Dony Oskaria selaku perwakilan dari PT. Trans Airways menyampaikan bahwa
angka transaksi antara Perseroan dengan Mahata sebesar US $239.94 juta terlalu
signifikan, sehingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Ia berpendapat
bahwa jika nominal tersebut tidak dicantumkan sebagai pendapatan, maka Garuda
Indonesia sebenarnya merugi sebesar US $244.96 juta. Catatan tersebut membuat beban
yang ditanggung Garuda Indonesia menjadi lebih besar untuk membayar PPh dan PPN.
Beban itu seharusnya belum menjadi kewajiban dari kerjasama yang disepakati hingga
akhir 2018, namun Garuda Indonesia tetap mencatat itu sebagai pendapatan kompensasi
atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat.
Singkatnya, dana ini masih bersifat piutang tapi sudah diakui sebagai pendapatan,
sehingga perusahaan yang seharusnya pada tahun 2018 mengalami kerugian, kemudian
mencetak laba yang tinggi. Pengakuan ini dianggap tidak sesuai dengan kaidah PSAK
nomor 23.
Chairul Tanjung juga meminta agar keberatan tersebut disampaikan dalam RUPST.
Namun, pimpinan RUPST saat itu menolak permintaan tersebut karena pimpinan
RUPST menilai tak ada keharusan membacakan surat keberatan dari Chairul Tanjung
dan Dony Oskaria. Rapat tersebut berakhir dengan disetujuinya laporan keuangan
Garuda Indonesia tahun 2018 dan ditambah catatan bahwa terdapat dua komisaris yang
menyatakan dissenting opinion, serta tidak mau menandatangani laporan keuangan
Garuda Indonesia 2018. Berbeda dengan kedua komisaris di atas, Pemerintah, sebagai
pemegang saham terbesar, yang diwakili oleh Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa
Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo justru menyetujui
laporan keuangan tersebut.
Kisruh ini akhirnya ditanggapi oleh BEI pada 25 April 2019 dengan memanggil
manajemen Garuda Indonesia terkait dengan timbulnya perbedaan opini antara pihak
komisaris dengan manajemen atas laporan keuangan tahun buku 2018. Selain itu, otoritas
bursa juga memanggil Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi
Bambang dan Rekan selaku audit laporan keuangan perusahaan.
Pada tanggal 26 April 2019, beredar surat dari Sekretariat Bersama Serikat
Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) perihal aksi mogok karyawan Garuda Indonesia
berkaitan dengan penolakan laporan keuangan tahun 2018 oleh kedua komisarisnya.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa pemegang saham telah merusak kepercayaan
publik terhadap harga saham Garuda Indonesia dan pelanggan setia maskapai tersebut.
Tindakan pemerintah, sebagai pemegang saham terbesar di Perseroan tersebut, yang
justru menyetujui laporan keuangan tahun 2018 juga dipertanyakan. Sebagai pemegang
saham terbesar sudah seharusnya pemerintah melakukan pengawasan melalui perwakilan
pemerintah yang menempati jajaran komisaris di Perseroan. Garuda Indonesia
merupakan BUMN go public yang bertujuan agar meningkatkan kepercayaan publik
dengan meningkatkan transparansi tata kelola nya dan membantu direksi untuk
mengurangi adanya tekanan kepentingan politik. Hal yang terjadi ini justru menurunkan
tingkat kepercayaan publik, dapat terlihat dari saham perusahaan yang merosot tajam
hingga 4,4% pada penutupan sesi pertama.
Pertemuan antara BEI dengan manajemen Garuda Indonesia dan KAP Tanubrata
Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan selaku auditor laporan keuangan perusahaan itu
berlangsung pada 30 April 2019. Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK)
Kementerian Keuangan, PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
hingga BPK juga ikut melakukan audit terhadap laporan keuangan Garuda Indonesia
tahun buku 2018. PPPK dan OJK pun akhirnya memutuskan bahwa ada yang salah
dalam sajian laporan keuangan GIAA 2018.
