Anda di halaman 1dari 15

NAMA : MUTIARA POTALE

NIM : 1011421094

KELAS :C

SEMESTER : 2

MATA KULIAH : HUKUM INTERNASIONAL

DOSEN PENGAMPUH : ZAINAL ABDUL AZIS HADJU,SH.,MH

TUGAS KE-7

RESPONSIBILITY STATE

1. Apa yang dimaksud dengan pertanggung jawaban Negara dalam hukum internasional?
2. Apakah terhada dasar hukum terhadap pertanggung jawaban Negara dalam hukum
internasional?
3. Jelaskan konsep ARSIWA (Article Responsibility State International Wrongfull
Act)dalam hukum internasional
4. Jelaskan unsur-unsur pertanggung jawaban Negara dalam hukum internasional ?
5. Berikan salah satu contoh beserta analisis pertanggung jawaban Negara dengan
menggunakan ARSIWA
JAWABAN
1. Pertanggung jawaban Negara merupakan suatu keadaan wajib menanggung segala
sesuatu atau akibat yang timbul dari suatu perbuatan baik itu berupa kelalaian
maupun kesalahan suatu Negara untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan
hukum internasional. Menurut Sugeng Istanto,pertanggungjawaban negara adalah
kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal
yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang
mungkin ditimbulkan.Ada dua pengertian dari pertanggungjawaban negara. Pertama
yaitu pertanggungjawaban atas tindakan negara yang melanggar kewajiban
internasionalnya. Kemudian yang kedua yaitu pertanggungjawaban yang dimiliki
oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.Pertanggungjawaban negara dalam
hukum internasional pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada
negara manapun di dunia ini yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati
hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan
negara tersebut berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya
menurut hukum internasional. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa
dalam sistem hukum di dunia,dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat
secara hukum akan menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.
2. Dasar hukum terhadap pertanggung jawaban Negara dalam hukum Internasional yaitu
di dasarkan pada Article Responsibility Of States For International Wrongful Acts
1949/1950 dan 2001,yang dibentuk oleh International Law Commission (ILC),Suatu
komisi di dalam badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Article Responsibility Of
States For International Wrongful Acts 2001,terdiri dari 4 bagian dan 59
pasal.Keseluruhan bagian di dalam responsibility of states for internationally
wrongfull acts ini membahas mengenai tindakan internasional yang melanggar
hukum dari suatu Negara,bentuk dari tindakan internasional yang melanggar hukum
dari suatu Negara,penerapan tanggung jawab dari suatu Negara serta ketentuan
umum.
 Dalam bagian pertama dari Responsibility of State Responsibility of States
For Internationally wrongful act,diatur mengenai tindakan internasional yang
melanggar hukum dari suatu Negara.ketentuan tersebut lebih rinci mengatur
prinsip umum dari tindakan internasional yang melanggar hukum dari suatu
Negara,seperti tanggung jawab suatu Negara terhadap suatu tindakan
internasional yang melanggar hukum,bentuk-bentuk dari tindakan
internasional melanggar hukum,karakteristik dari tindakan internasional yang
melanggar hukum,tindakan pelengkap suatu Negara,pelanggaran terhadap
kewajiban internasional,tanggung jawab suatu Negara terkait dengan tindakan
dari Negara lain,dan kondisi penghambat pelanggaran.
 Bagian ini terbagi lebih rinci dengan ketentuan yang telah dijelaskan
sebelumnya ke dalam lima bab.Dalam bab pertamanya,terdapat tiga pasal
yang mengatur mengenai ketentuan umum.Ketentuan yang diatur dalam pasal
1-3,yakni mengenai Responsibility of a state for its internasionally wrongful
acts,dimana setiap tindakan internasional yang melanggar hukum yang
dilakukan oleh suatu Negara merupakan tanggung jawab internasional dari
Negara itu sendiri (pasal 1); mengenai Elements of an internationally
wrongful act of a state,dimana di dalamnya diatur bagian-bagian apa saja yang
termasuk ke dalam tindakan internasional yang melawan hukum,seperti apa
yang telah ditentukan dalam hukum internasional itu sendiri serta suatu bentuk
pelanggaran terhadap kewajiban internasional dari suatu Negara (pasal
2);serta mengenai Characterization of an act of a state internationally
wrongful,dimana didalamnya ditentukan karakteristik dari tindakan suatu
Negara yang melanggar hukum,yakni sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam hukum international (pasal 3)
 Kemudian,dalam bab keduanya terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal 4-
11 yang mengatur mengenai Atribution of Conduct to a State.Perincian dari
bab ini dijelaskan dalam pasal-pasalnya,seperti diatur mengenai Conduct of
organs of a State (pasal 4),Conduct of persons or entities exercising elements
of governmental authority (pasal 5),Conduct of organs placed at the disposal
of a State by another State (pasal 6),excess of authority or contraventention of
instructions (pasal 7),Conduct directed or controlled by a state (pasal
8),Conduct carried out in the absence or default of the official authorities
(pasal 9),Conduct of an insurrectional or another movement (pasal 10),dan
conduct acknowledged and adopted by a State as its own (pasal 11).
 Dalam bab ketiganya,terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal 12-15,yang
mengatur mengenai pelanggaran terhadap kewajiban internasional.Perincian
dari bab ini dijelaskan dalam pasal-pasalnya,seperti diatur mengenai Existence
of a breach of international obligation (pasal 12)international obligation in
force for a State (pasal 13),extension in time of the Breach of an international
obligation (pasal 14),dan Breach Consisting of Composite act (pasal 15).
 Dalam bab keempatnya,terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal 16-19,yang
mengatur megenai tanggung jawab dari suatu Negara dalam hubungannya
dengan tindakan yang dilakukan oleh Negara lain.Perincian dari bab ini
dijelaskan dalam pasalnya,seperti diatur mengenai Aid or assistance in the
commission of an internationally wrongful act (pasal 16),Direction and
control exercised over the commission of an internationally wrongful act
(pasal 17),Coercion of another state (pasal 18),dan Effect of this chapter
(pasal 19).
 Dalam bab kelimanya terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal 20-27,yang
mengatur mengenai Cirmumstances precluding wrongfulness,yang dapat
berupa Consent (pasal 20),self-defence (pasal 21),countermeasures in respect
of an internationally wrongful act (pasal 22),force majeur (pasal 23),distress
(pasal 24),Necessity (pasal 25),compliance with peremptory norms (pasal
26),dan consequnces of invoking a circumstance precluding wrongfulness
(pasal 27).
 Dalam bagian kedua dari Responsibility of States for Internationally wrongful
acts,diatur mengenai bentuk tindakan internasional yang melanggar hukum
dari suatu Negara.Di dalamnya diberikan ketentuan terperinci mengenai
prinsip-prinsip umumnya serta bantuan perbaikan bagi pihak yang terluka dan
pelanggaran serius terhadap kewajiban norma-norma wajib hukum
internasional umum.
 Bagian ini terbagi lebih rinci dengan ketentuan yang telah dijelaskan
sebelumnya ke dalam tiga bab.Dalam bab pertamanya,terdapat enam
pasal,yang mengatur mengenai ketentuan umum.Ketentuan yang diatur dalam
pasal 28-33,yakni megenai legal consequences of an internationally wrongful
act (pasal 28),mengenai continued duty of performance (pasal 29)serta
mengenai cessation and nonrepition (pasal 30),mengenai Reparation (pasal
31)mengenai irrelevance on internal law (pasal 32),dan mengenai scope of
internationally obligations set out in this part (pasal 33).
 Kemudian dalam bab keduanya,terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal 34-
39,yang mengatur mengenai Reparation for injury.Perincian dari bab ini
dijelaskan dalam pasal-pasalnya seperti diatur mengenai Forms of Reparation
(pasal 34),Restitution (pasal 35),Compensation (pasal 36),Satisfaction (pasal
37),interest (pasal 38) dan Contribution to the injury (pasal 39).
 Dalam bab ketiganya,terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal 40-41,yang
mengatur mengenai pelanggaran serius terhadap kewajiban-kewajiban
menurut peremtrory norms dari hukum internaasional yang umum.Perincian
dari bab ini dijelaskan dalam pasal-pasalnya,seperti diatur mengenai
penerapan dari bagian ini (pasal 40) dan konsekuensi-konsekuensi khusus
akibat pelanggaran serius terhadap kewajiban yang diatur dalam bagian ini
(pasal 41).
 Dalam bagian ketiga dari Responsibility of state for Internationally wrongful
acts,diatur mengenai penerapan dari tanggung jawab internasional dari suatu
Negara.Dalam bab ini diatur lebih rinci mengenai permintaan
pertanggungjawaban dari suatu Negara serta tindakan-tindakan perlawanan.
 Bagian ini terbagi lebih rinci dengan ketentuan yang telah dijelaskan
sebelumnya ke dalam dua bab.Dalam bab pertamanya,terdapat tujuh
pasal,yang mengatur mengenai Invocation of the Responsibility of a
State.Ketentuan yang diatur dalam pasal 42-48,yakni mengenai Invocation of
responsibility by an injured State (pasal 42);mengenai Notice of claim by an
injured State (pasal 43);mengenai Admissibility of claims (pasal 44),mengenai
Loss of the right to invoke responsibility (pasal 45);mengenai plurality of
injured States (pasal 46); mengenai plurality of responsible States (pasal
47);dan mengenai invocation of responsibility by a state other than an injured
State (pasal 48)
 Kemudian dalam bab keduanya terdapat ketentuan yang dimulai dari pasal
4954,yang mengatur mengenai Countermeasures atau tindakan-tindakan
perlawanan.Perincian dari bab ini dijelaskan dalam pasal-pasalnya,seperti
diatur megenai Object and limits of countermeasure (pasal 49),Obligations not
affected by countermeasures (pasal 50),Proportionality (pasal 51)conditions
relating to resort to countermeasures (pasal 52),Termination of
countermeasures (pasal 53),dan Measures taken by States other than an
injured State (pasal 54).
 Dalam bagian keempat ini Responsibility of States For Internationally
wrongful acts diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum.Dalam ketentuan-
ketentuan umum ini,diatur lebih rinci lagi mengenai lex specialis (pasal
55)pertanyaan-pertanyaan tentang tanggung jawab Negara yang tidak diatur
(pasal 56),tanggung jawab dari organisasi internasional (pasal 57),tanggung
jawab perorangan (pasal 58) serta Deklarasi Perserikatan Bangsa- bangsa
(pasal 59)

