Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan

nama “onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “torf\

Onrecht dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan hukum yang

dilakukan oleh subjek hukum, dan didalam setiap perbuatan subjek hukum

mempunyai akibat hukum. Sedangkan “torf” sebenarnya berarti kesalahan (wrong),

akan tetapi dalam bidang hukum sering diartikan sebagai kesalahan perdata yang

bukan berasal dari wanprestasi kontrak.1 Istilah perbuatan melanggar hukum yang

disingkat PMH merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “On Rechtmatige

Daad”. Istilah perbuatan melanggar hukum yang dimaksud adalah sebagaimana

yang diatur dalam buku ke-III bab ketiga dalam Pasal 1365 sampai 1380 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan-perikatan yang dilahirkan oleh

Undang-undang.

Adapun yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum, Pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjelaskan bahwa:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”. Jadi, unsur-unsur perbuatan melawan hukum

terdiri dari:

1
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata,
Mandar Maju, Yogyakarta, 2000, hlm. 7.

15
1. Perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi

juga mencakup perbuatan yang melanggar hak orang Iain, bertentangan

dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan prinsip

kehati-hatian dan bertentangan dengan norma atau kaidah yang berlaku.

2. Perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengandung kesaiahan.

3. Mengakibatkan kerugian, dan

4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesaiahan dengan kerugian.

Pada tahun 1919 Pengadilan Belanda (Putusan Huge Raad) tanggal 31

januari 1919 memberikan defenisi yang lebih luas tentang pebuatan melawan

hukum yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan

yang dianggap pantas dalam pergaulan dalam masyarakat. Adapun cakupan yang

dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum adaiah sebagai berikut:2

1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

Hak-hak yang dilanggar adaiah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum,

termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak seperti hak-hak pribadi, hak-hak

kekayaan, hak atas kebendaan, hak atas kehormatan dan nama baik.

2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

Jadi perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya,

dimana arti kewajiban hukum adaiah suatu kewajiban yang diberikan oleh

hukum teradap seseorang baik hukum tertulis (Undang-undang) maupun

hukum tidak tertulis (bertentangan dengan hak orang lain menurut

Undang-undang).

2
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2005, hlm. 4.

16
3. Perbuatan yang bertentangan dengan keusilaan.

Yaitu perbuatan yang melanggar kesusiiaan yang oleh masyarakat telah

diakui sebagai hukum tidak tertulis, dimana apabila telah terjadi kerugian

bagi pihak lain, maka pihak yang mengalami kerugian tersebut dapat

menuntut ganti rugi (pasal 1365 KUH Perdata).

4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan

dalam pergaulan masyarakat.

Yaitu suatu perbuatan yang merugikan orng lain, tidak secara melanggar

hukum tertulis, tetapi masih dapat dikatakan melanggar atau keharusan

dalam pergaulan masyarakat.

Molegraaff menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya

melanggar Undang-undang akan tetapi juga melanggar kaedah kesusiiaan dan

Kepatutan. Pada tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan

Hukum dalam arti luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan

perbuatan melawan hukum haras diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang

bertentangan dengan:

a. Hak Subyektif orang lain.

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk op eens anders

recht) termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365

KUHPerdata. Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang

yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak

sebagai berikut :

17
1. Hak pribadi (Persoonlijkheidsrechteri)

2. Hak-hak kekayaan (yermogenrecht)

3. Hak atas kebebasan

4. Hak atas kehormatan dan nama Baik.

b. Kewajiban hukum peiaku.

Juga termasuk kedalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut

bertentangan dengan kewajiban hukum (recht split). Yang dimaksudkan

adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap

seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, jadi bukan

hanya bertentangan dengan hukum tertulis (Weterlijk plichi), melainkan

juga bertentangan dengan hak orang lain menurut Undang-undang.

c. Kaedah kesusilaan.

Tindakan melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai

hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum,

karena itu manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah

terjadi kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menderita kerugian

tersebut dapat menuntut garis rugi berdasarkan atas perbuatan melawan

hukum

d. Kepatutan dalam masyarakat.3

Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam

pergaulan masyarakat yang baik yang disebut dengan istilah Zorvuldigheid

juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika

3
Setiawan, “Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan dalam
Yimsprudensi”, Varia Peradilan No. 16 Tahun II (Januari 1987), hlm. 176

18
seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara

melanggar Pasal-pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat di jerat

dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut

bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan

masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis

tetapi diakui oieh masyarakat yang bersangkutan.

Berapa defmisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan

hukum adalah sebagai berikut:

1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban


kontraktual atau kewajiban yang menerbitkan hak untuk meminta ganti
rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum,
dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu
perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan.
3. Tidak memenuhi sutau kewajiban yang dibebankan oleh hukum kewajiban
mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak
memenuhi kewajibannya tersbut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian
dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau
wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap
kewajiban equality.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak
atau lebih tepatnya merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak
orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan
kontraktual.
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu secara bertentangan dengan
hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan
karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak.4

Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata. pada awalnya

memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran

legisme. Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum

4
Munir Fuady, Op.,Cit, hlm, 3-4.

19
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum

menurut Undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad) sama dengan melawan undang-undang (onwetmatige daad).

Menurut Salim H.S, perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan yang

Undang-undang (onrechtmatige) meiainkan juga apabila:

1. Melanggar hak orang lain.


Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak, tetapi hanya
hak-hak pribadi, seperti intregitas tubuh, kebebasab, kehormatan dan
Iain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolute serta kebendaan, hak
atas kekayaan intelektual (HAKI) dan sebagainya.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya.
Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan
Undang-undang.
3. Bertengan dengan kesusilaan.5
Artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan
sopan santun yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat
5. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain.

Dengan adanya arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum

menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya

perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, 6 yaitu (a) perbuatan yang

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, dan (b) melanggar hak subyektif

orang lain, 7 tetapi juga (c) perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak

5
Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003,
hlm. 8.
6
Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban
yang berdasarkan hukum, baik tertulis mapun tidak tertulis.
7
Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh
hukum kepada seseorang. Yurisprudensi memberi arti hak subyektif sebagai berikut:
a. Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;
b. Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya.
Suatu pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain merupakan perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan itu secara langsung melanggar hak subyektif orang lain, dan menurut pandangan dewasa
ini disyaratkan adanya pelanggaran terhadap tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis maupun tidak
tertulis yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan pembenar menurut hukum

20
tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila, 8 (d) kepatutan, ketelitian, dan

kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam

masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.