BEI selaku wasit pasar modal memberikan sanksi atas hasil audit terhadap laporan
keuangan GIAA. Sanksi atas audit yang diberikan terhadap laporan keuangan kuartal I-
2019. BEI juga mengenakan sanksi berupa Peringatan Tertulis III dan denda sebesar Rp
250 juta kepada PT Garuda Indonesia Tbk., serta menuntut perusahaan untuk
memperbaiki dan menyajikan laporan keuangan. Sanksi itu sesuai dengan Peraturan BEI
Nomor I-H tentang Sanksi.
Tak hanya itu, OJK juga mengenakan denda masing-masing Rp 100 juta kepada
direksi yang menandatangani laporan keuangan tersebut. OJK mewajibkan perusahaan
untuk memperbaiki dan menyajikan ulang laporan keuangan 2018.
Pada 26 Juli 2019, manajemen Garuda Indonesia kembali menyajikan laporan
keuangan 2018. Pada laporan restatement ini, Garuda Indonesia mencatatkan net loss
(rugi bersih) sebesar US $175,028 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun (kurs Rp 14.000).
Laporan ini berbeda dengan yang disajikan sebelumnya dimana Garuda Indonesia
mengalami laba. Dalam laporan keuangan yang disajikan kembali, pendapatan usaha
tercatat sebesar US $4,37 miliar dan pendapatan usaha lainnya (pendapatan lain-lain)
mengalami perubahan, dari sebelumnya sebesar US $278,8 juta menjadi US $38,8 juta.
Sementara itu, pada laporan restatement Garuda Indonesia pada periode kuartal I-
2019 tercatat mengalami sejumlah penyesuaian pada indikator aset menjadi sebesar US$
4,328 juta dari sebelumnya US$ 4,532 juta. Adapun perubahan total indikator aset
tersebut diakibatkan oleh penyesuaian pada pencatatan piutang lain-Lain menjadi sebesar
US$ 19,7 juta dari sebelumnya sebesar US$ 283,8 juta. Aset pajak tangguhan juga
mengalami penyesuaian menjadi US$ 105,5 juta dari sebelumnya US$ 45,3 juta.
Liabilitas perseroan pada penyajian kembali laporan keuangan Q1-2019 juga mengalami
penyesuaian menjadi USD 3,537 juta dari sebelumnya USD 3,561 juta.
Terkait putusan BPK mengenai kerjasama Mahata Aero Teknologi, maka Citilink
Indonesia selaku pihak yang berkontrak juga telah mengirimkan surat kepada pihak
Mahata Aero Teknologi terkait pembatalan kerjasama tersebut.
Penyampaian restatement LKT 2018 dan LK Q1 serta penyelenggaraan public expose
merupakan bentuk kepatuhan Garuda Indonesia terhadap putusan dari regulator. Garuda
Indonesia juga telah memenuhi sanksi administratif berupa sejumlah denda sebelum
batas waktu yang dipersyaratkan oleh OJK dan BEI, pelaporan terhadap pemenuhan
sanksi denda telah disampaikan melalui surat kepada OJK dan BEI tertanggal 11 Juli
2019.
2. What accounts of the 2018 Garuda Financial Statement were manipulated by the
CEO?
Akun yang dimanipulasi pada laporan keuangan PT Garuda Indonesia tahun 2018
adalah akun pendapatan. Yang seharusnya masih diakui sebagai piutang, sudah ditulis
sebagai pendapatan pada laporan. Manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan
dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang diantaranya sebesar US$ 28.000.000
merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal uang itu
masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.
Pengakuan ini dianggap tidak sesuai dengan kaidah Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) nomor 23 yang menyatakan bahwa “Pendapatan adalah arus masuk
bruto dari manfaat ekonomi yg timbul dari aktivitas normal entitas selama periode jika
arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi
penanam modal”.