3. Responsibility of State for Internationally wrongful acts dibentuk oleh International


law Commission (ILC),suatu komisi di dalam badan perserikatan bangsa-bangsa
(PBB).Responsibility of States For Internationally wrongful acts merupakan suatu
bentuk sumber hukum internasional yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh
beberapa pemikiran seperti perkembangan hukum internasional,yang kemudian dalam
perkembangannya dikaitkan dengan ada atau tidaknya suatu komunitas
internasional,serta pemikiran dan kelangsungan akan keberadaan hukum internasional
itu sendiri.Sebagai salah satu sumber hukum internasional Responsibility of States
For Internationally wrongful act disusun dalam bentuk laporan kodifikasi lex lata
yang dituangkan dalam bentuk laporan dari ILC.Responsibility of State For
Internationally wrongful acts berisikan pasal-pasal yang bersifat sangat umum,tidak
dibuat terlalu detil.Kondisi tersebut telah direncanakan oleh ILC agar Responsibility
of states for Internationally wrongfull acts dapat menjadi dasar yang kuat untuk
perkembangan hukum internasional di masa yang akan datang oleh karena banyaknya
perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di dunia internasional.Pada bulan
Agustus 2001 Komisi Hukum Internasional (ILC, sebuah badan ahli hukum yang
dibentuk oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] pada tahun 1949
untuk menyusun dan secara progresif mengembangkan hukum internasional)
menyelesaikan Pasal-Pasalnya tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan yang
Salah Secara Internasional (ARSIWA ), sebuah proyek yang telah dikerjakannya
selama lebih dari empat puluh tahun. Tujuan dari pasal-pasal tersebut adalah untuk
mengkodifikasikan aturan-aturan yang berlaku umum tentang tanggung jawab
Negara. ARSIWA dipertimbangkan sebagai meletakkan aturan umum yang berlaku
secara default dari aturan yang lebih spesifik yang berlaku untuk kewajiban yang
bersangkutan. Dalam beberapa kasus, aturan khusus dapat berlaku untuk suatu
kewajiban (baik sebagai akibat dari perumusan aturan itu sendiri, atau karena
kewajiban tersebut merupakan bagian dari rezim khusus); misalnya, ada
kemungkinan bahwa kewajiban tertentu dapat tunduk pada aturan khusus yang
mensyaratkan kesalahan atau kerusakan sebelum dianggap sebagai pelanggaran, atau
mungkin kategori Negara yang berhak bereaksi lebih luas daripada posisi default di
bawah ARSIWA. Ini adalah prinsip lex specialis(sepanjang aturan khusus yang
berlaku dan tidak sesuai dengan aturan yang terkandung dalam ARSIWA, aturan
khusus akan berlaku dan menggantikan aturan yang lebih umum).
 Ada 2 konsep dasar pertanggung jawaban negara dalam hukum internasional
yaitu.
1. Responsibility Adalah kemampuan untuk menjawab atau keterjawaban. State
responsibility berarti tanggung jawab Negara atas tindakan-tindakan publik yang
dilakukan oleh Negara.
2. Liability yaitu Terjadi ketika terdapat kompensasi atau tindakan nyata untuk
memenuhi tanggung jawab.

