Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PENGATURAN TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM


BERDASARKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum (onrectmatigedaad) merupakan suatu kaidah

yang diatur di dalam bidang hukum perdata. Istilah onrechtmatigedaad dalam

bahasa Belanda mempunyai suatu makna yang digunakan di dalam Pasal 1365

Burgerlijk Wetboek (BW). Untuk pembahsan selanjutnya akan digunakan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata.) sebagai pengganti BW. Menurut

Pasal 1365 KUH Perdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum

adalah Perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang

karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.16

Perbuatan melawan hukum diartikan suatu perbuatan kesengajaan atau

kealpaan (kelalaian) seseorang, bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan

dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan

maupun keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang

lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbuatannya

itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti

kerugian.17

Sistem Common Law/Anglo Saxon menentukan perbuatan melawan hukum

disebut dengan istilah tort yang dipandang sebagai pranata untuk melindungi

seseorang dari kebebasan individu, maksudnya kebebasan individu yang dapat

menimbulkan kerugian bagi orang lain yang harus dibatasi, dimana istilah tort ini

16
M. A. Moegni Djojodiharjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradya Paramita,
1982, hal.26
17
Ibid.

19
20

diartikan sebagai suatu kesalahan perdata yang dilakukan oleh seseorang yang

mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban

yang telah ditentukan oleh hukum bukan timbul dari wanprestasi kontrak atau

trust, yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkannya. 18

Mollengraaff sebagaimana dikutip dalam buku Rosa Agustina menyatakan bahwa

perbuatan melawan hukum tidak hanya melanggar undang-undang, akan tetapi

juga melanggar kaedah kesusilaan dan kepatutan.19

Perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam

konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum

Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Sesuai

dengan sifatnya yaitu sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada

kepentingan umum yang dilanggar atau tidak dilaksanakan (di samping mungkin

juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam

sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.20

R. Wirjono Projodikoro mengartikan kata onrechtmatigedaad sebagai

perbuatan melanggar hukum. Menurutnya penafsiran perbuatan dalam rangkaian

kata-kata perbuatan melanggar hukum dapat diartikan positif melainkan juga

negatif, yaitu meliputi juga tentang hal yang orang dengan berdiam diri saja dapat

dikatakan melanggar aturan hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu

bertindak. Perbuatan negatif yang dimaksudkan bersifat aktif yaitu orang yang

diam saja, baru akan dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar,

bahwa ia dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan

18
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung, Citra
Aditya, 2005, hal. 33-37
19
Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum”, Jakarta, Pasca Sarjana FH Universitas
Indonesia, 2003, hal. 37
20
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 22
21

tubuhnya seseorang itu, melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak

dari pengertian perbuatan kini pun ada. Perkataan melanggar dalam rangkaian

kata-kata tentang perbuatan melanggar hukum yang dimaksud bersifat aktif, maka

menurut beliau perkataan atau istilah yang paling tepat untuk menerjemahkan

onrechtmatigedaad ialah perbuatan melanggar hukum karena istilah perbuatan

melanggar hukum menurut Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum yang

secara umumnya telah berlaku di Indonesia serta ketentuan yang sebagian terbesar

merupakan hukum adat.21

Pendapat lain mengenai perbuatan melawan hukum dikemukakan oleh

Subekti. Subekti justru menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum dalam

menerjemahkan BW, ini bisa dilihat pada terjemahan bahasa Indonesia untuk

Pasal 1365.22 Terminologi perbuatan melawan hukum antara lain digunakan oleh

Mariam Darus Badrulzaman juga dengan mengatakan: Pasal 1365 KUHPerdata

menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang telah membawa

kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan

kerugian ini mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa Pasal

1365 KUH Perdata. ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum

yang tidak tertulis diperhatikan oleh undang-undang.23

Terminologi melawan hukum mencakup substansi yang lebih luas, yaitu

baik perbuatan yang didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian. Terminologi

mengenai perbuatan melawan hukum ini dapat dilihat dalam uraian sebagai

berikut:

21
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2000,
hal. 1
22
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT.
Pradnya Paramita, 2002, hal. 346
23
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, Bandung, Alumni, 1983, hal. 146
22

1. Suatu perbuatan melawan hukum yang telah mengakibatkan kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau itu

kelalainnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut;

2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang

lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam

pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang

lain;

3. Seorang yang sengaja atau lalai tidak melakukan suatu perbuatan wajib

dilakukannya, disamakan dengan seseorang yang melakukan suatu

perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.

