Tim Penyusun:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
KATA PENGANTAR
Denpasar 2016
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi
Daya Ikan.
2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten
Tabanan tentang Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya
Ikan.
ii
DAFTAR GAMBAR
Dst…….
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan
pembangunan Perikanan dan Kelautan diarahkan antara lain
untuk meningkatkan sebesar-besarnya keselahteraan nelayan dan
Pembudi Daya Ikan. Kabupaten Tabanan memiliki garis pantai +
37 Km yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia,
memiliki Danau Beratan dengan luasnya + 377 Ha, merupakan
kabupaten yang potensial dalam pembangunan bidang perikanan
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
1
sangat sederhana/tradisional dan dipasarkan di pasar tradisional
dengan harga yang relative rendah sehingga sangat sulit dapat
mendukung ekonomi keluarganya.
2
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945),
menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat [Pasal 18 ayat (5)
UUD NRI 1945]. Dalam penyelenggaraan otonomi ini pemerintah
daerah dapat membentuk peraturan daerah, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587).
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan TugasPembantuan, Daerah membentuk
Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3
dalam Pasal 2 huruf a, produk hukum daerah sebagaimana
dimaksud adalah dalam berbentuk:
4
c. penumbuhkembangan kelompok Nelayan Kecil dan
kelompok Pembudi Daya-Ikan Kecil;
d. pelaksanaan penangkapan ikan oleh Nelayan Kecil dan
pembudidayaan ikan oleh Pembudidaya Ikan-Kecil; dan
e. Kemitraan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Isu hukum dari penelitian atau penyusunan Naskah
Akademik ini adalah rencana pengaturan tentang perlindungan
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikandi Kabupaten
Tabanan yang belum memiliki landasan hukum untuk melakukan
perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan
di Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan isu hukum tersebut perlu identifikasi
permasalahan yang berkait dengan perlindungan dan
pemberdayaan nelayan di Kabupaten Tabanan. Permasalah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengapa Nelayan dan Pembdi Daya Ikan di Kabupaten
Tabanan harus dilindungi dan diberdayakan;
2. Bagaimana bentuk perlindungan dan pemberdayaan yang akan
dilakukan oleh Kabupaten Tabanan melalui peraturan daerah
yang akan dibentuk.
5
Atas dua permasalahan sebagaimana yang diajukan, akan dapat
terjawab dalam pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari
peraturan daerah yang akan dibentuk. Dengan rancangan
peraturan daerah yang akan dituangkan dalam naskah akademik
ini, akan dapat diketahui bagaimana usaha perlindungan dan
pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan itu dapat
dilakukan, yakni melalui sasaran yang akan diwujudkan,
jangkauan dan arah pengaturan, dan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut.
6
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
D.2. MetodePendekatan.
8
D.3. Sumber Bahan Hukum.
h. 16.
9 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada
FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II ), h. 14 .
10
(biasanya sebagai lampiran). Penafsiran otentik ini
mengikat umum);
2. Penafsiran Yurisprudensi adalah merupakan penafsiran
yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para
pihak yang bersangkutan;
3. Penafsiran Doktrinal (ahli hokum); merupakan penafsiran
yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan
para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak
mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa
ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara
materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan
undang-undang.
11
BAB II
A. KAJIAN TEORITIS
Berbicara tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
dan Pembudi Daya Ikan, ada 4 (empat) konsep yang harus
dipahami, yakni: konsep perlindungan, pemberdayaan dan
konsep nelayan:
12
pemberdayaan seharusnya dirumuskan sebagai upaya yang
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan/daya (power) pihak-
pihak yang tidak atau kurang berdaya. Harus dipahami sebagai
upaya untuk :
1. memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang
individu atau kelompok lain, dan
2. membiarkan mereka menguasai dan menggunakan
kekuatan/daya (power) tersebut di tangan mereka untuk
tujuan dan kepentingan mereka.
Pemberdayaan juga bermakna sebagai upaya distribusi-ulang
(redistribusi) kekuatan/daya dari pihak yang memilikinya kepada
pihak yang tidak atau kurang memilikinya. Karena itu, suka atau
tidak suka, pemberdayaan selalu mengandung pengertian :
1. pengurangan atau pemindahan daya power atau upaya
melakukan disempowerment/less empowering pihak-
pihak yang memiliki kekuatan/daya/power.
2. penyerahan/penambahan daya power kepada pihak-
pihak yang diberdayakan empowerment.
13
pihak yang akan menerima kekuatan/daya (power) atau yang
diberdayakan; dan bersamaan dengan itu sebuah program atau
proyek, terutama para pelaksana program atau proyek sebagai Si
Pemberdaya.
