Anda di halaman 1dari 9

Tugas PerUU/KPP&KESMAVET

PERSYARATAN LALU LINTAS TERNAK

Oleh

andi lingga batari (I011191142)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan. Sehingga, angkutan ternak dari


sentra produksi ke sentra konsumsi menggunakan lebih dari satu moda
transportasi. Pola yang demikian merupakan pola multi moda. Angkutan
multimoda didalam Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 tentang angkutan
multimoda yang didefinisikan bahwa angkutan multimoda adalah angkutan
barang dengan menggunakan paling sedikit 2 moda angkutan yang berbeda atas
dasar 1 kontrak sebagai dokumen angkutan multimoda dari satu tempat
diterimanya barang oleh badan usaha angkutan multimoda ke suatu tempat yang
ditentukan untuk penyerahan barang kepada penerima barang angkutan
multimoda (Winarso, 2015).
Sarana transportasi ternak menggunakan transportasi darat yaitu truk dan
kereta api serta transportasi laut. Selama transportasi dari Jawa Timur dan Jawa
Tengah menuju Jawa Barat dan DKI Jakarta ternak sapi yang diangkut mengalami
susut berat badan sekitar 5% dan untuk tenak sapi yang diangkut dari luar Jawa
(NTT dan NTB) dengan tujuan yang sama mengalami susut sekitar 10,5%.
Angkutan ternak dari NTT dan NTB ke sentra konsumsi Jawa Barat dan DKI
menggunakan multi moda transportasi. Dari peternak ke pasar hewan hingga
masuk karantina di pelabuhan menggunakan angkutan truk. Kemudian dari
pelabuhan Tenau di Kupang-NTT dan pelabuhan Lembar-NTB menuju pelabuhan
Kalimas Surabaya menggunakan angkutan laut, dilanjutkan lagi dengan
menggunakan truk menuju Jawa Barat dan DKI Jakarta. Untuk daerah tertentu
seperti Sumatera – Jawa dan Sulawesi Selatan – Kalimantan Timur angkutan truk
didukung oleh angkutan penyeberangan berupa kapal ferri tanpa melalui proses
bongkar muat (Ilham dan Yusdja, 2004)
Dalam merintis bisnis angkutan barang (daging beku), maka ada 3 opsi
yang sedang dibangun oleh pihak PT KAI yaitu : (a) dari pihak pengusaha ternak
agar menghubungi ekpeditur eksisting, (b) pihak pengusaha ternak dapat bekerja
dengan/secara grouping (perserikatan) dengan para pedagang daging, (c)
pengusaha ternak dapat memilih ekpeditur lain yang belum bekerjasama dengan
PT KAI. Hal ini perlu dilakukan sebab apabila ada kerjasama dalam bentuk
container, maka pihak PT KAI perlu membangun sarana-sarana yang memenuhi
persyaratan angkutan barang terutama persyaratan BHP (Barang Hantaran
Potongan). Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan makala mengenai
Pesyaratan Lalu Lintas Ternak.
PEMBAHASAN
Secara legislasi seperti diketahui bahwa UU yang terkait dengan
transportasi ternak sapi adalah UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU 17/2008
tentang Pelayaran (Menkumham, 2008) dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Menkumham, 2009). Dari UU tersebut ada juga beberapa PP,
diantaranya PP 18/2011 tentang Multimoda (Menkumham, 2011). Pada UU
23/2007 pasal 1 dan pasal 3, sama sekali tidak disebutkan angkutan ternak, jasa
pelayanan Kereta Api hanya mengangkut penumpang dan/atau barang
(Menkumham, 2007). Pada pasal 139 (2) angkutan barang tidak termasuk ternak
tetapi terdiri dari: angkutan barang umum, angkutan barang khusus, angkutan