Setelah adanya Arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari

1919, maka pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :24 Hal

berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah

bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini

adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau berlawanan baik

dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam

lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

Pengertian perbuatan melawan hukum dalam pengertian luas berdasarkan

pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan

bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi

perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri

atau benda orang lain, yang seharusnya ada di masyarakat.25 Selain itu, ada juga

yang telah mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu kumpulan dari
24
Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bardin, 1999, hal. 62
25
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif B.W., Bandung, Nuansa Aulia,
2014, hal. 189
23

prinsip-prinsip hukum, yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku

berbahaya, untuk memberikan tanggungjawab atas suatu kerugian yang terbit dari

interaksi sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu

gugatan yang tepat.

Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup

salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut:

a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan

dalam pergaulan masyarakat yang baik.26

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hak-

hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu

hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht), hak

atas kebebasan dan juga hak atas kehormatan dan nama baik. Perbuatan yang

bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan

masyarakat yang baik atau yang disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga

dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jika seseorang melakukan

tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari

hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan

hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian

atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. 27 Keharusan dalam pergaulan

masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang
26
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 22
27
Hery Shietra, Kaedah-Kaedah Menarik Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Siethra
Publishing, 2013, hal. 62
24

bersangkutan. Maka berdasarkan uraian hal di atas, maka setiap pihak hendaknya

memahami mengenai kedudukannya di dalam hukum.

Perbuatan yang dianggap bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri

adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang,

baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sedangkan perbuatan yang

bertentangan dengan kesusilaan merupakan tindakan yang oleh masyarakat telah

diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan

hukum, ketika tindakan melanggar kesusilaan tersebut menyebabkan terjadinya

kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat

meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum (Pasal 1365

KUHPerdata).

Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan

hukum adalah sebagai berikut:

1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari


kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang
menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu
hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut,
baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan
yang merupakan suatu kecelakaan.
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang telah dibebankan oleh hukum,
kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan
dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu
ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap suatu ganti kerugian
dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak
atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi
terhadap kewajiban equity lainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh perbuatan wanprestasi
terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang
merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak
terbit dari hubungan kontraktual.
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan
dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum
25

dan karenanya adanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang
dirugikan.
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia
bukan suatu fisika atau matematika.28

Perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

perbuatan yang dilakukan oleh oleh Tergugat Muhamad Muadim atas

perbuatannya mengemudikan kendaraan bermotor dengan keadaan yang

membahayakan bagi nyawa yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sehingga

korban meninggal dunia dan luka ringan serta merusak kendaraan dan atau

barang. Selain itu, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan

Tergugat II karena tidak melaksanakan putusan Pengadilan Negeri Kupang Kelas

IA Nomor 128/Pdt.G/2016/PN.Kpg Jo. Putusan Pengadilan Negeri Kupang Kelas

IA Nomor 241/Pdt.Plw/2017/PN.KPG Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Kupang

Nomor 115/PDT/2018/PN Kpg.

B. Unsur dan Syarat-Syarat Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, maka berdasaekan pasal itu suatu perbuatan melawan

hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut yaitu:

1. Adanya Suatu Perbuatan

Perbuatan meliputi perbuatan positif, yang bahasa aslinya “daad” (Pasal

1365 KUH Perdata) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa aslinya bahasa

Belanda, nalatigheid (kelalaian) ataupun onvoorzigtigheid (kurangnya hati-hati)

seperti ditentukan dalam Pasal 1366 KUHPerdata. Dengan demikian, Pasal 1365

KUHPerdata itu untuk orang–orang yang betul–betul berbuat, sedangkan Pasal

28
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 4
26

1366 KUHPerdata itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran dua pasal ini

mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian.29

Perbuatan yang dimaksud disini adalah perbuatan yang dapat dilihat secara

aktif, juga termasuk perbuatan yang nampak secara tidak aktif artinya tidak

nampak adanya suatu perbuatan, tetapi sikap ini bersumber pada kesadaran dari

yang bersangkutan akan tindakan yang harus dilakukan tetapi tidak dilakukan.30

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari pelakunya.

Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik

berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif),

misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk

membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga

kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Oleh karena itu, terhadap perbuatan

melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada

juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam

perjanjian.

2. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun

1919, unsur melawan hukum tersebut diartikan dalam arti yang seluas-luasnya,

yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku,

b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum,

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zedeen),


29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2014, hal. 4
30
Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pembimbing Masa, 1969, hal. 250
27

e. Perbuatan yang dianggap bertentangan dengan sikap yang baik dalam

bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain atau

bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan oleh

undang-undang. Dengan demikian, melanggar hukum (onrechtmatig)

sama dengan melanggar undang- undang (onwetmatig).