R. Wirjono Projodikoro mengartikan kata onrechtmatigedaad sebagai

perbuatan melanggar hukum. 9 Menurutnya perkataan “perbuatan” dalam rangkaian

kata-kata “perbuatan melanggar hukum” dapat diartikan positif melainkan juga

negatif, yaitu meliputi juga hal yang orang dengan berdiam diri saja dapat

dikatakan melanggar hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu

bertindak. Perbuatan negatif yang dimaksudkan bersifat “aktif yaitu orang yang

diam saja, baru dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar, bahwa

ia dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan

rubuhnya seseorang itu, melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak

dari pengertian “perbuatan” kini pun ada. Perkataan “melanggar” dalam rangkaian

kata-kata “perbuatan melanggar hukum” yang dimaksud bersifat aktif, maka

menurut beliau perkataan yang paling tepat untuk menterjemahkan

onrechtmatigedaad ialah perbuatan melanggar hukum karena istilah perbuatan

melanggar hukum menurut Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum yang

pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan hukum

adat.10

Subekti juga menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum dalam

8
Bertentangan dengan kaedah kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma-norma moral
sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum. Utrecht menulis bahwa yang
dimaksudkannya dengan kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam kemasyarakatan, vang
tidak merupakan hukum, kebiasaan atau agama.
9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm.l.
10
Ibid, hlm. 1

21
menerjemahkan BW, ini bisa dilihat pada terjemahan bahasa Indonesia untuk Pasal

1365. 11 Tenninologi “perbuatan melawan hukum” antara lain digunakan oleh

Mariam Darus Badruizaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 KUHPerdata

menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa

kerugian kepada seorang Iain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan

kerugian ini mengganti kerugian tersebut”

Selanjutnya dikatakan bahwa “Pasal 1365 KUHPerdata ini sangat penting

artinya karena melalui pasal ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh

Undang-undang. Menurut Sudargo Gautama istilah perbuatan melawan hukum

telah lama memusingkan para ahli hukum yang harus mempergunakan

Undang-undang. Dalam Hukum Barat, pengertian perbuatan melawan hukum

semakin lama memperlihatkan sifat semakin meluas. Semakin banyak

perbuatan-perbuatan yang dahulu tidak termasuk “melawan hukum” sekarang

termasuk istilah itu.12

Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan dikatakan

merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur:

a. Perbuatan

Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua

bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (diiakukan secara

aktir) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif atau tidak berniat

melakukannya).

b. Melawan Hukum
11
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2002, Cet. Ke-32, hlm. 346
12
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 48-49.

22
Perbuatan pada unsur pertama dikatakan memenuhi unsur kedua yaitu

melawan hukum apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain.

Melanggar hak subjektif orang lain berarti melanggar wewenang khusus

yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Sifat hakikat dari hak

subjektif wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang

yang memperolehnya demi kepentingannya. Karakteristik untuk hak

subjektif seseorang adalah:

a. Kepentingan yang mempunyai nilai tinggi terhadap yang bersangkutan

b. Pengakuan langsung terhadap kewenangan yang bersangkutan oleh

suatu Peraturan Perundang-undangan.

c. Suatu posisi pembuktian yang kuat dalam suatu perkara yang mungkin

timbul.

Hak Subjektif dalam masyarakat dikenal sebagai:

a. Hak kebendaan yang absolut, misalnya hak milik;

b. Hak-hak pribadi, seperti hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa

dan kehidupan, kebebasan pribadi, kehormatan dan nama baik.

c. Hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati rumah oleh penyewa

rumah.

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

Menurut pandangan yang berlaku saat ini, hukum diartikan sebagai suatu

23
keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang tertulis maupun yang tidak

tertulis. Yang dimaksud dengan suatu tindakan atau kelalaian yang

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adaiah suatu tingkah laku

yang bertentangan dengan suatu ketentuan Undang-undang. Yang

dimaksud dengan Undang-undang di sini adaiah semua peraturan yang sah

yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya ikat

keluar.

3. Bertentangan dengan kesusilaan

Kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial dalam masyarakat,

sepanjang norma tersebut di terima oleh anggota masyarakat sebagai atau

dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis.

4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian (patina).

Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang rasa dengan

lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak hanya mementingkan

kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain sehingga dalam

bertindak haruslah sesuai dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian

yang berlaku dalam masyarakat.

Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan,

yaitu:13

1. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;

2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain

berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.

13
R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina cipta, Bandung, 2000, hlm.82-83

24
Dalam hukum perdata dipersoalkan apakah ada perbedaan pengertian

antara kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melawan hukum disatu pihak dan

kerugian sebagai akibat dari tidak teriaksananya suatu perjanjian di lain pihak.

Pasal 1365 KUH Perdata menamakan kerugian akibat perbuatan melawan hukum

sebagai “scade” (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh Pasal 1246

KUHPerdata di namakan “Kosten, scaden en interessen (biaya, kerugian

dan bunga).

Penentuan ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata

menunjukkan segi-segi persamaan dengan penentuan ganti kerugian karena

wanprestasi, tapi juga dalam beberapa hal berbeda. Dalam Undang-undang tidak di

atur tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum,

sedang Pasal 1243 KUHPerdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian yang

harus dibayar karena wanprestasi.

Untuk penentuan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat

diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentuan tentang ganti

kerugian karena wanprestasi. Mengenai kerugian kekayaan iyermogenschade),

penggantian pada umumnya terdiri dari penggantian atas kerugian yang diderita

danjuga berupa keuntungan yang sekiranya dapat diharapkan diterimanya

(gederfdewinst). Sehubungan dengan hal tersebut tidaklah semudah diperkirakan

untuk menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut. Sebagai ketentuan

umum kiranya dapat digunakan kenyataan bahwa maksud dari kewajiban

memberikan ganti kerugian adalah untuk membawa si penderita sedapat mungkin

pada keadaan sekiranya tidak terjadi perbuatan melawan hukum.