Dalam PSAK 23, pendapatan terdiri dari:
1. Penjualan barang;
2. Penjualan jasa;
3. Bunga, royalti dan dividen
Dari uraian di atas, pengakuan pendapatan yang diatur dalam SAK ternyata memiliki
syarat yang lebih ketat dibanding dengan yang diatur dalam SAP, yaitu adanya unsur
terpenuhinya semua syarat pengakuan pendapatan maupun harus terpenuhinya
“Kemungkinan besar manfaat ekonomik sehubungan dengan transaksi tersebut akan
mengalir ke entitas”. Ukuran untuk menilai adanya kemungkinan besar manfaat
ekonomi akan mengalir ke entitas menunjukkan bahwa SAK sangat konservatif terhadap
pengakuan pendapatan.
Pada kasus PT Garuda Indonesia ini merujuk pada paragraf 20 PSAK 23 terkait
penjualan jasa dan PSAK nomor 23 paragraf 28 dan 29. Pada paragraf 28 tertulis
pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan
bunga, royalti, dan dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraf 29 jika
kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan
mengalir ke entitas dan jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.
a. Identifikasi Penipuan
Beberapa hal yang dapat mengindikasikan dan menjadi bukti adanya
kecurangan dalam pengakuan pendapatan, antara lain kontrak yang tidak sesuai
dengan ketentuan, kesalahan pengakuan pendapatan, dan potensi benturan
kepentingan. Pada pembahasan kali ini akan membahas tentang kesalahan
pengakuan pendapatan dan masalah kontrak yang tidak sesuai karena kondisi
contract mismatch mendukung kesalahan pengakuan pendapatan. Kontrak yang
tidak mengikuti ketentuan dan potensi benturan kepentingan mencegah pendapatan
diakui mengikuti standar akuntansi dan menjadikannya tindakan penipuan. Ketiga
faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Pekerjaan dalam menyediakan layanan konektivitas dan hiburan dalam
penerbangan dengan PT Mahata Aero Teknologi tidak mengikuti
ketentuan.
Hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan bahwa kesepakatan yang dibuat
tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Direksi Garuda dan Direksi Citilink
tidak berpedoman pada Peraturan Menteri BUMN No. Per-03/MBU/08/2017
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri BUMN No.
Per-04/MBU/09/2017 tentang Pedoman Pemerintah dan BUMN yang mengatur
bahwa dalam mencari mitra untuk dilakukan berdasarkan SOP yang ditetapkan
oleh Direksi dengan memperhatikan prinsip, transparansi, independensi,
akuntabilitas, responsibilitas, kemanfaatan, dan kewajaran, serta mengikuti
ketentuan hukum. Perjanjian tersebut juga tidak mengikuti Pasal KUH Perdata
Pasal 1320 yang mengatur tentang berlakunya suatu kontrak dan Pasal 1335
yang menjelaskan syarat-syarat kontrak tersebut tidak akan memiliki kekuatan
hukum. Perbedaan yang terjadi dijelaskan di bawah ini.
a) Pemilihan rekanan tidak mengikuti ketentuan
Ketidaksesuaian tersebut antara lain, proses pemilihan Mahata pertama
sebagai mitra yang sama. Diketahui bahwa Garuda Citilink memiliki SOP
yang mengatur tentang kerja sama pada saat dibuatnya kesepakatan dengan
Mahata. Tanpa menggunakan pedoman, Mahata ditetapkan sebagai mitra
kerja sama secara langsung tanpa ada pembanding dan tidak didukung oleh
kajian tentang mitra kerja sama yang memadai secara teknis dan finansial.
Setelah BPK melakukan pemeriksaan, diketahui bahwa:
Mahata tidak layak dalam hal teknologi untuk ditetapkan sebagai mitra
kerja sama, hal ini dikarenakan Mahata merupakan perusahaan start up
yang baru berdiri dan baru resmi resmi pada tanggal 8 November 2017.
Demikianlah, pada saat pernyataan minat dan persetujuan, kerja sama
disampaikan oleh Mahata melalui surat ke Citilink tertanggal 19
Oktober 2017. Surat Minat dan Izin Kerja Sama Wi-Fi di pesawat
Citilink, Mahata masih belum menjadi badan hukum.