4. Unsur-unsur pertanggung jawaban Negara dalam Hukum internasional


Titik awal pasal-pasal tersebut adalah bahwa "setiap tindakan salah suatu
Negara secara internasional memerlukan tanggung jawab internasional Negara itu"
(Pasal 1, ARSIWA). Tindakan atau kelalaian suatu Negara akan memenuhi syarat
sebagai "tindakan yang salah secara internasional" jika dua kondisi terpenuhi.
Pertama, tindakan atau kelalaian tersebut harus merupakan pelanggaran kewajiban
internasional, atau, sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasal, harus "tidak sesuai
dengan apa yang dipersyaratkan" oleh kewajiban internasional (Pasal 12, ARSIWA).
Hal ini mengandung pengertian bahwa kewajiban yang bersangkutan harus mengikat
negara pada saat perbuatan itu dilakukan, yang dikatakan merupakan suatu
pelanggaran. Kedua, perbuatan atau kelalaian itu harus “disebabkan” oleh Negara.
Aturan umum adalah bahwa Negara tidak bertanggung jawab atas tindakan individu
pribadi. Negara tentu saja merupakan entitas abstrak, yang tidak dapat melakukan
tindakan fisik apa pun itu sendiri. Sebagaimana dalam hukum domestik korporasi
bertindak melalui pejabat dan agennya, demikian pula dalam hukum internasional
Negara biasanya bertindak melalui organ dan pejabatnya. Yang pertama, dan paling
jelas, kasus atribusi adalah organ Negara (misalnya, petugas polisi, tentara) yang
tindakannya diatribusikan kepada Negara bahkan dalam kasus di mana mereka
bertentangan dengan instruksi mereka, atau melebihi otoritas mereka sebagai masalah
hukum nasional (Pasal 7, ARSIWA). Tidak ada pembedaan berdasarkan tingkat organ
tertentu dalam hierarki organisasi Negara; Tanggung jawab negara dapat timbul dari
tindakan polisi setempat, seperti halnya tindakan pejabat tertinggi, misalnya kepala
negara atau menteri luar negeri. Juga tidak ada pembedaan yang dibuat atas dasar
pemisahan kekuasaan; Tanggung jawab negara dapat timbul dari tindakan atau
kelalaian legislatif dan yudikatif, meskipun menurut sifatnya lebih umum bahwa
tindakan yang salah secara internasional adalah konsekuensi dari tindakan atau
tindakan eksekutif. Kedua, aturan-aturan atribusi mencakup situasi-situasi di mana
individu-individu, bukan sebaliknya organ-organ Negara, menjalankan "elemen-
elemen otoritas pemerintah" pada saat mereka bertindak (Pasal 5, ARSIWA). Ketiga,
tindakan individu perorangan dapat diatribusikan kepada Negara jika individu
tersebut bertindak atas perintah Negara, atau di bawah arahan atau kendali efektifnya
(Pasal 8, ARSIWA). Keempat, dalam keadaan luar biasa di mana tidak ada atau tidak
adanya wewenang pemerintah, Berkenaan dengan kewajiban-kewajiban tertentu,
suatu Negara dapat memikul tanggung jawab meskipun perbuatan-perbuatan itu telah
dilakukan oleh orang-orang perseorangan, karena hakekat kewajiban itu adalah untuk
menjamin agar suatu akibat tertentu terjadi. Misalnya, jika kedutaan asing diserbu
oleh massa, atau kerusakan dilakukan terhadap staf diplomatik oleh individu swasta,
seperti yang terjadi dengan kedutaan AS di Teheran selama revolusi Iran tahun 1979
hingga 1980, suatu Negara dapat memikul tanggung jawab, bahkan jika mereka
individu bertindak atas inisiatif mereka sendiri. Demikian pula, berdasarkan Pasal V
Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida,
kewajiban Negara untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab atas genosida
sebelumnya terkait dengan genosida dapat dilanggar dalam kasus di mana Negara
gagal untuk menghukum setiap orang. bertanggung jawab atas genosida, "Contoh
atribusi yang agak anomali adalah yang tercakup dalam Pasal 10 ARWISA. Seperti
telah disebutkan di atas, dalam rangkaian peristiwa yang normal, suatu Negara tidak
bertanggung jawab atas tindakan individu-individu pribadi; sebuah benteng, ia tidak
bertanggung jawab atas tindakan gerakan insureksi, karena, menurut definisi,
kelompok pemberontak bertindak bertentangan dengan struktur negara yang mapan
dan organisasinya berbeda dari pemerintah Negara yang ditentangnya. Namun, Pasal
10(1) ARSIWA menetapkan bahwa "perilaku gerakan pemberontakan yang menjadi
pemerintahan baru suatu Negara harus dianggap sebagai tindakan Negara itu menurut
hukum internasional." Pasal 10(2) mengatur aturan serupa sehubungan dengan
gerakan pemberontakan yang berhasil mendirikan Negara baru di dalam wilayah
Negara yang sudah ada sebelumnya. Efek dari aturan tersebut adalah secara
retrospektif mengaitkan perilaku gerakan yang bersangkutan dengan Negara. Dalam
kasus gerakan pemberontakan yang berhasil, tindakan gerakan dikaitkan dengan
Negara seolah-olah gerakan itu adalah pemerintah pada saat tindakannya, meskipun,
jika pemberontakan telah gagal, tidak ada atribusi yang mungkin dilakukan. Dalam
kasus pembentukan Negara baru, efeknya bahkan lebih drastis karena tindakan
dikaitkan dengan Negara secara retrospektif ke waktu ketika itu belum secara definitif
ada. Kecuali dalam kasus ini, tidak ada mekanisme yang mapan untuk
menghubungkan tanggung jawab kolektif (misalnya, untuk kejahatan perang ,
genosida, atau kejahatan terhadap kemanusiaan) kepada kelompok oposisi bersenjata.
Dalam keadaan seperti itu, tanggung jawab individu adalah satu-satunya
kemungkinan di tingkat internasional untuk memastikan tingkat tanggung jawab atas
tindakan kriminal.

Keadaan tertentu dapat mencegah kesalahan pelanggaran hukum internasional oleh


suatu Negara, dengan cara yang sama seperti pembelaan dan alasan bekerja dalam
hukum pidana nasional . Dalam hukum internasional ini disebut "keadaan yang
menghalangi perbuatan salah" (Bagian Satu, Bab V, Pasal 20–27, ARSIWA).
Misalnya, persetujuan dari negara tempat kewajiban itu terutang akan mencegah
pelanggaran menjadi salah, sebagaimana akan, di bawah kondisi tertentu yang
ditentukan secara terbatas, force majeure, kesusahan, dan kebutuhan. Fakta bahwa
suatu Negara bertindak dalam pembelaan diri yang sah sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menghalangi kesalahan suatu tindakan. Akhirnya,
suatu Negara yang mengambil tindakan balasan (didefinisikan sebagai tidak
dilaksanakannya suatu kewajiban sebagai tanggapan atas tindakan salah sebelumnya
dari Negara lain, untuk mendorong Negara tersebut untuk mematuhi kewajibannya)
dapat berarti bahwa apa yang sebaliknya akan menjadi pelanggaran kewajiban
internasional sebenarnya tidak salah. Namun, terlepas dari kondisi prosedural yang
ketat yang dengannya pengambilan tindakan pencegahan dilindungi, perlu dicatat
bahwa kewajiban tertentu mungkin tidak menjadi objek tindakan pencegahan. Di
antaranya adalah kewajiban untuk menahan diri dari ancaman atau penggunaan
kekerasan, kewajiban untuk perlindungan hak asasi manusia , kewajiban yang bersifat
kemanusiaan yang melarang pembalasan di bawah norma-norma hukum internasional
umum yang ditaati ( jus cogens ). Pembatasan terakhir ini pada kenyataannya berlaku
secara umum untuk keadaan yang menghalangi kesalahan: tidak pernah mungkin
untuk menyatakan bahwa pelanggaran norma yang ditaati dibenarkan.
Unsur-unsur pembentuk perbuatan melanggar hukum internasional termuat dalam
rancangan Pasal 2. Yaitu Tindakan salah secara internasional oleh suatu negara yang
terjadi ketika melakukan tindakan yang terdiri atas tindakan atau pendiaman dengan
dasar 2 (dua) syarat berikut terpenuhi: (a) dapat diatribusikan kepada Negara
berdasarkan hukum internasional; dan (b) merupakan pelanggaran kewajiban negara
internasional.
Berikut ini adalah uraian mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk
menyatakan negara melakukan international wrongful act berdasarkan Pasal 2 draft.
a. Atributabilitas/Imputabilitas
bahwa negara bertanggung jawab atas tindakan kelalaian pejabatnya, hanya apabila
tindakan tersebut tak terbantahkan oleh negara maka fiksi hukum yang
mengasimilasi tindakan atau pendiaman pejabat negara dengan menimbulkan
tanggung jawab negara atas kerusakan properti atau orang yang berasal dari negara
lain. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara bertanggung jawab hanya
sejauh suatu perbuatan yang tidak sah (unlawful) dilakukan oleh apartur
pemerintahan, dan bukan oleh setiap individu dalam masyarakat secara keseluruhan.
b. Pelangarang terahadap kewajiban internasional.
Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban
internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum
internasional lainnya.