25
e. Adanya huhungan kausal antara perbuatan dan kerugian

Unsur terakhir yang tidak kalah penting adalah adanya hubungan kausal

antara perbuatan dengan kerugian yang diderita. Pada unsur ini kerugian

yang diderita oleh korban haruslah benar-benar sebagai akibat dari

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh akibat perbuatan lain.

Ada dua ajaran yang berkaitan dengan hubungan kausal, yaitu:14

1. Teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri)


Inti dari ajaran ini yaitu: tiap-tiap masalah, yang merupakan syarat untuk
timbulnya suatu akibat, adalah sebab dari akibat. Misalnya A menyuruh B
untuk membeli suatu barang di toko seberang jalan, ketika menyeberang ia
ditabrak mobil yang dikendarai oleh C. Sebenarnya yang merupakan sebab
langsung terlukanya B adalah C, namun menurut Von Buri, kesalahan bisa
ditimbulkan pada semua pihak yang mengakibatkan kerugian, yaitu A yang
menyuruh B dan C yang menabrak B.
2. Teori Adaequate Veroorzaking (Von Kries)
Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab
dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat.
Dasar untuk menentukan “perbuatan yang seimbang” adalah perhitungan
yang layak, yaitu menurut akal sehat patut dapat di duga bahwa perbuatan
tersebut dapat menimbulkan akibat tertentu. Misalnya: A meminta B untuk
datang kerumahnya karena ia mengalami kesulitan dalam mengerjakan
tugas, dalam perjalanan kerumah A, B ditabrak oleh C sehingga
menyebabkan ia terluka parah dan dibawa kerumah sakit.

Menurut ajaran Von Kries, perbuatan yang dianggap sebagai sebab dari

terlukanya B adalah C yang menabrak bukan A yang meminta B datang

kerumahnya. Ketentuan tentang perbuatan melawan hukum, prinsip dasarnya

tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Artinya, setiap perbuatan yang melawan

hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain membebankan kewajiban ganti

rugi bagi pelaku yang bersalah. Kemudian dikembangkan doktrin-doktrin modern

tentang tanggung jawab mutlak. Akan tetapi, ada beberapa model


14
R.Setiawan, Op.,Cit, ,hlm.84

26
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam bentuk yang sama oleh

orang-orang tanpa terikat dengan dimensi ruang dan waktu, sehingga di sepanjang

sejarah hukum terciptalah model-model baku bagi perbuatan melawan hukum.

Meskipun begitu, jika ada perbuatan melawan hukum yang tidak termasuk ke

dalam kategori atau model tersebut, tetap saja dianggap sebagai perbuatan melawan

hukum sehingga si pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 1365 KUHPerdata.15

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan

hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (Pasal 1365);

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan atau tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian (Pasal 1366);

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (Pasal 1367).

Dalam hukum perdata di Indonesia ada 2 (dua) jenis gugatan perdata yang

menjadi dasar sebuah gugatan, yaitu perbuatan melawan hukum dan wanprestasi.

Pasal 1365 dan 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

menjadi dasar hukum atas gugatan tersebut. “Setiap perbuatan melanggar hukum

yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. (Pasal 1365

KUHPerdata) “majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain

untuk mewakili urasan-urasan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian

yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di

dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”. (Pasal 1367

15
Ibid, hlm. 14.

27
KUHPerdata).

Perbuatan melawan hukum menurut M.A. Moegini Djodjodirdjo, adalah

suatu perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, kalau:

bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban

hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau

bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan

masyarakat mengenai orang lain atau benda. Adalah kealpaan berbuat, yang

melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus

diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang. M.A.

Moegini Djodjodirdjo menjelaskan yang dimaksud:16

1. Bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan


kewenangan yang berasal dari suatu kaidah hukum, dimana yang diakui
dalam yurisprudensi, diakui adalah hak-hak pribadi seperti hak atas
kebebasan, hak atas kehormatan dan hak atas kekayaan.
2 Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah berbuat atau
melalaikan dengan bertentangan dengan kaharusan atau larangan yang
ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan
3. Melanggar kesusilaan yang baik adalah perbuatan atau mendalikan sesuatu
yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan, sepanjang norma
tersebut oleh pergaulan hidup di terima sebagai peraturan-peraturan hukum
yang tidak tertulis.
4. Bertentangan dengan peraturan yang diindahkan adalah bertentangan
dengan sesuatu yang menurut hukum tidak tertulis harus diindahkan dalam
masyarakat.

Akibat dari perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi

korban. Kerugian tersebut haras diganti oleh orang-orang yang dibebankan oleh

hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Segi yuridis konsep ganti rugi dalam

hukum dikenal dalam 2 (dua) bidang hukum yaitu sebagai berikut:


16
M.A. Moegini Djodjodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 2002, hlm.35.

28
1. Konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak.

2. Konsep ganti rugi karena perikatan berdasarkan Undang-undang termasuk

ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.17

Banyak persamaan antara konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak

dengan konsep ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Akan tetapi

perbedaannya juga banyak. Ada juga konsep ganti rugi yang dapat diterima dalam

sistem ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, tetapi terlalu keras jika

diberlakukan terhadap ganti rugi karena wanprestasi kontrak. Misalnya ganti rugi

yang menghukum yang dapat diterima dengan baik dalam ganti rugi karena

perbuatan melawan hukum, tetapi pada prinsipnya sulit diterima dalam ganti rugi

karena wanprestasi kontrak. Ganti rugi dalam bentuk hukum ini adalah ganti rugi

yang haras di berikan kepada korban dalam jumlah yang melebihi dari kerugian

yang nyata di derita.

Bentuk dari ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal

oleh hukum adalah sebagai berikut :

1. Ganti rugi nominal

Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang

mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang

nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang

tertentu sesuai rasa keadilan tanpa menghitung berupa sebenarnya kerugian

tersebut, inilah yang disebut ganti rugi nominal.

17
Ibid, hlm. 134.

29
2. Ganti rugi kompensasi

Ganti rugi kompensasi merupakan ganti rugi yang merapakan pembayaran

kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami

oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Karena itu, ganti

rugi seperti itu disebut juga dengan ganti rugi aktual. Misainya ganti rugi

atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban kehilangan keuntungan atau

gaji, sakit dan penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti, stress,

malu, jatuh nama baik dan Iain-lain.