3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Kesalahan dalam pengertian objektif adalah dimana seseorang dianggap

melakukan perbuatan melawan hukum yang karena berbuat kesalahan, apabila ia

bertindak daripada yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang dalam keadaan

itu dalam pergaulan masyarakat. Kesalahan dalam arti subjektif adalah melihat

pada orangnya yang melakukan perbuatan itu, apakah menurut hukum dapat

dipertanggungjawabkan artinya fisik orang itu normal atau masih kanak- kanak.

Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan

hukum tersebut di atas, Undang-Undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar

para pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) melaksanakan

perbuatan tersebut.

Tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung

jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jika pun dalam hal tertentu

diberlakukan sistem tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal

tersebut tidak didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada

undang-undang lain. Karena dalam Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya

unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu

diketahui bagaimana cakupan dari suatu unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan
28

dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan

tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Ada unsur kesengajaan, atau

b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa)

c. Tidak adanya suatu alasan yang dianggap sebagai pembenar atau

alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht,

membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4. Adanya Kerugian Bagi Korban

Perbuatan melawan hukum, unsur-unsur kerugian dan ukuran penilaiannya

dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian, penghitungan

ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan

adanya tiga unsur yaitu biaya, kerugian yang sesungguhnya, dan keuntungan yang

diharapkan (bunga). Kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang.31

Adanya kerugian (schade) bagi pihak korban juga merupakan syarat agar

gugatan yang diasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda

dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka

kerugian karena yang timbul atas perbuatan melawan hukum di samping kerugian

materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan

dinilai dengan uang. Kerugian yang dimaksud dalam hal ini harus dapat dihitung

dan dapat diukur secara logis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

pemanfaatan dalam memohonkan ganti rugi.

5. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian

31
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bandung, Mandar
Maju, 2008, hal. 185
29

Untuk mengetahui hubungan suatu perbuatan adalah sebab dari suatu

kerugian, maka perlu diikuti teori adequate veroorzaking dari Von Kries. Menurut

teori ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman

manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini

kerugian. Jadi antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan

langsung.

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang

terjadi juga merupakan syarat dari perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan

sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori

penyebab kira-kira. Hubungan mengenai sebab akibat secara faktual (causation in

fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi.

Setiap penyebab yang telah menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan

penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat

tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab

akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai but for atau sine qua

non.32

Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat

mendukung tentang ajaran akibat faktual ini. Selanjutnya agar lebih praktis dan

agar tercapainya suatu elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka

diciptakanlah suatu konsep sebab kira-kira (proximate cause). Proximate cause

merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan

pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum.

32
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta,
Rajawali Pers, 2011, hal. 1
30

Unsur-unsur tersebut berlaku secara kumulatif, artinya harus terpenuhi

seluruhnya. Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu

perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana

telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum dianggap

terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang

melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak-hak orang lain, bertentangan

dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri

sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap

sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan

apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.33

Adakalanya terdapat hal-hal yang menghilangkan sifat melawan hukum

(alasan pembenar). Ada 4 hal yang pada umumnya telah lazim sebagai alasan

pembenar yaitu:

1. Keadaan memaksa (overmacht)

Pengertian dari kata overmacht ialah salah satu paksaan/dorongan yang

datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan atau harus dielakkan. Overmacht

adakalanya merupakan alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan adakalanya

alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond), hal ini dikarenakan keadaan overmacht

mempunyai sifat yang berbeda dan tidak harus menimbulkan akibat yang sama.

Overmacht memiliki bentuk tertentu, yaitu noodtoestand yang timbul disebabkan

oleh konflik atas kewajiban-kewajiban. Terdapat noodtoestand apabila kewajiban

untuk tidak melakukan suatu perbuatan karena melawan hukum ditiadakan oleh

33
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Liberty,
1985, hal. 26
31

suatu kewajiban lain atau suatu kepentingan yang lebih tinggi tingkatnya.

Keadaan memaksa ini harus dapat dibuktikan oleh debitur.34

Overmacht dapat bersifat mutlak (absolut) ataupun bersifat relatif. Disebut

mutlak apabila setiap orang dalam keadaan terpaksa harus melakukan perbuatan

yang pada umumnya merupakan perbuatan melawan hukum. Sedangkan disebut

relatif apabila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum oleh karena suatu

keadaan, dimana ia secara terpaksa utnuk melakukan perbuatan tersebut daripada

mengorbankan kepentingan sendiri dengan risiko yang sangat besar.

2. Pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer)

Pembelaan terpaksa, misalnya saja dimana seseorang melakukan perbuatan

yang terpaksa untuk membela diri sendiri atau orang lain, kehormatan atau barang

terhadap serangan yang tiba-tiba yang bersifat melawan hukum. Setiap orang

yang diserang orang lain berhak untuk membela diri. Jika dalam pembelaan

tersebut, ia terpaksa melakukan perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan

hukum dari perbuatan orang tersebut menjadi hilang. Guna menentukan perbuatan

tersebut merupakan bela diri, harus ada serangan yang ditujukan kepadanya dan

pembelaan diri tidak boleh melampaui batas. Oleh karena diserang dengan golok,

untuk membela diri maka orang tersebut menggunakan tongkat dan dipakai

memukul tangan si penyerang, sehingga tangannya patah. Dalam hal ini perbuatan

tersebut tidak merupakan perbuatan melawan hukum.35

3. Melaksanakan Ketentuan undang-undang

Perbuatan tidak merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan

itu dilakukan karena melaksanakan perintah undang-undang. Polisi yang menahan

34
Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 44
35
Sri Soedewi Masyohen Sofwan, Op.Cit, hal.15
32

seseorang dan merampas kemerdekaannya; hakim yang menghukum terdakwa;

panitera yang akan melakukan sitaan tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

Suatu perbuatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan

wewenang yang diberikan oleh undang-undang adalah melawan hukum apabila

wewenang tersebut disalahgunakan atau dalam hal detournement de pouvoir.

4. Melaksanakan perintah atasan

Perbuatan orang yang melakukan perintah atasan yang berwenang, bukan

merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Perintah atasan hanya berlaku

sebagai alasan pembenar bagi orang yang melaksanakan perintah tersebut. Tidak

menutup kemungkinan, bahwa pemerintah atau penguasa yang memberi perintah

tersebut bertindak melawan hukum. Di dalam praktek, alasan pembenar ini tidak

begitu penting karena biasanya penguasa yang digugat dan bukan pegawai yang

melakukan perbuatan tersebut.

Wirjono Prodjodikor berpendapat mengenai hal-hal yang menghilangkan

sifat melanggar hukum ditinjau dari perbuatannya dengan tidak memandang tubuh

dan kedudukan dari subyek perbuatan melawan hukum adalah:

1. Hak pribadi;

2. Pembelaan diri (noodweer); dan

3. Keadaan memaksa (overmacht). 36

Sedangkan hal-hal mengenai subyek suatu perbuatan melawan hukum

yang mengakibatkan subyek hukum tersebut meskipun telah melakukan perbuatan

melawan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut ini:

1. Perintah kepegawaian (ambtelijk bevel);

2. Hak menghakimi sendiri (eigen richting).


36
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 40-44
33

Secara mendasar, sebenarnya dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan

melawan hukum dapat terjadi dikarenakan adanya unsur kesalahan oleh pelaku.

Hal ini dapat dilihat dan dibuktikan karena untuk menentukan terjadinya suatu

perbuatan melawan hukum harus dipenuhinya adanya unsur kesalahan (schuld).

Dengan mensyaratkan adanya kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata,

pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa si pelaku perbuatan

melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas kerugian tersebut yang

dipersalahkan padanya.37

Kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan sebagai lawan dari

kesengajaan, demikian pula yang dibenarkan sebagai sinonim dari pada istilah

perbuatan melawan hukum. Kesalahan (schuld), dalam hal ini mencakup kealpaan

dan kesengajaan, biasanya kealpaan tersebut disebut dengan kesalahan. Dengan

demikian pengertian kesalahan mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam

arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit dan kesengajaan. Untuk

kesengajaan adalah sudah cukup bilamana orang itu pada waktu ia melakukan

perbuatan atau pada waktu melalaikan kewajibannya sudah mengetahui bahwa

akibat dari perbuatannya seseorang pasti menderita kerugian, sekalipun ia sudah

mengetahuinya masih juga melakukan perbuatannya itu atau masih melalaikan

kewajibannya.38

Adapun mengenai syarat-syarat kesalahan yang diartikan dalam arti

objektif maka persoalan adalah apakah bahwa si pelaku pada umumnya dapat

dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu, dalam arti bahwa ia harus dapat

mencegah timbulnya akibat-akibat daripada perbuatannya yang konkrit. Maka


37
Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Seri pemerataan Keadilan,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2009, hal. 66
38
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 52
34

akan ada kesalahan dalam arti konkrit atau dalam arti objektif bilamana si pelaku

seharusnya melakukan perbuatan secara lain dari yang telah dilakukannya. Si

pelaku telah berbuat secara lain dari pada yang seharusnya dilakukan dan dalam

hal ini sedemikian itu kesalahan dan sifat melawan hak menjadi satu.

Mengenai adanya unsur kesalahan yakni bahwa untuk adanya kesalahan

tidak boleh mensyaratkan adanya ketentuan mengenai syarat-syarat tentang

dapatnya dipertanggungjawabkan.39 Dalam hal mana suatu perbuatan adalah

melawan hukum karena bertanggung jawab dengan ketentuan-ketentuan, moral

atau lalu lintas, unsur kesalahan diserap oleh unsur sifat melawan hukum.

Kesalahan dalam hal ini mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam

arti luas (terdapat kelalaian dan kesengajaan) dimana kesalahan dalam arti sempit

(hanya berupa kesengajaan). Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan

melawan hukum itu tahu betul bahwa perbuatannya akan berakibat suatu keadaan

tertentu yang merugikan pihak lain maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan,

bahwa seseorang itu tahu betul akan adanya akibat itu, ialah bahwa seseorang itu

tahu hal adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu

keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi.

Dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata pembuat

undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan

hukum hanyalah bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila

perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Undang-undang menerapkan

istilah schuld (kesalahan) dalam beberapa arti yaitu:

39
M.A. Moegni Djojodirjo, Op.Cit, hal. 65
35

1. Pertanggunganjawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian,

yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut;

2. Kealpaan sebagai lawan kesengajaan;

3. Sifat melawan hukum.40

Segi berat ringannya, derajat suatu kesalahan dari si pelaku perbuatan

melawan hukum, maka dibandingkan dengan perbuatan melawan hukum yang

dilakukan orang tersebut dengan unsur kelalaian, maka perbuatan melawan

hukum yang dilakukan dengan unsur kesengajaan derajat kesalahannya lebih

tinggi. Jika seseorang yang dengan sengaja merugikan orang lain (baik untuk

kepentingannya sendiri atau bukan), berarti dia telah melakukan perbuatan yang

melanggar hukum tersebut dalam arti yang sangat serius daripada dilakukannya

hanya sekedar kelalaian belaka.41

Perbuatan melawan hukum dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal yaitu sebagai

berikut:

a. Kesengajaan

Unsur kesengajaan dalam perbuatan melawan hukum dianggap ada apabila

dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut telah menimbulkan

konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau harta benda korban,

meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari

korban tersebut.42 Van Bemmelen dan Van Hattum dalam Rosa Agustina telah

mengemukakan “tiada hukuman tanpa kesalahan” dan Rutten telah berusaha

menerapkan adagium tersebut dalam bidnag perdata dengan mengemukakan tiada

pertanggungan gugat atas akibat-akibat daripada perbuatannya yang melawan


40
Moegni Djojodirjo, Op.Cit, hal. 68
41
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 45
42
Ibidm, hal. 46
36

hukum tanpa kesalahan atau sebagaimana dikemukakan oleh Meyers bahwa

perbuatan melawan hukum mengharuskan adanya kesalahan dalam menentukan

suatu perbuatan melawan hukum (een onrechtmatigedaad verlangt schuld).43

Unsur kesengajaan tersebut dianggap eksis dalam suatu tindakan manakala

memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:44

1) Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan;

2) Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya

perbuatan saja;

3) Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan

konsekuensi, melainkan adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan

tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.

b. Kelalaian

Berdasarkan pada sejarah hukum, mula-mulanya kelalaian tidak diterima

sebagai suatu bidang perbuatan melawan hukum yang berdiri sendiri. Perbuatan

kelalaian (ketidakhati-hatian) yang berupa pelanggaran terhadap kebiasaan dan

kepatutan dalam suatu masyarakat, diterima sebagai suatu bagian dari perbuatan

melawan hukum (onrechtmatigedaad). Namun meskipun demikian di negara-

negara yang menganut Common Law, pengakuan perbuatan kelalaian sebagai

bidang yang mandiri dari perbuatan melawan hukum telah diterima sejak awal

abad ke-19.45 Pada tahap-tahap awal perkembangannya, perbuatan kelalaian

diterima dalam kasus-kasus kelalaian dari orang yang menjalankan kepentingan

publik, seperti dokter dan pengangkut manusia.