Mahata tidak memiliki kemampuan finansial untuk bekerja sama.
Mahata memiliki modal dasar Rp. 10.500.000.000, sedangkan nilai
kerjasama dengan Garuda, Citilink, dan Sriwijaya mencapai USD. 241,
940.000. Dengan demikian, nilai perjanjian kerja bersama jauh
melebihi nilai aset yang tidak dapat dijadikan jaminan atas nilai
kerjasama dengan Garuda Citilink dan Sriwijaya.
b) Perjanjian kerja sama tidak mengikuti ketentuan
Perjanjian antara Citilink dengan Mahata tidak mengikuti ketentuan,
karena tidak memenuhi syarat keabsahan kontrak, kesepakatan belum final,
jumlah kompensasi yang tidak dapat ditentukan dan diukur, dan tambahan
jangka waktu perjanjian, yang tidak menambah biaya pembayaran.
Perjanjian kerja sama antara Citilink dan Mahata tidak memenuhi
persyaratan hukum perjanjian, terutama mengenai posisi para pihak dan
objek kontrak. Hal itu terbukti dalam perjanjian nomor Citilink /
JKTDSOG / PERJ-6248/1018, beserta segala perubahannya. Tertulis
Direktur Citilink hanya bertindak untuk dan atas nama perusahaan
yaitu Citilink, dan menyatakan Direktur Citilink mendapat kekuasaan
dari Garuda atau Sriwijaya sehingga mengikatkan diri dalam perjanjian
kerjasama ini hanya pihak Citilink dengan Mahata.
Perjanjian kerja sama dinyatakan belum final karena masih akan dibuat
lampiran yang mengatur detail mengenai hak dan kewajiban Garuda
dan Sriwijaya, jaminan pelaksanaan dan denda keterlambatan,
mekanisme pelaksanaan dan pembayaran, serta alokasi slot atau bagi
hasil untuk tahun ke 11 hingga tahun ke-15. Direktur Utama Mahata
dan Direktur Komersial Citilink menyatakan masih banyak klausul
yang perlu dibahas, terutama terkait pembayaran biaya kompensasi.
Biaya kompensasi sebesar USD. 239.940.000 tidak dapat diuraikan
tanpa studi. Biaya kompensasi hak pemasangan dan hak pengelolaan
layanan IFE yang tercantum dalam perjanjian merupakan Mahata yang
diserahkan melalui Citilink dan disetujui oleh Garuda. Namun, Garuda,
Citilink, dan Sriwijaya tidak mengetahui detail perhitungan atau
formula penetapan biaya kompensasi hak yang disepakati dalam
perjanjian dan tidak melakukan kajian untuk menentukan nilai
kerjasama yang sesuai. Direktur Utama Mahata mengatakan, pengajuan
biaya kompensasi mempertimbangkan jumlah pesawat dan / atau
jumlah penumpang. Namun, kertas kerja tidak mendukungnya untuk
menghitung biaya kompensasi.
Penambahan jangka waktu tidak menambah jumlah biaya kompensasi.
Addendum II menambahkan jangka waktu kerja sama dari sepuluh
tahun menjadi 15 tahun tetapi tidak ada tambahan besaran harga ganti
rugi yang dibayarkan kepada Mahata kepada Garuda, Citilink, dan
Sriwijaya.
Pengakuan penghasilan tidak mengikuti Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) 23 tentang pembayaran.
Tiga lembaga negara mengecek laporan keuangan perusahaan pada 2018
yakni Otoritas Jasa Keuangan. Dimana Kementerian Keuangan dan Badan
Pemeriksa Keuangan menetapkan pengakuan pendapatan atas kontrak dan PT
Mahata Aero Technology tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Perusahaan yang menggunakan Standard Statement In Militancy Finance (IAS)
23 dalam korporasi dengan transaksi memperlakukan Mahata yaitu sebagai
penjualan barang atau penggunaan aset oleh pihak lain yang menaikkan royalti,
sehingga perusahaan mengakui total kompensasi pendapatan yang sebesar itu
menjadi USD. 239.940.000 pada tahun 2018. Pengakuan dasar pendapatan
secara keseluruhan pada tahun 2018 digunakan oleh perusahaan.