3. Ganti rugi penghukuman

Ganti rugi penghukuman merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah yang

besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya

jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.

Ganti rugi penghukuman ini layaknya diterapkan terhadap kasus-kasus

kesengajaan yang berat dan sadis.

Bila ganti rugi karena perbuatan melawan hukum berlakunya lebih keras

sedangkan ganti rugi karena kontrak lebih lembut, itu adalah merapakan salah satu

ciri dari hukum di zaman modern, sebab di daiaitt dunia yang telah berperadaban

tinggi maka seseorang haruslah selalu bersikap waspada untuk tidak menimbulkan

kerugian kepada orang lain. Karena itu, bagi pelaku perbuatan melawan hukum

sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain haruslah mendapatkan hukuman

yang setimpal dalam bentuk ganti rugi.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merupakan kiblat hukum

perdata Indonesia, termasuk kiblatnya bagi hukum yang berkenaan dengan

30
perbuatan melawan hukum mengatur kerugian dan ganti rugi dalam hubungannya

dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut:

1. Ganti rugi umum

2. Ganti rugi khusus.

Yang dimaksud dengan ganti rugi umum daiam hal ini adalah ganti rugi

yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi kontrak

maupun kasus-kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya, termasuk karena

perbuatan melawan hukum. Ketentuan tentang ganti rugi yang umum ini oleh

KUHPerdata diatur dalam bagian keempat dari buku ketiga, mulai dari Pasal 1423

sampai dengan Pasal 1252, dalam hal ini untuk ganti rugi tersebut, KUHPerdata

secara konsisten untuk ganti rugi digunkan istilah:18

1. Biaya

2. Rugi

3. Bunga.

Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap Cost atau uang atau apa pun

yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang

dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari

tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

perbuatan melawan hukum misalnya, biaya perjalanan, komsumsi, biaya akta

notaris, dan Iain-lain. Kemudian yang dimaksud dengan rugi atau kerugian adalah

keadaan berkurang nilai kekakayaan kreditur sebagai akibat dari adanya

18
Ibid, hlm. 136.

31
wanprestasi dari kontrak atau sebagai suatu akibat dari tidak dilaksanakannya

perikatan lainnnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.

Sedangkan yang dimaksud dengan bunga adalah suatu keuntungan yang

seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya

wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan

iainnya termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum. Dengan

begitu, pengertian bunga dalam Pasal 1234 KUHPerdata lebih luas dari pengertian

bunga dalam istilah sehari-hari, yang hanya berarti bunga uang yang hanya

ditentukan persentase dari hutang pokok.

Selain dari ganti rugi umum yang diatur mulai dari Pasal 1243 KUHPerdata,

KUHPerdata juga mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti rugi khusus terhadap

kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan

ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum, selain dari ganti rugi

dalam bentuk yang umum, KUHPerdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi

terhadap hal-hal sebagai berikut:

1. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365)

2. Ganti rugi untuk perbuatan yang diiakukan oleh orang Iain (Pasal 1366 dan

Pasal 1367)

3. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368)

4. Ganti rugi pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369)

5. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggaikan oleh orang yang dibunuh

(Pasal 1370)

6. Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371)

32
7. Ganti rugi karena tindakan penghinaan Pasal 1372 sampai dengan Pasal

1380).19

Dalam KUHPerdata tidak dengan tegas atau bahkan tidak mengatur secara

rinci tentang ganti rugi tertentu, atau tentang salah satu aspek dari ganti rugi, maka

hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi tersebut sesuai dengan

asas kepatutan, sejauh hai tersebut memang dimintakan oleh pihak penggugat.

Justiflkasi terhadap kebebasan hakim ini adalah karena penafsiran kata biaya, rugi,

dan bunga tersebut sangat luas dan dapat mencakup hampir segala hai yang

bersangkutan dengan ganti rugi.

Menurut KUHPerdata ketentuan tentang ganti rugi karena akibat dari

perbuatan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena

wanprestasi terhadap kontrak. Persyaratan-persyaratan terhadap ganti rugi menurut

KUHPerdata, khususnya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah

sebagai berikut:

1. Komponen kerugian

Komponen dari suatu ganti rugi terdiri dari:

a. Biaya

b. Rugi

c. Bunga

2. Strating point dari ganti rugi

Starting point atau saat dimulainya dihitung adanya ganti rugi adalah

sebagai berikut:

19
Ibid, hlm.l37-138.

33
a. Pada saat dinyatakan wanprestasi debitur tetap melalaikan

kewajibannya ataupun,

b. Jika prestasinya adalah sesuatu yang harus diberikan, sejak saat

dilampauinya tenggang waktu dimana sebenarnya debitur sudah dapat

membuat atau memberikan prestasi tersebut.

3. Bukan karena alasan force majeure

Ganti rugi baru dapat diberikan kepada pihak korban jika kejadian yang

menimbulkan kerugian tersebut tidak tergolong kedalam tindakan force

majeure.

4. Saat terjadinya kerugian

Suatu ganti rugi dapat diberikan terhadap kerugian sebagai berikut:

a. Kerugian yang telah benar-benar dideritannya.

b. Terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatan

yang sediannya dapat dinikmati oleh korban.

