Anda di halaman 1dari 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pangan Fungsional


Seiring dengan kemajuan dibidang budidaya pertanian, telah banyak
penanganan pascapanen dan teknologi pengolahan pangan, disatu sisi, dipasaran saat
ini cukup tersedia bahan pangan dan hasil olahannya yang beragam baik jenis maupun
mutunya.
Dalam kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di
mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah untuk
mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang optimal. Menurut Winarno dkk.(1995)
dan Astawan (2011) fungsi pangan dikelompokkan menjadi tiga fungsi yaitu fungsi
primer (primary function), fungsi sekunder (secondary function) dan fungsi tertier
(tertiary function). Fungsi primer adalah fungsi pangan yang utama bagi manusia yaitu
untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia,
aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya
juga memenuhi fungsi sekunder yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik.
Sebab, bagaimanapun tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh
konsumen bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera
konsumennya. Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam
menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat
konsumen. Dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup
sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan
pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai
komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga
harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian dikenal
sebagai fungsi tertier. Semakin tinggi tingkat kemakmuran dan kesadaran seseorang
terhadap kesehatan, maka tuntutan terhadap ketiga fungsi bahan pangan tersebut akan
semakin tinggi pula.
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan
pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga
pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Kenyataan tersebut
menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar tubuh
(yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional. Ada beberapa istilah
untuk makanan yang berpengaruh baik terhadap.kesehatan yaitu : :Functional food,
Nutraceutical, Pharma food, Designer food, Vita food, Phytochemical, Food aceutical,
Health food, Natural food dan Real food.
Sampai saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara
universal. Berikut disajikan beberapa definisi atau pengertian tentang pangan
fungsional. Di Jepang tahun.1991 makanan fungsional didefinisikan sebagai FOSHU
(Foods for Spesified Health Used) yaitu makanan yang memiliki efek spesifik terhadap
kesehatan karena ada kandungan senyawa kimia tertentu pada bahan makanan.
Menurut Goldberg (1994) pangan fungsional adalah makanan (bukan kapsul, pil atau
tepung) berasal dari ingredient alami. Dapat dan harus dikonsumsi sebagai bagian dari
diet harian dan memiliki fungsi tertentu bila dicerna, membantu mempercepat proses
tertentu dalam tubuh seperti : meningkatkan mekanisme pertahanan secara biologis,
mencegah penyakit tertentu, penyembuhan dari penyakit spesifik, mengendalikan
kondisi fisik dan mental, dan menghambat proses penuaan. The International Food
Information mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan
manfaat kesehatan di luar zat-zat dasar. Menurut konsensus pada The First
International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996,
pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat
memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi
yang terkandung di dalamnya. (Astawan, 2011). Definisi pangan fungsional menurut
Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses,
mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap
mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta
dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik
sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh
konsumen. Selain tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping
pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Dari
beberapa definisi yang telah diuraikan di atas dapatlah dikatakan bahwa pada dasarnya
pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya diluar
kandungan zat gizinya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, merupakan bagian
dari diet sehari-hari dan memiliki sifat sensoris yang dapat diterima.

Persyaratan Pangan Fungsional


Jepang merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai
pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para ilmuwan
Jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu (Astawan, 2011):
1. Sensory (warna dan penampilannya yang menarik dan cita rasanya yang enak)
2. Nutritional (bernilai gizi tinggi)
3. Physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh).
Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain adalah:
1. Pencegahan dari timbulnya penyakit
2. Meningkatnya daya tahan tubuh
3. Regulasi kondisi ritme fisik tubuh
4. Memperlambat proses penuaan
5. Menyehatkan kembali (recovery).
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh
suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) Harus
merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal
dari bahan (ingredien) alami, (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet
atau menu sehari-hari, (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat
memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme
pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi
tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat
proses penuaan. Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah
bahwa pangan fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan
fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana
makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi (Astawan, 2011). Peranan dari
makanan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu kepada komponen gizi dan non
gizi yang terkandung di dalamnya. Komponen-komponen tersebut umumnya berupa
komponen aktif yang keberadaannya dalam makanan bisa terjadi secara alami, akibat
penambahan dari luar, atau karena proses pengolahan (akibat reaksi-reaksi kimia
tertentu atau aktivitas mikroba).