Robinson menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu
proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi,
kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata
empowerment yang berarti memberi daya, memberi ”power”
(kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya11. Payne
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan
untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan
kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang
akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut,
termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Orang-orang yang telah mencapai tujuan
kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan
merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha
mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta
sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung
pada pertolongan dari hubungan eksternal. 12
14
dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang
dimiliki.13
Lebih lanjut, Pasal 2 angka 2 Undang-Undang No. 7 Tahun
2016 menyebutkan “Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan
kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik”.
15
Tabel 1 : Ciri Komunitas Nelayan
No Dari Segi Karakter
1 Dari segi mata Nelayan adalah mereka yang
pencaharian segala aktivitasnya berkaitan
dengan lingkungan laut dan
pesisir. Atau mereka yang
menjadikan perikanan sebagai
mata pencaharian mereka
2 Dari segi cara hidup Komunitas nelayan adalah
komunitas gotong royong.
Kebutuhan gotong royong dan
tolong menolong terasa sangat
penting pada saat untuk
mengatasi keadaan yang
menuntut pengeluaran biaya
besar dan pengerahan tenaga
yang banyak. Seperti saat
berlayar. Membangun rumah
atau tanggul penahan
gelombang di sekitar desa
2 Dari segi ketrampilan Meskipun pekerjaan nelayan
adalah pekerjaan berat namun
pada umumnya mereka hanya
memiliki ketrampilan sederhana.
Kebanyakan mereka bekerja
sebagai nelayan adalah profesi
yang diturunkan oleh orang tua.
Bukan yang dipelajari secara
professional. Dari bangunan
struktur sosial, komunitas
nelayan terdiri atas komunitas
yang heterogen dan homogen
16
angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya
harga hasil laut di daerah mereka.16
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Dan Petambak Garam menyebutkan:
- Nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya
menangkap ikan;
- Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan
Ikan untuk memenuhi kebutihan hidup sehari-hari, baik yang
tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang
menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar
10 (sepuluh) gros ton (GT);
- Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan
Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan
tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun
sesuai dengan budaya dan kearifan local;
- Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan tenaganya
yang turut serta dalam usaha Penangkapan Ikan; dan
- Nelayan Pemilik adalah Nelayan yang memiliki kapal
penangkap ikan yang digunakan dalam usaha Penangkapan
Ikan secara aktif melakukan Penangkapan Ikan.
-
A.4. Konsep Pembudi Daya Ikan
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
Dan Petambak Garam, disebutkan:
- Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata
pencahariannya melakukan Pembudayaan ikan air tawar, ikan
air payau, dan ikan air laut.
16 Ibid h.4
17
- Pembudidaya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang
melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
18
hendak dicapai.
b. kelembagaan atau bahwa setiap jenis PPu harus dibuat
pejabat oleh lembaga negara atau pejabat
pembentuk yang Pembentuk PPu yang berwenang. PPu
tepat tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang
tidak berwenang.
c. kesesuaian antara bahwa dalam Pembentukan PPu harus
jenis, hierarki, benar-benar memperhatikan materi
dan materi muatan yang tepat sesuai dengan
muatan jenis dan hierarki PPu.
d. dapat bahwa setiap Pembentukan PPu harus
dilaksanakan memperhitungkan efektivitas PPu
tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
e. kedayagunaan bahwa setiap PPu dibuat karena
dan memang benar-benar dibutuhkan dan
kehasilgunaan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
f. kejelasan bahwa setiap PPu harus memenuhi
rumusan persyaratan teknis penyusunan PPu,
sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai
dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam
Pembentukan PPu.
1. kedaulatan;
2. kemandirian
3. kebermanfaatan;
4. kebersamaan;
5. keterpaduan;
6. keterbukaan;
7. efisiensi-berkeadilan;
8. keberlanjutan;
21
9. kesejahteraan;
10. kearifan local; dan
a. perlindungan;
e. Kemitraan
22
pemerintahan dan kerjasama yang baik untuk dapat tercapai
peningkatan kesejahteraan nelayan.
23
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR
HUKUM DAN YANG TERKAIT
24
1. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945;
2. Pasal 33 UUD NRI 1945;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 443).
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, Dan Petambak Garam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Nomer 5870);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor
473 );
25
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG LAIN
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam undang-undang dasar atau bias juga disebut
dengan konstitusi. Dibawah undang-undang dasar ada undang-
undang sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif.
Namun karena materi yang diatur dalam undang-undang itu
hanya terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-
bentuk peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana
dari undang-undang tersebut. Sebagai produk lembaga politik
seringkali undang-undang hanya dapat menampung materi-materi
kebijakan yang bersifat umum, oleh kerena forum legislatif
bukanlah forum teknis melainkan forum politik.