5. Kerugian dapat diduga

Kerugian yang wajib diganti oleh pelaku perbuatan melawan hukum adalah

kerugian yang dapat di duga terjadinya. Maksudnya adalah bahwa kerugian

yang timbui tersebut haruslah diharapkan akan terjadi, atau patut didugakan

terjadi, dugaan mana sudah ada pada saat dilakukannya perbuatan melawan

hukum tersebut.20

20
41 Ibid, hlm. 139-140

34
B. Hukum Waris

Banyak istilah waris yang sering didengar. Hingga saat ini tidak ada

keseragaman pengertian, ada yang memakai istilah hukum kewarisan, hukum waris

dan hukum warisan. Di bawah ini akan diuraikan pengertian istilah yang dipakai

dalam uraian selanjutnya dalam hubungannya dengan unsur-unsur hukum waris,

yaitu:

1. Pewaris

Adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang (akan) dibagi-bagikan

kepada para waris setelah wafat.21

2. Ahli Waris

Adalah orang yang berhak mendapat harta warisan.22

3. Waris

Istilah ini berarti orang yang mendapat harta warisan atau berhak mendapat

pusaka (peninggalan).23

4. Warisan

Istilah ini sebaiknya digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan

dibagi-bagikan kepada para waris yaitu; harta peninggalan, harta pusaka,

surat wasiat, bangunan rumah dan alat perlengkapan lainnya. 24

5. Proses Pewarisan

Adalah suatu proses penerusan harta peninggalan atau warisan dari pewaris

21
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 213.
22
Ibid, hlm. 214
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 213

35
kepada ahli warisnya.25

Hukum Waris merupakan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang di

dalamnya mengatur proses beralihnya hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan

seseorang, baik berupa barang-barang harta benda yang berwujud, maupun yang

tidak berwujud pada waktu wafatnya kepada orang lain yang masih hidup. Dalam

kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang adat istiadat, peraiihan hak

dan kewajiban tersebut dalam proses peralihannya dan kepada siapa dialihkan, serta

kapan dan bagaimana cara pengalihannya diatur berdasarkan hukum waris adat.

Ter Haar dalam buku Soerojo Wignjodipoero menyatakan bahwa hukum

adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses

yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan

pengoperan kekayaan materiel dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi

berikutnya.26 Selanjutnya, Soerojo Wignjodipoero memperjelas bahwa hukum adat

waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang

materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat

diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan

proses peralihannya.27

Sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang

warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman

Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat

garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta

warisan, pewaris, dan Waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
25
Ibid., h. 215
26
Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, hlm. 161.
27
ibid

36
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada Waris.28

Dalam hal ini kelihatan adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses

penerusan harta, baik material maupun non material dari suatu generasi kepada

keturunannya. Dijelaskan juga, dari pandangan hukum adat pada kenyataannya

sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris wafat

dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas

bendanya oleh pewaris kepada waris.

Sebelum membahas masalah pewarisan lebih lanjut, perlu mengetahui

terlebih dahulu beberapa hal pokok di antaranya adalah : sistem pewarisan, bentuk

dan asal harta warisan, para ahli waris dan proses pewarisan. Sistem pewarisan

yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren Saragih adalah :

(1) sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi-bagikan,

(2) sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.

Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat yang

bilateral seperti di Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada

masyarakat unilateral. Sistem kedua dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem

pewarisan kolektif dan sistem pewarisan mayorat. Sistem pewarisan kolektif, harta

peninggalan dilihat sebagai keseluruhan dan tidak terbagi-bagi dimiliki

bersama-sama oleh para ahli waris, seperti pada masyarakat Minangkabau dan

Ambon. Sistem Pewarisan mayorat, harta peninggalan secara keseluruhan tidak

dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua. Dalam sistem pewarisan

28
Hilman Adikusuma, op. Cit, hlm. 7.

37
mayorat, ada yang bersifat mayorat laki-laki yang berarti harta peninggalan jatuh ke

tangan anak laki-laki tertua dan mayorat perempuan di maana harta peningglan

jatuh ke tangan anak perempuan yang tertua.29

Menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero dijumpai tiga sistem pewarisan

dalam hukum adat di Indonesia, yaitu:

(1) Sistem kewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagi di

antara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa,

(2) Sistem kewarisan kolektif, cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh

sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam bidang

hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh

dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya

boleh dibagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak

pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau,

(3) Sistem kewarisan mayorat, cirinya harta peninggalan diwarisi

keseluruhannya atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali di mana

terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo

Sumatera Selatan dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang

tertua.30

Tentang sistem pewarisan individu, kolektif dan mayorat pada prinsipnya

Hilman Hadikusuma mengemukakan pendapat yang sama hanya ditambahkannya

bahwa sistem individual banyak berlaku di kalangan masyarakat yang sistem

kekerabatannya parental sebagaimana di kalangan masyarakat adat Jawa atau juga

29
Djaren Saragih, Op. Cit, hlm. 163
30
Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, hlm. 165.

38
di kalangan masyarakat adat lainnya. 31 Kebaikan sistem pewaris individual, waris

dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan tanpa dapat dipengaruhi

anggota keluarga yang lain. Kelemahannya, pecahnya harta wari55an dan

merenggangnya tali kekerabatan serta timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan

secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.

Selanjutnya, kebaikan sistem pewarisan kolektif tampak apabila fungsi

harta kekayaan digunakan untuk kelangsungan hidup keluarga besar itu pada masa

sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperan, tolong menolong antara yang

satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab

masih tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Kelemahan sistem tersebut

dapat menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit kurang terbuka bagi orang

luar, sulit mencari kerabat yang kepemimpinannya bisa diandalkan, di samping rasa

setia kawan dan rasa setia kerabat semakin bertambah luntur. Sistem pewarisan

mayorat sebenamya merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya saja penerusan

hak diberikan kepada anak tertua sebagai pemimpin keluarga, menggantikan ayah

dan ibunya. la hanya berkedudukan sebagai pemegang mandat, dan bukan pemilik

harta secara perseorangan. Kebaikan sistem ini terletak pada kepemimpinan anak

tertua, bila ia penuh tanggung jawab maka keutuhan dan kerukunan keluarga dapat

dipertahankan, sedangkan kelemahannya bila terjadi sebaliknya.

31
Hilman hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1997, hlm. 24

39
C. Posisi Kasus Perkara Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Perkara

Perdata No. 290/PDT.G/2013/PN.Mdn

Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 24 Mei 2013 yang terdaftar

tertanggal 24 Mei 2013 yang terdaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Medan pada tanggal 27 Mei 2013 telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tjin Weng Seng dan Ho Chun Meng adalah merupakan suami isteri yang

sah menurut hukum sesuai pertikan perkawinan untuk bangsa Tionghoa di

Medan No.602 tanggal 27 November 1952.