Transaksi kerja sama dengan Mahata tidak memenuhi kriteria pada paragraf
29 yang menyatakan bahwa pendapatan dari penggunaan aset entitas oleh pihak
lain menghasilkan bunga, royalti, dan dividen. Yang mana diakui berdasarkan
yang dijelaskan pada PSAK 23 Paragraf 30. Hal ini tidak diakui sebagai
pendapatan atas penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan
pendapatan dalam bentuk royalti, dengan penjelasan sebagai berikut.
a) Tidak ada aset kekayaan intelektual dalam bentuk royalti yang
diperdagangkan. Hak perdagangan untuk konektivitas dan hiburan dalam
penerbangan tidak dicatat dalam neraca Garuda dan anak perusahaannya.
b) Kemungkinan manfaat ekonomi yang terkait dengan transaksi tersebut tidak
akan mengalir ke entitas yang diindikasikan oleh Garuda, Citilink, dan
Sriwijaya yang belum menerima pembayaran kompensasi dari Mahata, dan
tidak ada jaminan untuk kewajiban pembayaran kompensasi. Sudah
diterbitkan Garuda, Citilink, dan Sriwijaya faktur jatuh tempo 31 Januari
2019, namun per Maret 2019 belum ada pembayaran. Selain itu, Mahata
hanya memberikan jaminan berupa surat yang akan melakukan pembayaran
tanpa jaminan aset atau jaminan bank untuk memastikan bahwa Mahata
akan melaksanakan kewajiban pembayarannya.
c) Jumlah pendapatan tidak dapat diukur dengan andal karena nilai kontrak
dan ruang lingkup kontrak dapat berubah. Ruang lingkup dan nilai kontrak
dalam kontrak asli dan adendum terus berubah. Dalam kontrak awal, nilai
kontrak 79 pesawat Garuda senilai USD. 64.140.000 dan 75 pesawat
Citilink senilai USD. Lima puluh delapan juta lima ratus ribu di addendum
berubah menjadi 103 pesawat Garuda senilai Rp. 92.940.000, total 50
pesawat Citilink senilai USD. 39.000.000 dan 50 pesawat Sriwijaya senilai
USD 30.000.000, yang kemudian pada addendum II diubah kembali
menjadi 103 pesawat dan in-flight entertainment Garuda senilai USD.
92.940.000, untuk 50 pesawat Citilink senilai USD. 39.000.000 dan 50
pesawat Sriwijaya senilai USD. 30.000.000.
d) Dalam Ilustrasi PSAK 23, Paragraf 20 disebutkan bahwa pengalihan hak
adalah untuk jaminan tetap atau tidak dapat dikembalikan berdasarkan
kontrak. Yang tidak dapat dibatalkan yaitu pemberian izin kepada
pemegang lisensi secara bebas untuk mengeksploitasi hak-hak tersebut dan
pemberi lisensi tidak memiliki sisa kewajiban untuk dilaksanakan, yang
substansinya adalah jual beli. Berdasarkan ilustrasi tersebut, transaksi
penjualan royalti merupakan kontrak yang tidak dapat dibatalkan.
Sebaliknya, transaksi kerja sama layanan konektivitas Citilink dan Mahata
dapat dibatalkan dimana klausul perjanjian kerja sama menyebutkan bahwa
perjanjian tersebut akan ditinjau ulang setiap dua bulan. Tambahan atau
pengakhiran perjanjian dapat dilakukan sesuai dengan hasil review. Dalam
ilustrasi, kewajiban dari Citilink, yaitu memperoleh izin dari lessor untuk
memasang alat konektivitas. Selain itu, tidak ada pasal dalam klausul
perjanjian kerja sama yang menyebutkan bahwa Mahata wajib membayar
seluruh biaya ganti rugi meskipun perjanjian tersebut berakhir sebelum
waktunya. Berdasarkan uraian di atas, transaksi kerjasama dengan Mahata
tidak memenuhi kriteria paragraf 20 PSAK 23 untuk diakui sebagai
pendapatan dalam bentuk royalti atas penggunaan aset oleh pihak lain
secara lengkap pada tahun 2018.