5. contoh pertanggung jawaban negara atas kelalaian aparat negara yaitu , apabila polisi
melakukan penyerangan terhadap warga negara asing, maka negara ikut bertanggung
jawab untuk itu, sedangkan apabila penyerangan dilakukan oleh warga negara yang
tidak memiliki kapasitas sebagai aparatur pemerintahan, maka ia bertanggung jawab
sebagai seorang individu.
International Court of Justice- Armed Activities in the (Democratic Republic of
Congo vs Uganda)
Inti dari putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/CJ)
adalah menyatakan bahwa Uganda bertanggung jawab terhadap pelanggaran
kedaulatan wilayah Congo selama lima tahun intervensi militer ilegal yang dilakukan
oleh Uganda di wilayah Congo antara 1998-2003. Intervensi demikian dianggap
sebagai agresi bersenjata (armed aggression) yang bertentangan dengan hukum
internasional. Putusan ini memiliki dampak besar dalam interpretasi hukum
internasional terhadap konflik berkepanjangan di wilayah great lakes Afrika.
Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bukti-bukti yang
terungkap di persidangan, pelanggaran yang dilakukan oleh Uganda dalam kasus ini
bermula dari langkah preventif yang dilakukan oleh Uganda dan Rwanda untuk
melindungi wilayah perbatasannya dari kemungkinan efek yang ditimbulkan dari
aktivitas pemberontakan yang bergejolak di Congo (saat itu masih bernama Zaire).
Langkah ini kemudian ditindaklanjuti melalui keterlibatan kedua negara tersebut
dalam pemberian bantuan terhadap kekuatan pemberonak Congo yang menjatuhkan
mantan diktator Mobutu Sese Seko dan membawa Laurent Kabila meraih
kekuasaan.Godaan untuk memperoleh kekayaan alam di Congo-cmas, intan, dan
kayu-kemudian mengalihkan komandan pasukan Uganda untuk segera keluar dari
wilayah Congo setelah pemberontakan berakhir, namun mereka memutuskan untuk
tetap tidak beranjak dan meneruskan peperangan di Congo sebagai bagian dari upaya
mengeruk kekayaan alam negara tersebut.
Mahkamah kemudian memutus bahwa Uganda telah melanggar prinsip-prinsip
hukum internasional mengenai penggunaan nou kekerasan dalam hubungan
internasional (non-use of force in international relations), prinsip non-intervensi
persamaan kedaulatan (sovereign equality) dari tiap negara yang merupakan tujuan
dan prinsip utama PBB. Mahkamah juga memutuskan pelanggaran hukum humaniter
internasional terhadap okupasi yang dilakukan di Congo timur oleh pasukan Uganda
yang menyebabkan Uganda harus bertanggung jawab untuk melakukan reparasi
keuangan.
 Putusan Mahkamah