2. Hasil perkawinan Tjin Weng Seng dan Ho Chun Meng, telah lahir 8

(Delapan) orang anak yakni 6 (Enam) orang Laki-Laki dan 2 (Dua) orang

Perempuan, yaitu: Tjin Man On (penggugat-I), Tjin Jin On (penggugat-II),

Tjin Ji On (penggugat-III), Tjin Kim On (penggugat-IV), Tjin Fuk On

(penggugat-V), Tjin Kun Jing (penggugat-VI), Tjin Kie On

(penggugat-VII).

3. Kedua orang tua para penggugat dan tergugat telah meninggal dunia, yaitu

Tjin Weng Seng meninggal dunia di Singapura pada tanggal 21 Maret 1982

sesuai Surat Keterangan Kepala Dinas Kesehatan Kotamadya Daerah

Tingkat II Medan No. 548 tanggal 26 Maret 1982 dan Ho Chun Meng

meninggal dunia pada tanggal 10 Mi 2009 sesuai Kutipan Akta Kematian

No. 763/TJ/MDN/2009 tanggal 07 Agustus 2009.

4. Sesuai dengan Surat Keterangan Ahli Waris No. 22/SKAW/X/2010 tanggal

07 Oktober 2010, maka seluruh anak-anak dari Aim. Tjin Weng Seng

dengan isterinya Alm. Ho Chun Meng adalah merupakan Ahli WTaris yang

41
sah.

5. Sewaktu masa hidupnya Tjin Weng Seng dan Ho Chun Meng, atas dasar

pencaharian bersama ada memperoleh/memiliki harta kekayaan sebagai

harta bersama dalam perkawinan, berupa sebidang tanah seluas 77 M

berikut bangunan rumah permanent diatasnya, yang terletak di Jl. Sutrisno

Gg. D No. 26-D, Kelurahan Kota Matsum I, Kecamatan Medan Area. Kota

Medan sesuai dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 23, Surat Ukur

No. 2736/1991 tanggal 27 Juli 1991, tercatat atas nama Ho Chun Meng.

6. Meninggalnya Aim. Tjin Weng Seng pada tanggal 21 Maret 1982, maka

demi hukum harta menjadi milik bersama seluruh ahli waris yaitu isteri Ho

Chun Meng berserta para Penggugat dan Tergugat-I.

7. Sewaktu masa hidupnya Aim. Ho Chun Meng (Ibu para Penggugat dan

Tergugat I), ada menyuruh Tjin Jin On (Penggugat II) dan atas

pengetahuan/persetujuan ahli waris lainnya, untuk menempati rumah objek

terperkara dan karenanya tindakan Penggugat II dalam menempati rumah

objek terperkara hingga dibagi diantara para Ahli Waris adalah dibenarkan

menurut hukum.

8. Dengan meninggalnya Aim. Ho Chun Meng dan belum pernah dilakukan

pembagian waris terhadap harta peninggalan orang tua para penggugat dan

tergugat I, maka tanah dan bangunan rumah permanen yang ada diatasnya

adalah merupakan harta peninggalan (Boedel Waris) dari Aim. Ho Chun

Meng dan Aim. Tjin Weng Seng yang belum dibagi diantara ahli waris,

yaitu para Penggugat dan Tergugat-I.

42
9. Ternyata, sebelum Ho Chun Meng meninggal dunia pada tahun 2009 dan

ketika diusia sudah tua dan sakit-sakit (Stroke Berat), tergugat I (Tjin Koen

Oi-sebagai pembeli) dengan Ibu para Penggugat I s/'d VII dan Tergugat I

(Aim. Ho Chun Meng-sebagai penjual) telah melakukan perbuatan hukum

berupa Akta Pengikatan Jual Beli No. 6 tanggal 5 Mei 2007 dan Akta Jual

Beli No. 12 tanggal 10 Mei 2007, tanpa sepengetahuan dan persetujuan ahli

waris lainnya (Penggugat I s/d Penggugat VII), sehingga bertentangan

dengan ketentuan hukum yang berlaku.

10. Kemudian berdasarkan Akta Jual Beli No. 12 tanggal 10 Mei 2007, dimana

dalam melakukan jual beli atas objek terperkara, Tergugat I, bertindak

sebagai kuasa Ho Chun Meng berdasarkan Pasal 5 Akta Pengikatan Jual

Beli No. 6 tanggal 5 Mei 2007 selaku penjual (Pihak Pertama), menjual

kepada dirinya sendiri, Tjin Koen Oi/ Tergugat I selaku pembeli (Pihak

Kedua), sehingga Tergugat I (Tjin Koen Oi) ada dalam 2 (Dua) kedudukan

hukum/kapasitas dan tidak dibenarkan menurut hukum.

11. Selanjutnya, atas dasar Akta Jual Beli No. 12 tanggal 10 Mei 2007 tersebut

diatas, Tergugat I (Tjin Koen Oi) mengurus lagi nama atas objek terperkara

dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 23 ke atas nama Tergugat I (Tjin

Koen Oi) pada Tergugat III, Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan

Kota Medan, sehingga Tergugat III dalam menerbitkan Sertifikat Hak Guna

Bangunan No. 23 maupun Sertifikat Hak Milik No. 2104 ke atas nama Tjin

Koen Oi (Tergugat I) tanpa penelitian data fisik, data juridis dan data

historis yang akurat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

43
hukum.

12. Dalam menjalankan profesinya tergugat II Suriaty Sandery Tania sebagai

Notaris/PPAT dalam membuat Akta Pengikatan Jual Beli No. 6 tanggal 05

Mei 2007 dan Akta Jual Beli No. 12 tanggal 10 Mei 2007 adalah

bertentangan dengan hukum, karena tidak menanyakan/mengikut sertakan

Penggugat I s/d Penggugat VII sebagai pihak ataupun untuk mengetahui

dan menyetujui pelaksanaan perbuatan hukum tersebut, sehingga

mempunyai cacat hukum dan patut untuk dinyatakan batal dan tidak

berkekuatan menurut hukum, karena atas pengalihan hak tersebut jelas

merugikan para Penggugat, berupa menghilangkan hak mewaris atas objek

terperkara.

13. Perbuatan Tergugat III yang menerbitkan/balik nama Sertifikat Hak Guna

Bangunan No. 23 tanggal 07 Agustus 1991 dari nama Ho Chun Meng ke

atas nama Tergugat I (Tjin Koen Oi), bahkan Tergugat III menerbitkan

peningkatan Hak Tergugat I menjadi Sertifikat Hak Milik No. 2104, atas

nama Tjin Koen Oi atas dasar perbuatan yang cacad hukum adalah

perbuatan melawan hukum.

