Anda di halaman 1dari 3

RANGKUMAN KASUS GARUDA (https://finance.detik.

com/bursa-dan-valas/d-4603666/terbukti-
cacat-status-laporan-keuangan-garuda-rugi)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan telah memberikan sanksi kepada PT
Garuda Indonesia Tbk dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik
(KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan karena terbukti ada pelanggaran terkait kasus
laporan keuangan dan laporan keuangan tahunan. Dengan sanksi yang diberikan maka status
laporan keuangan Garuda Indonesia yang sebelumnya sudah diterbitkan tak berlaku lagi. Terungkap
bahwa penyajian laporan keuangan tahunan Garuda Indonesia Tbk tidak sesuai dengan standar
Peraturan OJK dan tidak sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Saat ini
proses pemeriksaan dan investasi sudah selesai, namun tak menutup kemungkinan jika ada fakta
baru terkait kasus ini akan dilanjutkan dengan pemeriksaan. Kementerian Keuangan juga
menjatuhkan sanksi terhadap Garuda sebagai emiten, direksi, dan komisaris secara kolektif. Untuk
Garuda sebagai emiten dikenakan denda Rp 100 juta. Direksi yang tanda tangan laporan keuangan
dikenakan masing-masing Rp 100 juta. Ketiga, secara kolektif direksi dan Komisaris minus yang tidak
tanda tangan, dikenakan kolektif Rp 100 juta jadi tanggung renteng. Sebelumnya pada 24 April 2019
muncul dugaan kejanggalan pada laporan keuangan Garuda Indonesia tahun buku 2018. Hal ini
membuat Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil tindakan. Garuda
Indonesia sebelumnya menjalin kerja sama dengan PT Mahata Aero Terknologi. Kerja sama itu
nilainya mencapai US$ 239,94 juta atau sekitar Rp 2,98 triliun. Dana itu masih bersifat piutang tapi
sudah diakui oleh Manajemen Garuda Indonesia sebagai pendapatan. Alhasil, pada 2018 secara
mengejutkan BUMN maskapai itu meraih laba bersih US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar
(kurs Rp 14.000). Kejanggalan ini terendus oleh dua komisaris Garuda. Sehingga keduanya enggan
menandatangani laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.
Kedua komisaris itu merasa keberatan dengan pengakuan pendapatan atas transaksi Perjanjian Kerja
Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan
Citilink Indonesia. Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah pernyataan standar akuntansi
keuangan (PSAK) nomor 23.

RANGKUMAN KASUS GARUDA


(https://economy.okezone.com/read/2019/06/28/320/2072245/kronologi-kasus-laporan-keuangan-
garuda-indonesia-hingga-kena-sanksi?page=3)

Garuda Indonesia dikenakan sanksi oleh lembaga keuangan pemerintah dan non pemerintah.
Pasalnya, dalam laporan keuangan Garuda ditemukan kejanggalan. Kasus Garuda Indonesia
ini tidak hanya memukul si burung baja. Auditor laporan keuangan, yakni Akuntan Publik
(AP) Kasner Sirumapea Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang &
Rekan (Member of BDO Internasional), juga dikenakan sanksi oleh Kementerian Keuangan.
Awal mula kisruh Laporan Keuangan Garuda Indonesia dimulai dari hasil laporan keuangan
Garuda Indonesia untuk tahun buku 2018. Dalam laporan keuangan tersebut, Garuda
Indonesia Group membukukan laba bersih sebesar USD809,85 ribu atau setara Rp11,33
miliar (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS). Angka ini melonjak tajam dibanding 2017 yang
menderita rugi USD216,5 juta. Namun laporan keuangan tersebut menimbulkan polemik,
lantaran dua komisaris Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria (saat ini
sudah tidak menjabat), menganggap laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia tidak sesuai
dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Pasalnya, Garuda Indonesia
memasukan keuntungan dari PT Mahata Aero Teknologi yang memiliki utang kepada
maskapai berpelat merah tersebut. PT Mahata Aero Teknologi sendiri memiliki utang terkait
pemasangan wifi yang belum dibayarkan. OJK meminta kepada BEI untuk melakukan
verifikasi terhadap kebenaran atau perbedaan pendapat mengenai pengakuan pendapatan
dalam laporan keuangan Garuda 2018. Kisruh laporan keuangan Garuda Indonesia ini juga
menyeret nama Mahata Aero Teknologi. Pasalnya, Mahata sebuah perusahaan yang baru
didirikan pada tanggal 3 November 2017 dengan modal tidak lebih dari Rp10 miliar dinilai
berani menandatangani kerja sama dengan Garuda Indonesia. Dengan menandatangani kerja
sama dengan Garuda, Mahata mencatatkan utang sebesar USD239 juta kepada Garuda, dan
oleh Garuda dicatatkan dalam Laporan Keuangan 2018 pada kolom pendapatan. Sebulan
kemudian, Garuda Indonesia dipanggil oleh Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI). Jajaran Direksi ini dimintai keterangan oleh komisi VI DPR mengenai
kisruh laporan keuangan tersebut. Dalam penjelasannya, Direktur Utama Garuda Indonesia I
Gusti Ngurah Askhara Danadiputra mengatakan, latar belakang mengenai laporan keuangan
yang menjadi sangat menarik adalah soal kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi,
terkait penyediaan layanan WiFi on-board yang dapat dinikmati secara gratis. Kerja sama
yang diteken pada 31 Oktober 2018 ini mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk
piutang sebesar USD239.940.000 dari Mahata. Dari jumlah itu, USD28 juta di antaranya
merupakan bagi hasil yang seharusnya dibayarkan Mahata.

RANGKUMAN KASUS GARUDA

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) angkat bicara mengenai
kejanggalan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang menghangat dalam
beberapa pekan terakhir.

Dalam kasus ini, Ketua Dewan Komisaris OJK Wimboh Santoso meminta kepada PT Bursa
Efek Indonesia (BEI) sebagai self regulatory organization (SRO) untuk melakukan verifikasi
terhadap laporan keuangan Garuda Indonesia.

"Dalam hal emiten listed kita meminta Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk melakukan
verifikasi kebenaran-kebenaran atau kah perbedaan pendapat tentang laporan keuangan itu....
Hasilnya nanti bisa dilaporkan ke OJK," katanya, Kamis (2/5/2019).

Selain itu, Wimboh juga menyinggung soal perbedaan pandangan mengenai penerapan
standar akuntansi di laporan keuangan Garuda Indonesia tahun buku 2018.

"Kebenaran itu tentunya ada asosiasi profesi yang melakukan verifikasi," ujarnya.

Menurut Wimboh, OJK tidak bisa melakukan pengawasan langsung terhadap Garuda
Indonesia karena bukan lembaga jasa keuangan.

"Kita bukan melakukan pengawasan compliance seperti awasi bank, asuransi atau lembaga
pembiayaan. Bukan, beda. Kita awasi karena bukan lembaga jasa keuangan, kita awasi
Garuda mematuhi prosedur dalam konteks transparansi dan market conduct dalam rangka
audited report," ujarnya.
Sebagai informasi, kasus ini bermula dari laporan keuangan perusahaan yang membukukan
laba bersih US$ 809.846 pada tahun 2018 atau setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$).

Padahal jika ditinjau lebih detail, perusahaan yang resmi berdiri pada 21 Desember 1949
dengan nama Garuda Indonesia Airways ini semestinya merugi.

Pasalnya, total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$ 4,58
miliar. Angka ini lebih besar US$ 206,08 juta dibanding total pendapatan tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai