. pendanaan dan pembiayaan; dan

d. pengawasan.

BAB VII

PENGAWASAN

Pasal 37

(1) Untuk mencapai tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan


Nelayan dan Pembudi Daya Ikan, dilakukan pengawasan
terhadap kinerja pelaksana.

60
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Perlindungan dan
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemantauan, pelaporan, dan evaluasi.

Pasal 38

(1) Dalam melakukan pengawasan, Pemerintah Daerah dapat


melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan
dengan memberdayakan potensi yang ada.

(2) Tata cara dalam melakukan pengawasan lebih lanjut diatur


dalam Peraturan Bupati.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Tabanan.

Ditetapkan di Tabanan

Pada Tanggal

BUPATI TABANAN

NI PUTU EKA WIRYASTUTI

Diundangkan di Tabanan

Pada Tanggal

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TABANAN

I NYOMAN WIRNA ARIWANGSA


LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABANAN TAHUN …. NOMOR

61
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN

NOMOR: …. TAHUN ….

TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN

NELAYAN DAN PEMBUDI DAYA IKAN

I. UMUM

Pekerjaan sebagai Nelayan dan Pembudi Daya Ikan adalah


merupakan pekerjaan yang umum dilakukan oleh mereka yang
bertempat tinggal di daerah yang memiliki perairan, seperti daerah
pesisisr, sepanjamg sungai, maupun di sekitar danau. Pekerjaan
sebagai Nelayan dan Pembudi Daya Ikan ini, sebagian besar
merupakan mata pencarian pokok dalam memenuhi kehidupan
sehari-hari bagi Nelayan dan Pembudi Daya Ikan itu sendiri. Oleh
karenanya pekerjaan sebagai Nelayan dan Pembudidaya Ikan
mempunyai peranan penting dan strategis dalam peningkatan
kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf
hidup, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kabupaten Tabanan sebagai kabupaten yang memiliki garis pantai


sepanjang lebih kurang 37 km serta Danau Beratan dengan luas
lebih kurang 377 ha, sangat potensial bagi pengembangan Usaha
Perikanan yang dilakukan oleh Nelayan dan Pembudi Daya Ikan,
yakni melalui pemanfaatan garis pantai dan danau serta perairan
lain seperti sungai dan kolam-kolam buatan. Potensi ini sangat
perlu mendapat perhatian untuk dimanfaatkan serta
dikembangkan untuk kesejahteran masyarakat pada umumnya
dan khususnya para Nelayan dan Pembudi Daya ikan itu sendiri.

Oleh Pemerintah, kepada Nelayan dan Pembudi Daya Ikan ini


telah dilakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan dalam
rangkan peningkatan sesejahteraan masyarakat melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Dan Petambak
garam.

62
Sebagai tindak lanjut dari keberadaan undang-undang dimaksud
serta mendukung keberhasilan upaya Pemerintah Daerah
Kabupaten Tabanan dalam meningkatkan taraf hidup para
nelayan dan pembudi daya ikan, serta kesejahteraan masyarakat
pada umumnya maka diperlukan suatu pengaturan sebagai
arahan yang pasti mengenai perlindungan dan pemberdayaa
dengan membentuk Peraturan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Huruf a.

Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus dilaksanakan dengan
menjunjung tinggi kedaulatan Nelayan dan Pembudi Daya
Ikan yang memiliki hak untuk mengembangkan diri.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus dilaksanakan secara
independen dan mengutamakan kemampuan sumber daya
dalam negeri.

Huruf c

Yang dimaksud “asa kebermanfaatan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus dilaksanakan secara

63
bersama-sama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Pelaku Usaha, dan masyarakat.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduaan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus menyerasikan berbagai
kepentigan yang bersifat lintas sector, lintas wilayah, dan
lintas pemangku kepentingan.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus dilakukan dengan
memperhatikan aspirasi Nelayan dan Pembudi Daya Ikan
serta pemangku kepentingan lainnya yang didukung dengan
pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas fisiensi-berkeadilan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Bembudi Daya Ikan harus memberikan peluang dan
kesempatan yang sama secara proporsional terhadap semua
warga Negara sesuai dengan kemampuannya.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus dilaksanakan secara
konsisten dan berkesinambungan untuk menjamin
peningkatan kesejahteraan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

Huruf i

Yang dimaksud “asas kesejahteraan” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus dilakukan guna mencapai
kesejahteraan bagi Nelayan dan Pembudi Daya Ikan.

64
Huruf j

Yang dimaksud dengan “asas kearifan local” adalah


penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan harus memperhatikan karakteristik
sosial, ekonomi, dan budaya serta nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat.

Huruf k

Yang dimaksud dengan “asas kelestarian fungsi lingkungan


hidup” adalah penyelenggaraan Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan harus
menggunakan sarana dan prasarana, tata cara, dan
teknologi yang tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup,
baik secara biologis, mekanis, maupun kimiawi.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

65
Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Asuransi Jiwa adalah asuransi yang diperuntukan bagi


Nelayan, Asuransi Keselamatan Kerja adalah asuransi yang
dipruntukan bagi Pembudi Daya Ikan, dan Asuransi
Perikanan adalah asuransi yang diperuntikan bagi Usaha
Perikanan baik oleh Nelayan maupun Pembudi Daya Ikan..
Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

66
Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

67
Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jela

TAMBAHAN LEMBARAN DAEARAH KABUPATEN TABANAN


TAHUN …. NOMOR …..

68

Anda mungkin juga menyukai