2.2. Senyawa dan Sifat Fungsioanalnya


Komponen bioaktif adalah senyawa aktif dalam pangan fungsional yang
bertanggung jawab atas berlangsungnya reaksi - reaksi metabolisme yang
menguntungkan kesehatan (Subroto, 2008).
2.2.1. Cascara
Cascara merupakan bahan yang mengandung senyawa mengandung
senyawa polifenol berupa antosianin, tanin, flavonol, flavan-3-ol, asam hidraksinat dan
kafrin (Esquivel dan Jimenez, 2012).

2.2.2. Jahe
Jahe (Zingiber afficanate) merupakan salah satu jenis rempah-rempah
yang banyak digunakan sebagai bahan minuman, bumbu penyedap makanan, ramuan
obat-obatan dan lain-lain. Jahe memiliki beberapa kerabat yang termasuk kedalam
familli Zingiberaceace, seperti lempuyang wangi, bengle, benglai hantu, lempuyang dan
lengkuas (Farry dan Murhananto, 1995).
Adapun klasifikasi jahe adalah sebagai berikut:17
Divisi : Spermathophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Jahe mengandung komponen minyak menguap (volatile oil), minyak tidak
menguap (non volatile oil), dan pati. Minyak menguap atau minyak atsiri merupakan
komponen pemberi bau yang khas. Kandungan dari minyak atsiri pada jahe antara lain
α pinen, βphellandren, borneol, limonene, linalool, citral, nonylaldehyde, decylaldehyde,
methylepteno, 1,8 sineol, bisabelin, 1-α-curcumi, farnese, humulen, phenol, asetat dan
yang paling banyak adalah zingiberen dan zingiberol. Minyak yang tidak menguap atau
oleoresin memberikan rasa pedas dan pahit. Oleoresin terdiri atas gingerol dan
zingiberen, shagol, minyak atsiri dan resin. Rimpang pada jahe mengandung flavonoid,
10- dehydrogingerione, gingerdione, arginin, linolenic acid, aspartia acid, kanji, lipid,
kayu damar, asam amino, protein, vitamin A dan niacin serta mineral. Terdapat juga
asam-asam organik seperti asam malat, asam oksalat, vitamin A, B (Collin dan folat)
dan C, senyawa-senyawa flavonoid, polifenol, aseton, methanol, cineole dan arginine.
17 Gingerol memiliki efek sebagai antiinflamasi, antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik,
hepatotoksik, antioksidan, anti kanker, antiangiogenesis dan anti arterosklerotik.
Gingerol dan zingerone dapat melindungi mukosa lambung dengan cara menghambat
H+ K+ ATPase sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung. Flavonoid yang
terkandung dalam jahe dapat meningkatkan prostaglandin yang merupakan faktor
defensif dari lambung. Aseton dan methanol dapat melindungi lambung dengan cara
menurunkan asam lambung dan mencegah iritasi pada mukosa lambung.17,19
2.2.3. Serai
Sereh (Cymbopogon nardus L) merupakan sejenis tumbuhan rumput‐
rumputan yang daunnya panjang seperti ilalang. Sereh mempunyai perawakan
berupa rumput‐rumputan tegak, menahun dan mempunyai perakaran yang
sangat dalam dan kuat. Batang sereh dapat tegak ataupun condong,
membentuk rumpun, pendek, masif, bulat dan sering kali di bawah buku‐
bukunya berlilin. Daun sereh berbentuk tunggal, lengkap, dan pelepah
daunnya silindris gundul. Susunan bunganya yaitu malai atau bulir
majemuk, bertangkai atau duduk, berdaun pelindung nyata, biasanya
berwarna putih. Sereh (Cymbopogon nardus L) biasanya digunakan sebagai
bumbu dapur untuk mengharumkan makanan. Selain itu, sereh bermanfaat
sebagai anti radang, menghilangkan rasa sakit dan melancarkan sirkulasi
darah. Manfaat lain yaitu untuk meredakan sakit kepala, otot, batuk,
nyeri lambung, haid tidak teratur dan bengkak setelah melahirkan. Akar
tanaman sereh digunakan sebagai peluruh air seni, peluruh keringat,
peluruh dahak, bahan untuk kumur, dan penghangat badan. Sedangkan minyak
sereh banyak digunakan sebagai bahan pewangi sabun, spray, disinfektan,
dan bahan pengkilap.
Sereh wangi mengandung saponin, flavonoid, polifenol, alkaloid, dan
minyak atsiri. Saponin merupakan kelompok glikosida yang tersusun oleh
aglikon bukan gula yang berikatan dengan rantai gula. Sifat antimikroba
dari senyawa saponin disebabkan oleh kemampuan senyawa tersebut
berinteraksi dengan sterol pada membran sehingga menyebabkan kebocoran
protein dan enzim‐enzim tertentu.
Flavonoid terdiri dari flavon, flavonon, isoflavon, antosianin, dan
leukoantosianidin. Senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan dan
antimikroba. Antioksidan flavonoid dapat mencegah oksidasi lipid dengan
mengikat (mengkhelat) logam‐logam yang bersifat prooksidan. Senyawa
flavonoid lipofilik memiliki aktivitas antimikroba karena memiliki
kemampuan penetrasi dalam membran sel.
2.3. Pengujian Polifenol
2.4. Pengujian Aktivitas Antioksidan Metode DPPH
BAB III. BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam ekstraksi dan pengujian komponen bioaktif polifenol
sebagai antioksidan yaitu terdapat 2 macam bahan, diantaranya adalah bahan pangan
dan bahan kimia.

