Anda di halaman 1dari 6

https://www.jogloabang.

com/pustaka/uu-27-2007-pengelolaan-wilayah-pesisir-
pulau-pulau-kecil

https://www.jogloabang.com/ekbis/permenkp-242019-tata-cara-izin-lokasi-
pengelolaan-perairan-wp3k

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil
Menurut Undang-Undang Pesisir (UU No 27 tahun 2007), pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara
berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan perairan pesisir
diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yakni hak atas
bagian- bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan,
serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
HP3 yang dimaksud meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air
sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 dapat diberikan kepada Orang
perseorangan warga negara Indonesia; Badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia; atau Masyarakat Adat. HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20
(dua puluh) tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang tahap kesatu paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan tahap kedua diperpanjang sesuai dengan peraturan
perundangundangan. HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang
dengan dibebankan hak tanggungan. HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
HP-3 berakhir karena jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi,
ditelantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.
Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dilakukan dengan pemberian Hak Atas Tanah
pada:
1. pantai; dan
2. perairan pesisir yang diukur dari garis pantai kearah laut sampai sejauh batas
laut wilayah provinsi.

Pemberian Hak Atas Tanah pada wilayah pesisir hanya dapat diberikan untuk
bangunan yang harus ada di Wilayah Pesisir pantai, antara lain:
a. bangunan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan;
b. pelabuhan atau dermaga;
c. tower penjaga keselamatan pengunjung pantai;
d. tempat tinggal masyarakat hukum adat atau anggota masyarakat yang secara
turun-temurun sudah bertempat tinggal di tempat tersebut; dan/atau
e. pembangkit tenaga listrik.

Wilayah Pesisir tidak dapat diberikan Hak Atas Tanah, dalam hal merupakan:
a. bangunan yang terletak diluar batas wilayah laut provinsi;
b. instalasi eksplorasi dan atau eksploitasi minyak bumi, gas, pertambangan,
panas bumi;
c. instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa, dan jaringan transmisi lainnya;
dan/atau
d. bangunan yang terapung.

Pemberian Hak Atas Tanah di Pulau-Pulau Kecil harus memperhatikan ketentuan


sebagai berikut:
a. penguasaan atas pulau-pulau kecil paling banyak 70% (tujuh puluh persen)
dari luas pulau, atau sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah
provinsi/kabupaten/kota dan/atau rencana zonasi pulau kecil tersebut;
b. sisa paling sedikit 30% (tiga puluh persen) luas pulau kecil yang ada dikuasai
langsung oleh negara dan digunakan dan dimanfaatkan untuk kawasan
lindung, area publik atau kepentingan masyarakat; dan
c. harus mengalokasikan 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau untuk kawasan
lindung
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin
Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Izin Lokasi Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Izin Lokasi Perairan)
adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap dari sebagian
perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Pelaku Usaha yang melakukan
pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir secara menetap wajib memiliki Izin
Lokasi Perairan berdasarkan Rencana Zonasi. Rencana Zonasi tersebut adalah:
1. Rencana Zonasi KSN;
2. Rencana Zonasi KSNT;
3. Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
4. rencana pengelolaan dan Rencana Zonasi Kawasan Konservasi.
Pelaku Usaha yang dimaksud adalah:
a. orang-perseorangan warga negara Indonesia;
b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.

Izin Lokasi Perairan diberikan dengan batas luasan untuk:


a. orang perseorangan dalam 1 (satu) provinsi paling luas 10 (sepuluh) kali dan
seluruh Indonesia paling luas 20 (dua puluh) kali dari luasan Izin Lokasi
Perairan;
b. Korporasi dan Koperasi dalam 1 (satu) provinsi paling luas 10 (sepuluh) kali
dan seluruh Indonesia paling luas 20 (dua puluh) kali dari luasan Izin Lokasi
Perairan;
c. Korporasi dan koperasi di:
1. Perairan Pulau Jawa paling luas 10 (sepuluh) kali dari batas luasan Izin
Lokasi Perairan
2. luar Perairan Pulau Jawa paling luas 20 (dua puluh) kali dari batas
luasan Izin Lokasi Perairan
d. Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a mengajukan permohonan kepada Menteri melalui
Lembaga OSS (Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single
Submission).

