Anda di halaman 1dari 4

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pangan Fungsional


Pangan fungsional merupakan makanan maupun minuman yang
bermanfaat bagi kesehatan di luar nutrisi dasar atau bermanfaat bagi kesehatan di
luar zat gizi yang tersedia (de Roos, 2004; Susanto & Fahmi, 2012). Menurut
Health Canada, pangan fungsional merupakan suatu produk yang menyerupai
makanan tradisional namun memiliki manfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional
adalah suatu produk makanan baik minuman yang diperkaya akan zat-zat gizi
seperti vitamin, serat, asam lemak, serta bahan-bahan untuk nilai kesehatan atau
makanan yang sengaja didesain minim akan Na dan lemak, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan status gizinya (Susanto & fahmi,
2012). Berdasarkan definisi tersebut, suplemen dan obat tidak dapat
dikategorrikan dalam pangan fungsional.
Pangan fungsional sendiri memiliki beragam produk, contohnya seperti
probiotik, prebiotik, minuman fungsional, sereal fungsional, danging fungsional,
dan produk beras analog. Menurut Subroto (2008) dalam Kusumayanti dkk.
(2016), makanan fungsional dibagi menjadi dua jenis, yaitu berdasarkan sumber
dan berdasarkan cara pengolahannya. Berdasarkan sumbernya, makanan
fungsional dibagi menjadi dua jenis, yaitu makanan yang berasal dari nabati
seperti sayur-mayur, buah-buahan, serta umbi-umbian dan yang berasal dari
hewani seperti daging, susu, telur, dsb. Sedangkan berdasarkan cara
pengolahannya, makanan fungsional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu makanan
fungsional alami yang telah tersedia di alam dan bisa langsung dikonsumsi tanpa
diolah seperti sayuran segar, makanan fungsional tradisional yang diproses
dengan cara tradisional seperti tempe dan tahu, dan makanan fungsional modern
yang dibuat dengan formulasi khusus seperti biskuit yang kaya serat, dan mi
instan yang berbahan dasar sayuran (Kusumayanti, dkk., 2016).
2.2 Senyawa dan Sifat Fungsional
2.2.1 Lemon
Lemon (Citrus limon) merupakan salah satu jenis buah yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Buah ini memiliki manfaat sebagai antioksidan
yang baik. Sifat antioksidan lemon disebabkan karena buah ini kaya akan
kandungan vitamin C, asam sitrat, minyak atsiri, bioflavonoid, minyak-minyak
volatil, α-terpinen, α-pinen, β-pinen, polifenol, dan kumarin (Nizhar, 2012). Tidak
hanya daging buahnya, kulit buah lemon juga memiliki kandungan antioksidan
yang tinggi karena mengandung flavonoid. Flavonoid sendiri merupakan salah
satu jenis antioksidan yang biasanya terkandung di dalam sayur-sayuran, buah-
buahan, bunga, teh, hingga akar pohon (Batubara, 2017).
Lemon dan produk olahannya dapat dijadikan sebagai sumber senyawa
fenolik, nutrisi, maupun non-nutrisi seperti vitamin, mineral, serat makanan,
minyak essensial, asam organik, dan karotenoid yang sangat diperlukan oleh
tubuh manusia untuk meningkatkan fungsi sitem fisiologis dan pertumbuhan.
Selain sebagai sumber antioksidan, lemon juga memiliki aktivitas antikanker dan
memiliki potensi sebagai antibakteri, karena secara klinis telah dilaporkan bahwa
lemon dapat memiliki kemampuan untuk melawan strain bakteri secara signifikan
(Dhanavade, et al., 2011; Batubara, 2017).
2.2.2 Jahe
Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu tanaman obat yang
memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai bumbu dapur, campuran makanan dan
minuman, obat tradisional, hingga kosmetik. Berdasarkan hasil dari beberapa
penelitian, jahe memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Aktivitas
antioksidan pada jahe mampu menghambat radikal bebas superoksida dan
hidroksil yang dihasilkan oleh sel-sel kanker secara efektif dan efisien. Senyawa
antioksidan yang terkandung di dalam jahe, anatara lain fenolik berupa flavonoid,
turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik. Senyawa
fenolik sendiri memiliki sifat polar dan berfungsi sebagai penangkap radikal bebas
(Pebinigrum, dkk., 2018). Selain sebagai sumber antioksidan, jahe juga
mengandung gingerol, shogaol, dan zingeron yang secara farmakologi dapat
dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, analgesik, antikarsinogenik, dan kardiotonik
(Febrianti & Yunianta, 2014).
2.2.3 Secang
Kayu secang (Caesalpinia sappan L) merupakan suatu tanaman yang
biasa digunakan sebagai sumber zat warna merah dan obat tradisional.
Berdasarkan hasil uji fitokimia, kayu secang bagian dalam dan luar mengandung
banyak senyawa baik, yaitu alkaloid, flavonoid, triterpen, brazilin, tannin, dan
glikosida. Kandungan flavonoid dan senyawa fenolat pada kayu secang
menjadikan tanaman ini sebagai sumber antioksidan alami. Efek antioksidan pada
senyawa fenol disebabkan karena sifat oksidasi yang berperan dalam menetralisasi
radikal bebas. Efek antioksidan senyawa-senyawa pada kayu secang memiliki
daya antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan antioksidan buatan seperti BHT
dan BHA (Miksusanti & Elfita, 2012). Di berbagai negara, kayu secang memiliki
beragam manfaat. Di India kayu secang digunakan sebagai obat peluruh haid,
diare dan disentri. Di Malaysia dan Indonesia, kayu secang dimanfaatkan sebagai
pewarna makanan dan jamu. di Cina dan Filipina kayu secang dimanfaatkan
sebagai jamu pasca melahirkan. Selain manfaa-manfaat tersebut, kayu secang juga
dapat digunakan sebagai obat untuk memperlancar peredaran darah, obat diare,
TBC, antiseptik, antiinflamasi, dan antitoksik (Farhana, 2015).

