DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
ASFANI
FATMIA S AMULA
FINNY ANGRIANI
SINTIA LAJI
LISNAWATI H MAHMUD
NURLAELA
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman/ Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi ii
BAB I PEDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Kegawatdaruratan Obstertik dan Neonatal 3
B. Kehamilan 3
C. Persalinan 6
D. Nifas 7
E. Neonatus 9
BAB III PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii
BAB I
PENDAHULUN
A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara
tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawat daruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang
kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan
tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell, 2000).
Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan
yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan
sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan
gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999). Kasus gawat darurat
obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama
kematian ibu janin dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2002). Masalah
kedaruratan selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi
kehamilan spesifik atau penyakit medis atau bedah yang timbul secara
bersamaan.
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan
evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sangat kritis
(usia <28 hari), serta membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali
perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang
bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja masalah kegawatdaruratan obsteri dan neonatus?
2. Bagaimana etiologi dari masing-masing kegawatdaruratan obsteri
dan neonatus?
3. Bagaimana penanganan dari masing-masing kegawatdaruratan
obsteri dan neonatus?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami
tentang penanganan kegawatdaruratan obsteri dan neonatus
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan tentang masalah-masalah kegawatdaruratan
obsteri dan neonatus
b. Menjelaskan etiologi dari masing-masing masalah
kegawatdaruratan obsteri dan neonatus
c. Menjelaskan penanganan dari masing-masing masalah
kegawatdaruratan obsteri dan neonatus
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan pemberian infus.
b. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)
Penyebab gangguan ini adalah pembengkakan/ edematosa
pada vili (degenerasi hidrofik) dan proliferasi trofoblast. Diagnosis
ditegakkan melalui anamnesis yang ditemukan amenore, keluhan
kehamilan yang berlebihan, perdarahan tidak teratur, sekret per
vagina berlebihan. Pada hasil pemeriksaan, biasanya uterus lebih
besar dari pada usia kehamilannya Karen ada pengeluaran kista.
Kista ovarium tidak selalu dapat dideteksi. Pada mola kistik, hanya
perdarahan mengancam yang boleh dianggap kedaruratan akut,
akibatnya tindakan berikut tidak dapat dilakukan pada kejadian
gawat-darurat. Terapi untuk gangguan ini adalah segera merawat
pasien di rumah sakit, dan pasien diberi terapi oksitosin dosis
tinggi, pembersihan uterus dengan hati
-hati, atau histerektomi untuk wanita tua atau yang tidak
menginginkan menambah anak lagi, transfuse darah, dan
antibiotika.
c. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)
Penyebab gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum
karena obstruksi mekanis pada jalan yang melewati tuba uteri.
Kehamilan tuba terutama di ampula, jarang terjadi kehamilan di
ovarium. Diagnosis ditegakkan melalui adanya amenore 3-10
minggu, jarang lebih lama, perdarahan per vagina tidak teratur
(tidak selalu). Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan,
sering unilateral (abortus tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada
nyeri tekan abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum douglas
menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Terapi untuk gangguan
ini adalah dengan infuse ekspander plasma (Haemaccel,
Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit secepatnya.
4
d. Plasenta previa
Plasenta previa adalah tertanamnya bagian plasenta ke
dalam segmen bawah uterus. Penyebab gangguan ini adalah terjadi
fase pergeseran/ tumpang tindihnya plasenta di atas ostium uteri
internum yang menyebabkan pelepasan plasenta. Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan gejala utama. Pasien ini mungkin
tidak mengalami nyeri, perdarahan berulang atau kontinu dalam
trimester tiga atau selama persalinan tanpa penyebab yang
jelas.juga ditemukan uterus selalu lunak, abdomen tidak tegang,
umumnya tanpa kontraksi persalina atau hanya sedikit. Keadaan
umum pasien berhubungan dengan kehilangan darah. Sebagian
besar bunyi jantung janin tetap baik, bunyi jantung yang tidak
memuaskan atau tidak ada hanya pada kasus rupture plasenta atau
pelepasan yang luas. Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini
dilakukan di tempat praktik. Pada kasus perdarahn yang banyak,
pengobatan syok adalah dengan infuse Macrodex, Periston,
Haemaccel, 5Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah,
diberikan 10 mg valium (diazepam) IM atau IV secara perlahan.