Dalam putusan yang bersifat final, mengikat, dan tanpa adanya upaya banding,
Mahkamah memutus:
1. Menyatakan bahwa Uganda dengan terlibat aktivitas militer di wilayah Congo,
dengan melakukan okupasi terhadap wilayah Ituri, dan dengan memberikan dukungan
militer, perlengkapan, ekonomi, dan keuangan terhadap kekuatan pemberontak di
Congo telah melanggar prinsip tanpa penggunaan kekerasan(non-use of force) dan
prinsip non-intervensi;
2. Menyatakan bahwa gugatan Congo terkait dengan pelanggaran Uganda atas
kewajibannya berdasarkan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter
internasional menyangkut intervensi militer Uganda dan Rwanda dapat diterima;
3. Menyatakan bahwa Uganda dengan tindakan yang dilakukan Gieh militernya
melalui pembunuhan, penyiksaan, ataupun segala bentuk perlakuan yang tidak
manusiawi terhadap penduduk sipil, menghancurkan desa dan bangunan sipil, tidak
membedakan target militer dan sipui, tidak mencegah peperangan antara penduduk
sipil dan combatants, terlibat dalam konflik etnis, dan terlibat dalam pelatihan tentara
anak, dan gagal untuk melakukan langkah-langkah yang dilakukan untuk
menghormati hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional di Ituri adalah
bertentangan dengan kewajiban dalam hukum hak asasi manusia internasional dan
hukum humaniter internasional;
4. Menyatakan bahwa tindakan Uganda dalam merampas, menyerang, dan
mengekploitasi sumber daya alam Congo yang dilakukan oleh anggota militer
Uganda di wilayah Congo dan kegagalannya menjalankan kewenangan sebagai
penguasa wilayah okupasi di Ituri dalam mencegah perampasan, penyerangan, dan
eksploitasi sumber daya alam Congo melanggar kewajiban Uganda dalam hukum
internasional;
5. Menyatakan bahwa Uganda memiliki kewajiban melakukan reparasi terhadap
kerugian yang diderita oleh Congo;
6. Menyatakan bahwa apabila kedua negara gagal mengadakan kesepakatan dalam
menentukan reparasi maka akan ditentukan oleh Mahkamah;
7. Menyatakan bahwa Uganda tidak mematuhi perintah langkah (provisional
measures) dari Mahkamah pada 1 Juli 2000;
8. Menolak keberatan dari Congo untuk tidak menerima gugatan balik (counter claim)
pertama dari Uganda;
9. Menyatakan bahwa gugatan balik dari Uganda ditolak;
10. Menolak keberatan dari Congo untuk tidak menerima gugatan balik (counter
claim) kedua dari Uganda menyangkut pelanggaran Konvensi Wina tentang
Hubungan Diplomatik tahun 1961;
11. Menerima keberatan dari Congo menyangkut penerimaan sebagian dari gugatan
balik (counter claim) Uganda yang terkait dengan perlakuan tidak layak individu
selain dari diplomat Uganda pada 20 Agustus 1998 di Ndjili International Airport;

12. Menyatakan bahwa Congo dengan tindakan yang dilakukan oleh militernya yang
menyerang kedutaan Uganda di Kinshasa, memberikan perlakuan tidak layak
terhadap diplomat dan individu lain di wilayah keduataan Uganda, memberikan
perlakukan tidak layak terhadap diplomat Uganda di Ndjili International Airport, dan
kegagalan dalam melindungi kedutaan Uganda dan diplomat Uganda, serta kegagalan
dalam mencegah penyitaan dokumen dan aset Uganda dari kedutaan Uganda telah
melanggar kewajiban internasional sebagaimana tercantum dalam Konvensi Wina
tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961;
13. Menyatakan bahwa Congo memiliki kewajiban untuk melakukan reparasi atas
kerugian yang diderita oleh Uganda; dan
14. Menyatakan bahwa apabila kedua negara gagal dalam menyepakati reparasi yang
diberikan oleh Congo kepada Uganda, penyelesaian akan dilakukan oleh Mahkamah.

*Pertimbangan Hukum Mahkamah


Mahkamah memberikan pertimbangan hukum untuk menjawab lima permohonan
dari Congo dan gugatan balik (counter claim) dari Uganda sebagai berikut.

1. Permohonan pertama Congo: menyangkut penggunaan kekerasan terhadap Congo

Berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah


berpendapat bahwa pada awalnya, periode sebelum Agustus 1998, Congo tidak
menolak kehadiran dan aktivitas militer dari Uganda di wilayah perbatasan timur
Congo. Meskipun demikian, dalam Victoria Falls Summit Agustus 1998, Congo
mengeluarkan pernyataan yang menuduh Rwanda dan Uganda melakukan serangan
terhadap wilayahnya yang berdaulat. Dengan demikian, apabila pun sebelumnya
Cengo melakukan otorisasi atau persetujuan terhadap kehadiran militer Uganda di
wilayahnya, otorisasi atau persetujuan tersebut telah ditarik selambatnya 8 Agustus
1998, yakni hari penutupan konferensi (summit) tersebut.
Mahkamah menyatakan bahwa Uganda belum terbukti berpartisipasi dalam
serangan ke Kitona (yang terletak di bagian barat Congo, sekitar 1.800 km dari
perbatasan Uganda) pada 4 Agustus 1998. Namun demikian, Mahkamah menilai
bahwa Uganda telah menguasai beberapa lokasi di wilayah timur Congo dan
beberapa wilayah lainnya antara Agustus 1998 sampai Juli 1999.
Mahkamah menilai bahwa Lusaka Agreement, the Kampala dan Harare
Disengangement Plans serta Luanda Agreement tidak (kecuali beberapa pengecualian
menyangkut wilayah perbatasan di Gunung Ruwenzori) menciptakan persetujuan
Congo atau menjadi landasan yuridis akan kehadiran militer Uganda di wilayahnya
pada periode setelah 1999. Mahkamah menilai bahwa Lusaka Agreement hanya
menyepakati modus operandi dari para pihak untuk memberikan kerangka dalam
penarikan seluruh pasukan asing dari wilayah Congo.