27
Lampiran UU 23/2014, perihal Pembagian Urusan
Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, angka I perihal Matriks
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota,
sebagaimana dikemukakan dalam Lampiran Y. Pembagian Urusan
Bidang Kelautan Dan Perikanan, penjabaran kewenangan tersebut
dapat ditunjukan dalam tabel di bawah ini.
28
Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lain
1 2 3
a. pembiayaan dan 1. Pasal 12 ayat (3) huruf a. Pengkajian
permodalan; Kelautan dan perikanan kewenangan kaitan
b. pendidikan, 2. Lampiran huruf Y antara jenis
pelatihan, dan Pembagian urusan bidang peraturan dan
penyuluhan di kelautan dan perikanan materi muatan
bidang perikanan; a. Pemberdayaan nelayan peraturan
c.penumbuhkembanga kecil dalam Daerah perundang-
n kelompok Nelayan kabupaten/kota dan undangan
Kecil dan kelompok b. Pengelolaanpenyelenggar menunjukkan
Pembudi Daya-Ikan aan Tempat Pelelangan terdapat adanya
Kecil; Ikan (TPI). dasar kewenangan
d.pelaksanaan pembetukan
penangkapan ikan Peraturan Daerah
oleh Nelayan Kecil
dan pembudidayaan
ikan oleh
Pembudidaya Ikan-
Kecil; dan
e.Kemitraan.
29
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Bakti, 2000), h. 19
30
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum
dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan di
Indonesia dapat dikemukakan pandangan beberapa sarjana
seperti: Jimly Assiddiqie20, Bagir Manan21, dan Solly Lubis22,
dengan pandangannya asing-masing sebagai tabel berikut:
h. 38.
31
sosiologis berkenaan atau tuntutan atau
dengan masalah-masalah
(1) kriteria yang dihadapi yang
pengakuan terhadap memerlukan
daya ikat norma penyelesaian.
hukum;
(2) kriteria
penerimaan
terhadap daya ikat
norma hukum; dan
(3) kriteria faktisitas
menyangkut norma
hukum secara
faktual memang
berlaku efektif
dalam masyarakat].
32
(juga dikatakan, Misalnya, garis
pemberlakuannya politik otonomi
itu memang dalam GBHN
didukung oleh (Tap MPR No. IV
faktor-faktor Tahun 1973)
kekuatan politik memberi
yang nyata dan pengarahan
yang mencukupi di dalam
parlemen). pembuatan UU
Nomor 5 Tahun
1974.
33
Tabel 8: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 24
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat
dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang
memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar
kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan
materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan
hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
24Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid., hlm. 29.
25 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011).
26 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
34
Tabel 9: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
35
keabsahan dari peraturan daerah yang akan dibentuk. Landasan
ini dapat dirinci sebagai berikut:
a. kedaulatan;
b. kemandirian;
36
c. kebermanfaatan
d. kebersamaan;
e. keterpaduan;
f. keterbukaan;
g. efisiensi-berkeadilan;
h. keberjanjutan;
i. kesejahteraan;
37
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. KETENTUAN UMUM
Istilah “materi muatan“ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het
onderwerp”.27 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat
suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-
undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam
ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang
diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :
39
f. Partisipasi Masyarakat
b. Lingkup Pengaturan
c. Penyelenggaraan perlindungan
d. Penyelengaraan pemberdayaan
e. Sumber dana
f. Pengawasan
g. Partisipasi masyarakat.
h. Ketentuan Penutup
i. Penjelasan
40
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
Dari simpulan yang telah disampaikan dapat disarankan
hal-hal sebagai berikut:
41
1. Masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang
permasalahan yang ada pada nelayan dan pembudi daya ikan
di Kabupaten Tabanan, sehingga dapat digunakan sebagai
acuan dalam penyempurnaan draf ranperda yang ditawarkan;
2. Dalam proses pembentukan peraturan daerah ini, sangat perlu
dilakukan beberapa kali konsultasi public dengan masyarakat
nelayan dan pebudi daya ikan, untuk penyempurnaan draf
rancangan peraturan daerah yang ditawarkan;
3. Secara khusus perlu dilakukan konsultasi public dengan calon
mitra kerja untuk dapat evektifnya peraturan daerah yang
dibentuk.
42
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
43
Robinson, J.R. 1994. Community Development in Perspective.
Ames: Iowa State University Press.
Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia
Indonesia Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2000).
Sastrawijaya, 2002, nelayan Nusantara PRPPSP, BRKP,
Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.
Yogyakarta: Gaya Media.
http://tegarhakim.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-
nelayan.html
Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum
Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor.
Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993,
Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia
; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan
Jakarta
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
44
Garam (Lembaran Negara R.I. Tahun 2016 Nomor ,
Tambahan Lembaran Negara Nomor ).
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2016 Tentang
Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan Kecil
(Lembaran Negara R.I. Tahun 2016 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5719 ).
45
LAMPIRAN:
BUPATI TABANAN
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
47
tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Dan
Petambak Garam (Lembaran Negara Tahun
2016 Nomor .., Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomer 5870);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
2016 Tentang Pemberdayaan Nelayan
Kecil Dan Pembudidaya-Ikan Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor ..., Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor ....);
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
48
10 (sepuluh) gros ton (GT);
5. Pembudi Daya Ikan adalah Pembudi Daya Ikan Kecil yaitu
Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan
Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan air payau, dan Ikan air
laut, yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari;
BAB II
Pasal 2
a. kedaulatan;
b. kemandirian;
c. kemanfaatan;
d. kebersamaan;
e. keterpaduan
f. keterbukaan;
g. efisiensi-berkeadilan;
h. keberlanjutan;
i. kesejahteraan;
49
Pasal 3
Pasal 4
a. penyelenggaraan perlindungan;
b. penyelenggaraan pemberdayaan;
c. sumber dana;
e. pengawasan.
Pasal 5
BAB II
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
50
Umum
Pasal 6
Bagian Kedua
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
51
(1) Prasarana Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a., meliputi:
Bagian Ketiga
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
52
Bagian Keempat
Jaminan Kepastian Usaha
Pasal 13
Bagian Kelima
Pasal 14
a. bencana alam;
53
Pasal 15
Bentuk-bentuk perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) meliputi:
a. asuransi jiwa;
c. asuransi perikanan.
Pasal 16
Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
menugasi badan usaha milik daerah di bidang asuransi untuk
melaksanakan Asuransi Perikanan.
Bagian Keenam
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah memberikan jaminan keamanan bagi
Nelayan dan Pembudi Daya Ikan dalam melakukan usahanya.
Pasal 19
54
(2) Jaminan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikalukan dengan:
Bagian Ketujuh
Fasilitasi dan Bantuan Hukum
Pasal 20
Pasal 21
BAB IV
PENYELENGGARAAN PEMBERDAYAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 22
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melaksanakan Pemberdayaan kepada Nelayan dan Pembudi
55
Daya Ikan
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui strategi:
b. kemitraan usaha;
d. penguatan kelembagaan
Bagian Kedua
Pasal 23
Pasal 24
56
Pasal 25
Pelaku Usaha dapat berperan serta dalam upaya Pemberdayaan
Nelayan dan Bembudi Daya Ikan melalui penyelenggaraan
pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pemagangan.
Bagian Ketiga
Kemitraan Usaha
Pasal 26
a. praproduksi;
b. produksi;
c. pascaproduksi;
d. pengolahan;
e. pemasaran; dan
f. pengembangan.
Pasal 27
Bagian Keempat
Pasal 28
Pemerintah Daerah memberikan kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi sesuai dengan
kewenangannya.
57
Pasal 29
Pemberian kemudahan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 meliputi:
Bagian Kelima
Penguatan Kelembagaan
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
58
b. meningkatkan nilai tambah Komoditas Perikanan; dan
c. memberikan bantuan pembiayaan dan permodalan sesuai
dengan kemampuan.
BAB V
SUMBER DANA
Pasal 32
Pasal 33
c. lembaga penjaminan.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 34
59
Perikanan;
b. pemberian subsidi bunga kredit dan/atau imbal jasa
Penjaminan; dan
BAB VI
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 35
Pasal 36
d. pengawasan.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 37
60
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Perlindungan dan
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemantauan, pelaporan, dan evaluasi.
Pasal 38
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Ditetapkan di Tabanan
Pada Tanggal
BUPATI TABANAN
Diundangkan di Tabanan
Pada Tanggal
61
PENJELASAN
ATAS
NOMOR: …. TAHUN ….
TENTANG
I. UMUM
62
Sebagai tindak lanjut dari keberadaan undang-undang dimaksud
serta mendukung keberhasilan upaya Pemerintah Daerah
Kabupaten Tabanan dalam meningkatkan taraf hidup para
nelayan dan pembudi daya ikan, serta kesejahteraan masyarakat
pada umumnya maka diperlukan suatu pengaturan sebagai
arahan yang pasti mengenai perlindungan dan pemberdayaa
dengan membentuk Peraturan Daerah.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a.
Huruf b
Huruf c
Huruf d
63
bersama-sama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Pelaku Usaha, dan masyarakat.
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Huruf i
64
Huruf j
Huruf k
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
65
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
66
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
67
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jela
68