4. Explain the red flags of fraud implicitly exposed from the Garuda case?
Dalam hal kecurangan (fraudulent) terdapat indikator kecurangan (Red Flags) yang
harus ditemukan auditor independen sebelum memutuskan apakah perusahaan
melakukan kecurangan penyajian atau tidak, seperti yang terdapat dalam SPAP (2011)
SA Seksi 110 mengenai gambar dan karakteristik dari kecurangan. Terdapat tiga
tindakan yang menyangkut dalam laporan keuangan, yaitu manipulasi, kesalahan dalam
mempresentasikan hilangnya suatu laporan transaksi, peristiwa, atau informasi yang
signifikan, dan kesalahan penerapan prinsip akuntansi yang disengaja.
Tanda-tanda kecurangan yang mungkin ditemukan oleh auditor independen ketika
melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan klien tidak saja untuk
memenuhi tanggung jawab auditor dalam menjalankan fungsi audit tetapi juga
memungkinkan auditor independen untuk lebih teliti dalam melakukan pemeriksaan,
sehingga kemungkinan terjadinya kecurangan (irregulation) ataupun kesalahan
penyajian (error) dapat ditemukan, dan ini untuk memenuhi fungsi dari penggunaan
laporan keuangan dalam mengambil keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Menurut Suaratna (2009). Red flags berkaitan dengan sinyal kecurangan yang dilakukan
perusahaan klien dan oleh sebab itu auditor mempunyai tanggung jawab untuk
mendeteksi adanya kecurangan dalam perusahaan klien dengan cara auditor harus
menilai secara spesifik risiko dari salah saji material untuk memperoleh suatu reasonable
assurance.
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mengkategorikan kecurangan
menjadi tiga kelompok, yaitu: korupsi (Corruption), Penyalahgunaan Aset (Asset
Misappropriation), Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement).
Jika dilihat dari karakteristiknya, maka kecurangan yang terjadi pada PT Garuda
Indonesia termasuk dalam Kecurangan Laporan Keuangan (fraudulent financial
statement) kategori Pendapatan Fiktif (fictitious revenues). Beberapa hal yang dapat
mengindikasikan dan menjadi bukti adanya kecurangan dalam pengakuan pendapatan
antara lain kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan, kesalahan pengakuan
pendapatan, dan pengakuan laba yang tidak wajar.
a) Adanya surat keberatan dari kedua komisaris Garuda
Dalam kasus PT Garuda Indonesia yang terungkap pada tahun 2019, yang
berpangkal pada adanya penolakan dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA)
dalam menandatangani laporan keuangan 2018 yang mana terdapat kejanggalan
yang ditemukan dalam laporan keuangan tersebut yang mana indikasi tersebut
termasuk dalam Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement).
Kejanggalan tersebut diutarakan oleh salah satu komisaris Chairal Tanjung yang
menyebutkan bahwa kontrak dengan salah satu perusahaan penyedia layanan wifi
tak seharusnya dibukukan sebagai pendapatan yang membuat Garuda Indonesia
menjadi untung.
Chairul Tanjung juga meminta agar keberatan tersebut disampaikan dalam
RUPST. Namun, pimpinan RUPST saat itu menolak permintaan tersebut karena
pimpinan RUPST menilai tak ada keharusan membacakan surat keberatan dari
Chairul Tanjung dan Dony Oskaria. Rapat tersebut berakhir dengan disetujuinya
laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 dan ditambah catatan bahwa
terdapat dua komisaris yang menyatakan dissenting opinion, serta tidak mau
menandatangani laporan keuangan Garuda Indonesia 2018. Berbeda dengan kedua
komisaris di atas, Pemerintah, sebagai pemegang saham terbesar, yang diwakili oleh
Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian
BUMN Gatot Trihargo justru menyetujui laporan keuangan tersebut.