14. Atas dasar surat-surat yang cacat hukum dimaksud, Tergugat I telah

mengkomplin objek terperkara sebagai miliknya, sehingga Tergugat I

menyuruh Tjin Jin On (penggugat II) keluar dan mengosongkan rumah

(terperkara) dan mengadukan pada Poltabes Medan sesuai Laporan Polisi

No. LP/1804/VII/2010/SU/Tabes tanggal 15 Juli 2010, namun setelah

44
disidangkan ditolak oleh Pengadilan Negeri Medan.32

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka mohon kepada Ketua

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar

rnemanggii para pihak yang berperkara untuk datang pada suatu hari dan waktu

yang ditetapkan untuk itu dan mengambil keputusan yang dalam amarnya berbunyi

sebagai berikut:

1. Menggabulkan Gugatan Penggugat-I, II, III, IV, V, VI dan Penggugat VII

untuk seluruhnya;

2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum Surat Ahli Waris No.

22/SKAW/X/2010 tanggal 07 Oktober 2010, yang diperbuat dihadapan

Tjong Deddy Iskandar, SH. Notaris di Medan;

3. Menyatakan Para Penggugat dan Tergugat-I (Tjin Man On, Tjin Jinon, Tjin

Kim On, Tjin Fuk On, Tjin Kun Jing, Tjin Kei On dan Tjin Koen Oi) adalah

merupakan Ahli Waris yang sah dari Aim. Tjin Weng Seng dan Aim. Ho

Chun Meng;

4. Menyatakan tanah seluas 77 M2 berikut bangunan rumah permanen

diatasnya yang terletak di Jl. Sutrisno Gg. D No. 26-D, Kelurahan Kota

Matsum I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan adalah merupakan harta

peninggalan dari Aim. Tjin Weeng Seng dan Aim. HO Chun Meng dan

merupakan hak bersama para ahli waris, yaitu masing-masing para

Penggugat dan Tergugat mendapatkan bagian sebesar 1/8 (Satu Per

Delapan);

32
Berkas Perkara No. 290/PDT.G/2013/ PN.Mdn, hlm. 3-8

45
5. Menyatakan Sah dan Berharga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang

diletakkan dalam perkara ini;

6. Menyatakan penempatan rumah objek terperkara yang terletak di Jalan

Sutrisno Gg. D No. 26- D Medan oleh Penggugat-II (Tjin jin On) atas

amanah orang tua Para Penggugat dan Tergugat-I (Ho Chun Meng) dengan

persetujuan para ahli waris lainnya adalah beralasan dan dibenarkan

menurut hukum hinggga objek Terperkara dibagi kemudian diantara para

ahli waris Aim. Tjin Weng Seng dan Aim. Ho Chun Meng ;

7. Menyatakan Perbuatan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III melakukan

perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad);

8. Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng untuk mengganti biaya

honor Pengacara/Advokat kepada para Penggugat sebesar

Rp.50.000.000,-(Lima Puluh Juta Rupiah), setelah putusan dalam perkara

ini sekaligus dan seketika:

9. Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang

paksa (Dwang Soom) sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah)

perhari, terhitung sejak Putusan berkekuatan hukum tetap hingga

dilaksanakan dalam perkara ini;

10. Menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum Akta Pengikatan Jual

Beli No. 6 tanggal 5 Mei 2007 yang diperbuat dihadapan Suriaty Sandery

Tania, SH., Notaris/PPAT di Medan ;

11. Menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum Akta Jual Beli No. 12

tanggal 10 Mei 2007, yang diperbuat dihadapan Suriaty Sandery Tania,

46
SH., Notaris/PPAT di Medan;

12. Menghukum Tergugat-I ataupun Pihak lain yang mendapat hak dari

padanya, untuk mengembalikan objek terperkara menjadi Budel Warisan

Aim. Tjin Weng Seng dan HO Chun Meng ;

13. Menyatakan Perbuatan Balik Nama atas Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

23 dari atas nama Ho Chun Meng ke atas nama Tjin Koen Oi maupun

peningkatan menjadi Sertifikat Hak Milik No. 2104 atas nama Tjin Koen Oi

(Tergugat I) adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum dan

karenanya beralasan untuk menyatakan batal dan tidak berkekuatan

menurut hukum;

14. Memerintahkan Tergugat-IH untuk merubah Sertifikat Hak Milik No. 2104

menjadi ke atas nama masing-masing ahli waris Tjin Weng Seng dan Ho

Chun Meng yaitu Para Penggugat dan Tergugat-I;

15. Menyatakan segala surat-surat yang terbit atas nama Tergugat-I ataupun

pihak lain atas objek terperkara tidak sah menurut hukum;

16. Menyatakan Putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan secara serta

merta (Uitvoerbaar bij voorraad), kendati pun ada Verzet, Banding maupun

Kasasi;

17. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III secara tanggung renteng

untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini

Setelah Majelis hakim mempelajari gugatan para pengugat pada intinya

sebagai berikut:

1. Tjin Weng Seng dan Ho Chun Meng atas dasar pencarian berasma ada

47
memperoleh/memiliki harta bersama selama perkawinan sebidang tanah

seluas 77 M berikut bangunan rumah permanent diatasnya, yang terletak di

jalan sutrisno Gg. D No 26-D Kelurahan Kota Matsun I Kecamatan Medan

Area Kota medan

2. Setelah meninggal orang tua para pengugat dan tergugat I maka demi

hukum harta peninggalan orang tua pengugat dan tergugat I tersebut

menjadi Boedel warisan selurush para ahli waris yang belum dibagi.

3. Ternyata sebelum Ho Chun Meng meninggal dunia, dalam keadaan sakit

telah terjadi jual beli antara ibu para pengugat dengan tergugat I tanpa

sepengetahuan anak-anaknya yang lain.