3.1.1. Bahan Pangan Yang Digunakan


Bahan pangan yang digunakan dalam praktikum ekstraksi komponen bioaktif
polifenol sebagai antioksidan yaitu gula, kastara, jahe, dan serai.

3.1.2. Bahan Kimia Yang Digunakan

Bahan kimia yang digunakan diantaranya yaitu, etanol 96%, metanol,


follin-ciocalteau, Na2CO3, standar asam galat, DPPH, dan Aquades.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu, spatula, vortex, spektrofotometer, beaker glass,


pipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi, botol gelap, alumunium foil, panci, kompor,
neraca analitik, dan sendok.

3.3 Ekstraksi Cascara, Serai, dan Jahe

Diagram alir ekstraksi Kaskara :

9,6 gram cascara

Pengecilan ukuran

600 ml air Ekstraksi selama 20 menit


mendidih

Penyaringan
Gambar 1. Diagram Alir Ekstraksi Cascara

Diagram alir ekstraksi Serai :

Gambar 2. Diagram Alir Ekstraksi Serai

Diagram alir ekstraksi Jahe :

50 gram jahe

Pengecilan ukuran

200 ml air Ekstraksi selama 20 menit


mendidih

Penyaringan

Ekstrak jahe
Gambar 3. Diagram Alir Ekstraksi Jahe

Diagram alir Pembuatan Larutan Gula :

200 gr gula pasir

+200 ml air

Pemanasan dan pengadukan

Larutan gula

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Larutan Gula

Fungsi Perlakuan Ekstraksi


Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan air panas yang bertujuan untuk
mempercepat keluarnya zat zat alami di dalam sampel yang digunakan. Pada sampel
jahe dan serai dilakukan pengecilan ukuran bertujuan agar mempermudah proses
ekstraksi unsur yang terkandung di dalam sampel. Gula dilarutkan dengan
menggunakan air panas hal ini dikarenakan gula akan lebih cepat larut dalam air panas.
Pada proses ekstraksi dilakukan proses pengadukan yang berfungsi untuk
mengoptimalkan proses ekstraksi. Setelah proses ekstraksi selesai dilakukan
pencampuran dengan formula yang telah ditentukan. Ekstrak dianalisis kandungan
kandungan total polifenol menggunakan metode follin-ciocalteau dan aktftas
antioksidan berdasarkan kemampuan menangkal/ menangkap radikal bebas DPPH.

3.4 Prosedur Analisa

3.4.1. Analisis Kandungan Total Polifenol


Diagram alir analisis total polifenol

250 µL Sampel

+ 4,75 ml aquades

+ 0,5 ml follin-ciocalteau

Vortek

Pendiaman 5 menit

+ 1 ml Na2CO3 (7%)

Vortek

Pendiaman 60 menit (tutup dengan alufo

Ukur Abs 765 nm

Gambar 3. Diagram alir analisis total fenol

Fungsi Perlakuan Analisis Total Kandungan Polifenol


Analisis kandungn total polifenol dilakukan secara spektrofotometri dengan
metode follin-ciocalteau. Sampel ekstrak dengan volume tertentu dimasukkan dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan akuades hingga volume menjadi 5 ml.
Selanjutnya sebanyak 0,5 ml follin-ciocalteau ditambahkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan karena merupakan pereaksi spesifik untuk senyawa fenol, lalu divortek
agar menjadi homogen dan didiamkan selama 5 menit. Kemudian ditambahkan Na2CO3
(4%) sebanyak 1 ml untuk menciptakan suasana basa yang dapat mendorong
terjadinya reaksi antara senyawa polifenol dengan reagen Folin, divortek, dan
didiamkan selama 60 menit dan dibungkus dengan alumunium foil agar tidak terjadi
oksidasi yang diakibatkan oleh cahaya. Nilai absorbansi diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 765 nm. Kandungan total polifenol dalam
sampel ekstrak dihitung dengan menggunakan kurva standar yang dibuat dari asam
galat (GA) pada beberapa konsentrsi. Kandungan total polfenol dalam bahan
dinyatakan sebagai mg GAE/g sampel.