43
Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 48
44
Moegni Djojodirjo, Op.Cit, hal 68
45
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 72
37

Perkembangan pengakuan terhadap perbuatan di awal abad ke-19 tersebut

mempunyai hubungan sebab-akibat dengan perkembangan revolusi industri saat

itu. Sebab, banyak juga kasus kelalaian diterapkan terhadap kasus-kasus kelalaian

pelaku industri yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Bahkan sampai

dengan abad ke-19, setiap orang yang menyebabkan kerugian kepada orang lain

(sengaja atau tidak) harus mengganti kerugian tanpa harus melihat apakah orang

tersebut bersalah atau tidak, karena konsep kelalaian belum berkembang. Akan

tetapi, mulai pada abad ke-19, orang mulai berpikir bahwa tidak ada alasan yang

wajar untuk memindahkan suatu beban tanggung jawab dari korban kepada

pelaku selama pelaku tidak dalam keadaan bersalah. Oleh karena itu, mulailah

dikembangkan konsep kelalaian dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum dengan adanya unsur kelalaian berbeda dengan

perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Dengan kesengajaan, ada

niat dari dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi

korban, atau paling tidak dapat mengetahui hal itu secara pasti bahwa akibat dari

perbuatannya tersebut akan terjadi. Akan tetapi, dalam hal kelalaian tidak ada niat

dari dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin

ada niat untuk mencegah terjadinya kerugian tersebut. Dengan demikian, dalam

perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan, niat atau sikap mental

menjadi faktor dominan, tetapi pada kelalaian, yang dipentingkan ialah sikap

lahiriah dan perbuatan yang dilakukan tanpa terlalu mempertimbangkan apa yang

ada dalam pikirannya. Berdasarkan hal di atas, maka dapat dibedakan perbuatan

melawan hukum karena kelalaian dan kesengajaan.

c. Keadaan memaksa
38

Keadaan memaksa merupakan keadaan dimana perbuatan melawan hukum

dilakukan atas dasar adanya unsur keterpaksaan dan di luar yang diharapkan oleh

pelaku. Konsep keadaan memaksa, overmacht, atau force majeure (dalam kajian

ini selanjutnya disebut keadaan memaksa), dapat dikatakan demikian apabila

memenuhi unsur-unsur keadaan memaksa meliputi :

a. peristiwa yang tidak terduga;


b. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
c. tidak ada itikad buruk dari debitur;
d. adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
e. keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
f. jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan
g. keadaan di luar kesalahan debitur;
h. debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);
i. kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun (baik debitur
maupun pihak lain);
j. debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.46

C. Akibat Hukum yang Timbul dari Perbuatan Melawan Hukum Terhadap


Kecelakaan

Perbuatan melawan hukum tersebut tentunya akan membawa akibat-akibat

hukum. Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian

bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan

oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Mengenai kerugian ini dalam

beberapa bahasa dikenal istilah sebagai berikut di dalam Bahasa Inggris disebut

damages, dalam Bahasa Belanda disebut nadeel, dalam Bahasa Perancis disebut

dommage.47

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupkan kiblatnya Hukum

Perdata Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan dengan perbuatan

46
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat,Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Bandung,
Mandar Maju 2008, hal. 19
47
R. Setiawan, Op.Cit, hal. 15
39

melawan hukum, mengatur kerugian dan ganti rugi dalam hubungannya dengan

perbuatan melawan hukum dengan 2 pendekatan sebagai berikut:

1. Ganti rugi rmum

Ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi yang berlaku untuk semua

kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi dalam kontrak, maupun kasus-kasus

yang berkenaan dengan perikatan hukum lainnya, termasuk salah satunya karena

perbuatan melawan hukum.48

Ketentuan ganti rugi yang umum ini oleh KUHPerdata dalam bagian

Keempat Buku Ketiga, mulai dari Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252. Dalam

hal ini untuk ganti rugi tersebut, KUHPerdata secara konsisten untuk hal ganti

rugi digunakan istilah:

a. Biaya

Biaya adalah setiap cost atau uang, atau apapun yang dapat dinilai

dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang

dirugikan.

b. Rugi

Rugi atau kerugian adalah berkurang (merosotnya) suatu nilai

kekayaan sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa perbuatan

melawan hukum. Kerugian yang dimaksud dalam hal ini harus dapat

dinilai dan diukur.

c. Bunga

Bunga adalah suatu keuntungan yang seharusnya diperoleh, akan tetapi

tidak jadi diperoleh karena adanya suatu perbuatan melawan hukum.

Pengertian bunga dalam ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata lebih luas


48
Ibid, hal. 135
40

dari pengertian bunga dalam istilah sehari-hari yang berarti bunga

uang, yang hanya ditentukan dengan presentase dari hutang pokoknya.

2. Ganti Rugi Khusus

Selain dari ganti rugi umum di atas yang diatur mulai dari Pasal 1243

KUHPerdata, KUHPerdata ternyata juga mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti

rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatanperikatan tertentu.