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa adanya kejanggalan yang mana
pendapat kedua komisaris tidak ditanggapi mengidentifkasikan adanya “sesuatu”
yang “dipaksakan” atau laporan keuangan dengan adanya kecurangan tersebut harus
diterbitkan bagaimanapun caranya.
b) Adanya kenaikan pendapatan yang tidak wajar
Kenaikan akun pendapatan ditunjukkan pada akun pendapatan bersih lain-lain
perusahaan, yang melonjak 1.308 persen. Kenaikan signifikan itu ditopang oleh
pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan
hiburan dalam pesawat dan manajemen konten sebesar US$239,94 juta. Layanan
konektivitas dalam penerbangan dan hiburan itu berasal dari kerja sama yang
diteken Garuda Indonesia dengan Mahata pada 31 Oktober 2018 dan diperbaharui
pada 26 Desember 2018 lalu. Dalam kerja sama itu, Mahata berkomitmen untuk
menanggung seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian,
perawatan dan pembongkaran dan pemeliharaan termasuk jika ada kerusakan,
mengganti atau memperbaiki peralatan layanan konektivitas.
Perseroan juga setuju membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan
layanan konektivitas dalam penerbangan di 153 pesawat milik Garuda sebesar
US$131,94 juta dan biaya kompensasi sebesar US$80 juta atas hak pengelolaan
layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 99 pesawat Garuda
setelah ditandatanganinya perjanjian. Artinya, perusahaan ini siap membayar sekitar
Rp 2,5 triliun kepada Garuda, guna memasang wifi onboard di pesawat dan juga
layanan konten film, permainan, dan hiburan musik yang biasa dinikmati oleh para
penumpang pesawat grup Garuda.
Sesuai ketentuan PSAK 23 mengenai pendapatan, transaksi jasa hanya bisa
dicatatkan sebagai pendapatan pada tanggal terjadinya perjanjian transaksi jika
tingkat penyelesaian bisa diukur dengan handal. Dan yang wajib diperhatikan,
perjanjian Garuda dan Mahata bisa dievaluasi setiap dua bulan sekali. Jika ternyata
dinilai tidak menguntungkan, atau Mahata tidak melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, maka Garuda berhak mengakhiri perjanjian. Sesuai PSAK 23,
jika muncul ketidakpastian mengenai kolektibilitas jumlah yang telah diakui sebagai
pendapatan itu, atau jumlah yang tidak tertagih, maka perseroan dalam hal ini
Garuda nantinya harus mengakui transaksi triliunan rupiah itu sebagai beban.
c) Adanya kenaikan aset yang tidak wajar
Dari pendapatan lain-lain atas pemberian hak yang dicatat sebesar USD
239.940.000,- tersebut, ternyata sebesar USD 233.134.000,- masih berupa piutang,
belum dibayarkan oleh Mahata.
Kerangka konseptual pelaporan keuangan mengatur mengenai pengakuan
penghasilan sebagai berikut:
4.47. Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi ketika kenaikan manfaat
ekonomi masa depan yang berkaitan dengan kenaikan aset atau penurunan
liabilitas telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Ini berarti pengakuan
penghasilan terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan aset atau penurunan
liabilitas (misalnya, kenaikan neto aset yang timbul dari penjualan barang atau jasa
atau penurunan liabilitas yang timbul dari pembebasan pinjaman yang masih harus
dibayar).
4.48. Prosedur yang biasanya dianut dalam praktik untuk mengakui
penghasilan, sebagai contoh, persyaratan bahwa pendapatan telah diperoleh,
merupakan penerapan kriteria pengakuan dalam ED Kerangka Konseptual ini.
Prosedur ini pada umumnya dimaksudkan untuk membatasi pengakuan sebagai
penghasilan pada pos-pos yang dapat diukur dengan andal dan memiliki tingkat
kepastian yang cukup.