4. Selanjutnya oleh tergugat I atas dasar akta jual beli No. 12 tanggal 10 Mei

2007membalik namakan sertitikat Hak Guna Bangunan No. 23 keatas nama

tergugat I Tjin Koen Oi pada tergugat III dan selanjutnya dilanjutkan

statusnya dengan sertitikat hak milik No. 2014 ke atas nama Tjin Koen Oi.

5. Atas dasar tersebut selanjutnya Tjin Koen Oi menyuruh Tjin Jin On agar

keluar dari rumah objek sengketa.

Adapun Pertimbangan Majelis Hakim dalam Memutuskan Perkara Perdata

No. 290/PDT.G/2013/PN.Mdn dalah sebagai berikut:

1. Petitum 2 dan 3

a. Setelah orang tua para pengugat dan tergugat I meninggal dunia, anak-

anaknya telah mengurus surat ahli waris dan berdasarkan bukti surat

keterangan ahli waris Nomor 22/SKAW/X/2010 tanggal 07 Oktober

2010 yang menerangkan bahwa para pengugat dan tergugat I adalah

48
merupakan ahli waris dari Alm. Ho Chun Meng.

b. Hal tersebut tidak ada disangkal oleh para tergugat.

2. Petitum4

a. Semasa hidupnya Tjin Weng Seng dan Ho Chun Meng atas dasar

pencarian bersama ada memiliki kekayaan harta bersama dalam

perkawinan berupa sebidang tanah seluas 77 M2 berikut bangunan

rumah permanen diatasnya, yang terletak jalan sutrisno Gg. D No 26-D

Kelurahan Kota Matsun T Kecamatan Medan Area Kota Medan, sesuai

dengan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 23 surat ukur No. 2736/1991

tanggal 27 Juli l991.

b. Ternyata terhadap tanah/rumah tersebut telah dilakukan pengikatan jual

beli No. 6 tanggal 5 Mei 2007 dan akta jual beli No. 12 tanggal 10 Mei

2007.

c. Jual beli tersebut dilakukan antara ibu dan anak yakni Ho Chun meng

dengan Tjin Koen Oi

d. Jual beli tersebut dilakukan pada waktu Ho Chun Meng sakit sakitan

e. Di dalam hal ini timbul keraguan dan pertanyaan besar, mungkinkah

dapat dilakukan jual beli antara ibu dan anak dan tampa diketahui dan

disetujui anak yang lainnya dan lagi pula ibu tersebut dalam keadaan

sakit

f. Anak merupakan pewaris bagi orang tuannya apabila kelak orang

tuannya meningal dunia.

g. Menyadari tanggung jawab si anak apabila orang tuanya sakit-sakitan,

49
begitu juga sebaliknya dan apabila anak tersebut jasanya lebih besar

terhadap orang tuannya, sebaiknya bukanlah dilakukan jual beli akan

tetapi merupakan hibah atau membuat wasiat semasa hidupnya kepada

anak-anaknya.

h. Ternyata berdasarkan akta jual beli tersebut oleh tergugat I telah

membalikkan nama tanah dan bangunan tersebut keatas nama tergugat I

Pertimbangan Majelis Hakim mengadili Perkara No. 290/PDT.G/2013/

PN.Mdn:

Dalam Eksepsi: menolak eksepsi tergugat III

Dalam pokok perkara:

Dalam Konpensi:

1. Mengabulkan gugatan pengugat I, II, III, IV, V,VI, VII untuk sebagian

2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum suratahli waris No.

22/SKAW/X/2010, tanggal 07 Oktober 2010 yang diperbuat dihadapan

Tjong deddy Iskandar di Medan.

3. Menyatakan para pengugat dan tergugat I adalah merupakan ahli waris yang

sah dari Alm Tjin Weng Seng dan Hi Chun Meng

4. Menyatakan tanah seluas 77 M2 berikut bangunan rumah pemanen di

atasnya yang terletak di jalan sutrisno Gg. D No 26-D Kelurahan Kota

Matsun I Kecamatan Medan Area Kota Medan adalah merupakan harta

peninggalan dari Alm Tjin Weng Seng dan Aim. Ho Chun Meng dan

merupakan hak bersama para ahli waris, yaitu masing-masing para

pengugat dan tergugat I mendapat bagian sebesar 1/8 (satu per delapan).

50
5. Menyatakan penempatan rumah objek terpekara yang

terletak di sutrisno Gg. D No 26-D Kelurahan Kota Matsun I Kecamatan

Medan Area Kota Medan oleh pengugat II atas amanah orang tua para

pengugat dan tergugat I dengan eprsetujuan para ahli waris lainnya adaiah

berasalasan dan dibenarkan menurut hukum hinggga objek Terperkara

dibagi kemudian diantara para ahli waris Aim. Tjin Weng Seng dan Aim.

Ho Chun Meng

6. Menyatakan Perbuatan Tergugat-I, Tergugat-II dan Tergugat-III melakukan

perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) ;

7. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang

paksa () sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) perhari, apabila lalai

melaksanakan isi putusan, terhitung sejak Putusan berkekuatan hukum tetap

hingga dilaksanakan dalam perkara ini;

8. Menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum Akta Pengikatan Jual

Beli No. 6 tanggal 5 Mei 2007 yang diperbuat dihadapan Suriaty Sandery

Tania, SH., Notaris/PPAT di Medan;

9. Menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum Akta Jual Beli No. 12

tanggal 10 Mei 2007, yang diperbuat dihadapan Suriaty Sandery Tania,

SH., Notaris/PPAT di Medan;

10. Menghukum Tergugat-I ataupun pihak lain yang mendapat hak dari

padanya, untuk mengembalikan objek terperkara menjadi Budel Warisan

Alm. Tjin Weng Seng dan HO Chun Meng;

11. Menyatakan Perbuatan Balik Nama atas Sertifikat Hak Guna

51
Bangunan No. 23 dari atas nama Ho Chun Meng ke atas nama Tjin Koen

Oi maupun peningkatan menjadi Sertifikat Hak Milik No. 2104 atas nama

Tjin Koen Oi (Tergugat I) adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum

dan karenanya beralasan untuk menyatakan tidak berkekuatan menurut

hukum.

Dalam rekonpensi:

1. Menolak gugatan pengugat dalam rekonpensi/tergugat I dalam konpensi

untuk seluruhnya

2. Biaya perkara nihil.

52

Anda mungkin juga menyukai