2.3 Uji Sensoris


Uji sensoris atau yang dikenal juga sebagai uji oerganoleptik merupakan
sistem pengujian yang menggunakan indera mausia untuk mengukur tekstur,
kenampakan, aroma, rasa dari suatu produk pangan. Pengujian sensoris berperan
penting dalam pengembangan suatu produk dengan cara meminimalisisr risiko
dalam pengambilan keputusan. Pengujian sensoris ini melibatkan manusia sebagai
objek analisis dan alat penentu hasil atau data yang diperoleh, sehingga hasil dari
pengujian ini bersifat subjektif. Analisis sensoris juga merupakan disiplin ilmu
yang membutuhkan standarisasi dan pengendalian pada setiap tahapannya, mulai
dari persiapan contoh, pengukuran respon, analisis data, dan interpretasi hasil.
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui respon dari indra manusia terhadap
rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu produk (Setyaningsih, dkk., 2014).
Pengujian sensoris dibagi menjadi tiga jenis pengujian, yaitu uji
pembedaan, uji deskripsi, dan uji afeksi. Uji pembedaan secara umum
berhubungan dengan cara pengendalian mutu dari suatu produk, pengendalian
umur simpan, dan identifikasi kerusakan yang mungkin terjadi. Uji deskripsi
berhubungan pada pengembangan dari suatu produk, baik untuk dibandingkan
dengan produk target maupun untuk membuat formulasi baru dari produk yang
sudah ada. Sedangkan uji afeksi merupakan pengujian yang dilakukan untuk
mengetahui perbedaan pada suatu produk yang dapat dikenali oleh panelis dan
berpengaruh tehadap tingkat kesukaan konsumen pada produk tersebut
(Setyaningsih, dkk., 2014).

Anda mungkin juga menyukai