Apabila penjualan jasa dapat diestimasi secara andal, maka penjualan dapat
diakui dengan acuan tingkat penyelesaian transaksi pada akhir periode
pelaporan.
Suatu transaksi jasa dapat diestimasi secara andal jika memenuhi kriteria berikut
ini:
Sebaliknya, jika hasil transaksi tidak dapat diestimasi secara andal maka
pendapatan diakui hanya seberat beban yang telah diakui dan dapat
dipulihkan. Apabila tidak terdapat kemungkinan biaya tersebut dapat
dipulihkan, maka tidak ada pendapatan yang diakui.
Estimasi andal pada umumnya diperoleh setelah entitas mencapai
persetujuan dengan pihak lain mengenai:
Berkaitan dengan kasus fraud yang terjadi pada Garuda selain dengan menjatuhkan
sejumlah sanksi kepada Akuntan Publik (AP) maupun Kantor Akuntan Publik yang
mengaudit laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk dan Entitas Anak untuk tahun
buku 2018, Kementerian Keuangan juga mengambil langkah antisipasi sebagai tindakan
pencegahan agar kasus serupa tidak kembali terjadi. Sekretaris Jenderal Kementerian
Keuangan Hadiyanto menyebutkan setidaknya terdapat tiga langkah antisipasi yang telah
disiapkan agar kasus seperti hasil audit laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk tidak
terjadi lagi.
3 langkah antisipasi yang disiapkan oleh Kemenkeu antara lain sebagai berikut :
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya manipulasi akuntansi ke
kemudian hari.
1) Mendorong dan meningkatkan kualitas pengawasan kita terhadap profesi keuangan.
Pengawasan yang dimaksud meliputi pengawasan terhadap kantor akuntan publik
(KAP), profesi penilai, hingga profesi akuntan publiknya.
2) Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) profesi keuangan. Pengawasan
saja tidak cukup, perlu perbaikan kualitas SDM agar akuntansi dilaporkan secara
benar.
3) Sanksi. Instrumen sanksi dinilai tetap diperlukan agar memberikan efek jera atau
setidaknya mengingatkan para profesi keuangan agar tidak melalukan manipulasi
akuntansi. KAP kata dia, harus melaksanakan standar audit dan mematuhi segala kode
etik profesi yang berlaku. Bila tidak, maka sanksi harus diberikan. Namun, apakah
perlu sanksi diperberat? Hadiyanto menilai hal itu tidak diperlukan sebab sanksi yang
ada sudah cukup memadai terdiri dari sanksi ringan, sedang dan berat. Bagi setiap
profesi, sanksi merupakan hal berat yang harus diterima, hal ini tidak lain karena
bersangkutan dengan reputasi dan kepercayaan public pada profesi bersangkutan.
Selain adanya kelemahan dalam pengendalian internal atau bahkan pengendalian internal
memang sengaja di setting sedemikian rupa untuk mengikuti apa yang menjadi perintah
top management Garuda, kasus Garuda Indonesia juga melibatkan auditor eksternal dari
KAP Tanubrata, terbukti bahwa KAP Tanubrata melakukan setidaknya 3 kelalaian dalam
pelaksanaan tugas audit pada laporan keuangan PT Garuda Indonesia dan Entitas Anak.
Ketiga kelalaian ini adalah sebagai berikut :
Dengan menelusuri kembali terhadap kelalaian yang dilakukan KAP dalam mengaudit
laporan keuangan PT Garuda Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa auditor eksternal
harus meningkatkan kemampuan untuk menilai apakah laporan keuangan perusahaan telah
disajikan secara wajar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP), dan
sesuai dengan standar audit yang ditetapkan. Akuntan Publik harus memperlakukan diri
mereka secara profesional dan melaksanakan audit serta jasa terkait dengan mutu tinggi
untuk menjamin bahwa laporan keuangan diaudit mengandung unsur representative
faithfulness (mencerminkan kondisi perusahan yang sebenarnya). Profesionalisme auditor
dapat ditingkatkan melalui beberapa cara :