3.4.2. Aktivitas Antioksidan


Diagram alir aktivitas antioksidan (metode DPPH)

250 µL Sampel

+ 4,75 ml etanol

+ 3 ml DPPH

Vortek

Pendiaman 15 menit

Ukur Abs 517 nm

Gambar 4. Diagram alir aktivitas antioksidan (metode DPPH)

Fungsi Perlakuan Analisis Antioksidan


Aktivitas antioksidan senyawa polifenol dalam bahan dianalisa berdasarkan
kemampuan menangkap radikal bebas (radical scavenging ability/ RSA) DPPH.
Sebanyak 3 ml DPPH (100 µM) dimasukkan ke dalam tabung reaksi berfungsi sebagai
radikal bebas, setelah itu ditambahkan etanol dan sampel ekstrak dimana total
keseluruhan volume etanol dan sampel adalah 1 ml berfungsi sebagai antioksidan yang
akan menetralisir radikal bebas untuk mengetahui aktivitas antioksidannya. Campuran
reaksi dalam tabung reaksi divortek untuk menghomogenkan dan didiamkan selama 15
menit untuk membiarkan antioksidan bekerja. Absorbans diukur pada panjang
gelombang 517 nm untuk mengetahui aktivitas antioksidannya. Pengujian kontrol
dilakukan dengan cara yang sama dengan menggantikan sampel ekstrak dengan
etanol pada volume yang sama. Aktivitas scavenging terhadap radikal DPPH
dinyatakan sebagai % penghambatan terhadap radikal DPPH. Persen penghambatan
dihitung sesuai rumus :

[(AO - AS)/AO] x 100

Dimana : AO = absorbansi tanpa penambahan sampel ekstrak (kontrol)/ blanko

AS = absorbans dengan penambahan sampel ekstrak

3.4.1 Kurva standar


Asam galat konsentrasi 5 mg/ml
0, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175,
200, 225 μl

Pemasukkan dalam
tabung reaksi

+ aquadest Tera hingga 5 ml

+ 0,5ml Folin
Ciocalteau

Vortex

Pendiaman 5 menit

+ 1 ml Na2CO3

Pendiaman 60 menit
dalam tempat gelap

Pengukuran nilai
absorbansi λ = 765 nm

Perhitungan polifenol

berat sampel sesuai kurva


× pengenceran
jumlah cuplikan

Penggunaan Asam galat dengan konsentrasi 5 mg/ml diambil sebanyak 0, 25, 50,
75, 100, 125, 150, 175, 200, 225 μl, berfungsi sebagai sebagai standar pengukuran
dikarenakan asam galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hampir semua
tanaman. Kandungan fenol asam organik ini bersifat murni dan stabil (Kusumaningati
2009). Asam galat tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian diencerkan
dengan cara ditera hingga mencapai 5 ml menggunakan akuades. Reagen Folin
Ciocalteu sebanyak 0,5 ml ditambahkan untuk mereduksi gugus hidroksi dari asam
galat. Inti aromatis pada senyawa polifenol, yang berupa gugus hidroksi polifenol, dapat
mereduksi fosfomolibdat dan fosfotungstat menjadi molibdenum yang berwarna biru.
Larutan kemudian divorteks untuk menghomogenkan larutan kemudian didiamkan
selama 5 menit dan ditambahkan 1 ml Na2CO3 untuk menciptakan suasana basa yang
dapat mendorong terjadinya reaksi antara senyawa polifenol dengan reagen Folin.
Larutan kemudian didiamkan selama 60 menit di tempat yang gelap agar polifenol tidak
mengalami oksidasi yang diakibatkan oleh cahaya. Setelah didiamkan, larutan
selanjutnya diukur nilai absorbansinya dengan panjang gelombang 765 nm. Dari nilai
absorbansi yang didapat, kemudian dibuat kurva standar asam galat.

Anda mungkin juga menyukai