Dalam hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu Perbuatan Melawan

Hukum, selain dari bentuk ganti rugi dalam bentuk yang umum, KUH Perdata

juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut:

a. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365

KUHPerdata)

Perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata adalah “Perbuatan yang melawan hukum yang

dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan

kerugian bagi orang lain.” Orang yang melakukan perbuatan melawan

hukum berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian terhadap orang

yang mengalami kerugian.49 Pihak yang mengalami kerugian

maksudnya adalah pihak yang karena adanya perbuatan si pelaku.

b. Ganti Rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal

1366 dan Pasal 1367 KUHPerdata)

Seorang subjek perbuatan melanggar hukum dapat mempunyai suatu

kedudukan tertentu di dalam suatu masyarakat sedemikian rupa,

sehingga dirasakan adil atau patut, bahwa di samping orang itu, atau

49
Ibid, hal. 137
41

dengan menyampingkan orang itu, seharusnya ada seorang lain yang

juga dipertanggungjawabkan.

Alasan hal ini adalah terletak pada dua macam sifat perhubungan

hukum antara seorang subjek perbuatan melanggar hukum dan orang

lain itu, yaitu yang pertama sifat pengawasan atas seorang subjek itu,

yang diletakkan atas pundak orang lain, dan sifat yang kedua sifat

pemberian kuasa oleh orang lain kepada subjek itu untuk menarik

orang lain itu dalam resiko perekonomian dari perbuatan melanggar

hukum.50

Ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Setiap Orang

bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang telah disebabkan

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian

atau kurang hati-hatinya.”

Berdasarkan kutipan pasal tersebut di atas, secara umum memberikan

gambaran mengenai batasan ruang lingkup akibat dari suatu perbuatan

melawan hukum. Akibat perbuatan melawan hukum secara yuridis

mempunyai konsekwensi terhadap pelaku maupun orang-orang yang

mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan menyebabkan

timbulnya perbuatan melawan hukum. Jadi, akibat yang timbul dari

suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti

kerugian terehadap korban yang mengalami.

c. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368 KUHPerdata).

Ketentuan di dalam Pasal 1368 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

Pemilik seekor binatang, atau siapa yang memakaianya adalah selama


50
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 22
42

binatang itu dipakainya, bertanggungjawab tentang kerugian yang

diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah

pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.

Seseorang yang merasa dirugikan oleh hewan peliharaan orang lain

dapat meminta ganti rugi kepada pemiliknya, sebesar kerugian yang

dialaminya karena hewan peliharaan tersebut.

d. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369

KUHPerdata)

Ketentuan di Pasal 1369 KUHPerdata diatur mengenai tanggungjawab

pemilik gedung yang ambruk, isi Pasal 1369 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tersebut adalah:

“Pemilik sebuah gedung adalah bertanggungjawab terhadap kerugian


yang disebakan ambruknya gedung itu untuk selurunya atau sebagian,
jika ini terjadi karena kelalaian dalam pemeliharaannya, atau karena
sesuatu cacat dalam pembangunan maupun tatananya.”

Perbuatan melawan hukum ini dapat disebut dengan res ruinosa, yakni

tanggungjawab pemilik gedung atas robohnya gedung tersebut. Dalam

hal ini, pemilik gedung tidak dapat mengelak dari tanggungjawabnya

dengan mengatakan bahwa dia tidak mengetahui atau patut menduga

tentang adanya kerusakan pada gedung atau konstruksi gedung

tersebut, atau tidak kuasa untuk mencegah gedung tersebut dari

kehancurannya. Pemilik gedung dalam hal ini diwajibkan mampu

mempertanggungjawabkan kerugian yang timbul bagi kroban.

e. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh

(Pasal 1370 KUHPerdata)


43

Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh,

diatur di dalam Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, isi

dari Pasal 1370 itu sendiri yaitu:

“Dalam halnya suatu pembunuhan dengan sengaja atau karena kurang


hati-hatinya seorang, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau
orang tua si korban, yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si
korban, mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai
menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak.”

Pengertian menurut Pasal 1370 diatas dapat diketahui bahwa ganti rugi

tersebut diberikan dengan syarat berupa keharusan penilaian menurut

kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak dan keharusan penilaian

menurut keadaan.

f. Ganti Rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal

1371 KUHPerdata)

Pasal 1371 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan

bahwa:

“Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja


atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk,
selain tentang penggantian biaya penyembuhan, menuntut penggantian
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.”