Mahkamah juga tidak menerima argumen Uganda yang menyatakan bahwa aktivitas
militer di Congo pada periode Agustus 1998 sampai dengan Juli 1999 sebagai
tindakan pembelaan diri (self-defense). Dengan demikian, Mahkamah menyimpulkan
bahwa Uganda telah melanggar kedaulatan dari wilayah Congo. Tindakan Uganda
menciptakan intervensi urusan domestik Congo, terutama yang berkaitan dengan
perang saudara yang sedang berkecamuk saat itu. Intervensi militer Uganda secara
ilegal ditinjau dari luasnya skala dan lamanya jangka waktu dianggap Mahkamah
sebagai pelanggaran berat atas pelarangan kekerasan dalam Pasal 4 ayat (4) Piagam
PBB. Meskipun demikian, Mahkamah tidak melihat adanya bukti yang cukup untuk
menyatakan Uganda membentuk dan mengontrol gerakan pemberontak Congo yang
bernama Congo Liberation Movement (MLC) Selanjutnya, Mahkamah menilai
apakah Uganda dianggap telah melakukan okupasi berdasarkan internasional
sehingga dianggap memiliki kekuasaan sebagai belligerent di beberapa wilayah
Congo. Dalam hukum kebiasaan internasional, suatu wilayah dianggap telah
diokupasi apabila berada dalam kewenangan suatu kekuatan bersenjata (hostile army)
dan okupasi tersebut hanya mencakup sebatas wilayah di mana kekuatan okupasi
dapat menjalankan (exercising) kekuasaan yang dimiliki (effective occupation).
Dalam kasus ini, terdapat bukti yang cukup bahwa Uganda memiliki kekuasan dan
mampu menjalankan kekuasaan tersebut di wilayah Ituri (propinsi baru yang dibentuk
oleh komandan militer Uganda di wilayah Congo) sebagai wilayah okupasi.
Konsekuensinya, Mahkamah memberikan tanggung jawab terhadap Uganda atas
segala aktivitas militer yang melanggar kewajiban internasional dan atas segala aksi
pemberontakan yang melanggar hak asasi manusia dan hukum humaniter
internasional dari siapapun di Ituri, termasuk kelompok pemberontak yang bertindak
untuk kepentingannya sendiri. Selain itu, Uganda bertanggung jawab atas segala
aktivitas militernya di wilayah Congo, termasuk kelalaian yang melanggar kewajiban
dalam hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional.

2. Permohonan kedua Congo: Pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia


internasional dan hukum humaniter internasional Setelah memeriksa kasus ini,
Mahkamah menilai telah terkumpul bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa
pasukan milier Uganda dalam melakukan intervensi militer melakukan aksi
pembunuhan, penyiksaan, ataupun segala bentuk perlakuan yang tidak manusiawi
terhadap penduduk sipil, menghancurkan desa dan bangunan sipil, tidak membedakan
target militer dan sipil, tidak... mencegah peperangan antara penduduk sipil dan
combatants, terlibat dalam konflik etnis, dan terlibat dalam pelatihan tentara anak,
dan gagal untuk melakukan langkah-langkah yang dilakukan untuk menghormati hak
asasi manusia dan hukum humaniter

internasional di Ituri. Mahkamah menyatakan bahwa aksi ini bertentangan dengan


kewajiban dalam Hague Regulations of 1907 yang mengikat para pihak sebagai
hukum kebiasaan internasional, serta ketentuan lain dalam instrumen hak asasi
manusia dan hukum humaniter internasional, yang mana Uganda dan Congo adalah
para pihak.

Dengan demikian, Uganda bertanggung jawab dalam hukum internasional atas


pelanggaran hukum asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang
dilakukan oleh anggota militernya diwilayah Congo dan gagal untuk menjalankan
kewajiban sebagai kekuasaan yang melakukan okupasi di wilayah Ituri. Menurut
Mahkamah, meskipun Uganda bertanggung jawab terhadap aktivitas militernya di
Congo, Mahkamah juga menyadari konflik yang terjadi ini sangat kompleks dan
melibatkan tindakan dari berbagai pihak. Dengan demikian, Mahkamah
mengharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam konflik untuk mendukung langkah-
langkah perdamaian tidak hanya di wilayah Congo melainkan di wilayah great lakes
guna menjamin tegaknya hak asasi manusia.

3. Permohonan ketiga: eksploitasi ilegal dari sumber daya alam dan


pertanggungjawaban Uganda
Setelah memeriksa perkara, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat bukti
yang cukup kredibel untuk memutuskan bahwa kebijakan pemerintah Uganda
memang ditujukan untuk melakukan eksploitasi atas kekayaan alam Congo, atau
intervensi militer yang dilakukan oleh Uganda bertujuan untuk mendapatkan akses
terhadap kekayaan alam Congo. Di sisi lain, Mahkamah menilai bahwa terdapat bukti
yang mendukung bahwa tindakan militer Uganda, termasuk pejabat tingginya,
memang terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam Congo dan kekuasaan militer
Uganda tidak melakukan langkah apapun untuk mencegahnya.Dengan demikian,
Mahkamah berpendapat bahwa Uganda secara hukum internasional bertanggung
jawab atas tindakan merampas, menyerang, dan melakukan eksploitasi terhadap
sumber daya alam Congo, sehingga melanggar prinsip kelalaian. Selain itu, Uganda
juga dianggap gagal dalam menjalankan kewajibannya dalam Pasal 43 Hague
Relations of 1907 sebagai kekuatan berkuasa di wilayah okupasi ituri terkait dengan
aksi perampasan, penyerangan, dan eksploitasi tersebut.