Izin Lokasi Perairan berlaku sampai dengan berakhirnya Izin Pengelolaan Perairan,
izin pelaksanaan Reklamasi, atau Izin Usaha sektor lain. Dalam hal Izin Pengelolaan
Perairan, izin pelaksanaan Reklamasi, atau Izin Usaha sektor lain yang menggunakan
perairan secara menetap belum diterbitkan, maka Izin Lokasi Perairan berlaku untuk
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diterbitkan.

Izin Pengelolaan Perairan berlaku selama:


a. 10 (sepuluh) tahun untuk kegiatan produksi garam;
b. 20 (dua puluh) tahun untuk kegiatan Wisata Bahari;
c. 10 (sepuluh) tahun untuk kegiatan pemanfaatan air laut selain energi;
d. 20 (dua puluh) tahun untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam perairan
di Kawasan Konservasi nasional.
Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan selain kegiatan diatas, yang diterbitkan
sektor lain yang menggunakan perairan secara menetap masa berlakunya sesuai
peraturan perundang-undangan.

Izin Pengelolaan Perairan berakhir apabila:


a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang;
b. dikembalikan oleh Pelaku Usaha;
c. dicabut izinnya;
d. dibatalkan izinnya; atau
e. perairannya menjadi daratan.

Kewajiban memiliki Izin Lokasi Perairan dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat.
Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan oleh bupati/wali kota dapat
mengusulkan ruang perairan sebagai wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat ke
dalam Rencana Zonasi. Pemanfaatan ruang dan sumberdaya Perairan Pesisir dan
pulau–pulau kecil oleh Masyarakat Hukum Adat wajib mempertimbangkan
kepentingan nasional dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


8/PERMEN-KP/2018 Tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat
Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Ruang Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun


bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan
hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Wilayah Masyarakat Hukum Adat atau Wilayah Kelola adalah ruang
perairan yang sumber daya lautnya dimanfaatkan oleh Masyarakat Hukum Adat dan
menjadi wilayah pertuanan Masyarakat Hukum Adat. Pemanfaatan ruang dan
sumber daya Perairan Pesisir dan Perairan Pulau-Pulau Kecil pada Wilayah Kelola
oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat
setempat. Terhadap anggota dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang telah tinggal
dan menetap di Wilayah Pesisir secara turun temurun, dapat diberikan Hak Atas
Tanah tanpa harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. peruntukannya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi/
kabupaten/kota, atau rencana zonasi Wilayah Pesisir;
b. mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam hal
belum diatur mengenai peruntukan tanah dalam RTRW; dan
c. memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait

Masyarakat Hukum Adat mendapatkan pengakuan dan perlindungannya oleh


bupati/wali kota. Masyarakat Hukum Adat dapat mengusulkan Wilayah Kelolanya
melalui bupati/wali kota ke dalam:
a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) kepada
Gubernur; dan
b. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), Rencana Zonasi
Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), dan Rencana Zonasi (RZ)
antarwilayah, kepada Menteri.

Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dapat dilakukan


melalui tahapan:
a. identifikasi;
b. verifikasi dan validasi;
c. penetapan; sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Tahapan identifikasi, tahapan verifikasi dan validasi dilakukan oleh Tim Masyarakat
Hukum Adat yang terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan; Dalam Negeri;
pakar; tokoh masyarakat; Pemerintah Daerah provinsi; dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota. Bupati/wali kota melakukan penetapan pengakuan dan
perlindungan Masyarakat Hukum Adat berdasarkan hasil verifikasi dan validasi

Anda mungkin juga menyukai