Terhadap perbuatan melawan hukum berupa adanya kesengajaan yang

menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan maka ganti rugi yang

diberikan dengan ketentuan syarat berupa keharusan penilaian menurut

kedudukan dan juga kekayaan kedua belah pihak, keharusan penilaian

menurut keadaan. Artinya ganti rugi ini dilakukan dengan melihat

kondisi para pihak.

Ganti rugi yang dapat dituntut dalam hal ini adalah dapat berupa

penggantian biaya penyembuhan dan ganti kerugian yang disebabkan


44

oleh luka atau cacat tersebut. ganti kerugian yang disebabkan oleh luka

atau cacat tersebut tersebut didasarkan pada Pasal 1371 ayat (2), yang

menyebutkan bahwa “juga penggantian kerugian ini dinilai menurut

kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”.

g. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1380 KUHPerdata)

Tentang perbuatan melawan hukum yang mana berupa penghianaan

atau penjatuhan nama baik diatur mulai dari Pasal 1372 sampai dengan

Pasal 1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Di dalam Pasal 1372 disebutkan bahwa “tuntutan perdata tentang hal

penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat penggantian kerugian

serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”

Ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum semacam ini, yaitu

yang umumnya dalam bentuk ganti rugi immateril, diberikan dengan

mengikuti persyaratan yuridis seperti memperhatikan berat ringannya

penghinaan, memperhatikan pangkat dan kedudukan serta kemampuan

si terhina, memperhatikan pangkat dan kedudukan serta kemampuan si

menghina, memperhatikan situasi dan keadaan, pernyataan menyesal

dan permintaan maaf di depan masyarakat umum dan memperhatikan

adanya perdamaian atau pengampunan di antara para pihak. Hal ini

bahkan dapat menggugurkan tuntutan.

Menurut Pasal 1380 juga terdapat hal lain yang dapat menggugurkan

tuntutan. Isi dari Pasal 1380 yakni “tuntutan dalam penghinaan gugur

dengan lewatnya waktu satu tahun, terhitung mulai hari dilakukannya

perbuatan dan diketahuinya perbuatan itu oleh si penggugatnya.”


45

Konsep ganti rugi dalam hukum, dilihat berdasarkan kacamata yuridis

dikenal dalam 2 (dua) bidang hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak

2. Konsep ganti rugi karena perikatan berdasarkan undang-undang

termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.

Bentuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal oleh

hukum adalah sebagai berikut:

a. Ganti rugi nominal

Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang

mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian secara nyata

bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai

dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut.

Inilah yang disebut dengan ganti rugi nominal.

b. Ganti rugi kompensasi

Ganti rugi kompensasi (compensatory damages) merupakan ganti rugi

yang merupakan suatu pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang

benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan

hukum. Karena itu ganti rugi ini disebut ganti rugi yang aktual. Misalnya, ganti

rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan keuntungan/gaji,

sakit dan juga penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti stress, malu, jatuh

nama baik dan lain-lain. Penderitaan dalam hal ini juga harus dapat dibuktikan di

hadapan sidang.

c. Ganti rugi penghukuman


46

Ganti Rugi penghukuman (punitive damages) merupakan suatu ganti rugi

dalam jumlah yang besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya.

Besarnya jumlah ganti rugi korban tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si

pelaku. Adapun ganti rugi penghukuman ini layak diterapkan terhadap kasus-

kasus kesengajaan yang berat atau sadis. Misalnya diterapkan terhadap

penganiayaan berat atas seseorang tanpa rasa perikemanusiaan.

Bila ganti rugi karena perbuatan melawan hukum berlakunya lebih keras,

sedangkan ganti rugi karena kontrak lebih lembut, itu merupakan salah satu ciri

dari hukum zaman modern. Sebab, di dalam dunia yang telah berperadaban tinggi,

maka seseorang haruslah waspada untuk tidak menimbulkan kerugian bagi orang

lain. Karena itu, bagi pelaku perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan

kerugian bagi orang lain, haruslah mendapatkan hukuman yang setimpal, dalam

bentuk ganti rugi.

Korban dari perbuatan melawan hukum, sama sekali tidak pernah terpikir

akan risiko dari perbuatan melawan hukum, yang kadang-kadang datang dengan

sangat mendadak dan tanpa diperhitungkan sama sekali, karena pihak korban dari

perbuatan melawan hukum sama sekali tidak siap menerima risiko dan sama

sekali tidak pernah berpikir tentang risiko tersebut, maka seyogiyanya dia lebih

dilindungi, sehingga ganti rugi yang berlaku kepadanya lebih luas dan lebih tegas

berlakunya. Sistem pengaturan ganti rugi diatur juga oleh Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

Anda mungkin juga menyukai