bahan berbahaya dan beracun, dan angkutan limbah bahan berbahaya dan
beracun. Tidak dijelaskan apa saja yang masuk kelompok barang khusus. Dengan
demikian, hingga saat ini memang belum ada amanah jasa kereta api untuk
mengangkut ternak, khususnya ternak sapi (Ilham, et al. 2013).
Prinsip bisnis yang ditempuh perusahaan dalam kegiatan pengangkutan
ternak adalah kecepatan waktu dan safety. Mengangkut ternak dibutuhkan
kelaikan kapal yang prima sehingga keterlambatan dalam hal waktu bisa ditekan.
Disamping itu keamanan terhadap ternak harus benar-benar terjaga, sedapat
mungkin ternak tidak ada yang mati dalam perjalanan. Yang masih menjadi
kendala adalah hal-hal yang sifatnya post mejeur seperti cuaca tidak baik yang
menyebabkan pelayaran sering ditunda. Kegiatan pengangkutan ternak selama ini
memang termasuk kurang menguntungkan apabila tidak diimbangi dengan bisnis
pengangkutan barang lainnya. Pengangkutan sapi hidup tetap menjadi, hal ini
berdasarkan alasan bahwa sapi hidup lebih praktis tidak perlu menyediakan box
pendingin (refer container) yang harganya sangat mahal.
Secara umum ada dua jenis komoditi ternak sapi potong yang
diperdagangkan, yaitu ternak hidup dan hasil ternak berupa daging dan ikutannya.
Hal ini juga berpengaruh terhadap sistem transportasi dalam upaya
pendistribusian kedua jenis komoditas tersebut. Dimana sebagian konsumen ada
yang membutuhkan dalam bentuk sapi hidup dan ada yang membutuhkan dalam
bentuk daging siap olah, konsumen ini umumnya merupakan konsumen akhir
seperti rumah makan, restoran, industri bahan baku daging, rumah tangga dan
para pedagang daging. Dari dua bentuk komoditas ternak tersebut, maka dalam
hal penanganan transportasinya juga berbeda terutama penanganan barang selama
dalam perjalanan dari tempat asal barang sampai ke tempat tujuan. Hal ini tentu
berimplikasi terhadap tinggi rendahnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pengguna jasa transportasi.
Dalam hal transportasi ternak sapi potong, peranan syahbandar adalah
memfasilitasi dan menangani tatacara pemuatan ternak ke kapal angkut yang ada
di pelabuhan. Sementara peryaratan yang menyangkut kesehatan ternak, bobot
ternak, jumlah ternak dan persyaratan teknis lainnya sepenuhnya ada di tangan
karantina ternak dan hewan Dinas Peternakan. Sedangkan keselamatan ternak saat
di perjalanan baik saat menuju kapal, saat di kapal maupun turun dari kapal
sepenuhnya ada di tangan pemilik barang. Untuk menjaga ternak selama di
perjalanan, pemilik ternak menugaskan petugas pengawas (Kleder) yang
mengawasi ternak baik dalam memenuhi kebutuhan pakan, minum, kesehatan
maupun kebutuhan lainnya saat dalam perjalanan.
Proses memindahkan suatu komoditas atau muatan ke tempat lain.sangat
bergantung pada transportasi. Buruknya sistem transportasi dapat
mempengaruhi beberapa hal antara lain: Penurunan kualitas daging,
menyebabkan ternak stress karena merasa ketakutan, menyebabkan
kekurangan cairan atau dehidrasi sebab tidak tersedianya air, dan dapat
menyebabkan kembung (Winarso, 2010).
Kriteria syarat pengangkutan sapi yang dimulai dari pengangkutan sapi
yang tiba di RPH hingga proses penggiringan sapi dari atas kendaraan pengangkut
menuju kandang penampungan. Berikut keenam kriteria tersebut:

Ketersediaan atap pada kendaraan pengangkut sangat penting untuk


mencegah hewan mengalami stres akibat cuaca yang panas atau hujan. Menurut
SNI 02- 4509-1998, harus tersedia atap pada kendaraan yang digunakan untuk
pengangkutan sapi (BSN, 1998). Menurut Week et al. (1997), atap berfungsi
untuk melindungi hewan dari panas dan hujan. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 95 tahun 2012 pasal 89 ayat 2 dimana pengangkutan harus dapat
melindungi hewan dari panas dan hujan (Peraturan Pemerintah, 2012).
Penggunaan tangga penurun pada saat penurunan sapi dari atas kendaraan
pengangkut juga dikategorikan buruk dalam memenuhi aspek kesejahteraan
hewan. Hanya 17,5% dari 20 pengangkutan sapi yang diamati yang menggunakan
tangga penurun pada saat proses penurunan sapi dari atas kendaraan pengangkut.
Sebagian besar proses penurunan sapi dari kendaraan pengangkut dilakukan tanpa
menggunakan tangga penurun, dimana sapi ditarik dan melompat dari atas
kendaraan pengangkut. Hal ini dapat menyebabkan hewan tergelincir atau terjatuh
yang mengakibatkan hewan mengalami cedera. Penurunan sapi dari atas
pengangkutan seharusnya menggunakan tangga penurun dengan landasan miring
untuk mencegah hewan terjatuh dan mengalami cedera (MLA, 2012).
Berbeda dengan penurunan sapi, proses penggiringan sapi dari atas
kendaraan pengangkut menuju kandang penampungan, dinilai cukup dalam
memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
42,5% dari 20 pengangkutan yang tiba di RPH, proses penggiringan sapi
umumnya dilakukan dengan menarik sapi dengan menggunakan tali agar masuk
ke dalam kandang penampungan. Hal ini menunjukkan bahwa RPH dinilai telah
cukup memenuhi standar kesejahteraan hewan, namun sebaiknya proses
penggiringan sapi dari atas kendaraan pengangkut dilakukan dengan membiarkan
sapi berjalan dengan sendirinya turun dan masuk ke kandang penampungan
(MLA, 2012).
Pada kriteria ketersediaan ruang bagi sapi agar dapat berbaring dan berdiri
normal di atas kendaraan pengangkut, kebersihan dari kendaraan pengangkut serta
ketersedian air dan pakan selama pengangkutan, RPH Kotamadya Banda Aceh
dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Penilaian terhadap 20
pengangkutan sapi yang tiba di RPH, menunjukkan bahwa 82,5% dari kendaraan
pengangkut memiliki ketersediaan ruang untuk sapi sehingga dapat berbaring dan
berdiri normal selama di atas kendaraan pengangkut, 67,5% dari kendaraan
pengangkut dalam keadaan bersih serta 75% dari kendaraan pengangkut memiliki
ketersedian air dan pakan yang mencukupi selama pengangkutan sapi menuju
RPH. Pengangkutan ternak menuju RPH harus memiliki ruang yang cukup untuk
mengambil posisi yang seimbang pada saat hewan berdiri dan ketika hewan
berbaring, mereka harus dapat mengambil posisi berbaring yang normal, tidak
saling menindih satu sama lain serta harus dalam keadaan bersih (MLA, 2012).
Menurut Islahuddin (2009), yang dikategorikan bersih adalah tidak adanya
kotoran-kotoran yang kasat mata. Sementara itu dalam SNI 02-4509-1998
dijelaskan bahwa selama pengangkutan harus tersedia air dan pakan, jumlah air
minimum 10% dari total berat badan dan jumlah pakan minimum 3% dari total
berat badan (BSN, 1998).
PENUTUP

Kesimpulan

Syarat pengangkutan sapi potong terdiri atas beberapa kriteria yang

mengedepankan kesejahteraan hewan. Mulai dari ketersediaan ruang, pakan,

minum, kebersihan dari alat transportasi hingga proses penggiringan ternak.


DAFTAR PUSTAKA

Bhaskara, Y., Adam, M., Nasution, I., Lubis, T.M., Armansyah, T. and Hasan, M.
2015. tinjauan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di
rumah pemotongan hewan Kotamadya Banda Aceh. (Jurnal Medika
Veterinaria, 9(2).

BSN. Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) 02-
4509-1998, tentang Angkutan Ternak Sapi dan Kerbau. Badan
Satandarisasi Nasional. Jakarta.

Ilham, N. dan Y. Yusdja. 2004. Sistem Transportasi Perdagangan Ternak Sapi dan
Implikasi Kebijakan di Indoneisa. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 2
(1).

Islahuddin, B.O. 2009. Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Tempat Penjualan


Unggas Hidup di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

MLA. Meat and Livestock Australia. 2012. Prosedur Standar Operasional untuk
Kesejahteraan Ternak. Meat and Livestock Australia. Sydney.

Week, C.A., A.J.F. Webster, and H.M. Wyld. 1997. Vehicle Design and thermal
comfort of poultry in transit. British Poultry Science. 38:464-474.

Winarso, B., 2010. Peran Sarana Angkutan Darat Dalam Upaya


Peningkatan Efisiensi Distribusi Ternak Dan Hasil Ternak Sapi
Potong Di Indonesia. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 15(2): 125–
137.

Winarso, B. 2015 sistem distribusi ternak dan hasil ternak sapi potong di
Indonesia. In Seminar Nasional.

Anda mungkin juga menyukai