e. Solusio (Abrupsio) Plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta yang tertanam
normal pada dinding uterus baik lengkap mauppun parsial, pada
usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Penyebabnya adalah
hematoma retroplasenta akibat perdarahan dari uteri (perubahan
dinding pembuluh darah), peningkatan tekanan di dalam ruangan
intervillus ditingkatkan oleh hipertensi atau toksemia. Diagnosis
ditegakkan melalui temuan nyeri (akibat kontraksi peralinan sering
ada sebagai nyeri kontinu, uterus tetanik), perdarahan
5
per vagina (jarang ada dan dalam kasus berat, perdarahan eksternal
bervariasi), bunyi jantung jani berfluktuasi (hampir selalu melebihi
batas-batas norma, umumnya tidak ada pada kasus berat), syok
(nadi lemah, cepat, tekanan darah rendah, pucat, berkeringat
dingin, ekstremitas dingin, kuku biru). Tindakan yang dilakukan di
tempat praktik dokter harus hatihati ketika melakukan pemeriksaan
luar, harus menghindari pemeriksaan vagina. Ditempat praktik
dokter, biasanya sangat sulit membedakan dengan jelas solusio
plasenta dari plasenta previa. Pasien diberi infuse Macrodex,
Periston, Haemaccel, Plasmagel, dan Plasmafudin, serta petidin
(Dolantin) 100 mg IM. Tindakan di rumah sakit meliputi
pemeriksaan umum yang teliti (nadi, tekanan darah, jumlah
perdarahan per vagina, penentuan hemoglobin, hematokrit dan
pemantauan pengeluaran urin). Tindakan tambahan pada janin
yang hidup dan dapat hidup adalah dengan seksio sesaria. Pada
janin yang mati, usahakan persalinan spontan. Jika perlu, ekstraksi
vakum atau kraniotomi pada perdarahan yang mengancam nyawa
(juga pada janin yang mati atau tidak dapat hidup).
2. Persalinan
a. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)
Penyebab gangguan ini adalah retensio (nyeri lahir yang
kurang kuat atau perlengkapan patologi) dan inkarserasi (spasme
pada daerah isthmus serviks, sering disebabkan oleh kelebihan
dosis analgesik). Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya
plasenta tidak lahir spontan dan tidak yakin apakah plasenta
lengkap. Terapi untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit
Syntocinon (oksitosin) IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran
secara hati-hati dengan tekanan pada fundus. Jika plasenta tidak
6
lahir, usahakan pengeluaran secara manual setelah 15 menit. Jika
ada keraguan tentang lengkapnya
plasenta,lakukanpalpasi sekunder.
b. Ruptur Uteri
Penyebab rupture uteri meliputi tindakan obstetric (versi),
ketidakseimbangan fetopelvik, letak lintang yang diabaikan
kelebihan dosis obat untuk nyeri persalinan atau induksi
persalinan, jaringan parut pada uterus (keadaan setelah seksio
sesaria, meomenukleasi, operasi Strassman, eksisi baji suetu tuba),
kecelakaan (kecelakaan lalu lintas), sangat jarang. Terapi untuk
gangguan ini meliputi hal-hal berikut:
a) Histerektomi total, umumnya rupture meluas ke segmen
bawah uteri, sering ke dalam serviks.
b) Hesterektomi supra vagina hanya dalam kasus gawat
darurat.
c) Membersihkan uterus dan menjahit rupture, bahaya rupture
baru pada kehamilan berikutnya sangat tinggi.
d) Pada hematoma parametrium dan angioreksis (ruptur
pembuluh darah). Buang hematoma hingga bersih, jika perlu
ikat arteri iliaka hipogastrikum.
e) Pengobatan antisyok harus dimulai bahkan sebelum
dilakukan operasi.
3. Nifas
a. Perdarahan Pascapersalinan
Penyebab gangguan ini adalah kelainan pelepasan dan
kontraksi, rupture serviks dan vagina (lebih jarang laserasi
perineum), retensio sisa plasenta, dan koagulopati. Perdarahan
pascapersalinan tidak lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama,
kehilangan darah 500 ml atau lebih berarti bahaya syok.
Perdarahan yang terjadi bersifat mendadak
7
sangat parah (jarang), perdarahan sedang (pada kebanyakan kasus),
dan perdarahan sedang menetap (terutama pada ruptur). Terapinya
bergantung penyebab perdarahan, tetapi selalu dimulai dengan
pemberian infuse dengan ekspander plasma, sediakan darah yang
cukup untuk mengganti yang hilang, dan jangan memindahkan
penderita dalam keadaan syok yang dalam. Pada perdarahan
sekunder atonik:
a) Beri Syntocinon (oksitosin) 5-10 unit IV, tetes oksitosin
dengan dosis 20 unit atau lebih dalam larutan glukosa 500
ml.
b) Pegang dari luar dan gerakkan uterus ke arah atas.
c) Kompresi uterus bimanual.
d) Kompresi aorta abdominalis.
e) Lakukan hiserektomi sebagai tindakan akhir.
b. Syok Hemoragik
Setiap penderita syok hemoragik di rawat di rumah sakit.