4. Permohonan keempat: Konsekuensi hukum terhadap pelanggaran kewajiban


internasional Uganda

Mahkamah menilai bahwa Uganda setelah menarik pasukannya pada Juni 2003 tidak
dapat lagi dianggap melakukan pelanggaran hukum internasional. Dengan demikian,
tuntutan Congo untuk menghentikan segala tindakan lanjutan yang melanggar
kewajiban internasional tidak dapat dipenuhi.Dalam hal permintaan Congo agar
Uganda memberikan jaminan khusus untuk tidak akan melakukan lagi tindakan yang
melanggar hukum internasional, Mahkamah merujuk pada Tripartite Agreement on
Regional Security in the Great Lakes pada 26 Oktober 2004 antara Congo, Rwanda,
dan Uganda yang dianggap sudah memenuhi tuntutan Congo. Mahkamah berharap
seluruh pihak akan menjunjung perjanjian tersebut selain hukum internasional secara
umum.Menyangkut pertanggungjawaban Uganda yang melanggar kewajiban
internasional, Mahkamah menilai bahwa sebagai kompensasi atas segala tindakan
yang menimbulkan kerugian bagi Congo atau warga negaranya, Uganda bertanggung
jawab untuk melakukan reparasi yang sifat, bentuk, dan jumlahnya akan ditentukan
kemudian oleh Mahkamah apabila para pihak tidak sepakat untuk mengadakan
perjanjian.

5. Permohonan kelima: Kepatuhan terhadap putusan Mahkamah menyangkut langkah


sementara (provisional measures)
Dalam menilai apakah Uganda telah mematuhi putusannya menyangkut langkah
sementara (provisional measures) pada 1 Juli 2000, dikatakan bahwa Congo tidak
memiliki bukti yang cukup untuk menunjukan bahwa Uganda melakukan tindakan
yang melanggar perintah tersebut. Namun dengan bukti yang terungkap di
persidangan bahwa Uganda melanggar hukum hak asasi manusia internasional dan
hukum humaniter internasional, disimpulkan bahwa Uganda melanggar perintah
provisional measures.

6. Menyangkut gugatan balik (counter claims)

Dalam gugatan baliknya yang pertama, Uganda berpendapat bahwa sejak 1994,
negaranya telah menjadi korban aktivitas pasukan bersenjata yang berasal dari
Congo, baik pasukan pemerintahan maupun kekuatan pemberontak. Dalam
menanggapi hal tersebut, Congo membagi waktu menjadi tiga peridoe untuk
memisahkan beberapa fakta hukum: a. periode sebelum Presiden Laurent Desire
Kabila berkuasa pada Mei 1997; b. periode ketika Presiden Kabila mulai berkuasa
sampai 2 Agustus 1998, yaitu hari di mana serangan militer Uganda dilancarkan; dan
c. periode pasca 2 Agustus 1998.

Pada periode pertama, Congo berpendapat bahwa Uganda telah mengabaikan haknya
untuk meminta pertanggungjawaban terhadap Congo (saat itu masih bernama Zaire).
Namun Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada satu tindakan Uganda pun yang
dapati mana serangan militer Uganda dilancarkan; dan c. periode pasca 2 Agustus
1998.

Pada periode pertama, Congo berpendapat bahwa Uganda telah mengabaikan haknya
untuk meminta pertanggungjawaban terhadap Congo (saat itu masih bernama Zaire).
Namun Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada satu tindakan Uganda pun yang
dapat dianggap sebagai pengabaian hak untuk melakukan gugatan balik tentang
tindakan pada rejim diktator Mobutu. Di sisi lain, Uganda juga tidak mampu
memberikan bukti yang cukup bahwa Zaire memberikan dukungan politik dan militer
terhadap gerakan pemberontak anti Uganda. Begitupula pada periode kedua, Uganda
gagal memberikan bukti yang konklusif mengenai dukungan nyata Congo terhadap
gerakan pemberontakan. Bahkan menurut Mahkamah, Congo pada saat itu
bekerjasama dengan Uganda untuk menumpas pemberontak. Sementara itu, pada
periode ketiga, segala tindakan militer yang dilakukan oleh Congo tidak lain
merupakan aksi pembelaan diri dari invasi militer yang dilakukan oleh Uganda
sehingga tidak dapat dinyatakan bersalah. Begitupula dukungan politik dan militer
dari Congo terhadap gerakan anti Uganda tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian,
dalil dalam gugatan balik. pertama ditolak untuk seluruhnya.
Dalam gugatan baliknya yang kedua, Uganda mempertanyakan tentara Congo yang
menyerang bangunan kedutaan Uganda, melakukan konsifikasi terhadap aset
pemerintah-Uganda, diplomat Uganda, dan warga negara Uganda, serta tidak
memperlakukan dengan layak diplomat Uganda di bangunan diplomatik maupun di
bandar udara.

Dalam menjawab permasalahan ini, Mahkamah akhimya memutuskan bahwa telah


terdapat bukti yang cukup mengenai serangan militer Congo terhadap diplomat
Uganda dan perlakuan yang tidak layak terhadap diplomat Uganda di banguna
diplomatik maupun Bandar udara Ndjili International Airport. Dengan melakukan hal
tersebut, Congo dianggap telah melanggar Pasal 22 dan Pasal 29 Konvensi Wina
tentang Hubungan Diplomatik. Begitupula pemindahan paksa aset dan dokumen pada
kedutaan besar Uganda melanggar hukum internasional di bidang hubungan
diplomatik. Penentuan kerugian dan reparasi yang dibutuhkan dalam kasus ini
kemudian dikembalikan pada kesepakatan kedua negara.

Anda mungkin juga menyukai