Terapi awal syok bertujuan mengembalikan hubungan normal
antara volume kecepatan denyutjantung dan kebutuhan perifer
yang sebenarnya.
c. Syok Septik (Bakteri, Endotoksin)
Penyebab gangguan ini adalah masuknya endotoksin
bakteri gram negative (coli, proteus, pseudomonas, aerobakter,
enterokokus). Toksin bakteri gram positif lebih jarang terjadi.
Pada abortus septic, sering terjadi amnionitis atau pielonefritis.
Adanya demam sering didahului dengan menggigil, yang diikuti
penurunan suhu dalam beberapa jam, jarang terjadi hipotermi.
Terapi untuk gangguan ini adalah tindakan segera selama fase
awal. Terapi tambahan untuk pengobatan syok septic (bakteri)
selalu bersifat syok hipovolemik (hipovolemia relatif) adalah
terapi infuse secepat mungkin
8
yang diarahkan pada asidosis metabolik. Terapi untuk infeksi
adalah antibiotika (Leucomycin, kloramfenikol 2-3 mg/hari,
penisilin sampai 80 juta satuan/ hari). Pengobatan insufisiensi
ginjal dengan pengenalan dini bagi perkembangan insufisiensi
ginjal, manitol (Osmofundin). Jika insufisiensi ginjal berlanjut 24
jam setelah kegagalan sirkulasi, diperlukan dialysis peritoneal.
d. Preeklamsia Berat
Pada wanita yang menderita eklamsia timbul serangan
kejang yang diikuti oleh koma. Bergantung pada saat timbulnya,
eklamsia dibedakan menjadi eklamsia gravidarum, eklamsia
parturientum, dan eklamsia puerperalis. Jika salah satu diantara gejala
atau tanda berikut ditemukan pada ibu hamil, dapat diduga ibu
tersebut mengalami preeklamsia berat:
a. Tekanan darah 160/110 mmHg.
b. Oligouria, urin kurang dari 400 cc/ 24 jam.
c. Proteinuria, lebih dari 3g/ liter.
d. Keluhan subyektif (nyeri epigastrium, gangguan
penglihatan, nyeri kepala, edema paru, sianosis, gangguan
kesadaran).
e. Pada pemeriksaan, ditemukan kadar enzim hati meningkat
disertai ikterus, perdarahan pada retina, dan trombosit
kurang dari 100.000/ mm.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat
diberikan :
a) Larutan magnesium sulfat 40% sebanyak 10 ml (4 gram)
disuntikkan intra muskulus pada bokong kiri dan kanan
sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap jam
menurut keadaan. Obat tersebut selain menenangkan juga
menurunka
9
tekanan darah dan meningkatkan dieresis.
b) Klorpomazin 50 mg intramuskulus. 93. Diazepam 20 mg
intramuskulus. Penanganan kejang dengan memberi obat
anti-konvulsan, menyediakan perlengkapan untuk
penanganan kejang (jalan napas, masker,dan balon
oksigen), memberi oksigen 6 liter/menit, melindungi pasien
dari kemungkinan trauma tetapi jangan diikat terlalu keras,
membaringkan pasien posisi miring kiri untuk mengurangi
resiko respirasi. Setelah kejang, aspirasi mulut dan
tenggorok jika perlu.
4. Neonatus
Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi
kehidupan intrauterin ke ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode
selama satu bulan(lebih tepat 4 minggu atau 28 hari setelah lahir).
Kondisi neonatus yang memerlukan resusitasi :
a. Sumbatan jalan napas akibat lender/ darah/mekonium atau
akibat lidah yang jatuh ke posterior.
b. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan
kepada ibu. Misalnya, obat anestesik, analgetik lokal, narkotik,
diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya.
10
janin
Keadaan bayi pada menit ke-1 dan ke-5 sesudah lahir dinilai
dengan skor Apgar Nilai pada menit pertama untuk
menentukan seberapa jauh diperlukan tindakan resusitasi. Nilai
ini berkaitan dengan keadaan asidosis dan kelangsungan hidup.
Nilai pada menit kelima untuk menilai prognosis neurologis.
Pencegahan hipotermia merupakan komponen asuhan neonatus
dasar bayi baru lahir tidak mengalami hipotermia.
12
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A. Saran
1. Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) diperlukan ANC
secara tertur agar dapat mendeteksi secara dini komplikasi yang
terjadi pada ibu maupun bayi.
2. Untuk mencegah kegawatdaruratan obstetri dan neonatus, peran
bidan dikomunitas dengan memberikan health education mengenai
masalahmasalah yang bisa menyebabkan bahaya kehamilan
maupun persalinan.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
16